Senin, 29 Oktober 2012

Perempuan di Ambang Jendela


Perempuan itu tinggal di sudut kamar di lantai dua. Kamar yang hanya ditempati ketika ada tamu. Aku sudah menyadari keberadaannya sejak aku kecil. Kadang malam-malam aku menemani ibuku ke gudang, yang terletak di dekat kamar itu. Pintu kamar terbuka, gelap tanpa setitik pun nyala, dan menampakkan sosoknya yang hanya disinari bulan.

Aku pernah menanyakan tentangnya pada ibuku. Ibuku tampak tidak suka. “Hush!” ujarnya. “Enggak ada siapa-siapa di situ.”

Tapi aku tahu ia sungguh ada. Setelah ibuku bicara seperti itu, beberapa kali kami ke lantai dua lagi, aku masih melihatnya. Tapi aku biarkan saja. Lama-lama aku tidak menggubrisnya juga, sebagaimana ibuku.

Ibuku, sekalian adikku, kemudian meninggal dalam suatu kecelakaan. Aku tinggal berdua di rumah dengan ayahku—plus seorang bibik yang bekerja untuk kami dari pagi sampai menjelang sore. Kalau malam rumahku menjadi sangat sepi, karena ayahku pulang semakin larut.

Suatu malam ayahku tidak pulang, ada dinas. Ia menyuruhku untuk menginap di rumah tanteku saja sementara, tapi aku merasa sudah cukup besar untuk ditinggal sendiri di rumah semalaman.

Malam itu aku mengerjakan PR sembari menonton TV. Tidak bisa kupungkiri lama-lama kesendirian memberdirikan bulu romaku. Sesekali aku mengedarkan pandang ke sekitarku. Napasku memburu. Kubayangkan seorang pria tiba-tiba memasuki rumahku, mengacungkan celurit dengan wajah garang, aku digoroknya sampai nyawaku meregang, lalu ia pergi dari rumah ini dengan menggotong barang-barang berharga.

Kukeraskan volume TV. Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi pada PR.

Tiba-tiba ada suara. Aku kontan berlari ke lantai dua. Uh mengerikan sekali di lantai bawah, sendiri. Barangkali itu hanya kucing atau apa, tapi aku kadung ketakutan. Kalau di lantai dua kan aku tidak sendiri. Aku tahu, aku ingat.

Perempuan itu masih ada di sana. Duduk tenang di ambang jendela. Begitu anggun.

Aku duduk di tempat tidur, jarak di antara kami mungkin hanya semeter.

“Hei,” panggilku. “Halo.”

Dan itu menjadi awal perkenalanku dengannya. Sepertinya ia juga sudah mengenaliku sejak lama, begitu yang aku sangka dari sorot matanya. Rautnya begitu pucat hingga ia tampak seperti panda berwujud manusia. Pipinya tirus, ia begitu kurus. Rambutnya hitam panjang, agak acak-acakan. Mulutnya membentuk garis mendatar. Gaunnya putih panjang, seperti transparan, seperti bersayap. Usianya mungkin belasan tahun lebih tua dariku.

Terlalu jeri aku untuk kembali ke lantai bawah dan kembali sendirian. Maka aku duduk saja bersamanya, menikmati malam yang tanpa angin. Aku mencoba berkata-kata untuk mengusir kecanggungan. Ia tidak bisa menjawab kata-kataku, tapi aku tahu dari ekspresi matanya ia menyimakku. Kata-kataku keluar semakin lancar hingga membentuk cerita. Aku ceritakan diriku. Aku ceritakan ayahku. Aku ceritakan ibuku dan adikku yang sudah tiada. Aku ceritakan teman-temanku di sekolah, yang tidak terlalu menganggapku. Aku ceritakan orang-orang yang harus kuhindari, kadang bikin aku sampai berlari. Kadang aku berhenti sejenak, termenung sendiri akan ceritaku. Tapi di bawah tatapannya aku merasa ditunggu untuk melanjutkan. Tidak terasa kantuk olehku. Menakjubkan. Setelah mulutku basah kembali aku berikan yang ia nanti-nanti, sampai wujudnya diburai azan subuh.

Aku tertegun, dan aku mengantuk. Aku tidur hampir di setiap pelajaran di sekolah.

Hampir-hampir ia kulupakan ketika ayahku bersamaku saat malam. Teringat ia. Ketika ayahku tidak memerhatikan aku berlari ke atas. Ia ada. Kutumpahkan hal-hal menarik yang kualami hari itu, seakan ia sebuah buku harian. Ia tersenyum—ia tersenyum! Lalu aku kembali ke lantai bawah karena ayahku menyuruhku untuk tidur.

Esok lagi aku mendatanginya lebih awal. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan padanya kali itu. Tapi aku ingin bersamanya. Walaupun ia selalu diam seperti ayahku, tapi aku tahu matanya selalu padaku. Aku ingin mengerjakan PR ditemani olehnya.

Dari ambang pintu kulihat sosoknya, membuatku gembira. Aku nyalakan lampu, dan ia menjadi tidak tampak.

Kurasa aku bisa mengerjakan PR dengan penerangan bulan saja.

Malam-malamku selanjutnya banyak kuiisi dengannya. Jika beberapa malam saja aku tidak bertemu dengannya, rasanya aku merindukannya. Ia yang mendengarkanku dengan tulus. Bahkan sesekali ia tertawa meskipun aku merasa tidak ada yang lucu pada ceritaku, tapi bukan tawa menghina. Barangkali aku telah menghiburnya. Aku kira ia pun kesepian. Tawanya terdengar seperti dari kejauhan, hampir-hampir lirih dan tidak menyentuh pendengaranku. Ia tidak pernah memperlihatkan giginya. Sebetulnya aku ingin ia dapat bicara, tapi sepertinya aku belum siap jika ia sampai memperlihatkan giginya, meskipun aku tidak tahu giginya seperti apa.

Ia sudah menantiku sejak magrib dan akan memudar menjelang subuh. Tapi aku tidak lagi pernah menghabiskan semalaman penuh bersamanya, karena ayahku akan heran kenapa aku begitu betah di lantai dua yang sumpek, dan ia rahasiaku, ayahku tidak boleh tahu. Kalau langkah ayahku sampai mendekat aku segera pamit pada temanku di ambang jendela itu. Di mata ayahku aku sudah tampak seperti senang memencilkan diri, apalagi kalau ia sampai menyaksikanku bicara sendiri, aku tidak mau ia sampai mengira ada yang salah denganku.

Tapi pada suatu malam aku merasa harus menghabiskan malam di kamar itu lagi. Ini bakal jadi yang terakhir kali, sebab ayahku telah memberitahuku. Kami akan pindah ke rumah yang lebih besar dengan seorang ibu dan adik-adik untukku. Bukankah itu menyenangkan? Kami berkemas-kemas hingga berhari-hari, tapi hari sebelum hari kepindahan kami berkemas-kemas hingga larut aku lelah sekali. Di depan perempuan itu aku ambruk. Maafkan aku bahkan terlalu lelah untuk bercerita. Aku tahu ia sudah puas hanya dengan memandangiku. Aku tidur menghadapnya. Tersenyum padanya sebelum memejamkan mataku. Sinar rembulan menghangatkan wajahku.

Gelap begitu singkat. Tahu-tahu sayup-sayup subuh menyelusup ke dalam rongga telingaku. Oh sudah saatnya ia menguap, aku tahu, tapi aku tidak kuasa membuka mataku, malah membenamkan sisi wajahku lebih dalam ke bantal. Pada sisi wajahku yang terbuka kurasakan belaian lembut menerpa. Ia telah pergi, selamat tinggal, untuk kembali lagi di penghujung hari berikut, tapi aku sudah tidak ada. (19.48 – 20. 34/221012)


dengan diiringi “Anomali” dari Rumah Sakit dan “Pumped-up Kicks” dari Foster The People 
sekadar ngerjain latihan dari sini 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain