Saking khusyuk belajar, Risky tidak
mendengar Mama berteriak minta tolong. Mama pun memasuki kamar Risky dan
mendapati anak itu sedang mencurahkan sepenuh perhatian pada buku yang
benar-benar buku pelajaran atau kumpulan soal alih-alih bacaan hiburan. Mama
maklum. Tapi tetap saja ia menggoyang-goyangkan bahu Risky. "Nyalain
kompor dong." Risky menggeram lalu menuruti Mama ke dapur.
Balik-balik ke Indonesia, Mama kembali
menggunakan kompor minyak sampai baru-baru ini membeli kompor gas. Walau mulai
banyak ibu-ibu lain yang menggunakan kompor gas, masih beredar kabar bahwa
barang ini mudah meledak. Mama jadi tidak berani menyalakannya sendiri, padahal
selama tinggal di Jepang sudah berpengalaman menggunakannya. Aneh.
"Di Jepang kompornya beda! Lebih
aman," alasan Mama.
"Sama aja. Ini juga impor dari
Jepang!" bantah Risky. Lalu ia mendemonstrasikan cara menyalakan kompor
gas untuk entah yang keberapa kali. "Tinggal diputer doang!"
"Kalau meledak gimana?"
"Kalau meledak, aku yang mati
duluan!"
Mama melotot. "Sinis amat sih! Cuma
minta tolong sebentar juga!"
Risky segera kembali ke kamarnya,
menyambung konsentrasi. Ketika beberapa lama kemudian Mama masuk lagi ke
kamarnya, meletakkan sepiring pisang goreng di dekat sikunya, ia cuma melirik.
Dan melirik lagi lebih lama. Pisang goreng yang semestinya keemasan, kalau
dibuat Mama jadinya malah kehitam-hitaman. Ada yang terlalu kering, lainnya
terlalu lembek. Hampir tiap hari Mama menyuguhkan camilan buatan sendiri yang
berbeda-beda untuk Risky. Kadang bereksperimen mengikuti resep di majalah,
kadang juga ala kadarnya seperti pisang goreng ini. Hasilnya tidak pernah
beres, tapi Risky tak sempat memusingkannya lama-lama. Ia lahap juga camilan
Mama di sela-sela menekuni pelajaran.
Kalau tidak terlampau sibuk, Mama
mencegah Adek memasuki kamar Risky. Sesekali Adek dibawa Mama ke rumah tetangga
sehingga rumah hening sama sekali atau cuma suara dari tape Risky
yang mengalun sayup.
Andai saja selancar itu bertahan lama.
Euforia cuma sesaat, sedang materi masih banyak. Karena berbagai aktivitas Saladin
entahkah di sekolah, ekstrakurikuler, les, atau lingkungan rumah, Risky mesti
menunggu. Selama menunggu, ia berguling-guling di depan televisi, menjadi
tontonan Adek dan teman-temannya yang main ke rumah.
"Nonton TV terus!" Mama mulai
berkhotbah tentang bahaya TV, didukung informasi dari majalah. "Kalau
kebanyakan nonton TV, bisa sakit jiwa lo!" dilatari hiruk-pikuk Adek dan
teman-temannya yang sedang bersandiwara laga.
"RASAKAN!"
"Aaah! Tidaaak!"
"Tunggu pembalasanku!"
"Mantra ajiii!"
"Ga-waaat!"
Lalu ada yang menangis, kena tendang
temannya, dan Mama pun tergopoh-gopoh melerai. "Ini akibatnya kecil-kecil
pada nonton TV!"
Risky cuma melirik lalu kembali menatap
layar televisi sambil meraup rengginang buatan Mama yang keasinan.
Adakalanya Mama cuma mendesah,
"Stasiun TV nambah aja," sembari duduk di sofa dan ikut menonton.
Karena kerapnya anak-anak bermain di
rumah, mereka mengenal sosok sebesar beruang kutub itu sebagai Kak Iki,
kakaknya Ian. Anak-anak itu lebih sering lagi bermain di luar rumah, membentuk
geng sepeda roda tiga dan ada juga yang empat, mengeluyur jauh dari para
pengasuh mereka yang terlalu asyik merumpi.
Di perumahan itu, ada sekumpulan
anak-anak lain yang lebih besar yang sudah lancar bersepeda roda dua. Jangkauan
main mereka pun sudah sampai ke kompleks-kompleks tetangga yang jauh. Suatu
hari, mereka melihat anak-anak geng sepeda roda tiga dan empat sedang
berkumpul. Mereka mengamatinya sembari mengenang pengalaman mereka sendiri
sewaktu berada di kisaran usia yang sama. Ada seorang di antara mereka yang
sepeda roda tiganya sudah dijual. Ia menceletuk iseng, "Aku ingin coba
sepeda roda tiga lagi." Ia memasang standar sepedanya, lalu mendekati satu
bocah yang terlihat paling lemah.
"Pinjem dong sepedanya!"
"Enggak boleh!"
"Bentar aja!" Ia mendorong
bocah itu sampai terjungkal lalu menaiki sepeda itu.
"Sepeda aku! Sepeda aku!" si
bocah menjerit. Ia mengejar sepedanya yang dibawa berputar-putar. Anak-anak
lain yang lebih besar menertawakannya. Ketika bocah itu mendekat, salah satu
dari mereka iseng mendorongnya. Anak itu jatuh lagi. Tawa berderai kembali.
Begitu mudahnya anak itu jatuh, secepat ia bangkit. Anak yang lain menendang
bokongnya sehingga bocah itu tersungkur. Bocah itu selayaknya balon mainan yang
dijual di pinggir jalan, dengan pemberat di dasarnya, sehingga kalau didorong
ke belakang lantas bertolak maju. Begitu terus.
Ada satu anak yang sudah terlalu besar
untuk masuk geng sepeda roda tiga dan empat. Tapi dia tetap mengiringi geng itu
karena disuruh mengawasi adiknya, dan lagi orang tuanya belum mampu membelikan
dia sepeda roda dua. Anak itu telah mengerti keadaan. Ia berlari ke rumah bocah
yang sepedanya dirampas itu. Pintu rumah terbuka, sehingga memudahkan dia
mengeloyor masuk begitu saja dan mendapati si beruang kutub sedang tiduran di
depan televisi sambil menggaruk-garuk perutnya yang buncit.
"Kak Iki! Kak Iki!"
Risky menoleh, heran. Ia kenal tampang
anak itu, tapi tidak dengan namanya.
"Ian diganggu anak-anak gede!"
Anak itu menjejak-jejakkan kedua kakinya
seperti mau pipis, sambil menunjuk ke luar. Ekspresinya mendesak. Risky mau tak
mau bangkit. Kakinya malas menyerok sandal jepit. Karena hebohnya anak itu,
terpaksa ia mempercepat langkah. Begitu memasuki jalan lainnya, ia mendapati
anak-anak gede itu mengepung adiknya, mengoper bocah itu ke sana kemari seperti
sedang berlatih lempar tangkap bola. Anak-anak lainnya yang lebih kecil cuma
bisa memerhatikan dengan bingung dari jarak agak jauh. Di teras salah sebuah
rumah di situ berdiri seorang pembantu muda yang sedang menyapu. Sebetulnya ia
sudah menegur anak-anak itu, namun suaranya terlalu ragu sehingga tidak
digubris.
"OI! JAUHIN ADEK GUE!" bentak
Risky.
Anak-anak itu terkejut melihat sosok
besar menjulang, dengan rambut-rambut bertumbuhan liar di separuh wajahnya yang
belum mengakrabi pisau cukur, juga di kepalanya yang lama tak disentuh sisir,
ditambah hawa biadab yang tak tersamarkan lagi oleh aroma sabun dan deterjen,
serta mata merah menyalang nan menyeramkan akibat semalaman memelototi buku
pelajaran kemudian seharian televisi dan belum tidur.
Mereka sontak lintang pukang memancal
sepeda masing-masing. Anak yang merampas sepeda Adek pun telah melemparkan
barang itu, mengambil sepedanya sendiri, lalu terbirit-birit menyusul
kawanannya. Sedang si Adek terjerembap karena pada operan yang terakhir tidak
ada yang menangkap. Ia menangis kencang-kencang.
Risky membantu adiknya berdiri, dan
memutuskan untuk membopongnya saja dengan satu tangan. Tangan yang lain
menjinjing sepeda. Sesampainya di rumah, ia membersihkan si Adek dan mengobati
luka goresnya. Lalu Mama pulang.
"Adek kenapa lagi?"
"Digangguin anak-anak."
"Kamu sih keasyikan nonton
TV," hardik Mama. Lalu ia membopong Adek dengan sayang, sambil
mengusap-usap bagian yang sakit.
Kejadian sekali itu tidak menjadi pikiran
buat Risky. Hari-hari selanjutnya berlangsung seperti biasa. Kalau ada
semangat, Risky duduk di meja belajar. Kalau tidak ada, ya, ia nikmati saja
acara TV yang semakin bervariasi tanpa mengindahkan ocehan Mama. Kalau tiba
waktu yang telah disepakati bersama Saladin, atau sepupunya itu menelepon dia
memberitahukan bahwa waktunya telah lowong, ia pergi ke rumah di belakang untuk
menanyakan materi atau soal yang sulit. Kalau anak yang heboh itu kembali
datang ke rumah, memanggil-manggil namanya dengan panik, karena sekali lagi
adiknya ada yang mengusili, wah, ini.
Kali ini, anak-anak yang lebih gede itu
tidak mengepung adiknya. Mereka cuma tertawa-tawa dari pinggir saat anak yang
sama lagi-lagi merampas sepeda si Adek, lalu berputar-putar sembari dikejar-kejar
si empunya. Risky merenggut kerah baju anak itu sampai terangkat dari sepeda,
lalu mencampakkannya ke jalan yang berkerikil sampai tersungkur beberapa meter.
"JANGAN GANGGU ADEK GUE LAGI, BERENGSEK!"
Kain baju anak itu koyak, kulit
lengannya pun tergesek. Anak itu kaget melihat darahnya sendiri lalu
pontang-panting ke rumah sambil menangis, mau mengadu pada mamanya.
.
Sejak dulu, Risky tidak menyukai
anak-anak tetangga. Bukan semata karena peristiwa yang menimpa adiknya,
melainkan sejak sewaktu ia sendiri hanya sedikit lebih besar daripada si Adek.
Dibandingkan dengan tetangga sekitar,
keluarganya tergolong berpunya walau sama-sama menempati perumahan yang
sederhana. Sementara rata-rata anak sebayanya pada punya banyak saudara
kandung, dengan ibu di rumah saja, Risky anak tunggal dari kedua orang tua yang
sama-sama bekerja dan berpenghasilan lumayan. Sementara anak-anak lain pergi ke
sekolah jalan kaki, naik sepeda atau Kopaja, Risky diantar papanya menggunakan
mobil pribadi keluaran baru. Sementara anak-anak lain jarang dibelikan mainan
atau hiburan lain oleh orang tuanya, dan kalaupun ada mesti berbagi dengan
saudara-saudara mereka, Risky dilimpahi barang apa pun yang dia suka dan dapat
menikmatinya sendirian.
Anak-anak itu suka berkunjung ke rumah
Risky untuk ikut menikmati barang-barangnya. Tapi kemudian Risky menemukan
bahwa ada barangnya yang jadi kotor, rusak, bahkan hilang. Yang tidak
termaafkan adalah saat ada yang menjatuhkan mainan robotnya. Itu mainan
termahal yang dia punya, bisa menyala dan bersuara oleh tenaga baterai. Tapi
setelah jatuh, robot itu tidak lagi berfungsi. Ia telah mengganti baterainya,
namun robot itu tetap saja diam. Ia memukulkan robot itu kepada anak yang telah
menjatuhkannya. Anak itu pulang sambil menangis, mengadu pada orang tuanya.
Karena pukulan tersebut mengakibatkan lebam, orang tua anak itu pun memberi
tahu orang tua Risky. Malamnya, Risky dihajar Papa.
Risky juga tidak menyukai orang tua anak-anak itu, terutama ibu-ibu mereka yang gemar menyebar rumor yang mungkin saja benar, dan karena itulah Risky tidak menyukainya. Sudah cukup anak-anak itu mengatainya sombong. Ketika mereka menambahinya dengan, "Orang tua kamu mau cerai," yang terdengar dari ibu-ibu mereka, bertambah alasan Risky untuk menolak mereka main ke rumahnya lagi.
Suatu kali, tumben-tumbenan Papa membelikan Risky barang tanpa ia mesti memohon terlebih dahulu. Itu kaset berjudul 15 Lagu Top Hit Koes Plus Bersama The Muppets. Mungkin Papa mengira kaset tersebut kumpulan lagu anak karena sampulnya bergambar boneka-boneka, atau justru karena ada Koes Plus yang merupakan grup musik kesukaannya. Mana pun, yang jelas, baru sebentar memutar kaset itu, Risky segera mengeluarkannya lagi dan mengurai pitanya. Sebab, lagu pertama yang diperdengarkannya begitu sendu seperti yang mengejek, "Hidupku selalu sendiri ...."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar