Aku
sadar aku tengah bermimpi. Aku terlelap sekitar beberapa jam yang lalu. Aku
menjatuhkan diriku ke kasur karena aku tidak tahu lagi apa yang bisa kulakukan.
Apa yang bisa kulakukan di tengah kenelangsaanku yang mendalam. Kenelangsaan
mendalam yang aku tak tahu apa sebabnya hingga ia selalu datang membungkusku
dari waktu ke waktu. Maka pencahayaan kamar pun ku temaramkan. Dalam beberapa
menit sampailah aku di suatu tempat. Aku menunggu di situ dalam kegelapan dan
keterlelapan.
Tiba-tiba
menjadi teranglah apa yang ada di sekitarku, hingga aku bisa melihat kekosongan
yang putih. Aku duduk di bangku dengan posisi melamun. Ada pintu terbuka
beberapa jauhnya di sampingku. Angka 18 terbuat dari emas berkilauan menempel
di pintu itu. Di atas pintu itu ada jam menggantung menunjukkan pukul 00 tepat.
Seseorang di samping pintu itu membuka tangannya, seakan dia adalah seorang
pramugara yang mempersilahkanku masuk ke dalam pesawat.
Aku
terharu. Dia Mas Akbar. Akhirnya masuk juga ke dalam mimpi lelapku setelah
sekian lama aku hanya dapat memimpikannya kala sadar. Orang yang ketika aku
ingin berada dalam lengkungan lengannya, ketika aku menginginkannya beserta
segala pesonanya, ketika aku membutuhkannya untuk memelukku kala tengah sendu
di lengat malam, memilikinya di setiap waktu, satu-satunya yang harus aku
lakukan adalah bermimpi1. Dan dia tersenyum kepadaku dengan senyum
khasnya yang menghangatkan.
“Selamat
datang di Pintu 18,” suara lembutnya membuatku tersenyum terpesona.
Untuk
beberapa lama aku hanya terpana memandang wajah ramah itu sampai ekspresinya
berubah menjadi isyarat ‘ngapain-diem-aja-ayo-masuk-cepetan’.
Aku
bangkit pelan-pelan. Menunduk malu dan muram. Kedua tanganku jatuh saling
menempel di depan. Mas Akbar tersenyum lagi sembari menggiringku masuk ke dunia
di balik pintu. Aku menatapnya lekat-lekat sok takut.
“Mas
Akbar, ini pintu ke mana?” tanyaku.
“Ini
pintu ke Dunia 18...”
“Hah?”
“Dan
saya bukan Mas Akbar. Saya hanya proyeksi dari imaji terpendam dalam alam bawah
sadar kamu.”
Setelah aku dapat mencerna makna di balik penjelasannya itu aku bersyukur bentuk yang muncul adalah bentuk Mas Akbar. Bukan bentuk dari makhluk lainnya yang imajinya terpendam dalam alam bawah sadarku yang tidak aku inginkan muncul. Tapi karena dia berwujud dan bersuara seperti Mas Akbar aku tetap merasa dia memang Mas Akbar. Oh, anggaplah ini kencan kami berdua mengarungi Dunia 18... entah dunia macam apa itu nanti yang akan kami temui...
Pintu di belakang kami tertutup. Suaranya bedebam menolehkan kepalaku ke arah situ dan ketika aku menoleh ke depan lagi...
Di depan kami adalah pintu masuk ke XXI, dengan karpet merahnya, lampu-lampunya yang putih, mesin-mesin permainan dengan koin yang berjajar menempel di dinding di samping kanan, loket-loket pemesanan tiket di sebelah kiri, stan pembelian macam-macam snack, minuman, softdrink, pop corn tepat di hadapan kami...Dan tempat ini kosong. Mungkinkah sengaja di-set hanya untuk kami berdua?
Oh, apakah ini adalah mimpi kencan? Ingin sekali aku memeluk lengan Mas Akbar namun ketika aku hendak melakukannya dia sudah berjalan ke depan sehingga aku hanya menangkap udara kosong. Meski tidak ada seorangpun akan tetapi aku segera memasang posisi jaim.
Mas Akbar sedang melihat-lihat poster film yang terpampang di sepanjang lorong di ujung kiri. Lorong di mana kanan kirinya juga terdapat pintu-pintu untuk masuk ke dalam studio.
“Mas, kita mau nonton apa?” Senangnya aku mengucapkan ini. Aku berharap kalimat ini akan aku ucapkan lagi nanti, beberapa puluh—mungkin ratus—kali lagi, di dunia nyata. Amin.
Ia
menunjuk bagian bawah poster film yang sedang ditontonnya. Ada tulisan ‘untuk
18 tahun ke atas’.
Perutku
bergolak. Apakah dia ingin nonton film ini bersamaku? Film untuk 18 tahun ke
atas kan biasanya film-film... Aku tidak tahu kalau seleranya yang seperti itu.
Kukira dia pria baik-baik yang kalaupun pergi ke biskop hanya untuk nonton film
kolosal atau kartun Disney atau Pixar yang lagi booming.
“Mas mau nonton film ini?” tanyaku berbasa-basi namun aku tidak bisa menyembunyikan perasaan ngeriku. Pasti dia bisa melihatnya... aduh...
Dia menatapku heran sehingga aku menjadi malu dibuatnya. Dia menggeleng.
“Nggak...,” katanya, lalu seperti tercenung. “’Untuk 18 tahun ke atas’ ini... apa artinya ya?”
“Itu artinya, yang nonton harus berusia 18 tahun ke atas,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan keherananku kenapa ia menanyakan hal yang sudah ‘cukup jelas’ seperti itu.
“Apa mereka berusia 18 tahun?” kepalanya menoleh ke arah beberapa anak SMA yang sedang menuju ke salah satu pintu studio sambil bergurau ramai. Heh, kenapa tiba-tiba tempat ini jadi banyak orangnya ya? Pasangan-pasangan yang menunggu film main sambil menyender di dinding dan mojok di mana-mana, para penjaga stan yang sedang mengambil uang kembalian dan melayani pembeli, orang-orang yang sedang memilih-milih hendak beli cemilan apa, loket yang penuh dengan antrian, bunyi gaduh mesin-mesin permainan... Aku mengangkat bahu. Ini kan mimpi. Apapun bisa terjadi.
“Mungkin mereka menonton film lain?”
“Lalu apa artinya ’18 tahun’ dalam ‘untuk 18 tahun ke atas’?”
“Mungkin seharusnya setiap orang menunjukkan kartu pelajar atau KTP pas pembelian tiket?” Aku menggaruk leherku, menjawab seadanya. Aku tahu Mas Akbar ini orang hebat di kampus. Pernah jadi ketua di macam-macam organisasi, sering diundang jadi pembicara di berbagai forum, dan semacamnya. Berdebat pasti sudah jadi makanan sehari-harinya. Tapi aku bukan orang yang bisa seperti itu, kapanpun di sepanjang hidupku.
Lepas dari mengamati tulisan ‘untuk 18 tahun ke atas’ dalam poster, Mas Akbar berjalan memasuki lorong yang... seharusnya tadi ada pintu-pintu masuk ke dalam studio dan poster dinding terpajang di kanan kiri, tapi kini yang ada hanya jeruji dan jeruji. Kami seperti memasuki lorong sebuah penjara. Keramaian pun lenyap tanpa kusadari. Lampu di langit-langit yang asalnya putih terang menjadi agak temaram. Aku mengikuti Mas Akbar masuk ke dalam lorong yang ujungnya menjadi tidak kelihatan ini. Padahal tadi ujung lorong ini adalah dinding dengan petunjuk arah menuju ke toilet...
Mas Akbar menoleh ke jeruji di kirinya. Aku mengikuti lalu berjengit. Mas Akbar bertanya, “kenapa?” melihat sikapku itu. Ia tertawa setelah aku bilang padanya bahwa aku mengira sosok itu adalah Sadako. Aku tidak suka mimpi buruk! Aku sudah membayangkan si Sadako akan merayap keluar menerobos celah-celah jeruji namun ternyata sosok itu diam saja. Dia berambut panjang dan merunduk hingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Dari potongan tubuhnya kukira dia seorang perempuan.
“Kamu tahu Yim Pek Ha?” tanya Mas Akbar lagi. Aku menggeleng.
“Siapa dia, Mas?”
“Kamu tahu Nirmala Bonat?”
“Mmm.. Pernah dengar...” Rasanya gengsi sekali aku kalau tidak bisa menjawab. Mas Akbar ini bertanya terus dari tadi, seolah hendak menguji wawasanku. Baiklah, aku tahu dia pintar. Sebentar lagi mau skripsi padahal masa kuliahnya belum genap 4 tahun. “Dia TKW Indonesia yang disiksa majikannya itu bukan?”
Mas
Akbar mengangguk. “Yim Pek Ha itu nama majikannya Nirmala. Dia dihukum 18 tahun
karena perbuatannya itu. 18 tahun... Lama ya? Apa saja ya yang bisa dilakukan
selama 18 tahun itu?”
“Jadi
dia Yim Pek Ha?” Aku menunjuk perempuan di balik jeruji. Jadi Yim Pek Ha itu
nama perempuan?2
Mas
Akbar tidak menjawab. Ia berjalan sebentar lalu menoleh ke jeruji selanjutnya
di sebelah kanannya. Aku berlari-lari kecil untuk menyusulnya. Di balik jeruji
ini juga terdapat seseorang yang sedang merunduk sehingga aku tidak bisa
melihat wajahnya . Namun aku yakin kali ini jenis kelaminnya pria. Dia
berjenggot soalnya. Dia sedang memutar-mutar butiran kalung tasbih.
“Ingat
pelaku peledakan bom Poso Mei 2005 kemarin?”
Aku
menggeleng. Boro-boro ingat. Aku jarang up
to date dalam mengikuti berita. Tak ada gunanya berbohong. Mas Akbar,
mungkin aku terlalu payah untuk jadi istrimu... Aku menyerah...
“Syaiful
Anam alias Brekele divonis penjara 18 tahun karena perbuatannya itu. Tapi dia
bilang, dihukum mati pun tidak apa-apa, sebab itu konsekuensi jihad yang dia
lakukan.3” Suara lembut Mas Akbar masuk ke lubang telingaku dan
keluar lagi lewat lubang telinga satunya. 18 tahun, ya, ya... Apakah cukup
bagiku waktu selama itu untuk memproses diriku menjadi seseorang yang layak
untuk jadi istri Mas Akbar? Tidak, tidak, itu kelamaan. Mestilah saat itu tiba
aku sudah jadi perawan tua. Malah seharusnya aku sudah punya beberapa anak?
Butuh waktu yang lebih singkat dari 18 tahun untuk memproses diriku sendiri
menjadi orang yang lebih baik. Sepertiga dari waktu itu barangkali. Aku
mengangguk-angguk sendiri. Mas Akbar keheranan melihatku. Tuh, lihat,
ekspresinya itu... Katakan saja kalau kamu Mas Akbar yang asli, wahai, imaji
terpendam dalam alam bawah sadarku! Aku menggeleng sambil tersenyum,
mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja, hanya melamun.
“Kita
lanjut ya?”
Sepertinya
lamunanku tadi telah membuatku melewati beberapa jeruji dengan terpidana-nggak-jelas
di dalamnya, dan tentu saja, suara lembut Mas Akbar yang memberi penjelasan
entah apa.
Dalam
jeruji selanjutnya, aku menemukan seorang pemuda yang sepertinya sebaya
denganku. Memang aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia merunduk juga
(sepertinya tidak ada yang tidak merunduk di balik setiap jeruji dalam mimpiku
ini), tapi aku bisa berpendapat demikian karena mengamati perawakannya. Betis
kanannya dibebat kain pembalut.
“Sehari-hari
dia bekerja di salon. Namun pada suatu waktu dia pergi menjambret bersama
teman-temannya. Teman-temannya berhasil kabur, tapi dia tertangkap. Betis
kanannya ditembak polisi waktu dia mau kabur. Usianya masih 18 tahun loh.4”
“Memangnya
kenapa kalau masih 18 tahun? Anak kecil aja banyak yang udah jadi pencopet,”
kataku yang seharusnya kusimpan saja dalam hati tapi malah menyembul ke
permukaan. Mas Akbar lagi-lagi hanya tersenyum mendengar perkataanku itu.
Perasaan senang karena melihat senyum itu merambat dalam hatiku.
Pada
jeruji berikutnya, aku menemukan dua orang pemuda di baliknya melempar
pandangan tidak bersahabat kepada kami. Paras mereka seperti orang keturunan
India atau semacamnya.
“Mereka
dipenjara karena ketahuan membobol komputer sekolah. Nilai tes F diganti jadi
A.”
“Oh,
aku mengerti mengapa mereka melakukan itu, tapi orang pintar macam kamu tidak
akan mungkin mengalaminya, Mas,” batinku lalu geli sendiri.
“Dia
menerobos masuk ke sekolah tengah malam dengan kunci curian, juga mengganti
nilai dari 12 siswa lainnya, dan menginstal spyware pada hard drive
sekolah yang memungkinnya untuk mengakses komputer dari jarak jauh. Hukumannya
bisa sampai 4 dekade penjara. Teman yang di sebelahnya itu cuman membantu.
Hukumannya mungkin cuman 3 tahun penjara.5”
Wuaw,
canggih... Tapi mana yang pelakunya mana yang temannya?
“Coba
aku tebak. Usia mereka masih 18 tahun juga kan?”
Ini
kan Dunia 18, katanya, mungkin semua orang yang ada di sini berusia 18 tahun,
dugaku asal. Kecuali dua orang pertama yang kutemui dalam jeruj tadi, mereka
terlihat—atau mungkin lebih tepatnya, terasa—lebih tua...
Aku
tidak bisa melihat bagaimana respon Mas Akbar. Dia sedang membuka pintu di
depannya (tiba-tiba ada pintu!) dan keluarlah kami dari lorong ‘penjara’ yang
sunyi dan temaram. Udara malam yang dingin menyambut kami. Pakaian kami
bergerak-gerak dibuatnya. Aku yang hanya memakai kaos dan celana training—pakaian khas tidur banget
deh—melipat lengan di depan dada.
“Ke
mana kita Mas?”
“Jalan-jalan.”
Masih
ia berada di depan. Kami sedang menyusuri tepi jalan yang sepi. Hanya beberapa
kendaraan yang melintas. Pepohonan di kanan kiri seakan hendak meraup kami.
Terlihat cercah-cercah cahaya lelampu rumah mengintip dari rimbun daun. Dan
sosok putih mulus tinggi menjulang... Bukan main kagetnya aku. Sempat kukira
itu kuntilanak jangkung bermuka rata.
“Eucalyptus sp. Butuh 18 tahun agar spesies ini sampai pada tingkatan yang terunggul. Cantik ya batangnya? Bagus loh untuk pulp,” jelas Mas Akbar seolah dapat membaca pikiranku. Mas Akbar lalu bercerita panjang lebar mengenai pohon ini. Oleh pengelola kebun benih, biji pohon ini dari beberapa negara seperti Australia, Selandia Baru, dan Finlandia, juga beberapa tempat di Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, Papua...6, dikumpulkan untuk kemudian dilakukan beberapa pengujian terhadapnya sehingga pada akhirnya dihasilkanlah bibit yang berkualitas. Secara garis besar seperti itulah. Sungguh mimpi yang edukatif! Coba kalau setiap malam mimpiku sebagai begini terus, bisa-bisa jadi pintar aku!
Oh, jadinya betapa ingin aku agar bisa berjalan merapat di samping Mas Akbar. Tapi karena aku menganggapnya sebagai Mas Akbar yang asli, yang sepertinya akan sungkan kalau aku berlaku demikian—kecuali kalau aku memang istrinya, haaah..., maka aku pun jadi urung.
“Pernah dengar isu tentang rencana pemerintah untuk mengadakan wamil bagi pemuda berusia 18 tahun ke atas7?”
“Hah, yang bener?” Kalau semua pemuda berusia 18 tahun ke atas kena wamil, bagaimana kami, kaum remaja putri, bisa ngeceng? Daun muda? Yaik.
“Ya, tapi itu hanya yang untuk sudah memiliki pekerjaan tetap.”
“Ooh...” Aku jadi agak lega. Mas Akbar kan masih mahasiswa. Kiranya belum memiliki pekerjaan tetap. Kalau begitu kemungkinan ia tidak akan kena wamil dan aku masih bisa cukup sering melihatnya dan mengecenginya! Haha... Tapi sepertinya isu wamil itu hanyalah isu belaka. Sampai saat ini aku belum pernah tahu akan realisasinya. Atau itu hanya karena aku saja yang jarang baca koran?
“Usia
18 tahun juga seharusnya sudah boleh bekerja,” Mas Akbar akhirnya bersuara lagi
setelah beberapa lama kami berjalan dalam kesunyian.
“Di
negara kita kan emang banyak anak di bawah umur yang udah bekerja.”
“Tapi
menurut undang-undang, 21 tahun.”
“Oh
ya?”
“Iya,
tapi itu untuk yang mau bekerja di luar negeri. Ada di UU nomor 39 tahunn 2004
tentang Tenaga Kerja.8”
Aku
tak heran kalau dia tahu.
“Kalau
di luar negri, malah katanya anak usia 18 tahun harus udah keluar dari rumah
orangtuanya. Mandiri. Ngontrak rumah sendiri, cari duit sendiri...”
Mas
Akbar hanya bergumam lalu berbelok kiri, memasuki halaman sebuah rumah. Tidak
terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Halaman rumah itu nyaris penuh
dikerumuni tanaman (kalau siang pasti tampak asri) kecuali pada jalan setapak
menuju pintu depan rumah. Aku berdiri di ujung jalan setapak itu. Aku tidak
tahu itu rumah siapa sehingga enak saja aku boleh memasukinya. Apakah itu rumah
Mas Akbar? Lalu setelah dia masuk, aku ditinggalkan begitu saja di sini,
begitu? Teganya Mas Akbar dalam mimpiku... Aku berharap dia tidak akan
melakukan hal yang sama di dunia nyata. Oh yeah, takkan pernah meskipun kami
diberi jatah hidup 1000 tahun.
Mas
Akbar memutar pegangan pintu yang ternyata tidak dikunci. Tatapan herannya yang
memesona mendarat ke arahku. “Kenapa nggak masuk?”
“Masuk?
Ke rumah Mas?”
Ya,
aku tahu Mas Akbar memang sejatinya adalah orang baik. Tapi apa dia sudah
bilang orang rumahnya kalau dia akan membawa pulang seorang gadis yang bukan
siapa-siapanya masuk ke dalam rumah? Atau dia tinggal sendirian di dalam rumah
itu? Lalu apa kata tetangga? Jangan-jangan mereka sebenarnya tengah mengintip
dari celah gorden?
Aku
tidak bisa menepis persangkaan burukku bahwa jangan-jangan Mas Akbar telah
merencanakan sesuatu... padaku... Haaah... ngeri... Hanya berduaan di dalam
rumah....
Aku
malah berbalik dan meneruskan jalan ke arah kami jalan tadi sebelum Mas Akbar
belok kiri. Entah ke mana aku berjalan. Ini kan hanya mimpi. Tidak akan terjadi
sesuatu yang buruk padaku. Lalu kenapa aku tidak menuruti saja ajakan Mas Akbar
masuk ke dalam rumahnya? Jujur aku takut mimpi ini malah jadi mimpi basah,
haha. Aku serius. Aku pernah memimpikan ini sebelumnya, berjalan tak tahu arah
di tengah gelap malam maksudnya, dan aku tidak terbangun dengan nafas tersengal
karena telah menghadapi sesuatu yang menakutkan. Aku malah nyasar ke masjid.
Kali ini aku kira aku akan berada di setting
yang sama dengan mimpiku yang dulu itu.
Sepertinya
Mas Akbar mengikutiku. Bisa kudengar alas sandalnya beradu dengan aspal. Hya...
aku tidak pernah membayangkan untuk malah kabur ketika lelaki yang kupuja-puji
mengejarku. Habis dia seperti garong sih... Aku mempercepat langkahku. Keringat
dingin memburuku. Huh, ini bukan mimpi buruk kan? Semakin cepat langkahku,
semakin cepat langkah itu mengikutiku, dan semakin menusuk bau wewangian itu
masuk ke dua lubang hidungku. Wangi parfum yang menyengat sekali. Tanpa sempat
berpikir wangi apa itu dan mengasosiasikannya dengan sesuatu yang menyeramkan,
aku malah berlari kencang-kencang ke arahnya dan menubruk seseorang. Keras,
tentu saja.
Aku
masih terbungkuk-bungkuk sementara orang yang kutabrak itu melipat tangannya
dan misuh-misuh. Setidaknya dia tidak harus ikutan terjatuh karena telah
kutubruk. Dari suaranya, jelas dia seorang perempuan. Diperjelas lagi dengan
bentuk tubuhnya itu, yang dibalut oleh kaos dan celana jeans ketat. Aku heran
bagaimana ia bisa mendapatkan nafas untuk mengucapkan serentetan gerutuan
dengan pakaian seketat itu membungkus tubuhnya.
“Maaf...
maaf Mbak...,” ujarku masih tersengal-sengal. Dari kejauhan kulihat Mas Akbar
sepertinya masih gigih mengejarku. Ketika kepalanya sedang melihat ke arah
lain, aku cepat-cepat bersembunyi ke balik semak-semak di pinggir jalan itu.
Hh... semoga Mas Akbar tidak menemukanku... Aku sendiri jadi heran kenapa aku
harus lari dari orang itu. Orang yang di dunia nyata begitu berkharisma dan
baik hati, kenapa dalam mimpiku jadi seperti om-om senang begitu?
Tak
bisa melihat Mas Akbar dengan jelas, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.
Ternyata perempuan yang kutabrak tadi tidaklah sendiri. Ada beberapa perempuan
dengan gaya pakaian dan dandanan serupa. Mereka tampak bercakap-cakap satu sama
lain. Sesekali satu-dua dari mereka melambai-lambaikan lengannya ke arah jalan,
seakan hendak menyetop angkot. Tapi bukan itu maksud mereka. Aku baru sadar,
jangan-jangan mereka...
“Hei,
kamu kenapa sih ngumpet begitu?” Sebagian tubuh perempuan yang kutabrak tadi
muncul di balik semak-semak. Lalu muncul seluruhnya. Aku jongkok mundur tapi
bukan karena aku ketakutan.
Aku
malah menyeringai. “Gi sembunyi aja,” kataku. “Oh ya, yang tadi sekali lagi
maaf ya, Mbak...”
Tak
kusangka dia malah tersenyum. Dia sepertinya orang baik.
“Gak
apa-apa. Tapi kenapa sih kamu tadi lari-lari begitu? Seperti sedang
dikejar-kejar sesuatu? Lagipula malam-malam begini, jarang-jarang ada anak
perempuan masih keluyuran.”
Lah,
kamu? Batinku.
“Ada
yang lagi ngejar aku,” ujarku tanpa maksud memberi kesan bahwa aku seorang
cewek primadona yang jadi incaran banyak cowok, dikejar-kejar selalu,
dimanapun, kapanpun, bahkan di tengah malam sekalipun.
“Lalu
rumahmu di mana? Perlu kuantarkan pulang?”
“Haah... nggak usah...” Aku mengernyit.
“Aku bahkan nggak tahu rumahku di mana,” sambungku lirih dengan penekanan bahwa hal yang kualami memang adalah anomali, jadi dia seharusnya tidak usah merisaukan aku, tapi rupanya dia tidak mengerti.
“Kasian kamu. Mmm... Gimana kalau untuk sementara kamu ikut aku aja?”
“Ke mana?” ulangku tanpa bermaksud benar-benar tahu, melainkan hanya ekspresi kekagetanku saja.
“Nanti aku bilangin sama Mamih. Dia pasti welcome sama anak baru. Tapi ya syaratnya... kamu harus kerja kayak..kami ini—aku dan teman-temanku...”
Aku sudah mengerti sejak awal maksudnya ke mana... Ya ampun, bertubi-tubi tragedi menimpaku malam ini. Untungnya hanya di dalam mimpi. Tapi sungguh mimpi yang aneh!
“Yang bener aja? Aku masih di bawah umur!” Aku ingat perkataan Mas Akbar tadi tentang undang-undang pemerintah yang baru mengizinkan anak usia 21 tahun untuk dapat bekerja... di luar negeri. Tapi aku ngomong begitu bukannya aku mau. Hiiih... Mengerikan! Lebih baik nyasar di sarang PSK atau terjerat di rumah om-om senang? Aku lebih memilih mendekam di balik semak-semak ini sampai saatnya aku bangun nanti.
Perempuan itu malah tertawa. “Di bawah umur? Hahahhaa... Kamu nggak tahu, teman-temanku yang lain, kesayangan si Mamih yang belum boleh turun langsung ke lapangan itu (aku mengernyit lagi), usianya masih 14-16an tahun loh. Aku sendiri, usiaku masih 18! Hahaha... Kamu lucu deh? Berapa emangnya usiamu? Aku yakin kamu udah cukup umur...”
“Tiidaaak...” gumamku nestapa. Perempuan itu menoleh ke arah jalan.
“Oh, si Cheryl udah dapet gaetan rupanya,” katanya. “Hebat banget dia, ini bakal jadi yang kelimapuluh dalam sepanjang karirnya9.”
Aku sangat tidak berminat untuk dapat mengerti apa arti perkataannya itu namun tak urung juga aku ikut mengintip dari balik celah-celah semak. Mas Akbar! Tuh kan, benar, ternyata di balik sosok mahasiswa kharismatiknya itu, dia ternyata seorang om senang! Yeah, setidaknya dalam mimpiku... Aku tidak berharap demikian di dunia nyata, tentu saja.
Aku dengar suara lembutnya itu mengalun, menerangkan ciri-ciri fisikku pada si Cheryl itu. Dia bukannya mau mengajak salah seorang PSK itu jalan melainkan mencariku! Aku tak sempat memutuskan apakah seharusnya aku terenyuh atau tidak. Si Cheryl menunjuk semak-semak tempatku bersembunyi. Keberadaan perempuan yang kutabrak tadi, yang mematung tepat di muka semak-semak, malah semakin mempertegas bahwa ada makhluk di balik semak-semak itu...
“Lima ratus ribu aja10, Mas...” Si Cheryl masih saja mendesah sementara aku dan Mas Akbar berjalan menjauhinya dan komplotannya itu.
Ya, di sinilah aku. Aku berjalan di samping Mas Akbar lagi. Mas Akbar sekali-sekali menengok ke arahku, memastikan agar aku tidak kabur lagi. Ia berhasil membujukku untuk mengikutinya lagi. Ia meyakinkanku bahwa ini adalah mimpi yang aman. Tidak akan ada pelanggaran norma dan benda vulgar. Mulanya ia bertanya kenapa aku lari. Aku tidak bisa menjelaskannya. Karena itulah aku menurut saja dengan bujukan itu. Aku tak sanggup beradu mulut dengannya, mengeluarkan argumen kenapa aku tak harus ikut dengannya. Jadi aku hanya berharap semoga diriku yang dunia mimpi ini memiliki kemampuan bela diri sekiranya nanti akan terjadi apa-apa. Hiii....
Sampailah kami di rumah itu kembali. Dia mempersilahkanku untuk jalan duluan melalui jalan setapak itu. Pasti ini untuk mencegah supaya aku tidak kabur lagi. Rumah itu gelap sekali, seperti rumah hantu. Aku agak cemas selama berjalan di depan itu. Takut tahu-tahu muncul jelmaan apa... Huuu.... Sampai di depan pintu aku menyuruh Mas Akbar saja yang masuk duluan. Aku bertanya padanya apakah aku boleh memegang ujung jaketnya sebab aku ini agak penakut. Dia mengiyakan tapi aku tahu kalau di dalam dunia nyata mungkin dia akan mencari alternatif yang lebih baik agar aku tidak usah berbuat demikian.
Bagian dalam rumah itu... Benar-benar seperti rumah.... Ya, sofa, lemari, meja, dan perabotan-perabotan lainnya. Barang-barang berjejalan di mana-mana. Ini seperti rumah milik keluarga yang tidak ada satupun mereka punya anggota yang cakap membersihkan rumah, apalagi merapikan rumah, yah, seperti aku. Maka aku yakin ini tidaklah mungkin rumah Mas Akbar. Mas Akbar yang biasanya datang dengan rambut rapi tersisir, pakaian tanpa sehelai benang pun mencuat, semacam itulah. Atau jangan-jangan dia berpenampilan seperti itu hanya kalau hendak bertemu orang saja?
Ada cahaya datang dari arah ruang tengah. Ke sanalah kami menuju. Cahaya itu berasal dari monitor komputer. Seorang pemuda tengah berkutat dengan komputer itu. Dia sama sekali tidak terusik dengan kedatangan kami.
“Itu adiknya Mas?” Pertanyaan bodoh tanpa dapat kurem keluar dari mulutku. Mana mungkin Mas Akbar punya adik bule? Bodoh! Paling tidak... mungkin itu adik angkatnya??
“Bukan.” Tuh, kan. Sanggah Mas Akbar namun tetap lembut. “Dia itu...”
“Apa, Mas?”
“Dia baru bebas dari ancaman hukuman penjara 5 tahun.”
“Kenapa?”
“Dia membobol 1,3 juta komputer, menyusup ke dalam komputer itu, mencuri data kartu kredit pemiliknya, dan mengakses layanan penjualan online. Kerugiannya sampai 20 juta AS. Tapi dia bebas karena dia ternyata mengidap sindrom Asperger, semacam autisme begitu.11”
“Wow, hebat.” Aku rasa aku bisa sedikit memahami anak itu. Aku pernah baca novel ‘Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran’, yang warna cover-nya pink mencolok itu loh. Ceritanya mengenai anak pengidap sindrom Asperger yang menyelidiki kematian anjing tetangganya.
Tapi bagaimana aku tahu dia mengatakan hal yang sebenarnya atau tidak? Sebenarnya aku sudah tidak peduli lagi mendengar penjelasannya. Aku merasa letih karena lari-lari tadi. Rasanya aku pingin ambruk saja ke salah satu sofa dan terlelap di sana. Tapi bagaimana bisa aku melakukan itu? Tidur di dalam tidurku? Jangan-jangan nanti aku bakal bermimpi aneh-aneh pula dalam mimpi anehku ini.
“Coba kutebak, usianya masih 18 tahun kan?”
Dari ekspresinya aku tahu bahwa dia mengiyakan, juga bertanya, bagaimana aku tahu.
“Dunia 18, Mas, tahulah... Coba tebak, PSK yang aku temui tadi usianya 18 tahun loh...” Setengah berbisik aku mengucapkannya, sok main rahasia-rahasiaan. Dia tersenyum. Anehnya, aku masih bisa merasa bahagia karena melihat senyum itu. Oh jelaslah itu bukan senyum seorang om senang!
Aneh pula bahwa aku merasa letih dalam mimpiku ini. Jadi aku duduk saja di sofa panjang nan empuk di sampingku ini. Hm, nyaman sekali... Aku merasakan tekanan di sampingku. Oh, rupanya Mas Akbar ikut duduk di sofa ini. Tapi jarak kami tidak terlalu dekat karena kami duduk di masing-masing ujung sofa. Mas Akbar menyalakan televisi di hadapan kami. Ruangan kini menjadi berkedap-kedip karena pancaran gambar dari televisi. Mas Akbar memindah-mindah saluran dengan remot. Salurannya banyak sekali. Langganan Indovision12 ya? Mas, maukah kamu stay di saluran HBO, HBO Signature, Star Movies, atau Cinemax? Biasanya suka ada film-film rame di sana...
Tapi aku tidak mengatakan itu. Aku biarkan saja Mas Akbar memindah-mindah saluran. Memangnya ini rumah siapa, aku berhak ikutan mengganti saluran? Tapi memangnya ini sungguh rumah Mas Akbar? Ah, buat apa kupusingkan!? Toh, ini hanya mimpi! Memangnya rumah Mas Akbar di dunia nyata pun keadaannya seperti ini? Rasanya tidak mungkin.
Klik.
Magnus Carlsen, Grandmaster catur nomor dua dunia dari Norwegia, kini berusia 18 tahun, 30 November lalu. Turnamen catur pertama kali ia ikuti pada usia 8 tahun.13
Klik.
Gelandang muda Franco Zuculini, 18 tahun, menolak tawaran Juventus untuk bergabung dalam klub tersebut, dan memilih untuk tetap di klub asalnya, Racing Club. Kabarnya Napoli, Udinese, dan Liverpool juga mengincar bocah Argentina tersebut.14 Apa klub sepakbola favoritmu Mas Akbar? AC Milan. Kalau kamu? Aku? Aku tidak habis pikir apa menariknya sih nontonin bola yang ditendang-tendang, diperebutkan oleh hampir 2 lusin orang, dan ujung-ujungnya bisa menimbulkan kericuhan belaka?
Klik.
Liputan basi mengenai Miss Teen USA 2006. Pemenangnya adalah Katie Blair, 18 tahun, untuk kategori pakaian renang, gaun malam, dan interview. Ia berhak mendapatkan beasiswa New York School of Film and Television, tinggal selama setahun di Trump Tower, pakaian dan mahkota Mikimoto.15 Wuauw.
Klik.
Konser Dhani-Mulan hanya boleh dimasuki oleh yang sudah berusia 18 tahun ke atas.16 Hei, Mas, kok nyasar ke infotainment sih?
“Ahahaha... Jangan-jangan konsernya vulgar lagi?” sahutku sebal. Bikin sensasi apalagi mereka itu? Haus sekali akan sensasi.
“Hm. Iyaya, seperti kalau kita lagi browsing di internet, lalu menemukan situs yang hanya boleh dimasuki yang berusia 18 tahun ke atas?”
“Ya. Aku suka ngeri kalau sampai masuk ke situs kek gitu. Bahkan kadang saat link-nya di google pun dia berada di halaman pertama. Tempat teratas....” Kedua tanganku kupakai untuk menekankan perkataanku ini.
“Tapi situs untuk 18 tahun ke atas itu nggak selalu situs yang begituan.”
“Ah... Aku inget! Ada juga situs rokok gitu kan? Dulu aku suka malsuin usiaku untuk masuk sana. Abis aku pingin nyobain chat room-nya sih, hahah...”
Dia hanya tersenyum. Mungkin memaklumi kalau aku masih bandel, hehe.
Dia beranjak dari sofa. “Ikut yuk,” katanya. Aku benar-benar mengikutinya. Kurasa letihku sudah sirna diserap nyamannya sofa. Mas Akbar berjalan ke belakang rumah. Kami melewati sebuah kamar, dengan pintu setengah terbuka dan cahaya terang berpijar dari dalamnya. Kulihat lagi-lagi seorang bule tampak sedang mengutak-atik sesuatu. Entah apa. Kurasa aku pernah melihat bule yang satu ini... di mana ya...
“Hi, Reid, have you get dinner?” sahut Mas Akbar sambil lewat pada bule itu. Si bule menjawab dengan rentetan kata dalam bahasa Inggris yang terlalu cepat untuk dapat kupahami.
...di internet...
“Mas, dia kayak Reid Barton, pemenang medali emas sekaligus peringkat pertama dunia dengan nilai sempurna di IMO 2001, juga IOI (International Olympiad in Informatics) 2001... Yang disebut-sebut sebagai salah satu orang terpintar di dunia buat usia 18 tahun17...,” kataku setengah berbisik.
“Wajar saja, dia menghabiskan masa remajanya untuk magang di MIT...,” kali ini aku berucap lebih kepada diriku sendiri.
Aku tidak percaya aku kedatangan orang hebat dalam mimpiku ini. Dibayar berapa dia sehingga mau tampil dalam pertunjukkan mimpi orang yang biasa-biasa saja macam aku? Sepanjang sejarah kehidupan mimpiku, setahuku, bahkan presiden Indonesia pun—dari yang pertama hingga terakhir—enggan singgah dalam mimpiku, bahkan hanya untuk sekali penampilan! Atau malah aku yang enggan?
Mas Akbar merespon ucapanku tadi hanya dengan senyum. Ayo coba kita adakan permainan Berapa-kali-sudah-Mas-Akbar-tersenyum-padaku-dalam-mimpi-ini-?
Sampailah kami ke dapur. Yeah, tempat di mana kamu bisa menemukan bak cuci, kulkas, dan kompor itu namanya dapur kan? Lalu jika kamu menemukan puluhan popor tergantung atau tergeletak di dinding dan lantai, peluru dan bekotak-kotak bubuk mesiu berserak dalam laci yang terbuka maupun setengah terbuka, granat bertebaran di atas meja... Mungkinkah kita akan memasak salad peluru ber-topping bubuk mesiu dengan dessert granat beku untuk makan malam ini?
Meja makan persegi panjang yang cukup besar mengisi bagian tengah ruangan. Dikelilingi oleh kursi-kursi. Dua di antaranya diisi oleh dua perempuan bercadar. Yang bercadar itu pasti perempuan kan? Perempuan bercadar yang satu duduk agak ke belakang.
Ketika aku memandang ke jendela besar di belakang mereka, kulihat di kejauhan ada titik-titik cahaya jatuh ke tanah dan menimbulkan suara ledakan. Lantai yang dipijaki, dinding yang menaungi, apa-apa yang menempel padanya, semua bergetar. Resonansi. Ledakan yang hebat. Wow? Benarkah apa yang kulihat tadi... bom?Aku tidak bisa menyembunyikan ketakutanku. Aku pasti terlihat gugup saat duduk di kursi sebelah Mas Akbar, yang sudah duduk duluan di seberang kedua perempuan bercadar itu. Aku meremas-remas tanganku. Keringat dingin menghunjam bagian belakang tubuhku. Aku tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi padaku ini. Kulihat Mas Akbar diam saja tanpa ekspresi. Mungkin dia juga jadi tegang karena ini. Tapi dia jaim karena ada aku? Hihi. Demikian pula kedua perempuan bercadar itu... Mereka curang karena mereka pakai cadar sehingga mereka tidak akan ketahuan kalau kah sedang tegang juga atau malah tenang-tenang saja. Melihat bahasa tubuh mereka, kuduga mereka biasa-biasa saja. Seolah hal ini sudah biasa. Seolah langit kelam malam yang bergradasi menjadi kemerahan karena api dari ledakan sama normalnya dengan semburat jingga berganti kelam di petang hari.
Memangnya sedang dimana aku ini?
Kenapa bisa terjadi peperangan dalam mimpiku ini?
Memangnya mimpiku sedang ber-setting kapan? Di mana?
Satu-satunya yang dapat kuingat mengenai peperangan adalah bahwa saat ini Palestina sedang berperang melawan Israel di... Mungkinkah kini kami sedang berada di Gaza City????
Seandainya aku bisa bertemu agen perjalanan mimpi, aku akan katakan padanya untuk segera mengirimku pulang ke dunia nyata atau setidaknya janganlah aku dibawa kemari. Taman Nasional Yellowstone atau Yosemite bisa jadi pilihan. Hanya itu yang terpikirkan. Atau ke Kenya saja ya? Aku sudah dua kali pergi ke sana dalam mimpi dan aku tak berkeberatan untuk yang ketiga kalinya.
Satu ledakan lagi yang maha dahsyat, aku segera bertelungkup di bawah meja. Kusilangkan lengan di atas kepala. Aku kira rumah ini akan runtuh karena ledakan itu. Aku sudah menyangka akan mendengar reruntuhan atap dan mungkin juga dinding menimpa bagian atas meja ini. Saat itu yang kupikirkan hanyalah diriku, tidak Mas Akbar, tidak juga kedua perempuan bercadar itu. Mimpi ini terasa nyata. Bahkan debar jantung ketakutanku pun terasa nyata. Ini mimpi buruk yang lebih buruk dari mimpi ketemu hantu. Kalau kita ketemu hantu, kita kan masih bisa bangun mekipun dengan susah payah dan nafas tersengal. Hantu tidak akan membunuh kan? Setidaknya begitulah sepengetahuanku. Tapi mimpi di tengah kancah peperangan begini... bagaimana apabila aku terkena ledakan dan aku tewas dan aku tidak akan pernah bermimpi lagi seumur hidupku karena aku-dalam-mimpi telah tewas? Konyol memang namun aku merasa sangat yakin akan kemungkinan itu terjadi.
Lamat-lamat tak terdengar riuh rendah ledakan lagi. Kalaupun ada, itu terasa amat jauh. Yang kudengar malah tiga orang tersebut bercakap-cakap. Suara lembut yang familiar di telingaku—aku tahu itu suara Mas Akbar—berbicara dalam bahasa Indonesia, begitupun suara agak cempreng dari seorang perempuan. Tapi dia juga berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti. Bahasa Arab mungkin. Bahasa yang sama yang digunakan oleh suara ketiga—suara berat dari perempuan bercadar lainnya.
Di tengah suara desing apapun-itu-di-luar-sana, aku bisa menangkap beberapa informasi menarik dari percakapan itu. Mas Akbar sudah bagaikan seorang wartawan saja, dengan seorang perempuan bercadar yang menjadi penerjemah, dan perempuan bercadar satunya sebagai narasumber. Informasi menarik tersebut adalah mengenai sang narasumber. Dia baru saja lulus dari sebuah program pelatihan bagi para wanita untuk menjadi pasukan berani mati di Gaza. Dia baru saja menikah. Dari kolong meja ini dapat kulihat dia memutar cincin nikah yang tersemat di jari manis kirinya. Dia pikir dia mengetahui bagaimana dia akan mati, tapi dia tidak tahu kapan saat itu akan terjadi. Yang jelas dia sudah siap untuk itu (aku sudah membayangkan dia akan memasuki suatu pusat perbelanjaan dan meledakkan diri di sana). Setiap muslim yang beriman dilahirkan untuk menjadi seorang Mujahidin. Kalimat itu menyodok dadaku. Aku tak percaya saat dia mengaku baru saja berusia 18 tahun.18 Menurutku wajar sih menikah meski baru berusia 18 tahun itu (Mas Akbar, kalau kamu berminat aku pun sebenarnya sudah siap untuk itu, haha... Oke. Kamu tahu aku becanda. Ya kan? Ya kan?), tapi keputusannya untuk menjadi pasukan berani mati itu... Baru menikah pula. Wow aja gitu. WOW besar.
Namun tidak lebih besar daripada hujan ledakan yang datang kemudian. Aku tidak tahu dimana tepatnya mereka jatuh, yang jelas di sekitar rumah ini dan kemungkinan besar nanti akan ada ledakan susulan yang mengenai rumah ini!!!????
Suara ledakan itu bahkan lebih kencang dari teriakanku saat naik Halilintar di Dufan. Kicir-kicir deh.
Kali
itu kucuran keringat dinginku benar-benar jauh lebih deras dari sebelumnya.
Kedua lengan ini tak sanggup kugerakkan dari atas kepalaku, untuk melindungi
dari apapun yang mungkin bakal menimpanya, meskipun aku tahu itu takkan
berguna. Aku harus siap menerima kenyataan bahwa sehabis ini aku akan terbangun
dan tidak akan pernah mengalami mimpi lagi karena aku-dalam-mimpi telah tewas...
Jeritan
histerisku teredam oleh ledakan yang datang berikutnya. Dunia serasa gempa.
Gempa buatan manusia!! Mungkin tangisku sudah mengalir... Aku tidak berani
melongok ke atas, untuk melihat Mas Akbar dan kedua perempuan bercadar itu. Apa
yang akan mereka lakukan di tengah situasi begini. Kenapa kita tidak segera
saja masuk ke dalam lubang perlindungan sih?!?!? Pasti ada kan, pintu menuju ke
sana di permukaan lantai dapur ini?!?! Tapi entah dimana... mungkin saja ada di
bawah kakiku...
Aku
sadar ada makhluk lain di kolong meja ini. Rupa-rupanya benar itu mereka; Mas
Akbar dan kedua perempuan bercadar. Salah satu perempuan bercadar itu dengan
bahasa tubuhnya menyuruhku menyingkir dari tempatku berjongkok. Aku mundur
sedikit. Benar, terdapat kotak persegi di bawah kakiku tadi. Ada pegangan bagi
tangan untuk menariknya. Perempuan bercadar itu menarik tangannya dan
membiarkan Mas Akbar untuk melakukan pekerjaan ini. Dengan agak bersusah payah,
karena pintunya agak berat, akhirnya terlihatlah lubang persegi menganga di
bawah muka kami. Kami turun satu per satu ke dalamnya. Aku agak ragu saat mau
turun. Mas Akbar yang berada di belakangku—karena dia akan turun paling
terakhir—menanyaiku karena ekspresi keraguanku itu.
“Reid Barton sama anak Asperger itu? Mereka nggak turun?”
Mungkin juga seharusnya televisi di ruang tengah itu diselamatkan agar kita masih bisa melihat prestasi-prestasi yang dicapai anak-anak berumur 18 tahun di dalam lubang perlindungan sana?
“Mereka
bakal baik-baik aja,” ucap Mas Akbar tenang.
“Eh! Gimana mereka bisa baik-baik aja? Emangnya mereka punya lubang perlindungan juga di kamar masing-masing?!” Entah kenapa aku jadi sewot melihat ketenangan Mas Akbar yang seakan menyepelekan nyawa manusia lain itu.
Tahu-tahu aku malah didorongnya. Aku merosot bagaikan sedang meluncur di serodotan. Teriakanku merupakan harmonisasi antara kemarahan, keheranan, kekagetan, dan kesenangan. Serodotan yang amat licin dan asik sekali! Sejenak aku lupa bahwa aku akan mati.
Serodotan
itu menghantarkanku pada lantai semen yang dingin. Dengan pencahayaan
remang-remang yang ada, bisa kulihat sudah ada beberapa orang di dalam lubang
yang menyerupai ruangan luas dan besar ini; kedua perempuan bercadar, dua orang
bule...
“Reid!
Asperger!” seruku takjub seolah-olah mereka sudah sejak lama jadi teman baikku.
Sudah kuduga si Reid Barton itu malah mengernyit aneh karena jelas-jelas kami
tidak saling mengenal sementara si Asperger acuh tak acuh saja. Dia malah asik
dengan komputernya. Ya ampun... Masih bisa-bisanya dia di tengah keadaan
genting begini membawa komputernya turut serta?!!?!?
Alih-alih
bercengkerama dengan mereka, Mas Akbar malah menggiringku untuk terus berlari
menyusuri lorong di depan sana... Kami berlari dan berlari cukup lama. Ringan
sekali kakiku ini menapaki lantai. Aku tak sempat bertanya pada Mas Akbar
kenapa kami malah lari, bukannya berkumpul dengan sesama lainnya di lubang
perlindungan. Aku juga heran dengan bentuk tubuh seperti itu Mas Akbar ternyata
bisa lari cepat sekali. Aku merasa seperti Alice yang sedang mengejar Kelinci
Waktu ke negeri Wonderland. Hingga akhirnya kami melihat satu titik terang di
ujung sana...
“Cahaya!
Cahaya! Aku melihat cahaya!” Aku bagai orang yang sudah berabad-abad terjebak
di bawah tanah... Tapi bukannya seharusnya kita tidak melihat cahaya...
Maksudku, kalau kita melihat cahaya di tengah malam saat sedang masa perang di
mana segala sambungan listrik dan air terputus... maka cahaya itu berarti api
dari ledakan kan?? Mas Akbar.. apakah
kamu berniat menggiringku pada akhir dari kehidupan dunia mimpiku? Kenapa tidak
kamu biarkan saja aku tetap di dalam sana, menunggu saat bangun tiba, dan untuk
keesokan malamnya aku akan berdoa supaya tidak mengalami mimpi aneh lagi?
Percayalah, aku masih ingin bertemu denganmu kok, tapi tidak dalam mimpi yang
semacam ini!!!
Cahaya
itu adalah cahaya bulan bulat besar di seberang danau. Kami keluar dan
mendapati diri kami sedang berada di tepi danau. Jauh dari segala hiruk pikuk
peperangan. Apa yang meledak-ledak dan berpendar dengan indahnya di langit
malam adalah kembang api, bukannya granat atau ranjau atau rudal atau misil.
Satu cahaya yang datang entah dari mana terbang ke langit dan buyar menjadi
warna warni angka 18 yang teramat besar. Mas Akbar memanggil namaku, melengkapi
kesenanganku karena ini, dan berucap,
“Selamat
ulang tahun!”
Senyum
itu takkan pernah kuhapus dari ingatanku. Takkan pernah ingin.
Mengikuti
bola matanya, aku melihat ke angkasa lagi, mendapati satu bola cahaya terbang
melampaui bulan dan meledak dengan suara yang akan membuatmu secara
refleks—karena kaget—berseru, “ASTAGHFIRULLAHALADZIM!”
Lengkapnya
lagi adalah, “ASTAGHFIRULLAHALADZIM! SMS! SMS! ANGKAT! ANGKAT! MASYA ALLAH!
SMS!”
Tone itu aku dapatkan dari hape baru
adikku. Karena lucu, ku-bluetooth ke
hapeku dan aku set sebagai message tone. Jadi kalau ada sms yang
masuk, hapeku akan membunyikan tone
tersebut. Karena aku suka menyimpan hape di ransel, bukannya di saku, maka
supaya aku dapat mendengar kalau-kalau ada sms yang masuk di tengah tempat yang
agak ramai, aku set ke volume yang cukup tinggi. Menjadi
terlalu tinggi jika smsnya datang pada dini hari buta dan hapenya diletakkan
tepat di samping kuping.
Kaget.
Yeah, jelas saja aku kaget dan menjadi marah karena itu. Padahal bagian
romantis dari alur mimpi aneh yang baru saja kualami tadi baru akan
dimulai!!!!! Tapi aku tidak tahu bagaimana harus melampiaskan amarahku ini. Toh
itu terjadi karena perbuatanku sendiri. Tapi aku bukan tipe orang yang suka
memaki-maki diri sendiri. Marah merupakan salah satu bentuk komunikasi.
Komunikasi itu harus ada lawan bicaranya. Kalau berkomunikasi tidak ada
lawannya rasanya seperti orang gila. Bicara sendiri. Marah sendiri. Hah,
sudahlah. Aku melabuhkan diriku ke kasur lagi. Memejamkan mata. Namun aku tidak
bisa terlelap lagi. Aku yakin aku tidak jadi tewas tadi. Aku masih hidup sampai
akhir mimpi jadi seharusnya aku masih bisa bermimpi lagi. Tapi bagaimana aku
bisa bermimpi kalau ngantuk pun tidak?
Kuraih
hape sialan itu. Aku yang sialan, karena menyetel tone itu sedemikian kerasnya. Seharusnya kuganti saja ya, tone tersebut, dengan musik lembut nan
romantis. Sehingga jika kejadian itu terulang, mimpiku tidak akan berakhir
dengan marah akibat kaget, melainkan dengan perasaan romantis akibat lagu
romantis yang menjadi backsound
perpisahan yang romantis antara aku dan Mas Akbar.. Sampai bertemu lagi,
Sayang! Andai itu yang terjadi tadi, sungguh romantis!
Kulihat
jam di hape. Masih jam 3 pagi rupanya. Dan sms sialan inilah yang tadi masuk hingga
membangunkanku dari mimpi-ganjil-namun-indah-ku, dari seorang teman dekatku
(dia pasti terserang insomnia lagi),
dear ds.met ulth k18
y.smg thn ni lbh baik
dr thn”
sblmny.amin.bc srt
alFath ayt 26-27
bwt bnt doa rkyt plstina.
uya,resolsim thn
k18m ap aj?ud bqn?
Oh,
tentu saja aku tidak lupa kalau ini adalah hari pertamaku berusia 18 tahun. Dan
aku telah menghabiskan hari terakhirku berumur 17 tahun dengan sia-sia. Aku
tidak tahu harus berucap terima kasih atau merutuk temanku ini.
Dengan
perasaan kesal masih berkecamuk dalam dada, aku memutuskan untuk berjalan ke
luar kamar mengambil air wudu. Aku berniat mendirikan malam. Kedua belah tangan
sudah kuangkat untuk memasuki rakaat pertama, tak bisa khusyuk pikiranku ini.
Bukannya aku orang yang selalu bisa khusyuk kalau solat sih.
Aku
masih mengharap-harap bertemu Mas Akbar pada kesempatan bermimpi berikutnya.
Mimpi saat tidur maksudnya. Bermimpi saat sadar itulah yang pelakunya kerap
dijuluki pemimpi. Kalaupun Mas Akbar sungkan untuk mengunjungiku dalam mimpi
lagi—oke, memang bukan Mas Akbar sebenarnya melainkan proyeksi dalam alam bawah
sadar apalah—aku berharap tahun depan saat malam pergantian usiaku, dia akan
muncul lagi dengan Pintu 19 untuk memasuki Dunia 19. Di mana apa yang kamu
temui, jika bukan orang yang berumur 19 tahun, mungkin dia adalah napi dengan
hukuman penjara 19 tahun, atau tumbuhan yang memasuki masa unggul dalam waktu
19 tahun, semacam itulah. Aku heran kenapa saat malam pergantian usiaku dari 16
menjadi 17, tidak ada Mas Akbar dengan Pintu 17 menuju Dunia 17-nya. Oh,
mungkin karena waktu itu aku belum mengenal Mas Akbar? Lalu kenapa bukan
kecenganku pada waktu itu saja yang muncul? Hm. Membingungkan. Ada apa dengan
usia 18 tahun ini? Bukannya yang biasanya diheboh-hebohkan itu—acuanku pada
pesta ultah—adalah usia 17 tahun?
Ada apa dengan usia 18 tahun ini? Alih-alih, mengkhusyukkan pikiran pada bacaan solat, pikiranku itu malah melayang pada ingatan akan mimpi tadi. Sekelebat adegan per adegan muncul. Kalimat-kalimat yang diucapkan Mas Akbar dalam terasa mengelus batinku.
“Lalu apa artinya ’18 tahun’ dalam ‘untuk 18 tahun ke atas’?”
“...18 tahun... Lama ya? Apa saja ya yang bisa dilakukan selama 18 tahun itu?”
“Umurnya masih 18 tahun loh.”
“Umur 18 tahun seharusnya sudah boleh bekerja...”
Juga kalimat PSK itu.
“Aku sendiri, umurku masih 18! Hahaha...”
Juga kalimat teman sialanku itu.
uya,resolsim thn
k18m ap aj?ud bqn?
Age. Eighteenth. How it going to be?
15.34WIB250109.happy18thbirthdayme!19daysago..
1 = dari lirik lagu All I Have To Do Is Dream oleh Everly Brothers
2 = Nirmala Bonat Menanti 4 Tahun, Dibalas 18 Tahun oleh Adi Lazuardi, 28 November 2008, 10.56, dari ANTARA, diunduh pada 10 Januari 2009, 13.19 WIB, dari www.google.co.id
3 = Pelaku Bom Poso Divonis 18 Tahun oleh Rini Kustiani, 3 Desember 2007, 14.45 WIB, dari Tempointeraktif.com, diunduh pada 10 Januari 2009, 13.27 WIB, dari www.google.co.id
4 = Pemuda 18 Tahun Ditembak Polisi oleh Administrator, 6 November 2007, dari situs Polda Jatim, diunduh pada 10 Januari 2009, 14.07 WIB, dari www.google.co.id
5 = Remaja 18 Tahun Dipenjara 38 Tahun Karena Membobol Komputer Sekolah oleh sanfucius, 24 Juni 2008, 08.49, dari situs udaramaya, diunduh pada 10 Januari 2009, 13.33 WIB, dari www.google.co.id
6 = Butuh Waktu 18 Tahun Untuk Hasilkan Ekaliptus Unggul , 15 Agustus 2008, 10.42 WIB, dari beritasore.com, diunduh pada 10 Januari 2009, 13.38 WIB, dari www.google.co.id
7 = WNI 18 Tahun ke Atas Wajib Memikul Senjata, 28 Februari 2007, dari situs HARIAN KOMENTAR, diunduh pada 10 Januari 2009, 14.42 WIB, dari www.google.co.id
8 = Usia 18 Tahun Seharusnya Sudah Boleh Bekerja oleh Didi Syafridi, 13 September 2008, 02.09 WIB, dari detikiNet, diunduh pada 10 Januari 2009, 13.43 WIB, dari www.google.co.id
9 = Abege 18 Tahun Sudah Tidur dengan 50 Pria oleh Nurvita Indarini, 10 Januari 2009, 05.10 WIB, dari detikcom, diunduh pada 10 Januari 2009, 13.58 WIB, dari www.google.co.id
10 = Usia 18 Tahun, Tarif Rp 500 Ribu, Mangkal di JPO oleh Yudhianto, 6 Desember 2008, dari situs Pos Metro Balikpapan Online, diunduh pada 10 Januari 2009, 14.21 WIB, dari www.google.co.id
11 = Cracker 18 Tahun Bobol 1,3 Juta Komputer oleh igaul/jul, dari situs Rileks.com, diunduh 10 Januari 2009, 13.50 WIB, dari www.google.co.id
12 = tidak ada maksud promosi! Sungguh!
13 = Magnus Carlsen Sekarang Berusia 18 Tahun dari situs Indochess, diunduh pada 10 Januari 2009, 14.35 WIB, dari www.google.co.id
14 = Bocah 18 Tahun Tolak Juve oleh S2, 9 Desember 2008, 13.31, dari INILAH.COM diunduh pada 10 Januari 2009 dari www.google.co.id
15 = Miss Teen USA 2006 Berusia 18 Tahun dari Ohio oleh tkz, 17 Agustus 2006, dari www.baristamobile.com dalam situs G2Glive, diunduh pada 10 Januari 2009, 13.37 WIB, dari www.google.co.id
16 = Konser Dani-Mulan Hanya untuk yang Berusia 18, 2008, dari DetikForum, diunduh pada 10 Januari 2009, 14.00 WIB, dari www.google.co.id
17 = Salah 1 Orang Terpintar di Dunia Umur 18 Tahun, 2001, dari Forum KG, diunduh pada 10 Januari 2009, 14.00 WIB
18 = Baru Menikah, Wanita 18 Tahun Bertekad untuk Jihad, 21 Oktober 2008, 21.24, dari http://news.bbc.co.uk Visit Video di Orgl Info Just Married and Determined To Jihad dikutip Oleh http://www.suaramedia.com, diunduh pada 10 Januari 2009, 13.44 WIB, dari www.google.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar