Cita-cita adalah hal yang lazim
ditanyakan kepada seorang anak. Ketika pertanyaan itu ganti diajukan oleh seorang
anak kepadanya, dadanya dijalari semacam gelora, dan ia merasa mantap akan
jawabannya yang masih sama seperti dahulu, ketika usianya masih sepantaran
anak itu: “Jadi ayah.”
Gadis itu menatapnya dengan
terkesima, sekaligus heran. Tatapan yang telah diakrabinya sedari lama, dari
siapapun, termasuk dari keluarganya sendiri. Kadang disertai pertanyaan
terang-terangan akibat dorongan penasaran yang tak tertahankan. Gadis itu mengucapkannya
dengan hati-hati, “Kalau boleh tahu… kenapa sih, Om, belum?”
Lelaki itu tersenyum. Dalam
dunianya, menikahi seorang perempuan tidaklah semudah meniduri banyak perempuan.
Ada di antara mereka yang amat lekat di hatinya. Namun perempuan itu telah
memutuskan untuk tidak menikah, dan tidak memiliki anak. Terjebak dalam
idealisme kekasihnya itu, ia menjadi partner yang setia di ranjang kendati
hubungan mereka bersifat terbuka. Kerapkali ia menumpang tidur di apartemen
perempuan itu kala sedang kehabisan uang atau amat kesepian. Setelah bertahun-tahun,
ia merasakan kehampaan. Ibunya yang telah menua di Indonesia menguatkan
alasannya untuk menyudahi hubungan dengan perempuan itu—yang memakluminya,
bagaimanapun juga. Kepulangannya makin terasa sebagai keputusan yang benar
ketika sesampainya di Indonesia ia bertemu dengan mantan kekasihnya yang telah
bercerai. Sekarang ia sedang berusaha mengambil hati perempuan itu lagi dengan
mengandalkan kepiawaiannya di ranjang.
Tentunya kepada remaja yang
sedang duduk di hadapannya itu ia tidak mengungkapkan lika-liku hubungan asmara
seorang dewasa yang pernah tinggal cukup lama di negara bebas, sehingga yang
disodorkannya adalah jawaban sederhana: “Belum ada jodohnya.”
Ada sih,
tapi masih diupayakan, ralatnya dalam hati.
Tatapan itu berganti simpati.
Sebagai seorang remaja, gadis itu telah mengalami cukup banyak patah hati.
Apalagi dengan seorang papa yang sering mewanti-wanti agar tidak berpacaran.
Gadis itu telah menceritakan banyak hal kepadanya. “Susah ya, jadi ayah?”
imbuhnya. Pertanyaan yang sepatutnya diajukan pula kepada papanya sendiri.
Lelaki itu mengangkat gelasnya
yang masih terisi penuh oleh Grapo, “Yah, kadang… orang enggak mencita-citakan
sesuatu, tapi dapet. Sebaliknya, orang yang mencita-citakan yang justru
enggak dapet,” lalu meneguk minuman itu lambat-lambat. “Tapi kita harus yakin.”
Seperti dirinya, yang
sebenarnya tidak pernah berambisi untuk meniti karier sebagai pianis. Ia ingin
bermain piano semata untuk bersenang-senang. Tapi ibunya, yang meyakini
dirinya tidak mempunyai bakat lain, malah me-ngirimnya ke sekolah musik di
Boston agar menekuni bidang tersebut. Maka semenjak itu hingga kini ia telah
mengalami pahit-manisnya transisi dari pemula menjadi pro: kompetisi,
kegamangan akan bakat, gegar budaya, kangen rumah, mempertahankan hubungan jarak
jauh dengan pacar, dikhianati pacar, ditinggal ayah untuk selama-selamanya,
diminta ibu untuk tidak terlalu sering pulang, mulai mabuk-mabukan, terbangun
di samping perempuan tidak dikenal dalam keadaan sudah tidak perjaka,
mencoba mengamen di jalan, menambal kekurangan kredit perkuliahan demi gelar
yang tidak kunjung tergapai, mencari pekerjaan paruh waktu, membentuk grup
musik lalu bubar, mengajar musik pada anak-anak bermasalah di komunitas
setempat tanpa dibayar, menumpang tinggal di apartemen teman, membentuk
grup musik lalu bubar, menumpang tinggal di apartemen teman kencan, membentuk
grup musik lalu bubar, mengisi pertunjukan di kafe-kafe kecil sampai
kafe-kafe itu bangkrut satu per satu, menjadi musisi pengiring artis-artis
lokal, menjadi musisi pengiring artis-artis terkenal, memperdalam musik
di Prancis selama beberapa tahun, menjadi asisten dosen etnomusikologi
dan dibawa berkeliling dunia untuk mengenal ragam musik etnik, makin bersemangat
mengarang komposisi sendiri, menjalin kerja sama dengan produser,
merilis album sendiri, mendapat penghargaan, mulai diundang sebagai
penampil di berbagai konser dan festival…. Pada usia menjelang kepala empat,
ia merasa sudah mencapai puncak karier, sekaligus kebuntuan dalam hubungan
asmara. Maka dengan hati lapang ia pulang ke rumah ibunya dengan harapan
perempuan itu pun puas dengan pencapaiannya. Sekarang ia dan ibunya telah
dapat bersepakat bahwa ada hal lainnya yang sedari dulu menanti untuk
diprioritaskan.
“Betul, Om,” gadis itu
mengangguk. “Semoga di usia yang baru, Om bisa ngedapetin yang dicita-citain.”
“Amin. Terima kasih, Bibe,”
lelaki itu memandang gadis di depannya dengan penuh kasih. Alangkah beruntung
orangtua Bibe—memiliki anak remaja yang sungguh perhatian!
Bibe mengangkat ransel ke pangkuannya,
lalu mengeluarkan sebuah kotak yang dilapisi kertas bermotif minimalis.
“Maaf cuman bisa kasih ini buat Om. Maklum, Om, kantong pelajar, hehehe.” Bibe
mendorong hadiahnya. Lelaki itu meraih persembahan itu mendekat. Ia membuka pembungkusnya
dengan hati-hati—hal yang akan sulit dilakukannya apabila tidak ada yang
mengamati—lalu mendapatkan sebuah jurnal dan sebatang bolpoin. “Biasanya papaku
seneng dikasih itu.” Apapun yang diberikan gadis itu pada papanya, iapun akan
menerimanya dengan senang hati! Permasalahannya hanya: Tulisan gua kelewat jelek buat notes sebagus ini. Ia paling sering
menulis dengan huruf toge—itupun hanya ia yang mengerti.
“Terima kasih.” Dipandangnya
Bibe lekat-lekat. Ia berencana untuk membeli kotak kaca nanti, memasukkan hadiah
ini ke dalamnya, lalu memajangnya di dinding kamar. Bagaimanapun ini sama
sekali tidak tampak murahan. Barangkali Bibe menghabiskan tabungannya sedari
SMP. Tebersit perasaan bahwa ia telah memberatkan gadis itu. Untuk kado ulang
tahun Bibe, kurang dari dua minggu lalu, ia memberi gadis itu seuntai gelang
emas. Ia tidak mengharapkan balasan apapun, sungguh, ia memberikannya
semata karena ingin melihat benda itu melingkar indah di pergelangan tangan
gadis yang ingin dianggapnya sebagai anak sendiri.
Ia tidak tahu kalau Bibe pun
tidak berani mengeluarkan gelang itu dari kotaknya lagi. Hadiah itu terlalu indah hingga anak itu takut orangtuanya
akan mengetahui.
Hari belum gelap ketika lelaki
itu menghentikan mobilnya di seberang gang menuju rumah Bibe. “Enggak mau diantar
sampai dalam?” tanyanya. Bibe menggeleng cepat-cepat. Mungkin sang papa sedang
berada di rumah. Gadis itu menempelkan punggung tangan kanannya ke dahi,
seperti seorang anak yang berpamitan pada orangtuanya sebelum bepergian. “Hati-hati
nyeberangnya, ya.” Ia terus mengawasi Bibe melintasi jalan raya yang telah lengang,
lalu ditelan oleh gang. Ia lupa menitip salam untuk kedua orangtua Bibe,
kendati tahu gadis itu tidak akan menyampaikannya. Kapan hari Bibe bilang
padanya agar tidak melapor pada sang mama kalau mereka jalan-jalan bareng
lagi. Pesan yang selalu dilanggarnya.
“Maaf, ya, Bibenya diajak
lagi,” ucap lelaki itu lewat telepon sesampainya di rumah. Ia telah
membersihkan diri, berganti pakaian, dan tengah menikmati senja di beranda samping
rumahnya bertemankan sigaret. Titik-titik cahaya di langit yang kelam tampak
samar, tersaput awan. Ibunya belum pulang dari pengajian, dan ia tidak perlu
bersiap menjemputnya karena perempuan itu membawa mobil sendiri. Ada
beberapa pembantu, namun kendati ia sudah cukup lama mendiami rumah itu,
tampaknya mereka masih menganggapnya sebagai penghuni baru yang asing.
“Yah, saya bisa apa,” sahut
perempuan di seberang sana. Lelaki itu tertawa menanggapinya. “Jalannya ke
mana aja tadi?”
“Biasa we, makan-makan.”
“Jangan yang mahal-mahal.
Enggak enak.”
“Enak kok. Kalau tahu
tempatnya. Perlu rekomendasi?”
“Bukan itu….” Jeda yang cukup
lama, lelaki itu menantinya dengan sabar. “Bibe cerita apa aja?”
“Tadi sih ngomongin cita-cita.”
“Dia bilang apa?”
“Belum tahu, katanya.”
“Duh. Tuh anak. Udah mau kuliah
juga.”
“Kayaknya cenderung ke sosial,
yah.”
“Iya, sih. Tapi udah terlanjur
masuk IPA. Temen-temennya banyak di sana, sih.”
“Kayak lu aja entar, murtad
dari IPA, hahaha.”
“Hehe.”
“Kata si Akang gimana?”
“Suruh nerusin jadi wartawan.”
Lelaki itu tertawa lagi.
Obrolan dengan sang mama bisa berjam-jam lamanya. Membicarakan anak selalu
menjadi topik yang menyenangkan baginya, walaupun bukan tentang anaknya
sendiri. Apalagi anak remaja kadangkala sulit berkomunikasi dengan
orangtuanya. Ia pun mengalaminya dulu. Kini dengan senang hati ia memberikan
bantuan. Namun malam itu mereka tidak berbincang banyak. Perempuan itu
sedang berada di rumah, bersama anaknya, dan, benar saja, suaminya.
Sebelum percakapan diakhiri, ia
bertanya pada sang mama, bolehkah membawa anaknya ke Ciwidey. “Kejauhan!”
Padahal ia punya rencana one day trip bersama
gadis itu ke Singapura. Pergi pagi pulang sore pakai pesawat dari Husein
Sastranegara. “Ke kebun binatang aja, atau taman hutan raya, tuh.” Ia
mengerutkan kening, mengingat-ingat adakah pakaiannya yang cocok untuk dikenakan
di tempat-tempat semacam itu.
Satu pertanyaan lagi, yang
sebetulnya sudah pernah diajukannya berkali-kali, kapan ia bisa ngopi bareng
mereka sekeluarga? “Biar akrab sama si Akang aja sih.” Kayaknya sok salah paham
aja dari dulu, imbuhnya dalam hati. Dulu, ketika perempuan itu sudah
berbulan-bulan menikah dan masih perawan, itu masalah, menurutnya. Ia memberi
banyak saran kepada perempuan itu, dan ketika suaminya mengetahui, ia
dianggap sebagai pengganggu. Sekarang, ketika perempuan itu sudah belasan tahun
menikah dan belum memiliki anak lagi semenjak yang pertama, itu juga
masalah, sebetulnya, tapi ia lebih menyenangi hubungan dengan putri pasangan
itu, dan ketika tampaknya papanya mengetahui, ia ingin agar segalanya jelas,
dan terbuka.
“Iya, iya,” tanggapan perempuan
itu sama saja sebagaimana sebelum-sebelumnya.
Panggilan usai. Lelaki itu lalu
mengusap-usap layar tabletnya dengan telunjuk, meninjau agenda. Ia
seharusnya mempekerjakan manajer karena ia sama sekali bukan ahli dalam
mengatur jadwal. Ia sebetulnya tidak berencana untuk meneruskan kariernya
secara profesional di Indonesia. Tujuannya yang utama adalah menemani ibunya,
lalu ditambah dengan mendekati mantan kekasihnya yang telah bercerai itu.
Tapi ibunya sudah punya keasyikan sendiri dengan memasak dan berkebun, dan
sebagai lansia mandiri tidak doyan mengandalkan bantuan dari orang lain.
Adapun sang mantan kekasih sibuk dengan pekerjaannya di kementerian dan mengurus
anak-anaknya sendiri. Jadi, selain mengobrol dengan ibunya pada pagi dan sore,
bercengkerama dengan kekasihnya setidaknya sekali dalam sebulan sekalian
mengunjungi para keponakannya, berjumpa dengan kawan-kawan lama sesekali
dalam sepekan hingga menemukan kawan jalan yang istimewa—Bibe, melatih
jemarinya di atas tuts, membaca kamus bahasa sunda untuk mengingat-ingat dan
berusaha memperoleh logatnya kembali, serta merawat tubuhnya yang mulai
kendor akibat makan terlalu banyak nyamikan buatan ibunya, ia tidak punya
kesibukan berarti. Maka ketika keberadaannya mulai diketahui, namanya
dikenali, dan ajakan bermunculan, ia menanggapi beberapa di antaranya sekadar
untuk memiliki kesibukan. Yang lainnya, seperti menjadi juri ajang
pencarian bakat di TV dan membintangi iklan, ia tolak. Ia berusaha untuk menjadi
sebijak mungkin dan tidak terlalu sibuk, walaupun belakangan jadwalnya
relatif padat. Dua bulan lalu ia ikut touring
ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bulan ini ia baru pulang dari mengisi beberapa
pertunjukan di Jogja. Bandung Jazz Festival menantinya pada Oktober mendatang.
Tahun depan ada Java Jazz. Besok malam di Hotel Papandayan. Tapi setidaknya
hari ini ia sudah bertemu dengan Bibe, dan malam setelah besok malam ia
akan menuju Jakarta untuk bermalam di rumah adiknya—melampiaskan kangen
pada keponakan-keponakannya yang ceria, dan tentunya, pada malam
berikutnya, kekasihnya.
***
Pada malam Sabtu ia memberi
kesempatan pada adiknya dan sang suami untuk berpacaran di luar rumah, sementara
ia berbaring di kamar dengan trio kecil yang mengelilinginya dan bersiap
mendengarkannya mendongeng. Trio kecil itu mengingatkannya akan dirinya,
saudara kembarnya, dan adiknya semasa kecil. Persis seperti masa itu: mereka
bertiga mengitari ayah mereka di tempat tidur dan mendengarkan cerita-cerita
rakyat yang telah dimodifikasi oleh sang ayah. Kekasihnya semasa di Boston
pernah mengatakan: Ketika kau bilang
kalau cita-citamu menjadi seorang ayah, kau membayangkan ayahmu, dan
anak-anak yang mirip denganmu. Kau sebenarnya hanya ingin mengulang masa
lalu. Terjebak dalam masa lalu. Ia tidak tertarik dengan analisis semacam
itu. Demi perempuan itu ia pernah mencamkan akan menjadi lajang selamanya dan
mati bahagia, tapi kini ia dapat merasakan menjadi seorang ayah walau belum
sepenuhnya: “ayah” yang menyerupai ayahnya. Ia tertidur bersama mereka,
terbangun ketika ibu mereka yang telah pulang membuka pintu kamar dan bergumam
terharu. Ia mengecup pipi kedua putranya, lalu mengangkat yang bungsu untuk
dibawa tidur bersamanya. “Hei,” tegur si kakak. “Yang gede enggak dicium juga?”
Adiknya berlagak mendelik. “Makanya, kawin…!” Dicubitnya pipi lelaki itu.
Betapapun akrabnya ia dengan keluarga adiknya, ia merasa tidak nyaman
berada lebih dari dua malam di rumah mereka.
Pada malam Sabtu ia telah
memesan ruangan di sebuah hotel luks, dan menanti kedatangan Ri tersayang. Kekasihnya
itu telah menitipkan kedua anaknya pada sang mantan suami, dan bebas untuk
bersenang-senang semalaman itu. Berjam-jam mereka berpeluh dalam deru. Sekarang
dalam debar yang telah menenteram, berselimutkan temaram, lelaki itu
memeluk kekasihnya dari belakang. “Kapan?” bisiknya.
Lama perempuan itu diam saja.
“Baru dua tahun,” akhirnya ia
berucap.
“Dua tahun itu udah lama.”
“Gini aja dulu, enggak
apa-apa.”
Perempuan itu mengatupkan bibir
dan memejamkan mata ketika merasakan tangan lelaki itu mengusap-usap perutnya.
Dalam bisu ia bertanya-tanya apa lelaki itu sudah lupa perkataannya kapan
hari mengenai tubektomi, dan sungguh-sungguh memahami alasannya bercerai.
“Kalau aku enggak pernah
pergi,” lelaki itu mengetatkan dekapan, “anak
kita udah sebesar apa, ya?”
Dalam benaknya terbayang
seorang gadis. Sulit menganggapnya sebagai anak sendiri. Bibe terlalu mirip
kedua orangtuanya; sepenuhnya milik mereka. Tapi begitu mudahnya ia dan
gadis itu terhubung. Sekali sewaktu menengok sang mama yang sedang hamil, ia
meminta izin untuk memegang perut yang membuncit itu. Tentunya pada waktu itu
sang papa sedang tidak ada. Ketika seluruh telapak tangannya telah menempel
dengan sempurna pada permukaan itu, ia langsung merasakan adanya sentuhan dari
dalam. Seakan anak itu tahu kalau ada yang ingin menyapanya. Pada waktu itu
ayah lelaki itu belum lama meninggal dunia, pun ia baru resmi putus dari
pacar yang selama itu diidam-idamkannya menjadi istri masa depan. Duka
yang semula berdentum-dentum di dadanya mendadak lenyap. Ia menyambut
kehidupan yang baru itu, menyapanya balik
dengan senyum berseri. Belasan tahun kemudian, ketika ia berjumpa
lagi dengan kehidupan yang telah berwujud seorang gadis itu, serta-merta
perasaan itu melandanya kembali. Kadang ia termenung-menung dibuatnya.
Mungkin
sebesar Bibe, pikirnya, dan membayangkan se0rang remaja memanggilnya
dengan sebutan “Ayah”.[]
20130703
Tidak ada komentar:
Posting Komentar