Risky terjaga semalaman. Mendekati
subuh, ia semakin gelisah. Keluarganya tidak berlangganan koran sehingga di
puncak kegelisahannya itu, saat pagi masih buta, ia memacu motor keluar
kompleks dan berkeliling jalanan. Pulang-pulang, ia membawa satu
eksemplar Pikiran Rakyat dan segera saja mencari kartu
ujiannya. Ia duduk di tempat tidur.
Mana mana mana mana ....
Matanya memelototi deretan angka dan
nama, menyapu ke kanan ke kiri, ke atas ke bawah. Sekujur tubuhnya menegang
sebelum terempas lemas ke kasur.
Cat kamarnya masih tajam menusuk
penciuman. Kasurnya pun kini busa, lebih empuk daripada kapuk. Ia menguatkan
diri untuk kembali duduk. Tatapannya mengitari seantero ruangan, mulai dari
perabot lama pindahan dari lantai bawah--tempat tidur, nakas, meja belajar,
karpet, lemari pakaian, bufet, TV 14 inci, berikut alat-alat
permainannya--sampai yang baru dibuat atau dibeli--lebih banyak lemari dengan
rak-rak serta seperangkat komputer lengkap dengan mejanya. Mama menegur Papa
waktu itu, di pusat perbelanjaan setelah Risky dipersilakan memilih tipe
komputer yang diminatinya, "Sekarang belum perlu. Nanti saja kalau sudah
masuk ITB!" Namun Papa diam saja, membiarkan nota ditulis untuk lalu
dibawa ke kasir. Risky juga diam, tidak membela Papa ataupun membantah Mama,
meski siapa sih yang tidak senang dibelikan komputer sendiri? Di samping itu,
Papa juga membeli motor walaupun--sementara Risky belum mendapat kampus yang
dituju--pemilikannya tidak jelas karena lebih sering digunakan Mama ke pasar
yang pastinya lebih lengkap daripada warung langganan. Memang motornya bukan
jenis laki seperti yang diidamkan Risky, hanya motor bebek
kebanyakan. Tetap saja ....
Saat tatapannya tidak sengaja bertemu
tatapan Papa, seketika itu juga Risky menyadari kepercayaan yang telah
diberikan padanya. Malah, bukan lagi percaya, melainkan yakin!
Tapi, rupanya keyakinan itu masih
terlalu besar untuk ia sandang.
Risky menepisnya.
"Kakaaak!" teriakan dari
lantai bawah semain kencang. Tahu-tahu saja kepala Adek menongol di pintu.
"Dipanggiiil ...!" Adek berteriak keras-keras di kuping Risky, yang
hampir-hampir tidak bereaksi.
Lesu, Risky menyeret lembaran koran
berikut secarik kartu ujiannya, menyusul Adek yang tidak mau didahului ke
lantai bawah.
"Gimana?" tegur Mama begitu
melihat Risky menuruni tangga yang langsung memasuki ruang makan. Sarapan telah
tersaji di meja makan, dan Papa duduk di salah satu sisinya. Memang senang
memiliki kamar baru berikut perabot-perabot baru, tapi Risky juga mesti mengikuti
kebiasaan yang baru-baru ini dimulai yaitu makan bersama-sama keluarga di meja
makan. Papa seperti tidak mau rugi sekarang punya meja makan besar yang kokoh,
sehingga hendak memfungsikannya secara optimal--lebih daripada sekadar tempat
menghidangkan masakan--minimal sehari sekali.
Risky mengambil posisi yang paling jauh
dan tidak berhadapan langsung dengan Papa di meja makan. Ia meletakkan
bawaannya di meja, dan mengumumkan keputusannya, "Aku mau coba lagi tahun
depan."
Mama buru-buru mengambil kacamata baca,
duduk di dekat Risky, dan mengambil koran serta mengangkat kartu ujian, mulai
mencocok-cocokkan.
"Sambil mempersiapkan, apa lagi
rencana kamu, Ki?" tanya Papa berhati-hati.
"Tahu gini kan mending dulu itu
kamu nyambi kuliah di tempat lain, atau kerja kek!" Mama hampir membanting
lembaran-lembaran kertas itu ke meja.
"Kalau nyambi, aku enggak akan
punya waktu belajar," sahut Risky.
"Ya, itu pinter-pinternya kamu bagi
waktu!" sergah Mama.
"Cari kuliah atau kerjaan yang
nyambung sama jurusan pilihan kamu, Ki," tambah Papa.
Risky terdiam, memalingkan wajah dari
kedua orang tuanya.
"Pertimbangkan aja dulu,"
lanjut Papa, sedang Mama kembali menyibak koran, menyoroti iklan-iklan kampus
swasta. Mama membacakan iklan-iklan yang menurutnya boleh juga, namun malah
menjadi jampi-jampi yang menolak Risky dan menguncinya dalam kamar.
Seharian itu, Risky termangu. Sebentar
ia duduk di meja belajar, lalu berkeliling kamar, kemudian rebah di kasur. Sore
ia tidak betah berpusar terus dalam kamar, sehingga menyalakan motor dan ganti
berputar-putar kota, tepatnya melewati kampus-kampus swasta, mulai dari yang
paling dekat sampai yang paling jauh. Kampus swasta jumlahnya berkali lipat
kampus negeri, dan Risky hanya mendatangi beberapa yang ternama. Awalnya ia
sekadar lewat, melaju tak tentu arah, sebelum memutuskan untuk mencari tempat
parkir, lalu masuk berjalan kaki menyaru sebagai mahasiswa yang ketinggalan
catatan kuliah, sambil berharap tidak ada yang bakal memerhatikannya sama
sekali.
Dengan terbatasnya kursi di PTN, kuliah
di PTS adalah alternatif yang masuk akal dan sama sekali tidak memalukan.
Memang biayanya tidak semurah PTN, tapi untuk yang sekelas Risky--orang
tuanya--masihlah terjangkau. Setelah kini ganti berputar-putar di kampus
swasta--beberapa kampus swasta--Risky menerima sisi terang dari alternatif ini.
Papa menunggu beberapa hari sebelum
kembali mengangkat topik ini di meja makan. "Gimana keputusanmu, Ki?"
Jawabnya, "Aku mau belajar satu
tahun lagi."
Mama memelototi Risky. "Memangnya
kamu enggak bisa bagi waktu, Ki? Nanti juga kalau sudah kuliah atau kerja,
pasti dituntut untuk bisa bagi waktu--"
"Kalau setelah yang ketiga kali
masih ..." Risky menimbang kata mana yang lebih tepat, "belum
berhasil juga," amit-amit, "aku janji pasti masuk
swasta sambil kerja. Kuliahnya aku bayar sendiri," tandas Risky, berusaha
terlihat dan terdengar sepenuh tekad.
"Memangnya kamu di rumah mau
ngapain aja? Masak belajar melulu? Kalau kamu enggak bisa bagi waktu antara
belajar dengan nonton teve, main komputer, ya, sama saja! Mending
waktunya untuk kegiatan yang benar-benar produktif!"
"Aku masih harus ngejar
banyak," Risky membeberkan.
"Hah, alasan saja! Yang lain cuma
perlu tiga tahun. Kamu harus berhenti membuang-buang waktu."
"Sudah, Ma," tukas Papa,
membatalkan hasrat Risky untuk membalik meja saat itu juga.
"Papa enggak pernah lihat sendiri.
Anak ini kalau di rumah sudah kebanyakan nonton teve. Sekarang dikasih
fasilitas macam-macam, makin banyak mainnya nanti. Bukannya bantu-bantu orang
tua--"
"Mama mau pembantu lagi?" sela
Papa.
"Ah, sudahlah! Semua bisa aku
kerjakan sendiri!" meski nadanya sarkastis.
Di seberang meja, Risky memalingkan
tatapan dari kedua orang tuanya, sembari berusaha mengendalikan napasnya yang
mulai menggebu. Sementara Adek sudah belajar untuk tidak menangis saat ada
suara-suara bernada sengit, tapi kini memanfaatkan kesempatan untuk kabur dari
meja makan dan lanjut menonton televisi baru 29 inci.
"Biar dia belajar mengambil
keputusannya sendiri," tegas Papa, lalu berpaling pada Risky. "Papa pegang
kata-katamu. Mama juga. Dan nanti kamu sendiri yang
mempertanggungjawabkannya!"
Risky tak memandang dan tak menyahut,
matanya tersaput oleh ketidakpastian sedang tenggorokannya tersumbat oleh
kegentaran. Ia membeku.
"Ya sudahlah, memang kamu sudah besar!"
ujar Mama, "Sudah waktunya mengurus diri sendiri!" meski nadanya
menyiratkan bahwa antara "mandiri" dan "egois" boleh jadi
beda tipis.
Risky keluar dari pertempuran itu,
menaiki tangga menuju kamarnya dengan langkah tegap tapi hatinya lunglai. Ia menutup
pintu kamar lalu duduk di tepi tempat tidur.
Kuliah di kampus swasta, oke saja.
Membayarnya sendiri dengan biaya hasil kerja sambilan? Risky merebahkan diri
berbantalkan kedua lengannya. Kenapa tidak? Ada orang-orang yang melakukannya.
Banyak kenalannya dari SMA yang kedua seperti itu. Papa seperti itu, begitulah
ceritanya dahulu.
Tapi ....
Tidak bisakah ia sekadar kuliah
di ITB saja dan segala penderitaan akan berakhir???
Ketukan pelan mengagetkan Risky, padahal
biasanya gedoran Mama atau teriakan Adek tidak menimbulkan reaksi apa-apa.
Risky membukakan pintu dan mendapati Papa.
Risky duduk lagi, tapi kali ini di kursi
belajar, dengan kepala agak tertekuk mengawasi Papa yang mengedarkan pandang ke
seantero kamarnya, bak pejabat lagi sidak sedang ia cuma pegawai rendahan yang
berdebar-debar.
Dibandingkan dengan kamarnya yang
dahulu, keadaan kamarnya yang sekarang tertata rapi. Setiap barang mendapat
tempat di dalam lemari, bufet, atau meja. Papa menatap agak lama pada koleksi
robot-robotan yang terpajang di rak paling atas salah satu lemari, terlindung
oleh dinding kaca; yang kecil di belakang, yang lebih kecil di depan. Baru
setelah itu, Papa duduk di tepi tempat tidur.
Papa bertanya, "Waktu UMPTN kamu
pilih jurusan apa aja, Ki?"
Risky menjawab bahwa pertama-tama ia
mengambil jurusan yang sama dengan Papa dahulu. Pikirnya (yang tentu saja tidak
diutarakan kepada Papa), seperti kata peribahasa "Buah jatuh tidak jauh
dari pohonnya", kemungkinan ia mewarisi bakat Papa yang diperlukan agar
dapat masuk, bertahan, dan akhirnya sukses berkarier di bidang tersebut.
Setidaknya Papa dapat bekerja di lembaga pemerintahan dan pernah memperoleh
beasiswa di luar negeri. Itu sudah standar yang bagus bila Risky dapat turut
menjangkaunya.
Untuk pilihan jurusan yang kedua pada
UMPTN yang pertama, Risky pun hanya mengekor Mama meski untuk itu ia mesti
ambil jalur IPC. Bukannya Risky ada minat pada ilmu sosial. Walau kini cuma
sibuk mondar-mandir sambil mengomel di rumah, sebelumnya Mama sempat bekerja di
tempat yang megah. Gajinya pun lumayan--setidaknya dapat melimpahi Risky dengan
aneka permintaan kecilnya. Tapi, jangankan untuk pilihan yang kedua, untuk
pilihan yang pertama saja ia hampir-hampir tidak mempersiapkan. Dikiranya alam
semesta akan begitu saja menurunkan takdir yang sama dengan orang tuanya.
Ternyata tidak.
Untuk UMPTN yang kedua, minat Risky
mengerucut pada bidang IPA saja. Sebetulnya ia benci hafalan, yang kiranya
mutlak dalam bidang IPS. Kalau harus menghafal, ia lebih suka menghafal rumus
secukupnya dan selebihnya tinggal mengutak-atik. Mending lagi apabila ia perlu
menggambar ilustrasi. Sesulit-sulitnya soal itu, menggambar bisa meredakan
suasana hatinya sejenak. Tapi bukan berarti minat Risky menjangkau
jurusan-jurusan yang kira-kira ada banyak pelajaran menggambar, misalnya
Arsitektur.
Maka, ketika Papa menanyakan alasannya
memilih jurusan-jurusan itu, Risky terkelu. Mengungkap bahwa ia memilih jurusan
yang sama dengan orang tuanya dahulu saja sudah bikin malu entah kenapa,
apalagi alasan di baliknya. Seakan-akan itu persoalan terlalu intim yang hanya
layak dibicarakan pada teman sangat karib alih-alih orang tua sendiri, seperti
membuka artis mana yang paling sering dijadikan bahan onani.
Risky terlalu lama diam untuk mengarang
alasan. Belum lagi Risky bisa menjawab, Papa menambah beban pikirannya dengan
menanyakan apakah dia sudah punya gambaran karier setelah lulus dari
jurusan-jurusan yang dipilihnya. Risky terbungkam dan menekuri karpet. O kini
papa tahu anaknya seorang idiot. Berani-beraninya si bodoh yang tidak visioner
ini mengimpikan masuk ITB. Diam kau.
"Biar gampang dapat kerja,"
ah, itu kan yang utama, ke mana pemilihan jurusan bermuara. Apa pun jurusannya,
asalkan itu di ITB, seakan-akan jaminan kemudahan memperoleh pekerjaan. Sesaat
Risky puas akan jawaban itu, umum tapi logis.
Risky melirik papanya yang tidak segera
menyahut. Tidak puaskah dengan jawaban itu? Yang dilirik malah berpaling ke
arah deretan robot di rak paling atas.
"Kamu masih suka robot, Ki?"
Papa menoleh lagi kepadanya.
Risky menggumam mengiyakan.
"Bukannya dulu kamu ingin jadi ...
apa itu ..." Papa seperti mencari-cari istilah yang tepat, "... ah,
yang Gun-Gundam-Gundam itu lo .... Ah, profesor robot, ya," Papa
tersenyum, seakan-akan puas dengan jawabannya sendiri. Anakku punya cita-cita
tinggi menjadi profesor robot, atau yang semacam itu.
Risky termangu. Ia memang suka merakit
Gundam, tapi cita-cita menjadi profesor itu sepertinya terlalu jauh. Pikiran
Risky menggali ke awalnya ia menyukai Gundam. Saat ia pindah ke Jepang dahulu, Mobile
Suit Gundam ZZ sedang diputar di televisi. Ia terkagum-kagum. Kemudian
ia mendapat Gundam kit pertamanya dari Shigeo. Sejak itu ia
ketagihan merakitnya, sampai ada beberapa kejadian Mama memarahinya karena ia
merengek terus minta dibelikan dan ketika akhirnya dikabulkan, yang
kadang-kadang saja, senangnya bukan kepalang.
Saking senangnya, ketika mendapat PR
menulis karangan tentang cita-cita, ia berkhayal di masa depannya nanti dunia
Gundam menjelma nyata, benar-benar terintegrasi dengan kehidupan manusia biasa
seperti dia, dan pekerjaannya sendiri adalah merakit Gundam dalam ukuran dan
fungsi yang sebenarnya, untuk kemaslahatan umat manusia di bumi. Tidak hanya
merakit, tugasnya mencakup sampai memperbaiki kerusakan tiap kali robotnya
pulang dari perang jagat raya. Ia membayangkan kepuasan tiada tara saat
robotnya dapat kembali terbang untuk bertempur. Walaupun dikendalikan oleh
pilot manusia, robot itu seolah-olah memiliki hati dan dapat berbicara
kepadanya, langsung ke hatinya.
"Terima kasih, Risuki-san."
"Berjuanglah yang keras,
Gundam-san!" Risky melambai-lambai pada robotnya yang memelesat ke
angkasa.
Tapi, khayalan itu sudah lama sekali
terbenam, dan Risky yang sekarang telah mengetahui bahwa sampai kapan pun itu
tidak akan menjadi kenyataan--paling tidak semasa hidupnya. Entahlah.
Mungkinkah? Tapi, yang terpenting adalah, bagaimana Papa bisa tahu? Ia tidak
ingat pernah memperlihatkan PR yang itu kepada Papa, bahkan kepada gurunya! Ia
mencoret karangan itu, dan menulis ulang setelah berkonsultasi kepada Mama.
"Sudah, kamu jadi insinyur saja, bikin pesawat, biar kayak Pak
Habibie," idola Mama.
Mengabaikan wajah Risky yang memerah,
Papa melanjutkan, "Kalau mau belajar dasar pembuatan robot, kamu bisa
pilih Teknik Elektro. Teknik Mesin juga bisa."
"Jadi, Teknik Elektro sama Teknik
Mesin?" terbata-bata Risky mengulangnya. Dua jurusan itu tidak pernah ia
pertimbangkan sebelumnya--karena memang ia tidak repot-repot menelusuri setiap
jurusan yang ada. Ia cuma suka merakit dan menonton anime, tapi tidak penah
lagi memikirkan tentang cita-cita menjadi montir atau teknisi Gundam. Sudah
begitu, ia tidak menaruh minat khusus pada perkembangan teknologi. Tiap kali
membuka koran atau majalah, ia begitu saja melewatkan berita tentang topik
tersebut dan alih-alih langsung berburu foto artis yang bisa masuk klipingnya.
"Iya .... Tapi mungkin itu dasarnya
saja, yang paling mendekati. Selebihnya kamu mesti ikut riset."
Risky manggut-manggut. Teknik
Elektro dan Teknik Mesin ....
Setelah itu, tampaknya Papa sendiri sudah
bingung mau berkata apa lagi. Risky mengantar Papa ke pintu. Setelah menutup
pintu, Kok Papa bisa tahu!!?! Risky tidak dapat mengingat
setelah mencoret karangan itu, kertasnya dia simpan di mana. Yang jelas, saat
menulisnya, Papa tidak ada di sekitar dia--lagi pula memang biasanya Papa
menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah.
Dari dulu begitu, sejak masa yang dapat
diingat Risky sampai sewaktu mereka tinggal ke Jepang. Biasanya Risky melihat
Papa sebentar saja di pagi hari, dan jarang-jarang saat malamnya.
Pada akhir pekan pun, kadang ada saja
yang dikerjakan Papa di kantornya, sehingga sering kali Risky berdua saja
dengan Mama jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, menonton bioskop, makan di
restoran, dan sebagainya.
Kalaupun ada waktu bersama Papa,
biasanya itu bukan pengalaman mengenakkan. Seakan-akan Papa baru memberikan
perhatian hanya ketika Risky membuat kesalahan, biasanya karena berantem dengan
temannya.
Risky memang brutal bila sudah
berkelahi, sehingga temannya bisa celaka dan orang tua si teman pun komplain.
Kalau sudah begitu, Papa akan menanyai Risky apa saja yang sudah dilakukannya
pada si teman, memintanya mereka ulang: berapa kali memukul, berapa kali
menendang, dan seterusnya. Lalu Papa akan membalaskannya kepada Risky dengan
perantaraan gespernya, seakan-akan biar tahu rasa tapi tidak mau secara
langsung bersentuhan dengan dia. Setelah beberapa kali kejadian seperti itu
terulang, Risky lebih suka tidak berteman saja karena sama dengan cari masalah.
Kalau bukan karena perselisihan dengan
teman, Mama yang menyuruh Risky dan Papa mendekat kepada satu sama lain. Kadang
Mama menegur Papa agar mengobrol dengan Risky. Kadang Mama mendorong Risky agar
menanyai Papa terutama bila ada kesulitan dalam pelajaran sekolah.
Kadang-kadang memang mereka duduk di sofa yang sama, membahas PR Risky. Tapi
lalu Papa menguliahi bahwa semasa sekolah ia bisa belajar sendiri, tidak pernah
dibantu sedikit pun oleh kedua orang tuanya yang sama-sama berpendidikan
rendah: ibunya buta huruf sedang ayahnya hanya bisa membaca Arab gundul. Ia
sendiri mesti rela disuruh-suruh temannya agar boleh meminjam buku pelajaran,
dan lalu berusaha mencari uang dengan menyambi bekerja di sana-sini agar bisa
membeli sendiri. Betapa Risky tidak bersyukur dengan hidupnya yang jauh lebih
enak karena telah disediakan berbagai fasilitas oleh orang tua dan bla bla bla.
Maka, bila kemudian Mama menanyakan tentang pelajaran sekolah, Risky selalu
menjawab bahwa tidak ada masalah daripada disuruh mendekat ke Papa lagi.
Untungnya, memang ia cukup pintar di sekolah--sampai sebelum pindah ke Jepang
yang bahasa pengantarnya sama sekali baru sehingga ia mesti belajar dari nol.
Sewaktu di Jepang, kejadian-kejadian
ringan tangan begitu sudah tidak terulang. Bahkan Papa dan Mama pun
hampir-hampir tak pernah bertengkar lagi. Sebagian karena dinding apartemen
mereka yang setipis tripleks, sebagian lagi karena Mama sudah putus hubungan
dengan selingkuhannya dan Risky juga tidak punya teman. Untuk pelajaran sekolah
pun, Risky tidak perlu sungkan-sungkan lagi mendekati Papa sebab ada guru yang
membantunya--terlebih karena semua pelajaran sekolah disampaikan dalam bahasa
Jepang yang Papa sendiri tidak begitu menguasai. Tapi, ketimbang adem dan
tenteram, suasana di antara mereka lebih tepat disebut dingin dan bisu.
Baru tahun-tahun belakangan ini saja,
sejak mereka pindah ke Bandung, Papa mulai sering pulang sore. Pertengkaran
orang tua kembali terjadi, walau hanya sesekali. Pernah juga Papa kelepasan
menghajar Risky lagi, tepatnya saat masa sulitnya di SMA. Tapi Risky sudah
sebesar Papa, bahkan masih tumbuh lebih besar lagi, sehingga ia tidak segan
menonjok balik dan keadaan rumah pun jadi kisruh. Meski sejak itu Papa tidak
pernah main tangan lagi, paling-paling hanya menggertak. Berangsur-angsur, yang
bikin berisik dan rusuh di rumah tinggal Adek, dengan segala polah tingkahnya
yang menggemaskan dalam berbagai arti, mengalihkan, mencuri, menyita perhatian
yang lain-lain.
Jadi, bagaimana Papa bisa mengetahui cita-cita ngawur Risky--kalau bukan dari karangan yang tidak pernah diperlihatkannya kepada siapa-siapa itu? Pasti Papa membacanya, tapi kapan? Di mana? Bagaimana bisa? Risky saja hilang ingatan di mana menaruhnya sesudah itu! Ugh!
Tapi, Papa tahu. Papa tahu, dan memendamnya selama ini. Panas yang tadi menyebar di wajah Risky kini seperti mengumpul di matanya, dan ia pun mengulum bibirnya berkali-kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar