Kusadari sudah hingga berjam-jam aku duduk
beberapa meter jauhnya dari pintu rumah kami. Rumah mungil yang menjadi bagian
dari komplek gedung rumah susun ini.
Aku dan abangku adalah anak tanpa
orangtua. Kami lari dan hidup berdua. Bertiga, karena sejak menemukan
kebebsannya, abangku membawa si jalang itu.
Aku tak mau masuk rumah kalau ada
dia. Dia di dalam, entah sedang mengapakan abangku, aku tak mau tahu. Mungkin
dia adalah korban seperti kami. Tapi aku tak mau dia menjadi bagian dari kami.
Membuatku malu saja. Dengan pahit harus kuakui bahwa hanya dia yang mampu
membuat abangku kalem di saat masa labilnya datang.
Masa labil itu selalu datang.
Aku tak tahu ke mana harus pulang
selain ke tempat ini. Namun bahkan tempat ini pun tak terasa seperti rumah. Tak
ada orangtua yang menyambutmu setelah kamu melewati pintu depan, dan bertanya,
“Habis dari mana saja?”
Pun tak ada yang namanya
berlari-larian mengelilingi rumah bersama saudara kandungmu. Memang, aku dan
abangku sudah besar. Tak mungkin melakukan itu lagi. Namun seharusnya kami bisa
melakukan sesuatu yang sama hangatnya dengan itu.
Kini tak pernah. Sejak kelabilan itu
menguasainya. Sejak si jalang itu datang. Aku terlalu muak untuk menceritakan
asal mulanya.
Aku menghela nafas. Sampai kapankah
aku harus terus di sini...? Memeluk kedua lutut dan tak tahu harus melakukan
apa...
Abangku kalau marah buruk sekali.
Buruk. Tak perlu banyak kalimat untuk menggambarkan betapa buruknya itu ketika
terjadi: Seluruh barang di rumah porak poranda.
Tuh dengar. Abangku mulai lagi. Aku
menempelkan sebelah telingaku ke pintu. Terdengar suara teriakan. Barang-barang
dilempar. Ada yang pecah. Si jalang itu memekik. Mungkin dia bingung harus
melakukan apa. Mungkin dia sedang tersengguk-sengguk di pojok ruangan.
Sama sepertiku, tak tahu apa yang
harus dilakukan.
Aku menyandarkan punggungku di pintu dan menerawang ke
langit-langit.
Ah, Abang... Abang... Bikin malu
tetangga saja kau... Tak tahukah kau bahwa kita hidup bersama kumpulan manusia
lainnya di rusun kumuh nan sempit ini.
10 menit... 20... setengah jam... 45
menit...
Aku tak tahan.
Memang kadang-kadang tak terdengar
suara lagi di balik pintu ini. Hening. Namun mesti tak lama kemudian akan
muncul suara-suara terbenturnya benda keras lagi.
Hal ini terjadi minimal dua kali dalam seminggu.
Ada sesuatu yang ingin kulakukan.
Tapi aku tak mau masuk kalau masih ada si jalang itu di dalam sana.
Masuk... Tidak... Masuk... Tidak...
Secepat mungkin aku menarik gagang
pintu, masuk ke dalam. Dari belakang aku menarik kedua lengan abang. Ampun,
tenaganya kuat sekali. Aku nyaris melayang-layang dibuatnya. Kuperkuat
peganganku. Dia memberontak. Aku menoleh pada si jalang yang tengah menangis
ketakutan, memberi isyarat agar dia membantuku melaksanakan rencanaku.
Dengan ragu-ragu dia mendekat...
Dalam waktu beberapa menit kami
telah bahu membahu menyeret lelaki muda ini ke tempat yang telah kurencanakan.
Kamar mandi.
Kepayahan kami dengan pemberontakan
yang dilakukan abang. Dia bau sekali. Bau badan. Bau alkohol. Matanya kuning.
Brewokan. Menyeramkan. Aku akan membuat kami tak usah melihat keseraman itu.
Beberapa bagian tubuhku telah sakit karena terantuk-antuk sikut abang dengan
kekuatan besar di dalamnya. Mungkin si jalang pun merasakan hal yang sama.
Hingga akhirnya kami berhasil
menyentuh ubin dingin kamar mandi.
“Balikkan dia!” seruku pada si
jalang. Si jalang mengeluarkan suara payah yang keheranan. Namun tetap
dilakukannya juga apa yang ku mau. Kami berhasil memasukkan kepala abang ke
dalam bak kamar mandi. Bening dan dingin. Aku menekan kepala abang agar
usahanya untuk keluar dari sergapan air tak berhasil. Tangannya menggapai-gapai
berusaha untuk mencengkeram dan menghajar lawannya. Hanya tanganku saja yang
condong ke depan, menahan kepala abang. Tubuhku kutarik ke belakang. Begitupun
si jalang yang sudah terlebih dulu melakukannya. Dia berdiri ketakutan di
ambang pintu kamar mandi.
Setelah abangku sudah hampir
kehabisan tenaga, aku buru-buru melepaskan tanganku dari kepalanya dan meloncat
ke luar kamar mandi. Tergopoh-gopoh si jalang mengikutiku. Pintu kamar mandi
kubanting dan kukunci dari luar. Kuncinya lalu kumasukkan lagi ke dalam kamar
mandi lewat lubang ventilasi di atas pintu.
Aku dan si jalang terduduk di luar
pintu. Sebagian pantat kami menimpa keset, tak peduli betapa itu adalah benda
kotor menjijikkan.
“Apa yang kita lakukan tadi...?” si
jalang mendesah lemas dan gemetaran.
“Amarah terbuat dari api. Air yang
mampu memadamkannya,” ucapku kalem.
Setelah agak tenang dan sengalku
berkurang, aku menuju ruang tengah. Kuraih telepon. Kutekan nomor kantor
polisi. Aku hendak melapor bahwa telah terjadi usaha bunuh diri di rumahku.
Abangku harus segera diselamatkan. Tapi ia mengunci dirinya di dalam kamar
mandi. Aku tak tahu bagaimana caranya masuk ke sana...
Kucium kening abang yang tengah
tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Perawat telah membersihkan
tubuhnya. Pakaian baunya telah diganti oleh pakaian pasien rumah sakit yang
bersih. Dia tampak damai sekali. Tak ada yang menyangka bahwa wajah ini bisa
menghasilkan seringai beringas dan mulut yang terkatup itu kerap menyemburkan
kata-kata kotor.
Tak lama lagi ia sudah dapat keluar
dari rumah sakit. Sebetulnya aku tak mau hal itu cepat-cepat terjadi. Aku ingin
mereka menemukan bahwa ada yang salah dengan abangku. Entah itu dalam fisiknya,
kejiwaan atau apa. Biar mereka saja yang mengurus abangku. Aku tak mau.
Ketika aku keluar kamar, kulihat si
jalang berdiri di hadapanku. Penampilannya rapi dan kuakui dia tampak cantik.
Dibawakannya seikat bunga.
Kuajak dia pergi dari situ untuk
menuju tempat yang sepi. Dia bertanya-tanya mau dibawa ke mana dirinya. Aku
diam saja. Toh dia akhirnya mengikutiku juga.
“Kamu boleh merawat abangku selama
dia di sini,” kataku ketika kami sudah berdiri saling berhadapan di pinggir
taman yang jarang dilalui orang ini. “Tapi aku nggak mau kamu kembali ke rumah
kami lagi.”
Aku memicingkan mataku, tepat menuju
ke matanya. “Kembalilah kalau kalian sudah punya surat nikah yang sah.”
Dia menatapku lekat-lekat lalu
menunduk sambil tersenyum.
“Semoga abangmu cepat sembuh,”
katanya sebelum aku pergi dari situ. Aku menoleh untuk tersenyum sekilas
padanya sebelum aku meninggalkan tempat itu dan tak menoleh ke belakang lagi.
311208
HABIS KATA #8
Saya baru membuat cerpen ini di hari deadline-nya Rombongan Cerpen 2008 ini.
Cerpen ini selesai dalam waktu yang singkat. Ide cerpen ini sebenarnya memang muncul sejak Agustus 2008 lalu dan yang mendasarinya adalah masih suasana kemarahan yang sedang saya rasakan. Biasalah, kita manusia punya saat-saat senang, sedih, melankolis, dan sebagainya. Begitupun saat-saat marah. Segala hal bersalah dan dapat memicu kemarahan kita. Pada akhirnya ya tersimpan saja dalam dada. Jadi tema utama dari cerita ini adalah ‘amarah’. Bagaimana kita dapat memanusiakan amarah. Saya ngunduh banyak artikel tentang amarah dari google. Hasilnya memang tidak begitu banyak memberikan inspirasi sih. Namun alurnya saat itu sudah ada. Ada adegan apa saja. Tinggal bagaimana saya menuangkannya dalam tulisan. Saya telah membuat berbagai versi dari ide ini (tidak banyak sih, cuman 1–2) dan kesemuanya saya hapus karena saya tidak begitu menyukainya.
Pada bulan Agustus 2008 itu sebetulnya kegiatan belajar mengajar di kampus belumlah efektif. Seharusnya saya bisa menggarap cerita ini di bulan itu juga. Namun entah apa yang saya lakukan hingga suasana marah dalam perasaan saya pun keburu berlalu. Ketika saya ingin membuat/meneruskan cerita ini lagi, feel itu sudah tidak ada. Beberapa kali saya mencoba hingga akhirnya saya memutuskan untuk melupakan saja ide ini. Feel sudah tidak ada, cerita ini pun terasa tidak penting lagi artinya untuk digarap. Berbulan-bulan kemudian, mendekati tenggat waktu di mana Rombongan Cerpen 2008 harus segera dituntaskan, cerpen Agustus masihlah kosong. Cerpen Agustus ini haruslah yang idenya muncul di bulan Agustus 2008. Maka saya buka buku ide saya dan membaca-baca apa yang saya tulis selama bulan Agustus 2008 itu. Sebenarnya saya sudah tahu kalau saya harus kembali pada cerita ini lagi. Tidak ada catatan mengenai alur lengkap cerita ini, padahal sepertinya dulu ada dan selalu saya ulang-ulang dalam kepala. Mungkin ada, tapi saya tidak mencarinya lebih jauh. Sehingga karena kelupaan itu akhirnya begini sajalah yang saya buat. Saya langsung pada apa yang saya ingat dan paling ingin saya tampilkan. Seharusnya cerpen ini memang tidaklah sesingkat ini.
Sebenarnya pula saya masih bingung dengan tokoh-tokohnya, terutama latar belakang mereka. Banyak tokoh suram dalam khayalan saya namun belum saya inventarisasi. Untuk efisiensinya sih ya memang jangan terlalu banyak. Seperlunya saja, tapi karakternya kuat dan konflik yang dialaminya memang ‘dalem’. (12/31/2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar