Rp 14.700
ISSN : 0126-4273
Laporan utama dalam Tempo edisi ini mengenai menteri agama ketika itu, Said Agil Husin Al Munawar, yang memerintahkan penggalian harta di bawah prasasti Batu Tulis, Bogor. Ini mengherankan, sebab sang menteri sebelumnya memiliki reputasi bagus, baik dari segi keilmuan agama maupun karakter. Harusnya menegakkan tauhid, kok malah percaya klenik. Memang niatnya untuk membayar utang negara, tapi sayang harta itu tak ditemukan. Presiden menyangkal sudah kasih izin. Masyarakat Sunda marah karena itu tempat yang sakral bagi mereka. Terkait laporan ini, “Jejak Kerajaan dengan 40 Gajah” menceritakan sejarah prasasti tersebut.
Sisipan “iQra” menyajikan cerita kejatuhan keluarga Soeryadjaya. Untuk menyelamatkan usaha yang satu—Bank Summa, dikorbankan usaha yang lain—Astra. Di balik kisah ini, ada drama kasih sayang seorang ayah kepada putra sulungnya.
“Tanpa Kerut di Atas Kening” (halaman 80-81) melaporkan konser The Cranberries di Tennis Indoor Senayan. Sekitaran waktu ini, lagu “Stars” sering ditayangkan di MTV, dan dirilis dalam album Stars: The Best of 1992-2002, yang sering pula saya putar sembari menyendiri di kamar. Artikel ini juga menyoroti sosok sang vokalis, Dolores O’Riordan, yang rupanya memiliki problem konsumsi minuman keras yang berlebihan, bertolak belakang dengan lagunya sendiri, “Salvation”, yang mengimbau bahwa menenggak minuman beralkohol bukan satu-satunya cara keluar dari persoalan hidup. “Entah kenapa, dunia seperti memaafkannya,” kata penulis artikel ini, membuat saya merenung lagi kenapakah musik tak disukai dalam Islam: Itulah kekuatan musik. Kita memaafkan mereka yang mabuk, ngedrugs, berzina, karena telah memberikan hiburan yang nikmat bagi kita.
“Jangan Kirim Hanya Kata-kata” (halaman 88-89) berisi “sejarah” perkembangan handphone, yang ketika itu baru, atau sudah?, dapat mengirimkan pesan bergambar dan berwarna (foto, animasi, audio) yang disebut dengan MMS (multimedia messaging service) secara terbatas. Di Indonesia, layanan ini baru bisa dinikmati lewat IM3, dengan harga Rp 1.000 sekali kirim, dan hanya pada HP tertentu, seperti Nokia 7650 serta Sony Ericsson T68I dan P800 yang harganya 4-6,3 juta, dengan kapasitas memori terbatas dan resolusi gambar belum prima. Nokia 7650, contohnya, memiliki memori hanya 3,6 MB atau 32 frame foto. Selain itu ada kendala sinyal operator. Untuk mengunduh, sinyal harus stabil, sedangkan kalau sambil naik mobil atau lift bisa putus. Lah, sampai sekarang—dua puluhan tahun kemudian—mau diam saja di kamar pun, sinyal IM3 tetap putus-putus. Belum lagi, pulsa tiba-tiba terpotong 🙃
(Karena ada trouble untuk login ke Wordpress--setelah sebelumnya kudu via Jetpack dulu--untuk seterusnya catatan pembacaan majalah dilanjutkan di blog ini saja. Catatan pembacaan majalah sebelumnya di: https://berjurnalitan.wordpress.com/category/majalah/.)