"Adeeek, kalau makan yang
kon-sen-tra-si!!!"
Tapi Adek menggeleng-geleng dan terus
saja berlarian masuk ke satu ruangan dan keluar lagi menuju ruangan lain,
sering kali ke kamar Risky, di mana yang bersangkutan sendiri tengah berusaha
keras agar dapat berkonsentrasi.
"Kakak! Kakak! Gambarin lagi Power
Renjer kayak yang waktu itu," kata Adek ketika melihat Risky sedang
menggambar pesawat mendekati menara di atas kertas. Sebenarnya Risky sedang
berusaha memahami Efek Doppler yang keluar di UMPTN tahun lalu. Tapi sepertinya
Adek mengira ia sedang membuat gambar aksi. "Itu yang di pesawat siapa?"
"Enggak ada orangnya."
"Ada Power Renjernya?"
"Enggak ada."
"Kenapa enggak ada orangnya?"
"Enggak ada."
"Ke mana orangnya?"
"Sibuk."
"Sibuk apa?"
"Diem!"
"Sibuk diem?"
"Kamu yang diem!"
"Adek, sini, ayok, belajar makan
sendiri bareng Mama, yuk," Mama memasuki kamar. Beberapa saat selanjutnya
dilalui dengan Mama membujuk Adek yang selalu membantah di balik punggung Risky
yang serta-merta terkacaukan konsentrasinya.
"Kakak lagi sibuk belajar--"
"Enggak mau!"
"Jangan ganggu--"
"Aku makannya di sini ajaaa!"
"Enggak boleh!" Risky
berbalik. Kemarin Adek makan di kamarnya, sampai mencecerkan remah-remah
makanan sehingga terinjak-injak oleh Risky dan merekatkan halaman-halaman
majalah yang baru dia beli.
"Ya udah, enggak apa-apa deh, biar
di sini aja. Daripada sulit makan!" putus Mama sembari menyerahkan piring
kepada Adek. Tidak ada yang memedulikan erangan Risky.
Begitupun ketika selanjutnya Risky
menemukan sampul kaset hiphop kesayangannya robek. Siapa lagi pelakunya kalau
bukan Adek?! Risky membentak anak itu, yang buru-buru dihampiri Mama, yang
segera saja membalas tuduhannya. "Makanya kamu rapiin dong kamarnya!
Jangan geletakin barang sembarangan aja. Adek kan enggak tahu!" sergah
Mama sambil menyambut Adek yang mendekap pahanya.
"Jangan ke sini!"
"Biarin aja dong. Kamu kan udah
gede, berbagi sama Adek!"
"AAARRRGGGHHH!!!"
Waktu belajar paling tenteram memang
sepanjang malam, selagi yang lain-lain tidur. Tapi adakalanya Adek ingin tidur
di kamar Risky, memintanya membacakan komik sebagai pengantar tidur, atau asyik
sendiri main sambil berceloteh menirukan efek suara, atau kesatria melawan
penjahat, di balik punggung Risky yang duduk di meja belajar sembari
memijat-mijat kepala. Pastinya Mama turun tangan mengajak Adek agar kembali ke
kamar sebelah, untuk tidur saat itu juga. Tapi Adek berkilah, "Kakak juga
enggak tidur!"
"Kakak mau belajar ...."
"Aku mau nemenin Kakak!"
"Enggak usah ditemenin!"
bentak Risky.
"Aku mau nemenin!"
"Kakak tidur sekarang aja
deh!" kata Mama.
Padahal Risky sudah penuh niat dan
semangat untuk menghajar malam itu.
"Pura-pura aja!" lanjut Mama
pada Risky seakan-akan Adek tidak memerhatikan. "Lagian kamu apa-apaan sih
begadang semalaman, tidur seharian, kayak kalong aja. Kebiasaan enggak bener
itu!"
Ingin Risky menendang adiknya, tapi itu
hanya akan memperpanjang urusan. Risky menurut. Ia merebahkan diri dan
memejamkan mata--sementara Mama mematikan lampu dan menutup pintu kamarnya
sembari menggandeng Adek keluar. Risky pun tertidur semalaman dan terbangun
penuh penyesalan pagi-pagi oleh gelegar senam disko, sejak Mama menetapkan
bahwa program perampingan tubuh sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Ruang
keluarga tempat TV dan alat pemutar video berada tepat di muka kamar Risky.
Kalau sudah begitu, percuma saja mencoba tidur terus. Risky keluar kamar hendak
membuang muatan dan membasuh muka di kamar mandi, sembari tangannya menutupi
sisi wajah untuk menghalangi pemandangan Mama yang terbungkus dalam busana
ketat berwarna-warni menyolok mata sedang di sampingnya Adek
berjingkrak-jingkrak mengikuti gerakannya.
Kalau terjaga sepanjang pagi sampai
malam, gangguannya lebih-lebih lagi. Mama memang mendukung Risky belajar,
dengan mengantarkan nyamikan serta menjauhkan Adek, tapi sering kali cuma
berlagak. Berkali-kali Mama mampir sekadar untuk menegur,
"Belajar terus, apa enggak jenuh?
Main dulu sana sama Adek," yang maksudnya adalah mengawasi Adek makan
sementara Mama mengerjakan yang lain, atau,
"Mau jajan, enggak? Sekalian titip
tahu," yang maksudnya adalah berbelanja ke warung yang jauh sebab warung
terdekat tidak menyediakan bahan masakan, atau,
"Biar segar, cuci piring dulu
gih," yang maksudnya tentu sudah jelas, atau,
"Tidur melulu! Katanya mau
belajar!?" padahal Risky baru saja merebahkan diri sembari terus
memikirkan maksud dari "gradien garis singgung grafik fungsi y=f(x) adalah
y'=f'(x) sama dengan dua kali absis P(x,y)".
Risky menghitung-hitung: dalam sehari
lebih banyak kekerapan Mama--dan Adek, pastinya--masuk ke kamarnya daripada
jumlah soal yang berhasil dia pecahkan tanpa mengintip pembahasan sama sekali.
Risky bisa saja mengunci pintu kamar,
sebagai tanda bahwa dia sedang tidak bisa diganggu. Kalau belum cukup, sekalian
saja ia setel volume stereonya kencang-kencang untuk meredam gedoran Mama atau
teriakan Adek. Tapi suatu kali tetangga sebelah datang dan meminta agar suara
stereo Risky dipelankan, karena di rumahnya ada yang sakit, atau apalah.
Ditambah lagi, pada suatu waktu, Risky mengamuk menonjok-nonjok pintu sampai
bolong sehingga siapa saja kini bisa mengintip dan memanggil dia dengan suara
yang lebih jelas daripada sebelumnya. Adek, terutama, yang menjadikan lubang
pintu itu permainan menarik. Ia senang menjulurkan anggota badannya lewat
lubang, bahkan kemudian lengannya entah bagaimana dapat memutar kunci pintu.
Ketika kunci pintunya disembunyikan, ia tetap saja iseng.
"Kakak, Kakak lagi apa?"
"Kakak lagi belajar, Dek!"
jawab Mama dari jauh.
"Kakak lagi belajar apa?"
"Kakak, itu di tipi ada yang rame
lo!" kata Adek lagi.
"Kakak, kok diem aja? Kakak lagi
bobok sambil duduk, ya?"
"Kakak, Kakak lagi bobok?"
Risky coba menutup lubang itu dengan
kertas, karton, lakban, dan segala macamnya, tapi selalu berhasil dilubangi
lagi oleh Adek, sampai Risky menemukan potongan tripleks di gudang dan
memakukannya pada pintu.
Tapi, kemudian, "IKIII! Apa-apaan
sih dikunci segala?!" dengan suara nyaring yang tak mungkin lagi
disamarkan oleh kencangnya volume stereo.
Tampaknya Risky kemudian coba berdamai
dengan keadaan, dengan membiarkan pintu kamarnya tidak terkunci bahkan terbuka
lebar-lebar sekalian. Padahal diam-diam ia menyiapkan penghalang baru, dengan
mengasah sensitivitas artistiknya dalam menggambar ... cewek bugil. Pengalaman
telah mengajarkan Risky bahwa itu cara ampuh untuk menjauhkan diri dari wanita.
Memang benar.
Sebelumnya Mama masih menoleransi
poster-poster cewek berbaju renang. Tapi kali ini, "APA-APAAN SIH
KAMUUU???!" Mama menunjuk-nunjuk gambar di atas tempat tidur,
menjambretnya, menggumalkannya, dan membawanya keluar mungkin untuk dibakar.
Risky cuma menoleh sedikit dengan malas. Tidak apa-apa. Ia masih bisa bikin
lagi. Ia akan terus bikin.
Sembari menggambar yang baru, dan baru
lagi, Risky mempertimbangkan apakah sebaiknya ia memilih jurusan seni saja
daripada teknik. Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, kedengarannya keren.
Tapi setelah mengamat-amati lagi hasil
gambarnya, ia merasa tidak cukup nyeniman. Tarikan garisnya jauh
dari lembut. Ia memang dapat menggambar genitalia, robot, serta pahlawan super
pesanan Adek secara mendetail, tapi lebih daripada itu hanyalah lukisan manusia
gua yang Adek pun bisa membuatnya.
Setelah Mama mengenyahkan satu gambar,
gambar-gambar lain pun segera terpampang di dinding kamar Risky. Memang Mama
jadi risih masuk ke kamarnya. Hingga, Risky tidak menduga, Papa lalu
menggantikan.
Pertama-tama, Papa memerhatikan lubang
di pintu yang kini ditutup oleh tripleks itu, kemudian seantero kamar Risky:
ranjang kayu yang beralaskan pakaian-pakaian kotor, onggokan kasur di sudut
sebelahnya dengan isian kapuk yang amburadul berikut bantal dan gulingnya,
berbukit-bukit komik dan bacaan ringan lain, serta berbagai kaset gim dan
musik, sebagian ambruk berserakan begitu saja di karpet, lantai, kolong tempat
tidur, belum lagi mainan, renyukan kertas coretan, puntung rokok, gumpalan
debu, bungkus makanan ringan, dan aneka sampah lain, sedang meja sesak oleh
gunungan buku pelajaran, mug-mug bekas kopi, asbak buatan sendiri dari kertas
....
Papa membuka jalan dengan mengangkat dan
menepikan barang-barang, mendekati gambar-gambar di dinding yang hanya
bermodalkan kertas kuarto dan pensil itu, hingga Risky rikuh sendiri karena
lamanya Papa mematung dengan mata terpancang pada gambarnya, selayaknya guru
Biologi sedang mengoreksi lembar jawaban ulangan.
Namun Papa hanya mengatakan soal Adek
yang suka masuk ke kamarnya. Memang saat itu Adek sedang berguling-gulingan di
hamparan pakaian kotor, sambil menerbangkan dan menabrakkan satu robot-robotan
Risky ke perbukitan komik. Mendengar dirinya disinggung-singgung, Adek bangkit
dan ikut mengamat-amati gambar Risky dengan raut bertanya-tanya, sampai tidak
menyadari Papa keluar kamar.
"Kakak, itu gambar orang?"
ganti Adek yang mengomentari.
"Iya," jawab Risky malas. Ia
sudah kembali beralih pada buku pelajaran.
"Orangnya enggak pakai baju?"
"Enggak."
"Enggak dingin?"
"Enggak."
"Enggak masuk angin?"
"Enggak."
Terpikir untuk menggiring Adek keluar
kamar, namun saat Risky berbalik, anak itu sudah tidak ada. Risky kembali
menghadap meja belajar.
Tidak lama kemudian, Risky membaui aroma yang dia akrabi, biasanya menyebar setelah Adek mandi. Ia mendengus-dengus sembari menoleh mencari asal aroma itu, dan mendapati Adek menurunkan kaki dari kepala tempat tidur. Botol minyak telon di tangannya.
Risky beranjak dari kursi, menghampiri Adek dan memerhatikan yang baru saja dilakukan bocah itu. Ia tercengang, lalu mencabut salah satu gambar buatannya yang telah dibanjur minyak telon itu, menggumalkannya, lalu menimpukkannya ke kepala Adek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar