Selasa, 30 Oktober 2012

Belajar Menghajar


Bogemnya menjurus ke daguku. Bagus, aku bisa mengelak. Deru napasku menghebat, dengusnya tertahan di lubang hidung. Bagus, begitu pula katanya. Sekarang apa? Yang kupikirkan hanya menyerbu perutnya dengan puncak kepalaku. Tertangkap kedua belah tangannya, lalu tergampar tendangannya bak bola. Aku terhuyung. Tubuhku berderak di ubin. Tidak ada gunanya meresapi nyeri. Mengaduh-aduh bukan senjata yang mempan. Ia ulurkan tangan padaku, kusambut, sekalian kujegal tumitnya. Sip! Ia nyaris terjungkal, tapi bagian atas tubuhnya lantas berkelok dengan luwes, lalu menghantam tubuhku dari atas. Dadaku menubruk ubin. Ia biarkan aku terengah-engah berapa lama, sebelum menarik sebelah tanganku dengan kasar. Aku bahkan tidak sadar ia sudah tidak menindihku. Bagian belakang tubuhku terlempar hingga menabrak dinding. Segera ia mengambil jarak, angkat kedua bogem, sementara sepasang tungkai kakinya menjejak kuda-kuda. Ayo, ayo. Hembusan napasku amat keras. Sebelah mataku sudah tidak melihat. Serasa aku bakal ambruk setiap saat. Tapi ia menantiku. Aku kerahkan pukulan sikut, berharap bisa menusuk bagian manapun dari tubuhnya, manapun, ayo, terjatuhlah. Tapi bogemnya menggebuk pipiku. Sial! Sontak aku meludah. Gimana, rasanya? Ia mengulas senyum. Asin, bangke!, asin! Kujawab dengan batuk-batuk yang efeknya bak meledakkan rusuk. Aku bisa dengar sengalnya. Pelipisnya yang berkilat-kilat akibat keringat. Mendadak semangatku nyala. Ini akan jadi penghabisan, penghabisan! Kujelmakan diriku kilat, condong ke perutnya. Ia berkelit, untung masih tertangkap sebelah mataku yang masih dapat membuka. Hyah! Hyah! HYAAH! Aku sudah tidak peduli mana tangan mana kaki. Pandanganku merah, merah. Aku dibakar panas dari mana-mana, bekas tubuhnya yang menubruk tubuhku dengan semena-mena. Terakhir kuayunkan pundakku, pundakku, jatuh dalam rengkuhannya.

Ia tertawa, bangsat!, ia tertawa. Aku terkulai di kaki tempat tidurnya, sementara ia turun ke lantai bawah. Suara ibunya. Ada apa sih Nak gedebak gedebuk di atas. Beres-beres, Bu!, serunya bernada misuh-misuh, aku tahu dalam hati ia terkekeh puas, si keparat itu. Bercak merah menodai seragamku, bagus, seragamku sekarang menyerupai bendera Jepang. Aku tidak tahu jatuh dari mana cairan itu, dari dahiku apa hidungku apa mataku apa mana. Barangkali jantungku pun telah melesak ke kepala, berdenyut-denyut keras di sana.

Ia kembali, menghamburkan barang-barang dari tangkupannya di dekatku. Kapas, cotton bud, sebotol alkohol, Betadine, plester… Aku tidak tahu kalau ia ikut PMR di sekolah. Pedulilah. Perih mulai menimpa titik-titik mulai dari permukaan kulitku hingga beberapa kilometer lagi ke dalamnya. Kuintip sesekali matanya, yang dengan saksama memerhatikanku—lukaku.

“…aku enggak mau ginian lagi,” ucapku, dengan napas yang masih sukar kuatur.

“Manja banget kamu ini,” gerutunya, tanpa senewen betul.

Aku tidak menjawab, sekalian menelengkan kepalaku. Aku ingin meludah lagi. Tapi melihat bercak dari lukaku pada hari-hari sebelumnya saja belum ia bersihkan… ya ampun si brengsek ini benar-benar jorok—kadal buntung.

Ocehannya terus dengan bagaimana pukulanku makin kuat, tendanganku makin mengena, tusukanku makin lincah, dan pertahananku makin gesit dari waktu ke waktu.

Jujur, aku tidak bisa menahan ini, aku ingin bersamanya—ya aku memang ingin bersamanya!, tapi tidak untuk jadi samsaknya. Tidak untuk jadi pengganti dirinya sedang ia pengganti bapaknya, dulu, dulu ketika ia bangun siang ditampar, tidak menghabiskan makan digampar, keluyuran ditonjok, tidak kerjakan PR dijotos, menangis ditoyor, mengeyel ditempeleng. Ringan tangan dan berat mulut, begitu ia mengenang bapaknya, yang almarhum.

“Tapi kamu tahu, Raka, waktu aku jadi juara umum di SD-ku. Aku pulang bawa piala besar, piagam, hadiah… kamu tahu gimana bapakku?”

“AKH!” Tiba-tiba ia menabok lenganku dengan kencang, membuatku tahu mesti ada memar yang dalam di sana.

“…sebetulnya enggak persis di sana sih, tapi di punggung…”

Jangan tabok punggungku!

bikin sendiri dong ah meme-mu di
http://memegenerator.net/instance/28839326
“…habis itu dia nangis, Raka, dia nangis. Yang lain enggak merhatiin dia nangis, tapi aku tahu dia nangis, dia langsung pergi jadi yang lain enggak liat, tapi aku tahu, Raka, aku tahu.”

Setelah menyobek pembungkus plester ia henti sesaat. Memandang ke lain arah sebelum kembali padaku. “Aku bukan orang yang sulit kayak bapakku. Kalau aku ingin kamu jadi temenku, aku bisa bilang langsung sama kamu, enggak sulit.”

He. Benarkah? Ia tidak melakukannya. Ia cuman mengajakku ke kamarnya, main game, lalu bilang kalau tarung betulan lebih enak ketimbang tarung dengan avatar, lalu ia ketagihan. Aku bisa apa, tubuhnya jauh lebih besar dan perkasa.

“Tapi…” sejenak mukanya mengernyut-ngernyut, “…aku suka cara bapakku.”

Ia menyeringai, lebar. [cukupah:14.20 – 15. 11:231012]


sekadar ngerjain latihan dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain