Risky bisa saja kembali menyuruh adiknya
untuk membelikan rokok di warung secara sembunyi-sembunyi. Alih-alih, ia
memutuskan untuk pergi sendiri ke warung ... yang sejauh-jauhnya dari rumah.
Lagi pula, suntuk ia di kamar terus. Sudah lama ia tidak keluyuran tidak tentu
arah seperti sewaktu SMA.
Risky masih malas mandi. Tapi, di
samping mengoleskan Axe banyak-banyak, ia berganti pakaian dengan yang bersih
dan sudah diseterika, sedang yang sebelumnya ia lemparkan ke ranjang untuk
nanti jadi alas tidur. Ia juga membasuh muka dan merapikan rambutnya yang mulai
gondrong dengan jemari. Keluarlah ia dari rumah, memasuki belokan, melewati
taman, tanpa mengacuhkan sesama pejalan. Namun hatinya berdesir akan pertemuan
yang tidak disengaja dengan Shelly.
Mendekati kali yang membatasi kompleks
itu, di suatu lahan yang ditumbuhi pohon jambu dan sering kali sepi, Risky
melihat sekelompok anak duduk di sepedanya masing-masing memandang ke satu
arah. Ada sosok di bawah pohon yang serbahitam, mulai dari rambutnya yang
gimbal, kulitnya yang cemong, sampai seluruh pakaiannya yang telah
tercabik-cabik; yang berwarna-warni hanya tali rafia yang meliliti kedua
pergelangan tangannya. Ia duduk bersila, namun badannya bergerak-gerak tidak
keruan seiring dengan desisan-desisan dan ludah bercipratan dari mulutnya.
Salah seorang anak yang penasaran menyambitkan kerikil dan sosok itu pun
berjengit. Sesaat anak-anak tu heboh mengantisipasi serangan balasan. Namun
sosok itu alih-alih bangkit malah terus bersila dan mendesis. Mereka pun anteng
lagi memerhatikan, hingga salah seorang lainnya yang penasaran mengambil
kerikil dari tanah. Ini gilirannya mencoba. Tapi baru saja ia mengangkat
tangan, sebongkah batu yang lebih besar menghantam roda sepedanya disusul
hardikan. Sontak kelompok itu porak poranda. Risky mengenali salah satu anak
sebagai si bangsat yang dahulu kerap mengganggu Adek, dan si bangsat pun--yang
tentu saja mengenali Risky--serta-merta berteriak, "Temennya orang gila!"
sebelum melarikan sepedanya kencang-kencang.
Begitu anak-anak itu tidak terlihat
lagi, Risky lanjut melangkah. Sembari melewati sosok hitam itu, ia melirikkan
pandangannya sekaligus menjaga jarak.
Risky berjalan berputar-putar kompleks,
bahkan memasuki perkampungan, hingga merasa cukup, baru membeli persediaan
rokok di warung berikutnya yang ia temukan, dan memutuskan untuk melewati sisi
kali itu lagi. Sosok hitam itu rupanya telah berpindah. Risky mendapati dia
sedang berdiri di tengah jalan menuju persawahan, masih mendesis-desis namun
kali ini diselingi bunyi yang menyerupai salakan anjing.
Tiba di rumah, setelah beberapa lama,
Risky merasakan bahwa jalan-jalan sore seperti tadi cukup menyegarkan. Gairah
belajar naik sedikit. Risky berpikiran untuk mengulanginya sewaktu-waktu.
Pada waktu-waktu itulah Risky mendapati
bahwa sosok hitam itu sepertinya mulai menetap di kompleks, sebab ia selalu
melihatnya. Kadang sosok itu diam saja di bawah pohon jambu, kadang berkeliaran
di jalan, kadang diikuti, diteriaki, atau dilempari anak-anak, kadang
mengais-ngais tempat sampah seperti anjing mencari makan.
Entah mulai kapan, kehadiran sosok itu
meresahkan warga kompleks. Sebabnya, ada anak-anak yang diserang. Sosok itu
mengejar anak-anak sambil mengacungkan patahan dahan yang cukup besar. Selain
itu, kadang ia memukul-mukulkan patahan dahan itu pada pagar rumah orang, tiang
listrik, apa pun, sambil berteriak-teriak mengamuk sendiri. Ada pula tetangga
yang menggembok pagar rumahnya biarpun hari masih terang, sebab pernah sosok
itu kedapatan tidur di sembarang teras sehingga merisihkan yang punya rumah;
mau keluar, takut disergap. Ibu-ibu yang ketakutan melarang anaknya keluar
rumah, atau setidaknya jangan main jauh-jauh dan apabila bertemu si orang gila
jangan didekati sebaiknya langsung pulang saja. Adek termasuk anak yang
dikurung di rumah. Tiap kali Adek merengek-rengek sambil menariki gagang pintu
yang dikunci, Mama menggiringnya masuk ke kamar Risky, secara tidak langsung
menyuruh dia agar mengalihkan perhatian anak itu, padahal Risky sedang berusaha
keras agar dapat berkonsentrasi belajar.
Awalnya, Risky masih rela meladeni
adiknya. Tapi sekarang tinggal beberapa bulan lagi menuju UMPTN, sedang bahan
yang belum dikuasai masih banyak. Ketika menghadapi soal yang benar-benar
menguras otak, yang sudah berkali-kali diutak-atiknya, ditinggalkan, lalu
dicobanya kembali setelah beberapa lama, Risky merasa ingin berteriak-teriak
juga seperti si sosok hitam, malah kalau perlu sampai membanting meja.
Kepalanya seperti yang mengepulkan asap saking panasnya. Mama sama sekali tidak
meringankan bebannya. Ketika terdengar di kejauhan sosok itu sedang melancarkan
amuknya, apa pun penyebabnya, Mama menuding, "Tuh, Ki, kayak kamu."
Luapan stres yang nyaris meloncat dari mulut Risky pun tertelan lagi,
menggondok di tenggorokan. Maka sebagai gantinya ia cuma duduk di bawah kipas
angin, meresapi pusaran itu mengademkan kepalanya. Meski akibatnya ia selalu
masuk angin dan Adek tergelak-gelak tiap kali kentutnya menggelegar.
Warga kerap membicarakan cara-cara
mengusir si sosok hitam dari kompleks. Ada yang bilang itu kiriman dari
kompleks lain. Ada yang bilang nanti juga ia pergi sendiri kalau sudah bosan.
Ada yang mengusulkan untuk menghubungi Dinas Sosial. Tapi ada yang menyanggah
dengan teori bahwa Dinas Sosial justru sengaja melepas orang gila ke
jalan-jalan karena sudah kelebihan kapasitas, dan yang satu itu kebetulan saja
menyasar kemari.
Diskusi pun merembet pada fenomena dunia
kiwari yang semakin banyak tekanan, sehingga semakin banyak pula orang sakit
jiwa.
"Betul itu, apalagi sekarang ini
makin banyak TV swasta. Banyak acara TV yang tidak baik, bikin neurotik!"
imbuh Mama berapi-api, didukung informasi yang pernah dibacanya dari suatu
majalah. Dari dalam kamarnya yang menghadap halaman depan, Risky tak sengaja
mendengarnya saat para ibu berkumpul di pinggir jalan.
Lalu diskusi bergulir pada kemungkinan
sebab-sebab menggilanya si sosok hitam. Keranjingan menonton TV cuma salah satu
teori. Berbagai teori lain tidak tertangkap oleh Risky karena perhatiannya
semestinya hanya tercurah pada buku di hadapannya. Kebetulan saja yang satu itu
masuk ke telinganya.
"Mungkin dia kelamaan nganggur,
enggak dapat-dapat kerja, jadi stres, frustrasi, depresi, gila!"
"Hah ..." ada yang mendesah. "Sekarang
ini sudah jadi sarjana pun enggak menjamin dapat kerjaan."
"Betul, malah ada tetangga saudara
saya di kampung akhirnya melamar jadi TKI!"
"Sarjana lulusan mana dulu?"
"Lulusan PTN pun belum tentu
gampang dapat kerja lo!"
Risky meletakkan pensilnya. Ia bergeser
menjangkau stereo dan menyalakan radio. Volumenya dikencangkan secukupnya untuk
menyamarkan suara ibu-ibu di luar.
Bersamaan dengan itu muncul teori,
"Jangan-jangan itu intel gaya baru!"
"Atau mungkin kelamaan di penjara,
jadi gila ...."
Suara mereka berangsur-angsur memelan.
Mata saling melirik waspada, beredar ke sekeliling. Perkumpulan itu membubarkan
diri.
Tak sengaja Risky memutar kepala
sehingga menghadap ke ambang pintu yang terbuka. Mama yang baru memasuki rumah
sembari lewat tak sengaja pula menoleh ke arah kamar Risky. Pandangan mereka
bertumbuk, namun Risky yang tak acuh lantas kembali menghadapi mejanya.
Terdengar suara Mama, "Papa kamu dulu, belum lulus dari ITB aja, udah
dapat tawaran kerja di mana-mana. Sekarang juga mesti lulusan ITB banyak yang
nyari. Indonesia kan masih membangun. Masih butuh banyak insinyur."
Risky mendengarkan namun tak menyahut,
biar Mama mengira sudah mengoceh sendiri. Lagi pula, ia sudah tahu. Karena
itulah, kesempatan ini tidak boleh ia gagalkan lagi. Tapi, semakin
meresapkannya, semakin ia merasakan ketegangan. Setiap materi yang tidak dapat
ia pahami, setiap hafalan yang segera terlupa lagi, setiap soal yang tidak
berhasil ia pecahkan, bagi dia berarti semakin besar kemungkinan untuk kembali
gagal ....
Sering kali pikiran Risky melayang pada
si sosok hitam, yang sama-sama menjadi bahan hinaan orang. Tapi, si sosok hitam
sudah kehilangan akal, bukan? Mestinya mau diejek sebagaimanapun, ia tidak akan
merasa. Tapi ia masih bisa menyerang, mengamuk. Mungkin ia tidak sepenuhnya
gila. Mungkin masih ada kesadarannya, tapi apa lagi yang bisa dia lakukan?
Mungkin ia sudah di ambang ketidakberdayaan. Seketika itu, Risky menyadari
bahwa hidupnya tidak sama sekali buruk, atau tepatnya, belum. Ia masih bisa anjlok
ke posisi yang lebih bawah lagi, yang ditempati si sosok hitam.
Risky menepis kemungkinan itu. Tidak,
kalau ia berjuang terus hingga dapat menguasai segala materi dan soal, ia akan
lulus UMPTN, kuliah di ITB, dan masa depannya terjamin cerah. Tapi, begitu
kembali melihat barisan soal yang sudah berkali-kali dia lewati, saking
sulitnya, Risky mendapati sel-sel otaknya bagaikan romusa-romusa kecil yang
mulai pada tumbang bergelimpangan. Mau memikirkan soal sampai sekeras apa pun,
mengutak-atiknya sampai memenuhi berlembar-lembar kertas, tetap saja menemui
jalan buntu. Akalnya seperti berhenti, yang kalau didesak terus, jangan-jangan
bakal memilih untuk terbang lari dan tidak kembali lagi--menghilang. Hilang
akal! Bukankah itu yang terjadi pada si sosok hitam?! Orang disebut gila karena
hilang akalnya, bukan?! Tapi, bagaimanapun, tidak ada cara lain, ia mesti terus
mencambuki romusa-romusa kecil itu agar terus menggali, menggali, menggali, ...
sampai menemukan jawaban atas setiap persoalan dalam buku pelajaran dan
persiapan UMPTN ....
Mama melongok ke dalam kamar dan mendapati Risky bertelanjang dada dan bercelana kolor; rambutnya sama awut-awutan dengan segala barang lain di kamarnya, tiap beberapa waktu diremas-remas dan diacak-acak sambil kepalanya digeleng-gelengkan. Badannya mengilap oleh keringat dan kipas angin menebarkan aromanya ke mana-mana.
"Belum mandi jugaaa?! Kayak orang gila aja!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar