Kamis, 23 Maret 2023

Gema Tanah Air (2/2)

(Sambungan dari entri sebelumnya, "Gema Tanah Air (1/2)")

"Perjalanan" - Suwandi Tjitrowasito, 1947
Karangan yang merekam zamannya, ketika baru merdeka atau masa agresi Belanda. Tampak sarat maksud, seperti hendak memberi semangat persatuan dalam keberagaman etnik di kereta.

"Ke Mana?" - Pramoedya Ananta Toer, 1947
Cerita yang mengharukan. Tokohnya baru berusia 18 tahun, masih muda belia punya cita-cita. Namun karena ikut perang, kakinya jadi buntung terus dia jadi merasa ketinggalan atau hilang harapan. (PTSD juga?) Karena karangan saya sendiri tokoh-tokohnya masih muda, cerpen ini relatable.
Anak terlahir antara letih dan tak sengaja
Dia pun tumbuh, mengulang riwayat ibu dan bapa,
Dia pun hidup dan tak tahu Hidup yang sebenarnya
("Syair-syair Kecil tentang Hidup" - Trisno Sumardjo, 1952)
"Peci" - Mas Saleh Sastrawinata, 1948
Kalau cerita ini bisa dipercaya, maka ia mengenai sejarah popularitas peci di Indonesia. Asalnya dari Sumatra (Padang?) sebagai simbol persatuan pemuda. Fashion pria yang lagi trendi waktu itu: sarung tenun, sandal ban mobil, jas dan dasi, plus peci. Janggal sih. Namun sarung dan peci menunjukkan lokalitas, sandal ban mobil mengandung semangat swadesi, sedang jas dan dasi merupakan pengaruh Barat. Mungkinkah toko peci M. Iming berdiri dari tren peci ini? :v

"Gigi Emas" - Mas Saleh Sastrawinata, 1948
Satu lagi dari penulis mengenai tren peci, kali ini ia mengangkat tren gigi emas (apakah ia seorang pengamat tren pada masanya?). Dalam cerita ini, ada transfomasi jiwa Mas Karto yang awalnya kecut muka tapi suka menyenangkan hati bos Belanda, sejak kedatangan saudara-saudaranya dari luar dan kemudian Jepang jadi ramah dan memutuskan "merdeka". Karena adanya tranformasi ini, saya jadi merasa bahwa karangan ini merupakan contoh cerpen yang baik: jelas alurnya berikut pemicu-pemicunya, ada perubahan yang terstruktur begitulah.

"Atheis" - Achdiat Karta Mihardja, 1949
Fragmen ini dibuka dengan deskripsi keriuhan suasana sekitar Jalan Braga-Alun-alun siang-siang entah tahun berapa, masih zaman Belanda sepertinya. Buat saya ini menarik karena saya sendiri masih bersetia dengan latar Bandung (help, I am trapped!) dan ingin belajar deskriptif jugaFragmen ini memperkenalkan karakter Anwar sang anak bupati yang bersikap seenaknya dengan gagasan Marxis-nya. Apa suatu saat cerita ini mungkin difilmkan? Kayak Tenggelamnya Kapal ven der Wijk gitu, minus Gery Chocolatos. Sebetulnya saya sudah pernah baca Atheis, pinjam dari perpustakaan SMA tapi waktu itu belum peka akan detai-detail dalam narasi (memang sekarang sudah? wkwkwk). 

"Cakap Angin dengan Warna Hijau Muda" - S. Rukiah, 1950
Cerita yang masih terasa "fresh", tampaknya bisa "diterjemahkan" ke konteks sekarang dengan tokoh gadis snob idealis yang gemar bicara politik sembari menyebut-nyebut referensi klasik bersama sosok wishful thinking dalam latar vintage. Penulis masih berusia awal 20-an.

"Dengan Maut" - Rijono Pratikto
Cerita ini tentang guru Bahasa Indonesia yang suka membaca dan menulis tapi karangannya selalu dikembalikan oleh majalah lalu ia diculik. Tampak untuk menghibur hati penulis aspiran-kapiran. Menulislah seakan-akan kau akan mati segera. Kalau di usia saya sekarang, upaya itu mulai beralih menjadi salatlah seakan-akan salat yang terakhir :(( Penulis masih berusia belasan, dan pada umur segitu saya pun masih punya semangat itu dan benar-benar menulis cerita penyemangat semacam ini :')

"Si Rangka" - Rijokno Pratikto, 1951
Cerita yang mengundang penasaran dengan penuturan yang taktis, ringkas, dan tak bertele-tele. Rupanya ini memang cerita horor, tentang istri muda yang diganggu hantu tampan pemain biola sampai-sampai dibawa ke alamnya. Hiii~ Terlepas dari bagaimana verifikasi agama terhadap kejadian mistis semacam ini, penulis berhasil menyampaikan suasana seram.

"Rumah di Sebelah" - M. Balfas, 1951
Paragraf pembukanya sangat relevan dengan zaman sekarang, padahal ini ditulis jauh sebelum era media sosial kan? Sudah begitu isinya pun memuat isu parenting. Karya jadul yang sungguh berwawasan kekinian! Cerita ini sebetulnya memaparkan riwayat hidup seorang anak bastar, campuran antara babu Jawa dan kawan majikan Belanda--indo. Kalau hidup pada masa kini, dia bisa jadi artis sinetron. Namun pada masa itu, dia cuma tukang angon dan seterusnya hidup susah. Sungguh terlalu, sungguh menyedihkan.
apa di sini
batu semua!
("Pelarian" - Rivai Apin, 1946-7)
"Bola Lampu" - Asrul Sani, 1948
Saya merasa sudah pernah baca cerita ini entah di mana. Kocak dan mengandung informasi mengenai taraf kemajuan bangsa pada masa baru merdeka di mana bola lampu tampaknya masih barang mewah.

"Sahabat dari Cordiaz" - Asrul Sani, 1948
Another cerita kocak dari Asrul Sani. Saya menduga ini cerpen satire orang Indonesia yang doyan berlagak Eropahh.

Cerpen satu lagi dari Asrul Sani dalam buku ini tidak kocak sebagaimana sebelum-belumnya, tentang mahasiswa galau beserta keruwetan pikirannya. Yang namanya mahasiswa enggak kenal tempat enggak kenal masa selalu saja menggalau ria, hadeh~

"Hati" - Siti Nuraini, 1950
Fragmen dari roman persiapan Si Keras Hati. Kalau penulisnya lahir pada 1934, berarti ia baru berusia 16 tahun waktu membuat ini. Muda benerrr. Tapi di sini ia "berlagak" sebagai perempuan 20-an dengan begitu meyakinkan--bagus! Cerita ini bisa menyuarakan awareness akan mental health, karena mengenai konflik batin atau gejolak moral dari seorang caregiver yang kakaknya gila, ayahnya lansia, ibunya telah tiada, tinggal adiknya tapi keduanya malah berseteru akibat cobaan ini. Selain itu, yang saya sukai dari fragmen ini adalah karena ada detail mengenai cara hidup pada suatu masa berikut dialek di suatu tempat (Padang?). Penulis melanjutkan kuliah di Belanda pada usia kurang lebih 18 tahun, wih!

"Tidak Bernama" - Abas Kartadinata, 1951
Cerpen bagus berakhiran sedih, mengajak pada perenungan dan menyuarakan nasib prajurit pada waktu itu serta kekikiran orang berpangkat? Sepertinya juga ada unsur kepercayaan Sunda mengenai sukma jabang bayi (jadi ingat novel Fetussaga o/ Jamal) dan bidah (lucunya di sini).

"Diagnosa" - Kamal Mahmud, 1951
Cerpen bagus lainnya, kali ini membeberkan perspektif mahasiswa kedokteran yang menggelitik. Apakah gunanya memberi sedekah ke fakir miskin selama akarnya tak teratasi, katanya. Bahkan ia merasa tak ada kewajiban pribadi/fardu 'ain soal itu, sebab dianggapnya merupakan tanggung jawab pemerintah/fardu kifayah (kalau ada orang lain, kenapa harus gue?). Mungkinkah pandangan itu timbul karena sebagai calon dokter ia sudah kebanyakan beban? :v Jadi cukuplah belajar untuk mengatasi penyakit-penyakit tertentu saja yang ada di textbook-nya, sedang penyakit borok masyarakat tidak termasuk ke dalamnya. Pandangan yang pelik karena sejatinya ia bukan sekadar (calon) dokter, melainkan juga makhluk sosial, anggota masyarakat, warga negara, the have ... hamba Allah. Saya coba memahaminya.

"Sengketa" - Muhammad Ali
Cerita yang ternyata kocak walau mungkin sekarang sudah klise, mengenai pertengkaran antartetangga. Anak-anak sih gampang berbaikan, tapi kalau orang gede yang berantem: aweeet!

"Perpisahan" - Gajus Siagian, 1953
Cerpen yang mengandalkan kebetulan, tapi bagus dalam menyiratkan konflik, ironi, dan barangkali juga sentimen keagamaan. Menggugah pikiran bahwa mungkin ada peristiwa atau realita tak terungkapkan dalam buku-buku sejarah, khususnya yang menyangkut orang biasa (bukan tokoh kenamaan).

.

Gambar di-screenshot
dari Ipusnas.
Secara umum, saya sangat suka sekali buku ini. Kalau di Goodreads, mau saya kasih lima bintang. Selain karena saya memang suka cita rasa bahasa Indonesia lawas (meski kadang-kadang ada kosakata yang tidak dimengerti termasuk istilah-istilah dari bahasa Belanda), melalui karya-karya dalam buku ini saya mendapat gambaran mengenai kehidupan bangsa di masa lalu khususnya pada tahun-tahun seputar kemerdekaan, tentunya dengan menginsafi bahwa bagaimanapun juga karya sastra amatlah diwarnai subjektivitas penulisnya.

Saya jadi merasa bahwa tabiat manusia dari masa ke masa itu sama saja, yang membedakan hanyalah adanya perkembangan teknologi dsb. Dalam cerita-cerita terutama yang belakangan, ditampakkan bahwa pada masa-masa sulit seperti kecelakaan, peperangan, dan keterbatasan lainnya ada saja manusia bangsa yang oportunistis dan tak punya belas kasihan kepada sesama (contoh: "Kemelut" Pramoedya Ananta Toer, "Surabaya" Idrus, "Dunia Antara Hidup dan Mati" Sarosi). Tidak semuanya heroik patriotik sebagaimana umumnya digembar-gemborkan. Bahkan yang disebut sebagai "pembela kemerdekaan" tetap saja punya sisi biadab (contoh: "Surabaya" Idrus, "Perpisahan" Gajus Siagian). Sosok-sosok berkebangsaan Belanda atau Jepang pun mesti menyesuaikan diri ketika zaman berganti lagi, bukan lagi bagian dari kaum penguasa melainkan sekadar penumpang di negeri orang (contoh: "Pembelaan" Suwandi Tjitrowasito, "Pahlawan dan Kucing" P. Sengodjo). Karya-karya ini seperti menyugesti supaya tak memandang pelaku sejarah 100% putih atau 100% hitam, tak mesti tegas mana pahlawan dan mana penjahat. Mereka semua sama-sama manusia yang pada dasarnya rentan akan salah dan dosa. Pun ada saja persoalan dalam bidang umum seperti kesehatan dan pendidikan (contoh: "Madrasah Muhammadiyah" Mahatmanto, "Dunia Antara Hidup dan Mati" Sarosi, "Bayi Mati" A. Radjab). 

Antologi ini membuat saya penasaran untuk menelusuri beberapa pengarang atau karyanya yang menarik saya, misalnya Mahatmanto dan puisi-puisinya (beberapa halaman saya foto dengan HP satunya karena tidak bisa screenshot wkwk), Utuy Tatang Sontani dengan novel sejarahnya Tambera (ada di Ipusnas), serta Asrul Sani dengan kumpulan cerpennya (ada di Ipusnas).

Jadi penasaran juga, apa cuma gue yang masih baca buku ini hari-hari kiwari? :v 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain