Besar
tubuh raksasa itu ada kiranya dua puluh kali lipat gedung tertinggi di kota
ini. Matanya segitiga dan kejam. Mulutnya yang bagai mulut buaya itu menganga,
memperlihatkan gigi-gigi besarnya yang runcing dan siap menggigit benda apapun
yang menarik perhatiannya. Sekujur permukaan tubuhnya berupa gerindil-gerindil
hijau kasar dan bau. Cakar yang runcing mencuat dari sela-sela jari tangan dan
kakinya. Huh, aku tak akan gentar.
“SAAH...”
ujarku dalam bahasa planet Zrypkux yang artinya “ayo sini maju, kalau berani.”
“GRRRAAAA....”
Monster itu menjawab panggilanku sambil mencari-cari asal suaraku berada. Ia
berputar-putar. Ekornya yang panjang menyapu jalanan. Mobil-mobil, gedung,
lampu jalanan—semua berpentalan. Orang-orang panik berlarian menyelamatkan diri.
Dari balik tempat yang mereka pikir cukup terlindung, mereka mengawasi duel
maut yang akan berlangsung antara aku dengan monster jelek itu.
Monster
itu tidak bisa melihatku karena aku berusaha agar selalu berada di belakangnya
dengan mengikuti gerak tubuhnya. Monster itu terus berputar dan berputar.
Mataku awas memperhatikan ekor si monster agar tidak tersandung. Sampai kukira
akhirnya monster itu sudah cukup kepusingan, kuhimpun tenaga pada kedua belah
tanganku untuk mengangkat ekor si monster. Hup...
Ternyata
lebih berat dari yang kukira.
Monster
itu sadar ada yang telah menarik ekornya. Dengan cepat ia berbalik, hendak
menghalauku dengan sebelah tangan gembilnya. Aku menghindar. Hampir saja ia
mengenaiku. Ia melompat hendak menghantamku. Aku berhasil menghindar lagi.
Namun akibatnya rubuhlah lagi beberapa gedung perkantoran. Aku harap semua
orang di sana sudah mengevakuasi dirinya masing-masing. Oh, tidak! Aku melihat
seorang anak kecil menangis di balik reruntuhan! Di manakah ibunya? Monster itu
berhasil menggamparku sementara perhatianku sedang teralih ke anak itu. Aku
jatuh terjengkang di atas lapangan sepak bola. Punggungku jatuh tepat di atas
gawang. Aduh, rasanya sakit sekali. Menusuk. Ini tidak bisa dibiarkan
lama-lama.
“TINUTINUTTINUTTINUT...”
Lampu merah di dadaku menyala tanda keadaan mulai menggenting: kekuatanku
hampir habis! Aku harus cepat-cepat! Kuhimpun sisa kekuatanku dengan segenap
konsentrasi yang tersisa. Satu... Dua... Tiga... “HEYAAAH....”
Sinar
terang keluar dari bogem yang dengan sekuat tenaga kulepaskan ke perut si
monster. Kukerahkan tenaga untuk terbang. Terbanglah aku ke angkasa dengan
kecepatan tinggi. Bogem ini ternyata bisa juga membuat si monster pingsan.
Dengan bogem ini pula kubawa si monster keluar atmosfer bumi dan kulemparkan
dia jauh-jauh biar terbakar oleh bintang-bintang.
“GAAAHHH...”
seruku, yang artinya, “Dadah...”
Sambil
tetap melayang-layang kupandangi si monster itu terbang menjauh hingga lenyap
ditelan warna-warni bintang galaksi. Ah, meskipun aku sedang dalam wujud
raksasa bumi namun tetap saja aku merasa kecil di tengah jagat raya angkasa
seperti ini. Membuatku sadar bahwa aku tidak akan ada apa-apanya jika dapat
berhadapan langsung dengan Sang Pencipta. Sungguh Maha Besar Ia yang telah
menciptakan semuanya ini.... Aku tersenyum kendati tidak akan terlihat karena
kostum yang kaku ini. Saatnya aku kembali pulang ke bumi. Ketika aku sampai,
rupanya telah berjalan waktu sepersekian jam cahaya sehingga lembayung sore,
yang terakhir kali kulihat saat aku meninggalkan bumi, telah berganti dengan
singsingan fajar.
.
Namaku Matt. Aku adalah seorang pahlawan
super pembela kebenaran dan keadilan. Setiap kali ada monster dari luar angkasa
yang datang hendak memporakporandakan kota ini, aku akan mengacungkan benda apapun
yang sedang kupegang. Entah bagaimana hukum alamnya, yang jelas dengan begitu wujudku akan segera berubah menjadi
ultra—tanpa wing.
Seragam ketat dan elastis akan membungkus tubuhku—lengkap dengan tanduk serupa
jambul mohawk, sepasang mata bulat
yang dapat menyorotkan sinar bagai lampu senter, dan segaris kaku mulut yang
tidak bisa digerakkan. Dalam kostum pahlawanku itu, tidak akan ada seorang
masyarakat pun yang dapat mengenali identitasku yang sebenarnya. Bahkan ibuku
sekalipun. Ia, sebagaimana masyarakat lainnya, memanggilku: Ultraboy.
.
Kurasakan
lecutan menyakitkan di betisku sebagai penutup dari mimpiku melawan
kalajengking betina raksasa. Suara yang muncul kemudian malah lebih memekakkan
daripada lenguhanku saat sedang memanggil monster penghancur kota untuk
mengajaknya bertarung, “MAMAT! Bangun! Mau sampai umur berapa dibangunin
orangtua?!”
Mamah
akan terus memukuliku dengan ganas sampai aku benar-benar bangkit dari kasur.
“Mat
baru tidur sejam, Mah...” Mampu juga kujejakkan kedua kakiku di lantai pada
akhirnya. Kugaruk-garuk kepalaku sementara mata masih setengah terkatup lantas
menguap beberapa kali.
“Alah,
paling juga begadang maen game!”
tandas Mamah sambil meninggalkan kamarku.
Huh,
mana bisa aku bilang kalau aku baru bisa tidur sejam lalu karena baru pulang
dari membuang monster di angkasa raya?
.
Wanita
paruh baya berjilbab itu menyelesaikan sebuah persamaan di papan tulis. “Nah,”
katanya kemudian, “Ayo siapa yang bisa ngerjain soal ini? Besok keluar di ulangan
loh.”
Murid-murid
di kelas XI IPA 2 itu segera mencorat-coret di atas media apapun yang ada di
depan mereka. Entah apa yang mereka corat-coretkan.
“Mamat?
Coba Mamat yang ngerjain? Oh, Mamat pasti lagi tidur yah?” celetukan sang guru
membuat sebagian murid menoleh ke bangku di mana kepala Mamat tengah lunglai di
atas meja. Asep, teman sebangku Mamat, hanya bisa meringis. Tawa mereka membuat
Mamat tergeragap lantas terbangun.
“Hah?
Ada apa sih?”
Asep
tertawa makin keras melihat sudut bibir Mamat yang basah lantas menetes terus
ke celana abu-abunya. Tak lama kemudian guncangan tawa di kelas XI IPA 2 beradu
dengan bel nyaring pertanda jam istirahat telah dimulai.
.
“Si
Mamat kalau sampai nggak tidur pas jam-jam pelajaran sebelum istirahat, itu
namanya rekor!” cecar Rudi yang segera disambut dengan tawa beberapa orang.
“Fisika
tidur, Matematika tidur, Kimia tidur, Bahasa Indonesia tidur, tidur aja
seharian di kelas!” sambung Asep.
“Ya
iya, si Mamat kan makhluk malam sekarang. Kalau udah malam dia kan ganti nama
jadi Maisaroh!” tukas Sari—makhluk wanita satu-satunya dalam kelompok ini—tak
mau kalah. Gelegar tawa lagi.
Aku
hanya bisa mesem-mesem sambil tetap menyeruput Teh Upetku.
“Ya
nih, saya lum kelar-kelar aja mainin DOTA.”
“Eh,
Mat, itu bukannya ibu kamu?” tiba-tiba Dodi menuding seorang perempuan paruh
baya yang baru keluar dari ruang guru. Aku mengintip dari celah pagar lapangan
tempat kami sedang nongkrong ini. Kulihat begitu kusut muka Mamah.
Wah,
alamat tidak baik sepertinya.
“Eh,
saya ke sana dulu yah.” Segera kutinggalkan teman-temanku dan menuju ke arah
Mamah yang langsung melotot begitu melihatku.
“Mah,
ngapain ke sekolah Mamat, Mah?” tanyaku tanpa perasaan bersalah.
“Hah,
kamu ini gimana sih Mamat?” Wah, kalau Mamah sudah menyeruku dengan kata ‘kamu’
itu tandanya ia sudah benar-benar marah! “Bapak dan Mamah nyekolahin kamu di
sini bukan buat tidur tapi belajar! Kalau mau tidur di rumah ajalah!”
Kucoba
tak menghiraukan tatapan teman-teman yang menyebabkan rasa malu menyesap ke
dalam dadaku. Dimarahin orangtua di depan keramaian, gimana bisa nggak malu?
“Yah,
Mamat kan tidur nggak sengaja, Mah. Tau-tau aja ketiduran.” Tak tahu lagi apa
yang bisa kukatakan untuk membela diriku sendiri. Kukejar langkah Mamah yang
panjang-panjang. Lama tak menanggapi perkataanku, kutanya lagi dia, “Mau
langsung pulang lagi, Mah?”
“Liat
ajar entar di rumah!” bentak Mamah semakin menyesakkan dadaku.
.
Kekuatan
ultra yang kumiliki ini berawal dari beberapa bulan yang lalu. Saat itu sore.
Hujan deras. Aku baru pulang dari rumah tetanggaku untuk meminjam Final Fantasy terbaru. Sebelum sampai ke
rumahku sendiri, kulewati taman bermain di mana kutemukan makhluk ganjil
tersebut. Makhluk itu memiliki tubuh yang kecil. Lengannya panjang seperti
lengan orangutan. Cengkeraman tangannya besar dan jarinya panjang-panjang.
Lehernya jenjang seperti leher jerapah. Kepalanya kecil dengan dua bola mata
yang amat besar. Hidung dan telinganya hampir-hampir tidak bercuping. Mulutnya
tipis bagai hanya segaris. Makhluk itu tidak berbulu. Kulitnya yang coklat tua
begitu keriputnya. Seperti anjing tua yang baru dicukur habis bulunya karena
penyakitan. Untuk menunjukkan betapa shock-nya
aku karena mendapati makhluk ganjil tersebut: aku menjatuhkan payungku. Saat
itu ia berada di dalam lubang pipa beton, kedinginan, begitu ringkih, begitu
mengibakan, begitu tidak berdaya, tapi... mengerikan....Wajar saja aku
menganggapnya demikian saat itu karena itulah kali pertama aku melihat ada makhluk
ciptaan Tuhan yang berwujud seperti itu. Betapa tidak ganjil? Makhluk itu tidak
ada dalam Ensiklopedia Lengkap Fauna-ku maupun dalam mata pelajaran Biologi
yang sudah bertahun-tahun kupelajari. Biarpun wujudnya agak mirip dengan
jagoanku di Space Wars.
Rasa
penasaran dan iba mengalahkan rasa ngeriku. Aku tak berpikir apa-apa saat itu.
Kudekati dia, kubungkus dia dengan jaketku, lalu kugendong dia dengan sebelah
tangan sementara tangan satunya lagi memegang payung. Sesampainya di rumah,
kuletakkan dia sebentar di dekat meja belajar di kamarku sampai kutemukan
sebuah keranjang bekas parsel Lebaran di gudang. Kubersihkan cepat-cecpat
keranjang tersebut dengan kemoceng. Sesampainya di kamarku lagi, kuletakkan
keranjang itu, kukeringkan tubuh makhluk tersebut dengan handuk. Perasaan yang
sama dengan perasaan saat aku mengeringkan kucingku dulu yang habis kumandikan
muncul. Oh, aku kangen sekali pada si Pupus. Tapi sebagaimana namanya, kini dia
sudah pupus jadi pupuk. Makhluk itu memandangku lekat-lekat dengan kedua bola
matanya yang benar-benar bulat. Pandangan yang begitu polos dan membuatku
seketika jatuh hati padanya. Setelah kukeringkan dia, kulapisi keranjang tadi
dengan beberapa lapis kain perca lantas kutaruh makhluk tersebut di sana.
Gemuruh petir yang muncul kemudian di perutku mengingatkanku bahwa seperti aku,
makhluk ini pun pasti butuh makan. Tapi yang jelas makanannya pasti bukan bakso
seperti yang sedang aku idam-idamkan saat itu. Aku menguras otak dan akhirnya
makhluk tersebut kuberi beberapa butir bakso kecil—setelah akhirnya aku
berhasil menyetop Bakso Kang Somad. Makhluk itu tak bergeming. Kuberi sedikit
mi, sama saja. Baru dia mau makan setelah kuberi sawi. Sejak itu makhluk
tersebut kuberi makan sawi. Kucoba beberapa jenis sayuran lainnya dan ternyata
dia mau.
Sambil
menyantap semangkuk bakso, kuamati makhluk lucu tersebut. Lucu setelah kuamati
dia lama-lama. Matanya itu lho. Aku berpikir, makhluk apakah dia sebenarnya?
Mengapa dia tidak teridentifikasi dalam ensiklopedi maupun buku pelajaran
Biologi? Mengapa dia bisa terlihat oleh mata kalau ternyata dia termasuk bangsa
jin? Mungkinkah dia hewan spesies baru? Kalau demikian akan kupatenkan dia
dengan namaku: Mamatus mamatus Matt.
Keren kan? Oh, tentu saja selain nama ilmiahnya, dia juga harus punya nama lain
yang lebih mudah diingat, sebagaimana Felix
tigris yang punya nama lain Harimau. Jadi, apa ya nama yang bagus untuknya
supaya aku bisa dengan mudah memanggilnya? Kusingkirkan nama ‘Pupus’ karena aku
tidak ingin dia bernasib sama—mati muda—seperti si Pupus dahulu. Kebetulan saat
itu di dekatku ada sebuah buku—pinjaman dari temanku dan belum selesai
kubaca—berjudul, “A Child Called It.” It! Nama itu segera tinggal dalam
benakku. Nasib makhluk ini memang hampir sama dengan nasib anak dalam buku
tersebut. Malang dan tersia-siakan (setidaknya dia terlihat begitu). Akhirnya
kuberi nama makhluk itu It. Namun agak ganjil juga aku memanggilnya demikian,
“It! It! It!” Seperti sedang bersuit memanggil merpati saja. Akhirnya aku
menambahkan satu huruf lagi pada nama itu sehingga namanya berganti menjadi
Iti.
Kutaruh
Iti di balik kasur agar tidak langsung terlihat oleh siapapun yang masuk ke
kamarku. Kalau Mamah sampai tahu aku memelihara hewan lagi, bisa-bisa dia
ngomel terus. Setiap baru bangun tidur, aku langsung melongok ke balik kasur
untuk melihat keadaan Iti yang biasanya tengah tertidur. Kubelai-belai lembut
kepalanya sebelum turun dari kasur dan melakukan rutinitas pagiku. Saat
sarapan, biasanya kuambil sayur yang cukup banyak ke dalam piringku. Tanpa
keluargaku memerhatikan, sambil mencuci piring bekas makan kusisihkan sayur itu
untuk kubawa ke kamarku dan kutaruh di pinggir keranjang Iti. Biasanya saat itu
Iti belum juga terjaga. Ya, kukira Iti adalah makhluk malam. Ia bisa tidur
sepanjang siang namun setelah isya biasanya ia akan seterusnya terjaga. Ia akan
memandang terus ke luar jendela dan menggaruk-garuk pintu dengan ujung jarinya.
Aku akan membukakan pintu beranda dan membiarkan ia nongkrong di sana sementara
aku larut dalam aktivitasku. Ketika tiba saatku untuk tidur, aku memberi
pengertian padanya bahwa dia harus masuk kamar karena sudah malam. Aku tidak
mungkin membiarkan pintu terbuka atau aku harus berjaga sepanjang malam
kalau-kalau nanti ada pencuri masuk ke rumahku lewat situ. Aku juga tak tega
membiarkan dia di beranda sendirian, diterpa udara dingin yang malam, sementara
pintu kututup dari dalam. Aku juga takut kalau-kalau sampai Iti kabur—meski
sepertinya dia takkan melakukannya karena meski dia sudah kuberi kebebasan
untuk nongkrong di beranda yang terbuka, dia tak berusaha kabur—atau diculik
orang yang menyadari kehadiran makhluk langka sepertinya. Bisa-bisa nanti nama
ilmiahnya bukan Mamatus mamatus Matt.
lagi. Tidak jadi tenar aku.
Sejauh
itu, tidak ada satupun keluargaku yang tahu kalau aku memelihara Iti. Aku
berhasil menyembunyikan Iti dengan baik. Memang kadang mereka bertanya mengapa
aku jadi suka mengunci kamarku. Aku bilang saja kalau itu adalah manifestasi
dari kepatuhanku pada nasihat kedua orangtuaku agar selalu menjaga
barang-barang berharga yang kumiliki dengan baik. Untungnya mereka tidak
bertanya macam-mcam lagi. Kalau aku sedang di kamar dan aku sedang terjaga
biasanya kamar kubiarkan tidak terkunci. Saat ada yang masuk barulah buru-buru
kusembunyikan Iti. Entah di kolong meja, di balik rak, maupun di dalam lemari.
Sebetulnya
ada satu hal yang membuatku heran setengah mati akan Iti, yaitu bahwa dia tidak
pernah buang kotoran. Padahal aku sudah siap dengan segala konsekuensi yang
mungkin terjadi kalau aku memelihara hewan secara sembunyi-sembunyi di kamar,
baik itu karena kamarku jadi kotor atau bau.... Tapi ternyata tidak. Entahlah.
Mungkin dia makhluk pemakan kotorannya sendiri? Siapa tahu? Aku tidak berminat
jadi ilmuwan oleh karena itu aku tidak berminat untuk meneliti Iti.
Sampai
pada suatu malam—sepertinya sudah menjelang tengah malam, ketika aku sedang
asyik masyuk bermain Warcraft, aku
mendengar ada yang memanggilku dari arah beranda. “Mat.... Mamat....” begitu
lirih dan mungil suaranya. Pada mulanya aku tidak menghiraukannya karena aku
sedang asik-asiknya. Suara itu makin lama makin membesar volumenya dan ingatlah
aku kalau di beranda sedang ada si Iti!! Segera ku-pause permainanku. Selain penasaran pada siapa yang telah
memanggilku dari arah beranda (lantai dua gitu!),
aku juga takut terjadi sesuatu pada Iti karena keberadaan siapapun itu.
Di
beranda, kudapati sosok Iti tengah berdiri di atas pagar beranda.
“Iti!”
jeritku. “Jangan bunuh diri!”
Aku
tidak berpikir saat itu bagaimana seekor hewan dapat memutuskan untuk bunuh
diri.
Iti
bergeming. Mulutnya tiba-tiba terbuka. Kulihat sorot wajahnya yang begitu
tenang. Ia berkata (bayangkan, seekor hewan dapat berkata-kata!), “Kemarilah,
Mamat.”
Aku
mendekat. Aku tidak merasakan takut sama sekali. Tapi aku tak bisa
menyembunyikan keterkejutanku. Iti ternyata bisa bicara! Bahasa manusia pula!
“Iti,
kenapa kamu nggak bilang kalau kamu bisa bicara? Tau gitu kan kita bisa ngobrol
bareng tiap hari!”
“Sesungguhnya
namaku bukan Iti. Namaku adalah XtRLreAef. Aku berasal dari planet Zrypkux. Aku
telah mengadakan penelitian di planet ini selama bertahun-tahun sehingga aku
bisa memahami bahasamu.
“Wahai
Mamat, makhluk bumi yang budiman, ketahuilah bahwa musuh kami dari planet
Sashdul sedang merencanakan sesuatu yang jahat terhadap planetmu. Mereka ingin
menguasai planetmu karena mereka tahu bahwa planetmu ini sangatlah biru dan
hijau—sangatlah indah! Sementara planet mereka, yang dulu tak kalah indahnya
dengan planet kalian—telah menjadi hamparan neraka karena ulah penghuninya
sendiri. Mereka—makhluk planet Sashdul—adalah makhluk yang amat cerdas meskipun
aku yakin makhluk planet ini—manusia—pun tak kalah cerdasnya karena telah
diberi akal oleh Sang Pencipta. Namun dengan kecerdasannya itu, mereka bukannya
melestarikan planet mereka melainkan merusaknya. Mereka menguras segala sumber
daya yang mereka punya tanpa mengindahkan sesamanya. Kini, setelah sumber daya
yang mereka punya telah mereka habiskan tanpa sisa, dengan segala kecanggihan teknologi
yang mereka punya, mereka ingin merebut bumi ini dari kalian sebagai pengganti
tempat tinggal mereka yang dulu. Mereka tahu bahwa di planet ini masih banyak
sumber daya yang bisa mereka kuras habis.
“Wahai
Mamat, makhluk bumi yang mulia, ketahuilah bahwa sebelum menyerang planetmu,
mereka telah lebih dulu menyerbu makhluk planet kami—sebuah planet yang tak
kalah juga indahnya dengan planetmu, planet Zrypkux. Mereka mengirimkan
monster-monster mereka yang paling jahat untuk membasmi kami agar mereka dapat
menguasai planet kami yang tercinta. Saat ini bala tentara kami tengah
mengerahkan kemampuan terbaik kami untuk mengalahkan mereka. Badan intelijen
kami telah berhasil mendapatkan informasi bahwa planet kami bukanlah
satu-satunya planet yang jadi incaran mereka. Ada beberapa planet indah lainnya
di berbagai galaksi telah mereka tandai, salah satunya adalah planetmu.
Panglima tertinggi kami akhirnya mengutus beberapa agen terbaiknya untuk
memperingatkan planet-planet tersebut agar bersiap-siap menghadapi serangan
planet Sashdul. Untuk itulah aku diutus ke planet ini untuk memperingatkan
penghuninya—manusia! Manusialah yang menjadi pemimpin di bumi ini bukan?
“Wahai
Mamat, makhluk bumi yang berilmu, ketahuilah bahwa kami telah menemukan sebuah
formula yang dapat menjadi senjata untuk menghalau monster-monster Sashdul
jahanam yang akan segera berdatangan. Formula itu dapat memberikan pemiliknya
wujud dan kekuatan yang setara—bahkan bisa pula melebihi—kemampuan
monster-monster yang mereka kirimkan. Formula itu telah kami gunakan sampai
kami dapat menemukan formula-formula lainnya yang lebih canggih. Formula yang
terbaik sejatinya adalah formula yang dapat menyadarkan mereka—makhluk planet
Sashdul yang keji itu—agar tidak merampas apa yang bukan hak mereka!
Menyadarkan mereka agar mereka seharusnya menjaga dengan baik apa yang telah
Sang Pencipta berikan pada mereka! Melestarikannya! Bukannya menggunakannya
dengan rakus tanpa memikirkan kepentingan makhluk lainnya!”
Aku
hanya bisa ternganga mendengar ini semua. Antara percaya dan tidak percaya.
Tapi menyadari realita bahwa yang sedang berbicara dalam bahasa bumi dengan
begitu fasihnya di depanku ini adalah makhluk ganjil yang memang tidak ada di
ensiklopedi maupun buku pelajaran Biologi manapun, sepertinya ceritanya itu
bisa dipercaya...
“Wahai
Mamat, makhluk bumi yang sempurna, aku telah melakukan penelitian selama
bertahun-tahun di planet ini, menyusup dari lorong ke lorong agar kehadiranku
tidak diketahui, mencari-cari siapakah kiranya manusia yang pantas untuk
kuberikan formula ini. Pencarian itu begitu melelahkan, menguras kekuatan, dan
menghabiskan bekal, hingga kautemukan diriku yang sedang dalam kepayahan itu.
Kau menolongku dan sejak itulah aku berpikir, jangan-jangan kaulah orangnya...
“Kau
tidak seperti anak-anak muda seumuranmu, Mamat. Sementara mereka
bersenang-senang dengan sesamanya, menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak
bermanfaat, kau berada dalam kamarmu. Kalau tidak untuk memulihkan kondisiku,
kau gunakan waktumu untuk melatih kemampuanmu membasmi makhluk jahat di dalam
kotak berisi gambar bergerak itu...”
Aku
mengingat saat-saat di mana Iti berada di sampingku ketika aku sedang memainkan
Space Wars. Memang dia tidak selalu
berada di beranda sih. Tapi masak hanya gara-gara itu dia memilihku? Ini pasti
hanya keberuntunganku saja karena aku yakin pasti ada banyak gamer yang lebih freak daripada aku. Yang main Space
Wars-nya lebih jago tentu saja.
“Tanpa
sepengetahuanmu, aku telah menelitimu. Aku amati kebiasaanmu, tingkah lakumu,
kepribadianmu, juga terhadap segala benda yang kau miliki. Kau adalah anak yang
baik, yang jarang membantah perintah orangtua. Kau hampir tak pernah
berkata-kata kasar. Kau selalu bertekad menyelesaikan dengan baik apa yang
telah kau mulai. Itu terbukti dengan usahamu tiap malam untuk dapat menaklukan
Raja Naga dan naik ke level 50 meski sampai sekarang kau belum juga mampu
melakukannya. Tapi suatu saat aku yakin kau akan bisa. Kau juga pintar menjaga
rahasiamu sendiri, yaitu menyembunyikan keberadaanku tanpa dapat diketahui sama
sekali oleh orang-orang yang datang ke kamarmu ini. Aku telah sampai pada suatu
kesimpulan, meskipun mungkin kau bukanlah kandidat yang 100% tepat, mengingat
bahwa aku tak bisa lebih lama lagi tinggal di sini, maka aku kira aku telah mengambil
keputusan yang benar dengan memilihmu. Sang Pencipta telah menggiringku kemari,
di saat-saat terakhirku di Bumi, untuk bertemu denganmu, seseorang yang
memiliki jiwa penolong yang tinggi, yang telah merawat makhluk yang tak berdaya
ini dengan penuh kesabaran. Yang tidak bisa membiarkan makhluk lain berada
dalam penderitaan. Hanya segelintir manusia yang memiliki jiwa sepertimu.
Kaulah orangnya!”
Aku
tersentak. “E—eh, t—tunggu dulu Iti! Aku rasa kamu harus memperpanjang waktu
penelitianmu di sini, Ti. Aku punya banyak teman yang jauh lebih baik daripada
aku kok, beneran. Ada Tati, Budi, Rudi, Mila, Asep...” Kusebutkan nama
anak-anak rajin di kelasku yang suka jadi tempatku berlabuh untuk menyamakan
jawaban PR.
Dapat
kulihat ekspresi sedih di wajah polos Iti sehingga membuatku terenyuh.
“Andaikan aku bisa melakukannya.... Namun untuk saat ini aku tidak bisa! Aku
harus segera kembali ke planetku karena serangan dari Sashdul semakin parah!
Aku harus ikut mengevakuasi keluargaku! Setiap malam aku memandang ke langit
luas sehingga aku bisa membaca isyarat-isyarat yang dikirim dari planetku;
isyarat bahwa keadaan di planetku menjadi semakin genting dari hari ke hari!
Aku tidak bisa membiarkan diriku sendiri di sini berada dalam kondisi yang enak
dan nyaman berkatmu sementara jauh di atas sana keluargaku berlarian karena
serangan Sashdul keparat! Aku berjanji, Mamat, saat keadaan di planetku sudah
membaik, aku akan kembali ke sini dengan membawa formula baru temuan kami—yang
pastinya sudah jauh lebih canggih daripada formula yang ada sekarang—dan
menemuimu. Kita akan melawan Sashdul bersama-sama. Mereka tidak lagi layak
hidup di jagat raya semesta ini!”
Tiba-tiba
terdengar suara...
“A~a~a~~aaaa....”
Benarkah
apa yang kudengar? Udara serasa bergetar? Bagai dua piring yang ditangkupkan,
kulihat tak seberapa jauh di atas sana benda itu turun perlahan hingga akhirnya
melayang saja di atas langit malam yang kelam. Benda itu duduk dengan nyamannya
di atas gumpalan awan hitam. Mataku tak dapat berkedip karena melihatnya.
Begitu menakjubkan! Tak kusangka, benda itu sungguh-sungguh bukan khayalan! Aku
ingin mengambil kamera dan memotretnya namun kakiku serasa dilem di ubin.
Lemnya lem aibon.
Iti
menoleh dengan muram. “Ah, itu jemputanku, Mamat. Sudah waktunya aku pergi....”
Ia menoleh padaku lagi sambil dengan perlahan menjulurkan telunjuk tangan
kanannya yang panjang dan ramping ke arahku. “Kemarilah telunjukmu, Mamat.”
Aku
tidak mengerti mengapa lenganku bergetar dengan begitu hebatnya saat kujulurkan
telunjuk kananku ke arah Iti. Aku juga tidak mengerti mengapa aku begitu saja
melakukannya, seakan-akan ada yang mengambil alih pikiranku untuk memerintahkan
tubuhku agar bertindak begitu. Apakah benar alien dapat menguasai pikiran kita?
Perlahan,
ujung telunjuk kami akhirnya saling menempel. Secercah sinar keluar dari ujung
telunjuknya. Menyesap ke dalam pori-pori kulitku. Membalur seluruh tubuhku.
Hangat.... Terasa sekali di tengah terpaan angin malam nan dingin ini...
Mengingatkanku akan sebuah lagu lama...
Berhembus angin malam... Mencekam...
Itulah kenangan... yang terakhir....
bersamamu...
Diiringi gemuruh angin... bertiup
daun-daun....
Malam yang jadi saksi...
Kuserahkan.... jiwa... raga....[1]
Antara
sadar dan tidak sadar—kekuatan yang baru saja merasuki tubuhku itu membuat
mataku merem melek—aku mendengar sayup-sayup suara cempreng mungilnya, “Ketika
monster itu telah datang... Acungkanlah telunjuk kananmu ke atas, atau tidak
gunakanlah suatu benda dan acungkan benda itu ke atas... Itu akan menyertai
perubahan wujud dan kekuatanmu... Gumamkanlah... ‘Dengan menyebut nama Sang
Pencipta’... Kekuatanmu akan lepas dan membantumu mengalahkan
kejahatan....Kekuatanmu akan kembali masuk dalam tubuhmu kalau kau acungkan
lagi tanganmu atau benda yang sama seraya mengucap... ‘Segala puji hanya bagi
Sang Pencipta’... Jangan sampai seorang pun mengetahui kemampuanmu ini atau kau
akan berada dalam bahaya...”
Samar-samar
kulihat tubuh Iti mulai melayang terbang mengikuti jalur sinar yang dipancarkan
piring terbang di kejauhan sana itu... Sempoyongan, kukejar dia... Tubuhku
tertahan pagar pembatas beranda—untung ada itu, kalau tidak mungkin aku sudah
terjatuh ke bawah. Aku ingat kalimat terakhir yang kuteriakkan padanya sebelum
dia tertelan ke dalam piring terbang adalah, “Iti, bagaimana kamu membuang
kotoran?”
Terdengar
suara Iti lamat-lamat raib dilumat kecepatan cahaya, “Saat kamu tidak
memperhatikan, aku meloncat turun dari beranda dan naik lagi dengan merayap...”
Tak
kusangka dia punya kaki cicak.
.
Keesokkan
paginya Mamah menemukanku terkapar di beranda dengan sekujur tubuh merah-merah.
Pahlawan super yang baru lahir pada tengah malamnya ini dimangsa habis oleh
nyamuk-nyamuk kebun.
Hari
itu, di saat aku bisa memperoleh lagi kesadaranku dan mengingat kejadian
semalam, aku langsung memandang telunjuk kananku. Benarkah, apabila kuacungkan,
kekuatan itu akan muncul? Kekuatan seperti apakah yang akan muncul? Aku jadi
tidak berani mengacungkan tanganku atau benda apapun. Hal itu tidak begitu
merugikanku karena aku memang bukan seorang penjawab yang aktif di kelas. Kalau
sedang diabsen aku kan bisa menjawab hanya dengan mengucap, “Hadir.” Memang
beberapa kali kerugian sempat kurasakan. Contoh yang terjadi adalah ketika
sedang pelajaran Fisika di mana setelah menjelaskan teori fluida gurunya
bertanya, “Siapa yang belum paham?” Semua murid di kelas mengacung kecuali aku.
Guru tersebut lantas menyuruhku ke depan dan mengulang apa yang tadi dia
katakan padahal yang kulakukan sepanjang guru tadi berceloteh adalah belajar
Kimia. Aku belum belajar sama sekali padahal jam berikutnya ulangan. Jadi aku
tidak mendengar sama sekali apa yang tadi dia katakan dan aku tak bisa
menjelaskan apa-apa di depan selain tentang stoikiometri.
Kekuatan
tersebut baru kugunakan beberapa minggu setelah kepergian Iti. Saat itu di
tengah kota tiba-tiba muncul monster berkepala sembilan yang setiap kepalanya
memiliki bentuk yang berbeda. Ini mengingatkanku akan pelajaran Matematika bab
Dimensi Tiga di mana aku tidak lulus-lulus juga bab tersebut padahal sudah dua
kali remedial. Rasa sebalku akan bentuk si monster menumbuhkan semangatku untuk
mencoba kekuatan baru tersebut. Aku melihat kemunculan monster tersebut melalui
jendela toilet mal yang sedang kukunjungi. Untungnya tak ada seorang pun yang
ada di situ. Iseng kuacungkan pulpen yang kebetulan berada di saku celanaku.
Karena sangat tidak etis menyebut nama Sang Pencipta di toilet, maka aku
menurunkan tanganku kembali dan berlarilah aku ke tangga darurat yang sepi. Kuacungkan
pulpen dengan menggumamkan kalimat yang diperintahkan Iti dan dalam sekejap
tahu-tahu aku sedang turun dari langit dan mendarat di depan si monster dalam
wujud ultra dan kostum yang tidak kubayangkan sama sekali sebelumnya. Kostum
yang sama selalu menutupi tubuhku dalam beraksi di hari-hari selanjutnya. Meski
sudah berubah wujud seperti itu, aku belum tahu kekuatan apa yang kumiliki.
Kukira kekuatan yang aku punya hanya dapat membuatku jadi besar dan berkostum
seperti ini lantas aku harus berkelahi dengan kemampuanku sendiri yang mana aku
tidak memilikinya karena aku tidak pernah ikut les bela diri dan dalam adu
fisik aku sering kalah—kecuali dalam Virtual
Fighters tentu saja. Jadi yang kulakukan adalah dengan penuh kesumat
menyerbu kepala-kepala si monster yang berdimensi tiga. Ingin kuhancurkan saja
karena nilai yang jelek pada bab yang berhubungan dengan itu telah membuatku
bertubi-tubi ditegur orangtua. Namun ternyata makhluk itu kuat juga. Aku dibuat
kelelahan olehnya. Keringat yang kukeluarkan pasti bisa membanjiri kota kalau
saja kostum ini tidak meredamnya. Dan sulit juga rasanya berkelahi tanpa
meninggalkan kerusakan sedikit pun di bawah sana. Sekali-kali menginjak rumah
atau merubuhkan sebagian gedung tidak bisa kuhindarkan. Aku jadi bingung kalau
hendak menjatuhkan musuhku ini karena pastinya membutuhkan tempat lapang yang
amat besar sekali. Aku hanya bisa berharap semoga tidak ada satu manusia pun
yang terinjak atau terkubur reruntuhan bangunan karena aksi pertarungan kami.
Bukan aku yang memilih cara bertarung seperti ini... Mengapa sih monsternya
bukan ukuran biasa saja, seperti monster-monster di serial Power Rangers? Eh,
tunggu, mereka juga pada akhirnya menaiki robot raksasa ya? Dalam ukuran
tubuhku yang normal mungkin aku bisa cuek saja kalau tanpa sengaja menginjak
semut. Kan tidak kelihatan. Tapi kalau manusia? Apa alasan yang sama masih bisa
kukemukakan?
Di
saat-saat genting seperti itu, lampu di dadaku mulai berkedip-kedip merah dan
bersuara, “TINGTUNG! TINGTUNG! TINGTUNG!”
Aku
hendak berkeluh, “Uh, apa pula ini?!” Tapi yang keluar dari mulutku (yang tidak
bisa membuka itu) hanya lenguhan, “GYAAHH....” yang kemudian kuasumsikan
sebagai bahasa planet Zrypkux, tempat dari mana kekuatan ini berasal. Iseng
kupencet lampu tersebut, siapa tahu dengan begitu bisa mematikan suara yang
membisingkan itu. Dan, wow, selain berhenti, dari tengah lampu tersebut
tiba-tiba muncratlah entah berapa liter tinta—setidaknya itulah
anggapanku—tepat ke salah satu muka si monster. Monster itu lantas panik. Kesempatan
itu kugunakan untuk menyemprotkan tinta ke muka-muka lain si monster dengan
memencet-mencet si lampu. Bukan kepalang paniknya si monster itu menjadi.
Kuhimpun kekuatanku dan dengan kekuatan tinta ultra yang meluncur dari lampu di
dadaku, kuhempaskan dia ke langit sampai lenyap tak berbekas. Setelah lama
kutunggu tak terlihat tanda-tanda dia akan kembali lagi ke bawah akibat tarikan
gaya gravitasi. Mungkin begitu kuatnya tembakan tintaku sehingga ia terlempar
sampai ke lapisan langit di mana gaya gravitasi sudah tak menjangkau lagi.
Mungkin dia kini sedang terombang-ambing di angkasa. Menunggu ditabrak asteroid
hingga tewas. Hm, kuharapkan itu yang terjadi.
Purnalah
sudah tugasku hari itu. Aku berkacak pinggang. Kutatap bulan purnama keemasan
di kejauhan sana. Setelah puas bergaya—aku tahu manusia-manusia di bawah sana
sedang ramai mengamatiku—aku mengacungkan pulpenku yang juga ikut membesar
bersama tubuhku (hebat! Kostumku ini juga ada sakunya jadi selama aku bertarung
aku bisa menyimpan pulpenku di sana!). Kuucapkan kalimat syukur pada Sang
Pencipta karena telah berhasil mengusir si monster dari muka bumi. Dalam
sekejap seperti ada kekuatan yang menarikku naik ke atas langit dan tahu-tahu
aku sudah berada di tangga darurat lagi. Aku segera mencari jalan keluar dari
mal yang ternyata sudah tutup dari beberapa jam yang lalu. Beberapa lama
kemudian petugas keamanan menemukanku dan menggiringku ke posnya di mana di
sana sudah ada keluargaku menunggu dengan wajah cemas. Mamah berurai air mata
menyambutku namun tak pelak aku kena marah juga.
Semenjak
kejadian itu, masyarakat heboh membicarakan kemunculan si monster, aku (dalam
kostum yang menyembunyikan identitasku tentu saja), dan pertarungan di antara
kami berdua. Aku bisa maklum semua kalangan ribut karena ini adalah fenomena
alam yang memang aneh sekali. Bayangkan, dua raksasa tiba-tiba muncul dari
langit dan bertarung satu sama lain. Pertama-tama, datang dulu raksasa
menyeramkan yang memporakporandakan kota. Orang-orang panik berlarian bagai
anai-anai yang bertebaran. Tak lama kemudian, datanglah raksasa yang jauh lebih
bagus bentuknya dan kedatangannya itu adalah untuk menghajar si raksasa
menyeramkan dan setelah takluk dibawanya makhluk jelek itu untuk dibuang entah
ke mana. Kejadian ini kemudian tidak hanya sekali itu saja terjadi melainkan
berkali-kali. Monster-monster itu terus berdatangan dan tugaskulah untuk
mengusir mereka dari bumiku yang indah. Hanya aku di planet ini kiranya yang
mempunyai kekuatan untuk menghancurkan para monster bandel itu sehingga tugas
berat ini adalah tanggung jawabku. Untungnya lama kelamaan masyarakat bisa pula
terbiasa dengan kehadiran monster-monster tersebut sehingga kalau tiba-tiba
muncul monster mereka sudah tahu harus menyelamatkan diri ke mana. Kini di
beberapa tempat sudah mulai dibangun tempat-tempat perlindungan meski
masyarakat membangunnya dengan masih terheran-heran. Yang pasti tempat
perlindungan tersebut bukanlah sejenis lubang di bawah aspal. Jalanan pun bisa
melesak ke dalam kalau sudah ditimpa monster.
Setiap
kali hendak berubah wujud, kugunakan benda yang berbeda. Tahulah aku bahwa
setiap benda punya pengaruhnya sendiri-sendiri dalam membantuku menjalankan
tugasku. Saat aku mengacungkan sedotan misalnya, tubuhku jadi bisa meliuk-liuk
dan aku bisa menyedot si monster ke arahku lantas meniupkannya lagi
kencang-kencang ke udara. Saat aku mengacungkan uang, itu membuat si monster
jadi selalu mengejar-ngejarku ke manapun aku melangkah. Namun itu jadi
mempermudahku untuk menjebaknya masuk dalam perangkapku. Aku buat dia rela
membunuh dirinya sendiri demi mendapatkanku. Kekuatan yang aneh...
Para
ilmuwan sains, sosial, hingga parapsikologi ramai membicarakan fenomena
munculnya monster-monster ini dan terutama soal diriku yang selalu jadi
pahlawan dalam memberantas monster-monster tersebut. Mereka mencoba berbagai
macam teori dan spekulasi, mengadakan kajian, menjadi pengamat yang baik saat
pertarungan dilakukan, mengidentifikasi sisa-sisa pertarungan, bahkan sebuah
komisi baru telah dibentuk PBB secara khusus untuk mengkaji masalah ini!
Namanya kalau tidak salah Ultraboy World
Research Study Center atau apa ya... Entahlah, aku lupa. Yang jelas aku
selalu berusaha agar pertarunganku dengan monster bisa berjalan secepat
mungkin. Kalau pertarungan terpaksa dilakukan di tengah kota, aku berusaha agar
kerusakan yang terjadi tidak parah. Kalau perlu si monster kubawa ke tempat
luas yang benar-benar sepi dulu baru kuhajar. Aku tidak nyaman dengan sorotan
publik ini. Apa boleh buat, inilah konsekuensi dari permasalahan yang sedang
menimpa bumi sedang para makhluk bumi sendiri tidak ada yang mengetahuinya.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain beraksi tanpa banyak bicara. Dalam wujud
seperti ini aku mau tak mau harus selalu bungkam. Ketika aku dalam wujud di
mana aku bisa dengan bebasnya bicara, aku harus mempertimbangkan kemungkinan
ditertawakan dan dicemooh habis-habisan kalau aku bilang ada makhluk jahat dari
planet lain yang ingin membasmi manusia agar bisa menempati planet yang indah
ini.
Jadi
untuk saat ini hanya inilah yang bisa kulakukan. Aku berusaha sehati-hati
mungkin ketika hendak berubah wujud. Aku berusaha keras agar tidak membuka
rahasiaku ini pada siapapun. Aku menutup diri dari segala publikasi tentang
apa-apa yang melibatkan diriku. Bahkan jika teman-temanku sudah mulai
membicarakan topik ini, aku hanya bisa diam dan berharap mereka segera beralih
ke lain topik.
Belum
ada seorang pun yang dapat menguak misteri di balik fenomena ini. Aku berharap
Iti segera kembali dengan formula baru yang lebih canggih dan bisa menghapus
ingatan masyarakat bumi akan kehadiran Ultraboy dan monster-monsternya. Harapan
yang lebih baik lagi tentu saja, semoga mereka telah menemukan formula yang
bisa menghentikan niat jahat makhluk planet Sashdul. Mengajak mereka berdamai
atau apalah.
.
Sore
itu kulewati Mamah di ruang tengah yang diam saja tak menegur kepulanganku dari
sekolah seperti biasa. Mungkin perasaannya masih tidak enak karena dipanggil ke
ruang guru tadi. Nilai-nilai ulanganku yang jelek dan PR-PR yang kulalaikan
pasti sudah diketahuinya. Begitu Bapak pulang, pasti segera diadukannya hal
ini. Sementara mereka marah-marah di luar kamarku yang pintunya terkunci, aku
pun hanya bisa menenggelamkan diri dalam dunia di balik layar kaca: game-game-ku...
...tidak
ada di tempatnya.
Begitupun
dengan TV 14 inch-ku. Dan PS 3-ku. Lunglailah diriku. Aku merasa sedih dan
tidak berdaya.
“Kamu
dulu tidak seperti ini,” ucap Bapak di meja makan pada malamnya setelah
mendapat laporan Mamah. Emosi yang ditahan mengambang dalam intonasi suaranya.
Map berisi rapot bayangan hasil ujian tengah semesterku terbuka di hadapannya.
Hasilnya buruk dan aku sudah ditegur habis-habisan gara-gara itu pada malam
setelah pembagiannya.
“Mamat,
Mamat kenapa sih, Mat?” nada bicara Mamah melunak. “Makanya Mamah ambil PS
Mamat supaya Mamat nggak keblablasan main terus sampai nggak tidur semalaman.”
Kalau
saja aku punya waktu untuk main PS semalaman....
Aku
tidak mungkin bilang sama mereka kan kalau aku menghabiskan malam-malamku untuk
membuang bangkai monster ke lubang hitam nun jauh di langit sana?
“Mat,
minggu depan kan sudah UAS... Malu nggak sih Mat, kalau ketiduran terus di
kelas? Dapat nilai paling jelek terus?”
Siapa
juga yang suka dapat nilai jelek, Pak? Kapasitas otakku memang terbatas.
Sebelum jadi ‘pahlawan’ saja nilaiku sudah pas-pasan, kini setelah beban
menyelamatkan bumi berada di pundakku makin keteteran saja aku. Makin jatuh
nilaiku. Hei, pahlawan penyelamat bumi tidak mesti punya kehidupan akademis
yang baik kan?
“Guru
Mamat tadi bilang, kalau UAS kali ini nilaimu bagusan, kamu nggak jadi tinggal
kelas.”
“Hah?!
Mamat apa—?”
Tak
kukira kehidupan ganda ini telah kujalani selama hampir setahun lamanya.
Semester lalu yang telah kujalani berakhir dengan mengenaskan. Kali ini adalah
semester penentuan karena merupakan semester genap. Di mana pada semester
berikutnya aku sudah akan jadi kakak kelas lagi untuk adik-adik kelas yang
baru.
“Ini
kesempatan terakhir, Mat. Jangan disia-siakan.” Bapak menyuap sesendok nasi ke
dalam mulutnya.
“Iya,
makanya jangan main PS dulu ya, Mat. Konsen dulu belajar. Kalau hasil UAS Mamat
bagus, Mamat naik kelas, Mamah balikin PS Mamat.”
Aku...
tinggal kelas?
Urusan
mengenyahkan monster-monster benar-benar harus disingkirkan dulu! Maafkan aku,
Iti!
.
Aku
bersyukur sejak orangtuaku memperingatkanku akan kemungkinanku tinggal kelas,
para monster itu sudah semakin jarang muncul. Bahkan saat UAS pun sama sekali
tidak ada panggilan kerja yang biasanya berupa bunyi sirine yang
mengiang-ngiang dalam kepalaku. Aku semakin dapat merasakan adanya panggilan
kerja ini seiring dengan makin tingginya jam terbangku (aku benar-benar dapat
terbang!). Aku menganggapnya sebagai semacam insting atau naluri.
Oh,
apakah Iti dan kawan-kawan seplanetnya telah menemukan formula yang dapat
menjinakkan makhluk-makhluk Sashdul yang beringas ingin membantai makhluk
planet lainnya itu? Aku jadi kangen padanya. Iti, bagaimanakah keadaannya
sekarang?
Meski
minggu UAS telah berhasil kulewati dengan baik tanpa ada gangguan dari satupun
monster (seakan mereka mengerti kalau aku sedang UAS), namun aku masih tetap
tak bisa luput dari remedial. Aku bersyukur satu-satunya mata pelajaran yang
harus diremedial hanya Fisika. Maklum saja aku jatuh di mata pelajaran ini.
Selain karena aku memang sulit memahaminya, selama satu semester ini aku
hampir-hampir tidak pernah membuka mataku saat gurunya sedang menerangkan. Jadi
bisa dikatakan bahwa isi folder
‘Fisika’ dalam kepalaku fully blank.
Karena sudah terlalu sering diremedial, maka guruku hanya memberiku satu
kesempatan lagi untuk meremedial mata pelajaran ini: besok.
Tidak
ada waktu untuk menyesal. Yang ada hanyalah sekarang dan masa depan.
Dari
bawah sayup-sayup terdengar suara TV dibesarkan. Mungkin Mamah atau Bapak sedang menonton acara dialog interaktif yang lagi
sengit-sengitnya. Aku mencoba untuk tidak mengindahkannya.
“Monster
itu semakin mendekat ke arah pusat kota. Tingginya sekitar 15 meter....”
Ah,
peduli amat, pusat kota kan masih jauh dari sini...
MONSTER?
“Warga
kini sedang dievakuasi oleh tentara ke arah timur. Mereka bersembunyi di....”
“...menanti
kedatangan Ultraboy....”
”Ultraboy...
Tolong kami.... Monster telah menghancurkan tempat tinggal kami...”
Aliran
rumus berhenti memasuki rongga otakku. Bukan karena mereka tiba-tiba mogok atau
apa tapi semata-mata karena pintu-pintu yang ada menuju ke dalam rongga otakku
telah tertutup rapat. Yang ada hanya sirine yang mengiang-ngiang dengan keras,
memekik, menghunjam setiap sudut otakku...
Ada
monster.
Aku
harus cepat berubah wujud.
Tapi,
aku harus belajar.
Kesempatanku
untuk lulus Fisika hanya besok.
Tidak
ada lain kali.
Itu
harus dipersiapkan habis-habisan malam ini.
Malam
ini harus dioptimalkan untuk belajar Fisika.
Biarpun
aku lulus di mata pelajaran lainnya, tapi kalau ada satu saja mata pelajaran
yang nilainya tidak mencukupi untuk lulus, aku tetap akan tinggal kelas.
Aku
tidak mau tinggal kelas.
Itu
memalukan.
Bagiku
dan bagi keluargaku, orangtuaku.
Orangtuaku
yang telah begitu baik padaku. Secara sukarela membayar biaya sekolah yang amat
mahal.
Anakmu
ini tak mampu mensyukurinya karena sering molor di kelas dan mendapat nilai
jelek.
Aku
harus belajar.
Harus
belajar.
Belajar.
Harus.
Aku...
....membuka
pintu kamarku dan dengan emosi memarahi kedua orangtuaku yang sedang terpaku di
depan TV.
“Gimana
sih, Mamat kan mau belajar? Matiin dong TV-nya! Jadi nggak bisa konsen nih.
Atau pelanin kek!”
Bapak
buru-buru mengambil remot dan memelankan suara TV namun matanya masih tak bisa
lepas dari layar kaca tersebut. “Ultraboy kok nggak muncul-muncul ya?”
gumamnya.
“Kejadiannya
di kota kita, Mat...” Kudengar juga suara Mamah namun aku tak menanggapinya.
Aku bahkan tak menengok ke arah TV sama sekali. Aku pusing dengan rumus dan
juga soal monster. Huh, tak bisakah monster itu muncul besok malam saja?
Kupikir-pikir
capek juga mengurusi monster-monster itu. Sungguh menguras tenagaku harus
bergulat dengan mereka, memelintir, mengangkat, membanting, menendang, melemparkan...
Semua itu kujalani beberapa kali dalam sebulan dan itu sudah kulakukan selama
berbulan-bulan—hampir setahun malah ternyata—dan aku tidak heran kalau tubuhku
jadi cukup kekar.
Sirine
itu makin kuat mengguncang kepalaku. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar
geraman si monster.
Aku
membanting pintu beranda, menguncinya, menutup gordin rapat-rapat—tak peduli
bahkan jika monster itu dapat mengeluarkan api sekalipun—aku harus belajar!
Masa
depanku dipertaruhkan!
Meskipun
kemampuan lainku mungkin lebih berguna bagi masyarakat, tapi tetap akademik
yang harus didahulukan!
.
Aku
tidak tahan lama-lama berada di kamarku. Di lantai dua ini rasanya suara-suara
di seluruh kota dapat terdengar masuk menembus kepalaku. Kucari-cari bagian
terdalam rumah yang paling kedap terhadap gangguan suara dari luar... Hm.... Di
mana ya? Kuputuskan untuk pindah ke ruang kerja Bapak. Ha, benar sekali. Ini
adalah tempat yang tepat. Sangat tenang. Kutempelkan pantatku pada kursi Bapak
yang besar dan empuk. Hm, nyamannya! Kusuruh sirine dalam kepalaku diam. Karena
terbiasa berkonsentrasi menghimpun tenaga agar bisa menghasilkan kekuatan ultra
sebagai senjata pamungkas untuk menghabisi si monster, agak mudah pula jadinya
bagiku untuk berkonsentrasi mendiamkan sirine di kepalaku itu. Dalam waktu yang
tidak begitu lama, akhirnya isi kepalaku dapat tenang juga. Kini bisa
kucurahkan seluruh perhatianku agar bisa menjadi The Master of Physic dalam semalam.
Wakaka....
.
Kudapati
jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Huahm, aku ketiduran rupanya.
Untungnya di kepalaku telah lengket beberapa rumus. Aku bangkit untuk
melaksanakan solat tahajud. Ya, akhir-akhir ini memang ibadahku jadi rajin
gara-gara UAS. Solat lima waktu tak pernah ketinggalan, lengkap dengan solat
sunah rawatib, duha, dan tahajudnya. Puasa Daud apalagi. Orangtua dan
teman-temanku sampai geleng-geleng kepala. Bapak hanya bilang, “Bagus kalau
Mamat bisa pertahankan terus.” Hm, aku tak yakin.
Setelah
melaksanakan solat, aku menyeduh sebungkus kopi instan agar kantuk tak lagi
muncul. Aku berhasil bertahan sampai subuh dan beberapa tambahan rumus dan
konsep telah menempel di kepalaku. Setelah solat subuh kuteruskan lagi hapalan
dan latihanku. Karena sehabis UAS tidak ada KBM sebagaimana biasa, maka aku pun
baru akan ke sekolah sekitar jam setengah sembilan pagi. Jadwal remedialku jam
sembilan. Pada jam delapan pagi, aku, yang telah siap berangkat, melewati kamar
orangtuaku di mana kulihat mereka berdua sedang berbenah seperti hendak pergi
ke suatu tempat. Aku heran karena seharusnya Bapak sudah berangkat ke kantor
pada jam segini. Kulihat raut muram di wajah Bapakku.
“Kok
nggak ngantor, Pak?” tanyaku.
“Ikut
runtuh, Mat, kantor Bapak.” Bapak mengancingkan lengan batiknya.
“Hah?”
Dahiku berkerenyit. Lantas teringat kejadian semalam. Kejadian yang seharusnya
menjadi tanggung jawabku untuk mengatasinya. Ah, mereka kan tidak tahu kalau
itu tanggung jawabku. Jadi untuk apa aku merasa bersalah? Itu kan tanggung
jawabnya Ultraboy.... yang mana adalah aku... Tidak, saat ini Mamat namaku.
Rahmat Hidayat. “Oh iya, kemarin gimana? Itu... Berita monsternya?”
“Yah,
sama tentaralah, Mat. Untung kita masih punya tentara....”
“Trus
sekarang Mamah sama Bapak pada mau pergi ke mana?”
“Mau
ngelayat temen...”
“Ah,
udahlah Mat, liat aja berita kalau pingin tau beritanya lebih lengkap,” usir
Mamah yang tidak bisa menyembunyikan kedukaannya.
Bergegas
aku ke ruang tengah di mana sudah tergeletak di atas meja
koran terbaru edisi hari ini. Kubaca angka yang tertera: 23. Sebanyak 23 warga
tewas karena kerusuhan yang diakibatkan oleh si monster tadi malam. Monster
tersebut akhirnya dapat ditaklukan setelah ditembaki berliter-liter gas air
mata. Kini monster itu dibawa dengan kapal angkut... apalah itu namanya... ke
Jepang untuk diteliti lebih lanjut.
Dari
23 warga yang meninggal itu salah satunya adalah teman orangtuaku.
Kubaca
angka yang menggambarkan besarnya kerusakan infrastruktrur perkotaan yang ada.
Wah, hebat juga.
Aku
membayangkan sekiranya tadi malam aku menyempatkan diri untuk membantai monster
tersebut. Melihat potret si monster kukira aku dapat menghabisinya dalam
waktu... kurang dari sejam saja. Korban jiwa dan kerusakan infrastruktur dapat
kuhindari dengan membawa terbang si monster ke tempat sepi dan baru di sana aku
mengajaknya berduel. Benda yang akan kuacungkan untuk menyertai perubahan
wujudku mungkin ketapel. Akan kuketapel makhluk itu langsung ke lubang hitam.
Atau kalau tidak buku pelajaran Fisika saja sekalian. Akan kuhancurkan si
monster butut ini dengan aplikasi rumus-rumus di dalamnya. Rumus momentum boleh
juga. Akan kucari momentum yang tepat untuk men-smack-down-nya.
Mungkin
tidak akan terlalu melelahkan jika aku pergi semalam meski tetap saja stamina
termakan. Aku akan begitu letih dan mengantuk sesampainya di rumah. Aku tidak
akan sanggup menggerakkan tangan apalagi membuka mata untuk mengerjakan
soal-soal latihan.
Bapak
dan Mamah telah keluar dari kamar. Mereka menawarkan siapa tahu aku mau ikut
pergi dengan mereka sekalian diantar ke sekolah. Tentu saja aku mau. Bertiga
kami menaiki mobil. Di dalam mobil Bapak tak henti-hentinya mengingatkan kami
agar mengucap syukur rumah kami tak jadi sasaran injakan si monster. Untung
juga si monster itu tidak menjangkau sampai ke daerah sekitar rumah kami.
Sepanjang
jalan ke sekolah bukanlah pemandangan yang biasa yang kutemui. Banyak bangunan
yang sudah tidak utuh lagi. Di sekitar bangunan-bangunan rusak itu kulihat
orang-orang mondar-mandir dengan wajah frustasi, bingung, atau malah tersenyum
tawakal. Hatiku mencelos. Tubuhku merinding. Selama ini aku tidak pernah tahu
bagaimana rasanya menjadi orang-orang di bawah kakiku. Memandangi monster
mengerikan tanpa ancang-ancang meratakan segala bangunan dengan tanah.
Tempat-tempat yang mungkin jadi penyimpan kenangan telah luluh lantak. Maklum
saja, saat itu terjadi aku sedang berada di atas dan tak kupungkiri mungkin aku
menginjak satu-dua bangunan. Dalam keadaanku yang sedang di bawah ini, dan
tidak ada tanduk bagai jambul mohawk
yang nyaris menyentuh atap langit, aku mendapat pandangan seorang korban dari
pertarungan sengit yang terjadi di atas. Tanpa dapat dihindari, masyarakat di
bawah akan selalu jadi korban....
Mobil
berhenti di tepi sebuah reruntuhan bangunan berwarna hijau.
Sekolahku.
“Semoga
remedialnya sukses ya.”
Aku
menyalami Mamah dan Bapak bergantian. Kami bersikap seolah tidak terjadi
apa-apa yang luar dari biasa. Seolah bangunan sekolahku masih utuh berdiri.
Mobil orangtuaku segera melaju pergi. Meninggalkanku yang hanya bisa terdiam.
Aku
mungkin tak jadi remedial hari ini.
Padahal
aku sudah belajar semalam sampai suntuk.
Apa
kususul saja ya gurunya sampai ke rumah?
Beberapa
orang yang kukenali bermunculan. Kulihat dari ekspresi mereka, mereka sedang
berusaha menerima kenyataan bahwa sekolah mereka kini telah hancur lebur.
Adakah
guru Fisikaku di sana? Bisakah segera kita mulai remedial Fisikanya? Bisakah
segera kumuntahkan kembali tetek bengek Fisika dari dalam kepalaku? Bisakah
segera kita selesaikan ini? Karena ada satu urusan yang ingin cepat-cepat
kuselesaikan.
Jika
itu adalah kehadiran monster, aku akan dengan senang hari lekas-lekas berubah
wujud dan menggempurnya.
Jika tidak ada pun, kutatap langit pucat, akan kukeluarkan buku Fisikaku. Akan kuacungkan ke langit sana. Dengan menyebut nama Sang Pencipta, dan segala konsep mengenai hukum-Nya yang terhimpun di dalam buku tersebut, lihatlah apa yang bisa kulakukan sesampainya aku di neraka Sashdul.
akhirnya...
24 Mei
2009
0:15
WIB
18.09
WIB
[1]
Dari lagu berjudul Angin Malam,
pernah dinyanyikan oleh Bob Tutupoli, Broery Marantika, Trio Ambisi, maupun
Pance
Tidak ada komentar:
Posting Komentar