Selasa, 02 September 2025

Tempo Nomor 26/XXXI/26 Agustus – 1 September 2002

Rp 14.700

ISSN : 0126-4273

Laporan utama dalam Tempo edisi ini mengenai menteri agama ketika itu, Said Agil Husin Al Munawar, yang memerintahkan penggalian harta di bawah prasasti Batu Tulis, Bogor. Ini mengherankan, sebab sang menteri sebelumnya memiliki reputasi bagus, baik dari segi keilmuan agama maupun karakter. Harusnya menegakkan tauhid, kok malah percaya klenik. Memang niatnya untuk membayar utang negara, tapi sayang harta itu tak ditemukan. Presiden menyangkal sudah kasih izin. Masyarakat Sunda marah karena itu tempat yang sakral bagi mereka. Terkait laporan ini, “Jejak Kerajaan dengan 40 Gajah” menceritakan sejarah prasasti tersebut.

Sisipan “iQra” menyajikan cerita kejatuhan keluarga Soeryadjaya. Untuk menyelamatkan usaha yang satu—Bank Summa, dikorbankan usaha yang lain—Astra. Di balik kisah ini, ada drama kasih sayang seorang ayah kepada putra sulungnya.

“Tanpa Kerut di Atas Kening” (halaman 80-81) melaporkan konser The Cranberries di Tennis Indoor Senayan. Sekitaran waktu ini, lagu “Stars” sering ditayangkan di MTV, dan dirilis dalam album Stars: The Best of 1992-2002, yang sering pula saya putar sembari menyendiri di kamar. Artikel ini juga menyoroti sosok sang vokalis, Dolores O’Riordan, yang rupanya memiliki problem konsumsi minuman keras yang berlebihan, bertolak belakang dengan lagunya sendiri, “Salvation”, yang mengimbau bahwa menenggak minuman beralkohol bukan satu-satunya cara keluar dari persoalan hidup. “Entah kenapa, dunia seperti memaafkannya,” kata penulis artikel ini, membuat saya merenung lagi kenapakah musik tak disukai dalam Islam: Itulah kekuatan musik. Kita memaafkan mereka yang mabuk, ngedrugs, berzina, karena telah memberikan hiburan yang nikmat bagi kita.

Jangan Kirim Hanya Kata-kata” (halaman 88-89) berisi “sejarah” perkembangan handphone, yang ketika itu baru, atau sudah?, dapat mengirimkan pesan bergambar dan berwarna (foto, animasi, audio) yang disebut dengan MMS (multimedia messaging service) secara terbatas. Di Indonesia, layanan ini baru bisa dinikmati lewat IM3, dengan harga Rp 1.000 sekali kirim, dan hanya pada HP tertentu, seperti Nokia 7650 serta Sony Ericsson T68I dan P800 yang harganya 4-6,3 juta, dengan kapasitas memori terbatas dan resolusi gambar belum prima. Nokia 7650, contohnya, memiliki memori hanya 3,6 MB atau 32 frame foto. Selain itu ada kendala sinyal operator. Untuk mengunduh, sinyal harus stabil, sedangkan kalau sambil naik mobil atau lift bisa putus. Lah, sampai sekarang—dua puluhan tahun kemudian—mau diam saja di kamar pun, sinyal IM3 tetap putus-putus. Belum lagi, pulsa tiba-tiba terpotong 🙃

(Karena ada trouble untuk login ke Wordpress--setelah sebelumnya kudu via Jetpack dulu--untuk seterusnya catatan pembacaan majalah dilanjutkan di blog ini saja. Catatan pembacaan majalah sebelumnya di: https://berjurnalitan.wordpress.com/category/majalah/.)

Senin, 01 September 2025

Bila Loakan Mengganggu Pasar

Setiap bulan, ratusan kontainer pakaian bekas menyerbu pasar dalam negeri. Sandang murah yang bisa berbuah petaka.

JUMAT siang yang terik di kawasan kaki lima Senen, pekan lalu. Sekelompok remaja tanggung berdesakan di depan sebuah lapak pakaian bekas. Tak peduli sengatan matahari atau keringat yang bercucuran, mereka sibuk mengaduk tumpukan pakaian itu. "Aha, gue dapat!" teriak seorang pemuda. Sepotong kaus baseball bermerek FUBU segera berpindah pemilik hanya dengan beberapa lembar ribuan kumal.

"Kalau enggak dari sini, ya cuma di mimpi gue bisa beli," kata Andri, si pemuda itu, yang berayah seorang sopir. Kaus yang tengah digilai remaja itu dijual di pusat-pusat pertokoan dengan harga Rp 300 ribu-an. Bedanya, barang-barang bermerek itu dijual dalam keadaan wangi dan tentu saja masih baru. Di Senen, meski tidak bau, kaus itu sebenarnya barang bekas.

Keberadaan lapak "seken" (dari kata second) seperti ini mungkin membantu orang seperti Andri mewujudkan impiannya. Tapi, bagi pejabat Departemen Perdagangan, itu bisa membuyarkan tugas mereka mengembangkan industri dalam negeri. Hal ini dikeluhkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Sudar S. A. "Intensitasnya sudah masuk kategori sangat-sangat serius," ujarnya.

Berapa banyak? Menurut catatan Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Lili Asdjudiredja, tak kurang dari 1.500 kontainer sempat masuk ke seluruh wilayah Indonesia dalam kurun tiga bulan. Jumlah ini di luar 40 ribu bal (kira-kira 4.000 ton) per bulan yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Balai--180 kilometer dari Medan. Melalui pelabuhan ini, setiap Senin dan Kamis ribuan bal pakaian diturunkan dari kapal-kapal pengangkut asal Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, bahkan Eropa dan Amerika. Sebelumnya, kapal sudah singgah di Singapura karena sebuah perusahaan di sana akan memilah, menyucihamakan, serta mengepaknya ke dalam jenis-jenis tertentu.

Pakaian yang berkualitas masih bagus tapi harganya sungguh miring itu jelas bukan saingan industri garmen dalam negeri. Karena itulah, Sudar merasa perlu mengirim surat kepada Dirjen Bea Cukai tentang masalah ini. Surat tertanggal 13 Agustus itu menegaskan tentang masih berlakunya larangan impor pakaian bekas di seluruh wilayah Indonesia.

Apa boleh buat, selama ini aturan tersebut seperti macan ompong. Bisnis pakaian impor bekas adalah usaha yang gurih. Demand begitu tinggi. Meski harganya murah, bila kuantitasnya berjibun, ya pedagang untung juga. Inang Situmorang di Monginsidi Plaza, Medan, misalnya, bisa mengantongi Rp 8 juta tiap bulannya, hasil dari penjualan 12 bal pakaian impor bekas. Selain Senen dan Monginsidi Plaza, pasar serupa kini tersebar di berbagai kota: Cimol di Bandung, Helvetia di Medan, Pasar Baru di Karimun, Jalan Veteran di Banjarmasin, Jalan Jeruju di Pontianak, atau gerai-gerai factory outlet di tiap kota yang ternyata lebih tepat disebut second factory outlet.

Dirjen Sudar pantas merasa kesal. Ada sederet aturan yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk menangkal invasi pakaian loak impor. "Semuanya larangan yang tegas dan masih tetap berlaku," katanya. Ada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 229 Tahun 1997, SK Menperindag No. 172 Tahun 2001, dan Surat Direktur Jenderal PLN No. 71 Tahun 2002.

Lalu, mengapa bocor? "Banyak sekali cara memasukkan barang," bisik Usman, pedagang di Karimun. Salah satunya dengan memalsukan dokumen impor. Pemalsuan inilah yang sempat dipersoalkan Lili Asdjudiredja tahun lalu. Saat itu Lili mengaku pihaknya hanya perlu membayar Rp 7,5 juta untuk memperoleh dokumen impor sesuai dengan yang diinginkan. "Bayangkan kerugian negara ketika importir yang seharusnya bayar Rp 100 juta hanya perlu menyuap petugas Rp 7,5 juta per kontainer," katanya. Dirjen Bea Cukai Permana Agung, yang dimintai konfirmasi, belum memberikan jawabannya hingga tulisan ini turun, walaupun kata stafnya surat permintaan wawancara sudah dibacanya. 

Soal ini jelaslah tak bisa didiamkan berlama-lama. Konsumen mungkin senang, pedagang pun pasti untung, tapi kerugian negara akibat bangkrutnya industri garmen dan pemalsuan dokumen impor pasti lebih besar dari kesenangan mereka.

Darmawan Sepriyossa, Bambang Soedjiartono (Medan), dan Rumbadi Dalle (Karimun)



Sumber: Tempo No. 26/XXXI/26 Agustus - 1 September 2002



Jangan Kirim Hanya Kata-kata

Layanan pengiriman pesan multimedia sudah bisa dinikmati di Indonesia. Akan meledak seperti SMS?

KATAKANLAH dengan bunga, kata mereka yang muak dengan kata-kata. Tapi, karena populasi bunga kian terbatas, nasihat sepele ini kerap sulit dijalankan. Agar lebih mudah dan murah, barangkali tips itu harus sedikit diubah: katakanlah dengan gambar, grafik, atau mungkin juga isyarat.

Di dunia yang kebanjiran kata-kata, gambar bisa menjadi oase yang menyehatkan--dan karena itu, lahan bisnis yang menguntungkan. Boleh jadi pemikiran seperti ini pula yang ada di otak para pembuat telepon tanpa kabel alias telepon seluler. Setelah berhasil menciptakan alat yang bisa mentransmisikan suara, tulisan, dan data, kini mereka membuat telepon yang mampu mengirimkan gambar.

Transmisi gambar melalui "telepon angin" memang bukan berita baru, di luar negeri. Tapi di Indonesia layanan ini baru bisa dinikmati sejak dua pekan lalu melalui operator telepon seluler PT Indosat Multimedia Mobile (IM3). Dengan layanan yang disebut pengiriman pesan singkat multimedia alias MMS (multimedia messaging service) ini, pelanggan bisa saling mengirim gambar berwarna, foto, animasi, audio, dan suatu saat nanti mungkin juga gambar bergerak alias video.

Teknologi pengiriman pesan multimedia ini pertama kali digagas dan dirancang oleh komunitas industri seluler generasi ketiga, dua tahun lalu. Untuk pertama kalinya, pabrik pesawat telepon Swedia, Ericsson, memamerkan kecanggihan teknologi ini dalam pameran dagang CeBIT di Hannover, Jerman, Maret tahun lalu.

MMS--barangkali lebih sexy kalau kita sebut "Memes"--merupakan kelanjutan teknologi layanan pengiriman pesan singkat (SMS) dan pesan singkat bergambar (EMS). Dengan cepat, Memes memikat semua "makhluk" penghuni komunitas seluler, mulai dari pabrik pembuat pesawat ponsel, pengelola jaringan (operator), hingga para pelanggan di seluruh dunia.

Asosiasi industri seluler, Global Mobile Suppliers Association, memperkirakan bisnis Memes akan meledak. Dalam dua tahun ke depan, asosiasi itu menaksir akan ada 20 miliar pesan singkat multimedia yang bakal terkirim saban bulan di seluruh jagat. Jika ongkos sekali pengiriman Rp 1.000, akan ada bisnis senilai Rp 240 triliun per tahun. Sebuah taksiran yang amat menggiurkan. Tapi jangan gembira dulu: riset Wireless World Forum (W2F) menunjukkan bahwa bisnis ini hanya menjala Rp 5 triliun per tahun.

Sesungguhnya dasar teknologi Memes tak berbeda dengan SMS. Jika telepon penerima sedang tak aktif atau di luar jangkauan sinyal, pesan akan tetap tersimpan di server operator. Kelebihannya, selain mengirim teks, pemakai bisa menambahkan musik atau gambar. Huruf, ukuran, dan gaya teksnya pun bisa dibuat bervariasi. Bisa pula mengirim tabel, diagram, peta, juga sketsa. Menurut pengamat multimedia Roy Suryo, Memes bisa dikirim ke pesawat seluler yang berbeda merek karena standar teknologinya seragam.

Dengan Memes, seorang wartawan media dotcom yang tengah meliput aksi unjuk rasa, misalnya, bisa memotret dorong-dorongan polisi dan mahasiswa dengan pesawat telepon genggamnya, memberi sedikit teks, lalu langsung mengirimkannya ke kantor redaksi agar bisa segera dimuat di situs internet, dalam hitungan menit. Sangat praktis dan mudah. Ia tak perlu membawa kamera dan mencari koneksi internet.

Nokia 7650
Gambar dari Amazon.co.uk.
Dari sisi teknologi, pesan multimedia tak punya keterbatasan ukuran. Foto digital sebesar apa pun bisa dikirimkan. Yang menjadi kendala justru pesawat teleponnya: kapasitas memorinya terbatas dan resolusi gambarnya juga belum prima. Nokia 7650, misalnya, hanya memiliki memori 3,6 megabyte, ini setara dengan 32 frame foto.

Selain kelemahan pesawat, ada juga kelemahan pada operator. Ketika menerima pesan Memes, sinyal harus stabil. Ini membuat telepon genggam yang mestinya bisa mobile alias bergerak menjadi seperti telepon biasa (fixed telephone). "Kalau sambil naik mobil atau lift," kata Roy, "proses download sering terputus."

Sony Ericsson T68I
Gambar dari Xperia Blog.
Di Indonesia, ada beberapa pesawat telepon angin yang sudah punya layanan pesan multimedia (disebut MMS-enabled). Di luar Nokia 7650 yang sudah disebut, ada pula Sony-Ericsson T68I dan P800. Harganya Rp 4 juta hingga Rp 6,3 juta. Beberapa pabrikan lain seperti Motorola dan Siemens dipastikan segera menyusul sebentar lagi.

Sony Ericsson P800
Gambar dari IMEI24.
Menurut Roy, bisnis Memes mungkin bisa merebak jika banyak operator yang menyediakan layanan multimedia. Ini persis seperti dulu, ketika layanan SMS meledak lantaran bisa dilakukan lintas operator. Agaknya, jalan menuju "dunia tanpa minikata" masih panjang.

Wicaksono



Sumber: Tempo No. 26/XXXI/26 Agustus - 1 September 2002



Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain