Pada ulang tahunnya yang ketiga, si Adek
dihadiahi sepeda roda tiga. Adek hampir-hampir tidak mau berjalan lagi, lebih
suka mengayuh sepedanya itu. Paling tidak, suasana dalam rumah agak anteng
karena dengan sepedanya itu Adek tidak mungkin berakrobat seperti biasanya.
Mulanya, Adek hanya dapat berkeliling
dalam rumah dari ruangan ke ruangan. Ia boleh mencoba sepedanya di jalanan
sekitar rumah hanya pada waktu tertentu saja, misalnya ketika Mama sedang rihat
dari pekerjaannya atau akhir pekan saat Papa tidak ke kantor. Risky sendiri
ogah bila disuruh menemani adiknya bersepeda, kecuali kalau ia sendiri memang
ada urusan di luar rumah. Atau tepatnya, ia mau jajan ke warung lalu, seperti
biasanya, Adek memaksa ikut tapi kali ini sambil bersepeda.
Sering kali tidak ada yang bisa (atau
mau) menemani Adek bersepeda di luar rumah, sementara anak itu lagi
pengin-penginnya. Adek mulai menuntut agar dibolehkan bersepeda di luar rumah
sendirian, tapi Mama waswas. Mama membujuk Risky yang baru memulai program satu
tahun persiapan intensif UMPTN, "Kakak, apa enggak capek belajar terus?
Sekali-sekali jajan lah di luar, menghirup udara segar. Biar enggak
stres." Oh, Mama begitu perhatian. "Sekalian nemenin Adek
nyepeda."
"Mama ganggu aja sih!" hardik
Risky, yang sudah berkali-kali membaca satu paragraf yang sama di buku Kimia,
tapi belum mengerti juga.
Adek pun marah pada Mama. Ia mau keluar
sendiri bersama sepedanya, tapi pintu depan terkunci. Adek bolak-balik dari
pintu depan ke Mama, memohon-mohon minta dibukakan. Tapi Mama pura-pura tidak
tahu kuncinya di mana. Adek kembali lagi ke pintu depan, menarik-narik
gagangnya seakan-akan bakal terbuka entah bagaimana. Lalu ia menendangi pintu,
berteriak-teriak sambil menangis dan menjejak-jejakkan kaki.
Luluh lantak sudah konsentrasi yang
sedari tadi berusaha dibangun Risky. Ia menelungkupkan kepala di meja, ingin
berteriak-teriak sambil menangis dan menjejak-jejakkan kaki juga.
Adek berlari lagi pada Mama, yang baru
bisa rebahan di tempat tidur sambil membukai majalah setelah seharian
bersih-bersih dan masak. Adek menyentak-nyentakkan kain rok Mama. "Bukain!
BUKAIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN ...!" Mama berusaha memberikan penjelasan
kepada Adek. Kenapa Adek tidak boleh pergi sendirian, kenapa Mama tidak bisa
menemaninya karena mau beristirahat terlebih dahulu. Mama mengajak Adek tidur
saja. Tapi Adek tidak mau. "Boleh sepedaan, asal ada yang nemenin,"
Mama letih mengulangi, lalu timbul isengnya, "Coba minta temenin sama
Kakak."
Serta-merta Adek berlari ke kamar Risky.
Giliran kain celana Risky yang disentak-sentaknya, sampai badan kakaknya itu
terguncang-guncang. Mau tidak mau Risky mengangkat kepala. "Ayo ....
AYOOO!!!" Adek lalu membanting diri ke lantai dan berputar-putar seperti
gasing.
"Kiii .... Enggak kasihan sama
Adek?" suara Mama.
Ingin Risky menendangi gasing itu sampai
terlontar ke luar kamar, lalu mengunci pintu. Nanti juga anak itu capek sendiri
dan berhenti.
"KAKAAAAAK ...!"
Beberapa lama kemudian, Risky menunggu
Adek meluncur ke jalan dengan sepedanya itu sampai agak jauh baru keluar dari
rumah. Ia berjalan dengan menjaga jarak cukup jauh dari Adek, pokoknya asal
bocah itu masih kelihatan. Namun strateginya sia-sia. Sore itu di jalan
berkumpul beberapa wanita sedang memberi makan bocah-bocah. Adek melewati
mereka, ditegur. "Mamanya mana?" Adek menunjuk ke belakang.
Serta-merta Risky memalingkan muka, menghentikan langkah, dan memandangi
jalinan kabel listrik yang menembus tajuk pohon, seakan-akan ada burung dari
spesies langka sedang bertengger.
Perhatiannya sempat teralihkan oleh
gerung motor yang diiringi tawa genit. Sekilas memelesat dua orang berseragam
putih abu yang menunggangi Honda Gelatik. Risky memandang kecut. Bersukaria
menikmati senja bersama kekasih tidak pernah jadi miliknya. Ia juga pemuda yang
punya gelora asmara, tapi kenapa yang lain bisa jadi pacar gadis cantik sedang
ia cuma baby sitter?
Sampai di ujung jalan, Adek balik lagi
menuju persimpangan lalu berbelok ke salah satu jalan. Risky melihat dari sudut
matanya. Ketika merasa Adek sudah cukup jauh, barulah ia berbalik dan
mengikuti.
Adek anak yang supel. Ketika berpapasan
dengan seseorang—entah dikenal atau tidak—ia melambaikan tangan sambil berucap,
"Dadah!" Orang yang didadahi biasanya menanggapi dengan senyum, sapa,
atau balas dadah. Tapi ada satu orang yang sama sekali asing dengan Adek;
ketika didadahi, raut mukanya datar saja bahkan menoleh pun tidak. Adek kesal
dan meneriaki orang itu. "Dadah! Dadaaah! IH ... DADAAAAAAAH ...!"
Risky menyembunyikan diri di balik tiang
listrik.
Tapi, sejenak kemudian, "KAKAAAAK
.... ITU ADA IYONG! IYONG! IYOOONG!"
Orang asing dengan raut muka datar itu
melewati Risky sambil melihat padanya. Risky berpura-pura tidak memerhatikan,
memandang ke arah lain. Sementara kucing yang diteriaki sejenak tampak kaget,
tapi lalu melanjutkan perjalanannya seakan-akan tidak ada apa-apa.
Perhatian Adek segera teralih. Di ujung
jalan, baru saja muncul dari belokan, muncul satu sosok yang dia kenal. Mama
pernah membawa Adek ke rumah orang itu. Adek dikasih permen. Senang sekali.
"TECEYIIII .... Dadaaaah!"
Adek melambaikan tangan, padahal yang dipanggil lagi mau menyongsongnya.
Risky yang tadinya mau bergeser
melepaskan diri dari perlindungan pun mengurungkan langkah. Dari balik tiang
listrik, sebelah matanya menangkap makhluk manis yang menyambut Adek. Wajah
yang tersenyum itu putih bercahaya bak sorot lampu mobil di malam tanpa
bintang. Tubuhnya yang ramping itu kini berbalut seragam putih abu. Terakhir
kali Risky melihatnya, baru beberapa bulan lalu sebelum ia sendiri lulus SMA,
gadis itu masih berseragam putih biru. Sesore ini dia baru pulang. SMA mana?
Habis berbuat apa? Sudah punya pacar belum, ya?
Lepas mensenyumi Adek, gadis itu lanjut
berjalan. Arahnya menuju Risky yang kontan gelagapan. Entah kenapa Risky tidak
hendak kelihatan oleh gadis itu. Ia membalikkan badan dan terhuyung menjauh
dari tiang listrik, memasuki jalan lain di persimpangan itu hingga menemukan
persembunyian baru. Dari balik semak-semak taman, ia bisa mengawasi gadis itu
lewat sampai lenyap terhalang oleh rumah.
Baru beberapa kali Risky melihat gadis
itu. Sekalinya melihat, entah kenapa Risky sampai terngiang berhari-hari. Entah
kenapa juga seketika ia merasa harus bersembunyi, seakan-akan dirinya seekor
pungguk bermuka buruk yang tersilaukan oleh cahaya bulan berparaskan dewi.
Pertama kali Risky melihatnya yaitu saat gadis itu melintas di depan rumah.
Entah gadis itu melihatnya juga atau tidak karena tidak tampak menoleh, Risky
segera berjongkok di balik tubuh si Adek yang kala itu baru belajar berdiri.
Risky tidak pernah tahu nama gadis itu,
hanya rumahnya pastilah dekat-dekat sini. Sore itu, ia mendengar gadis itu
dipanggil ... Te ... ce ... yi? Adiknya memang masih agak cadel. Teceyi ....
Teceyi .... Risky termenung-menung sampai pada pikiran bahwa "Te" itu
mungkin "Teh" dari "Teteh", panggilan untuk perempuan yang lebih
tua. Jadi namanya adalah "Ceyi". Tapi itu bukan nama yang umum. Ceyi
.... Ceri .... Cherry? Mungkinkah? Cherry itu kalau di Jepang namanya
"Sakura", mungkin orang tua gadis itu penggemar Fariz RM dan lagunya
yang berjudul tersebut merupakan kenang-kenangan pertemuan mereka. Kalau benar
seperti itu, gadis itu memang pantas menyandang nama tersebut.
Sampai di rumah, Risky mengusap-usap
kepala adiknya penuh kasih sayang. Ia tidak berkeberatan mengawal adiknya
bersepeda lagi selama di jalan ada tiang listrik atau semak untuk bersembunyi.
.
Sebenarnya Risky cukup percaya diri
mendekati cewek yang dia suka. Dengan catatan: cewek itu juga menunjukkan
ketertarikan padanya. Tapi, selama ini, mulai dari SMP kali pertama ia suka
pada cewek sampai SMA saat ia punya lebih banyak incaran, Risky selalu kecele.
Yang pertama, cewek itu satu-satunya
cewek Jepang—selama Risky bersekolah di Jepang—yang pernah menunjukkan simpati
padanya, melalui perbuatan remeh-temeh seperti tersenyum tipis serta
meminjaminya alat tulis. Hingga suatu kali Shigeo iseng menanyainya soal cewek.
Sepertinya pipinya memerah dan sikapnya berubah canggung, sehingga Shigeo
mendesaknya terus. Ia pun membocorkannya. Tidak heran Shigeo mendorong Risky
mengambil tindakan. Risky kerap melihat Shigeo bercengkerama di jalan atau
taman dengan cewek yang berganti-ganti. Shigeo saat itu bergabung dengan klub
sastra di SMA. Setelah memberi Risky suntikan rasa percaya diri, Shigeo
membantunya menulis surat cinta yang terindah (atau, setidaknya begitulah kata
Shigeo). Risky menyerahkan surat cinta itu kepada si cewek. Esok paginya, ia
mendapati surat itu melekat erat di mejanya ditambahi tulisan-tulisan lain yang
sampai memenuhi seluruh permukaan mejanya. Salah satu tulisan itu mengatai dia
tak tahu diri dan menyuruhnya pulang agar mencari pacar di negerinya sendiri
saja. Hari itu Risky pulang telat dari sekolah karena mesti membersihkan
mejanya sampai benar-benar polos seperti sedia kala. Waktu dan tenaganya
sebagian besar habis untuk mengerik sisa kertas yang entah direkatkan dengan
lem apa, sampai kukunya sakit seperti mau copot. Yang menghibur Risky adalah
tinggal beberapa bulan lagi ia akan meninggalkan negara itu, yang ia harap
untuk selama-lamanya. Ia tidak akan pernah kembali, begitu camkannya
berulang-ulang dalam hati.
Di SMA, Risky masih mengartikan sikap
simpatik beberapa cewek sebagai peluang. Memang ia tidak segegabah sebelumnya.
Ia tidak langsung menyatakan perasaan, tapi mendekat perlahan-lahan. Ada masa
ketika ia menghabiskan banyak koin di telepon umum. Awalnya beberapa koin untuk
satu cewek. Kemudian jumlah koin berkurang. Antara Risky kehabisan bahan
pembicaraan atau cewek itu yang telah menyadari manuvernya, tidak tertarik,
lalu cepat-cepat menyudahi. Dipikir-pikir, rugi juga satu koin untuk
pembicaraan sesingkat itu. Apalagi setelah Risky mendengar bahwa satu koin bisa
digunakan untuk menghubungi lebih dari satu nomor, selama pulsanya masih ada.
Risky pun mencoba peruntungannya dengan beberapa cewek lain. Kalau ia bisa
menghabiskan satu koin sendiri untuk satu cewek, barulah cewek itu layak
dikejar. Namun, Risky selalu kembali ke titik itu, ketika satu koin masih
menyisakan pulsa dan tidak ada cewek lain yang bisa atau hendak ia hubungi. Ia
pun telat mengetahui cara mengakali telepon umum biar koinnya bisa diambil
lagi. Sebab, belum sempat ia memraktikkan, tampaknya reputasinya telah tersebar
di antara cewek-cewek sehingga mereka pada menjaga jarak—sama sekali tidak
memberikan celah untuk didekati.
Dengan Cherry, yang sebenarnya bernama
Shelly, Risky tidak begitu percaya diri. Cewek-cewek yang parasnya setaraf
Shelly di SMA-nya dulu biasanya sudah pada punya pacar. Boro-boro kasih nomor
telepon, lirikan saja tidak!
Atau, boleh jadi sekian pengalaman
ditolak dan dijauhi di masa silam akhirnya mengempiskan rasa percaya diri yang
telah digelembungkan Shigeo dan sebagai gantinya menumbuhkan rasa malu Risky.
Kecantikan Shelly hanya layak
diperbandingkan dengan cewek-cewek dalam kliping Risky. Kliping itu berupa map
yang berisi guntingan atau robekan dari koran, majalah, dan tabloid—baik yang
dibeli Papa atau Mama lalu tidak disentuh lagi, maupun yang sengaja dibelinya
sendiri. Mulai dari Cut Keke sampai Cindy Crawford, Tamara Bleszinsky hingga
Naomi Campbell. Ada Julia Robert dalam gaun merah panjang yang ujungnya
berumbai-rumbai, mengangkang sambil berdiri sehingga menyerupai pohon yang
akarnya tinggi-tinggi itu. Ada gadis Rodenstock dengan mata besar berbinar,
serta gadis ber-BH biru menerawang di balik blus putih dalam iklan Matahari.
Cuma Yurike Prastika yang ia hindari masuk ke dalam koleksinya, karena wajah
itu mengingatkan pada Mama, hiii! Koleksinya memang tidak seseronok dalam
majalah porno Shigeo, namun memadai untuk menemani malam-malam gelisah.
Ada map lain yang Risky peruntukkan
khusus bagi satu perempuan. Ia sudah terpincut sejak pertama kali melihat gadis
itu dalam gaun panjang merah yang sopan, di televisi. Saat itu tidak lama
setelah ia kembali ke Indonesia. Seberkas cahaya terang, menyinari
hidupku, nyanyi gadis itu, yang seketika menyinari hidup Risky juga. Ia
merasa optimistis bahwa kehidupan kedua yang menjelang dia di Indonesia akan
lebih baik, daripada kehidupan-kehidupan dia yang sebelumnya, baik sewaktu di
Jepang maupun sebelum ke Jepang. Sejak itu, tiap menyalakan televisi atau
radio, ia menanti-nantikan gadis itu bernyanyi untuk dia. Ia mengoleksi setiap
kasetnya, walaupun lebih sering mendengarkan kaset penyanyi atau grup lain.
Tiap kali melewati lapak koran, majalah, dan tabloid, ia meninjau kalau-kalau
ada terbitan baru yang memberitakan gadis itu.
Suatu kali, ia mendapat bonus poster
gadis itu. Ia menempelnya di balik pintu yang berhadapan dengan tempat tidur
supaya bisa ia pandangi sampai terlelap. Tapi, di tempat tidur, kegiatan Risky
tidak hanya menunggu lelap. Supaya tidurnya nyenyak, kadang Risky perlu melakukan
suatu urusan. Namun tatapan teduh gadis itu, kulitnya yang putih bersinar dalam
kegelapan, bahkan hidungnya yang mancung dan dagunya yang belah, semua-muanya
memancarkan kemurnian, yang serta-merta membuat Risky sungkan. Poster itu ia
lepas lagi dan ia simpan dalam map; setiap tahapnya ia lakukan secara
berhati-hati agar tidak ada semilimeter pun yang berlekuk atau kusut. Setelah
itu, barulah ia dapat melancarkan pelepasannya dengan leluasa.
Kadang tidak tertahankan untuk meraba wajah itu dengan ujung jemarinya. Namun pikirannya tak pernah sampai jauh, keburu ia merasa nista.
Ia sadar diri. Dengan Shelly saja, ia sudah merasa bak pungguk merindukan bulan. Dengan Nike, bulannya ada di galaksi lain!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar