Sabtu, 13 Oktober 2012

Di Jalan Depan Rumah





Suara menyepak. Bocah-bocah berteriak. Om Dede terbangun, lalu mencerna suasana. Gelap mengawang. Sudah sore rupanya. Ia melirik ke samping tempat tidurnya. Yasmin, bungsunya, tidak ada. Mungkin istri Om Dede, Tante Eka, sudah pulang. Yasmin bersama wanita itu, Om Dede akan mengeceknya.

Begitu melintas ruang tengah, Om Dede mendapati Yasmin telungkup di sofa. Cuman pindah tidur rupanya. Tante Eka sudah menggelar berkas-berkasnya di meja makan, sembari mengunyah sepotong pizza. Padahal Om Dede masak sop siang itu, tapi istrinya memang doyan beli makanan dari luar.

Tante Eka lebih suka pulang lebih awal dari jadwal kerja yang ditentukan pemerintah, lalu menyelesaikan pekerjaannya di rumah sembari mengawasi anak-anaknya. Apalagi sejak kelahiran Yasmin.

Om Dede duduk di seberang Tante Eka. Apakah wanita itu ngeh dengan keberadaan sepanci sop yang tak jauh dari tumpukan berkasnya? Om Dede amat-amati istrinya yang makin sibuk saja dari hari ke hari, sementara Om Dede sudah empat hari tidak keluar rumah sama sekali.

Sudah hampir dua tahun sejak Om Dede mengundurkan diri dari perusahaannya, dengan alasan yang sulit dipahami sanak saudara dan handai tolan. Padahal saat itu Tante Eka belum lama melahirkan. Pembantu malah minta pulang setelah setahun bertahan. Padahal zaman sekarang susah cari pembantu, bukan? Si sulung Bilqis sudah jarang di rumah, sedang menjalani tahun pertama kuliah di kota lain. Ami yang sudah bisa diandalkan mulai sibuk bimbingan belajar dan les ini-itu. Aar masih sulit disuruh-suruh, bahkan untuk sekadar mengelap kaca. Alhasil Om Dede pun tidak lama jadi pengangguran, karena segera beralih profesi jadi ayah rumah tangga.

Bocah-bocah di jalan depan rumah kembali meledak.

“GOOOL….!”

Entah kaki siapa segera beradu lagi dengan bola.

“Ke sini! Ke sini!” suara nyaring menyentak.

“Musiiin… Jaga sebelah situ ih!”

“Ck,” decak Tante Eka seraya menyibak sejumput rambut yang jatuh ke dahinya. “Anak-anak itu enggak bisa main di tempat lain apa ya?” nadanya senewen.

Om Dede beranjak. Memang anak-anak itu bersuara terlalu keras, sampai terdengar ke ruang makan. Om Dede mengamati mereka dari balik gorden ruang tamu. Tapi adakah lagi tempat yang memadai untuk mereka? Harap maklum. Tidak ada lapangan di komplek perumahan ini.

Riuh sekali. Menyilet-nyilet pendengaran Tante Eka, tapi terdengar bak musik bagi Om Dede. Om Dede pun duduk di sofa sembari terus memerhatikan. Betapa mereka mengagumkan. Bermain sepak bola itu menyehatkan. Berkumpul dengan teman-teman sebaya juga menyehatkan. Simak bagaimana mereka bicara pada satu sama lain. Dengarkan betapa bertenaganya mereka saat menendang bola, berlari ke sana ke mari untuk mencari posisi yang tepat. Mereka sungguh sehat.

Om Dede sudah lupa kapan terakhir kali ia bertemu dengan teman—teman-teman. Mereka selalu sibuk dengan pekerjaan, tidak gampang meluangkan waktu untuk sekadar makan-makan. Bagaimanapun mengurus rumah dan balita juga bisa menjadi pekerjaan yang melelahkan. Jangan tanya soal penghasilan, apalagi harga diri.

Om Dede bangkit. Ia naik ke lantai dua, menuju kamar Aar. Hanya layar TV yang menyinari muka bocah itu. Jari-jari Aar terlalu sibuk memenceti tombol-tombol joystick, alih-alih untuk menekan saklar sejenak. Om Dede yang menyalakan lampu.

“Ar, enggak ikut main di luar?”

Jerit dan gelak dari luar justru terdengar sangat jelas di sini.

“Ar,” panggil Om Dede lagi.

“AR.”

Baru Aar mendongak. “Hm,” gumamnya menanggapi, lalu tatapannya kembali ke layar TV.

“Yaaaah… Ayaaah…!” suara Tante Eka. Om Dede tidak lama-lama lagi menginterupsi Aar. “Anak-anak di luar pada manggil-manggil tuh. Enggak tahu mau apa,” ucap Tante Eka begitu Om Dede mendekat. Wanita itu masih sibuk dengan berkas-berkasnya, lalu Yasmin menangis karena jatuh dari sofa. Tante Eka lebih cepat bergerak. Jadi Om Dede beralih ke ruang tamu.

“Permisi… Mau ngambil bola…” terdengar suara itu sebelum Om Dede membuka pintu.

Anak-anak itu sudah menanti di balik pagar.

“Langsung ambil aja,” kata Om Dede, tapi ia tidak melihat bola di manapun. Telunjuk anak-anak itu mengarah ke atas. Rupanya bola tersangkut di atap.

“Siapa yang nendang? Tinggi banget,” tegur Om Dede setelah mengambilkan bola untuk anak-anak itu. Mereka semua telah berdiri di ambang teras rumahnya. Ia tersenyum saat anak-anak itu mulai saling tuding.

“Aarnya ada, Om?” cetus seorang anak.

Sayangnya Aar lebih senang main dengan orang-orangan ketimbang dengan orang betulan.

“Pada mau pizza enggak?”

Mereka bergumam-gumam pada satu sama lain. Pundak menyenggol pundak. “Mau! Mau!” sahutan mereka disertai semringah.

Masih berapa potong pizza di kardus? Sementara ia mempersilahkan anak-anak itu mencicipi dulu kue-kue kering yang tersedia di meja ruang tamu. Apalagi yang bisa ia suguhkan kepada mereka? Ia hanya ingin mengobrol, sungguh, dan pizza bisa menjadi pengiring yang manis. Syukurlah masih tersisa empat potong. Jumlah anak-anak itu lima orang, belum ditambah Aar. Tapi bukankah berbagi lebih menyenangkan?

Aar mengernyit ketika tahu teman-temannya tengah menanti di lantai bawah. Tapi ia hentikan juga permainannya.

Anak-anak itu undur diri begitu azan magrib berkumandang. Om Dede membawa kardus yang sudah kosong melompong kembali ke dalam. Tante Eka menyambut dengan cemberut. Yasmin dalam gendongannya. “Kok malah dikasih-kasih. Aar kan belum kebagian.”

“Udah tadi, sama temen-temen,” sahut Om Dede. Serta-merta Aar muncul dari ruang tamu, sehabis melepas teman-temannya pulang.

“Yasmin belum kebagian.”

“Iya,” tanggap Om Dede. Yasmin saja tidak rewel.

“Ami belum kebagian.”

Sekitar setengah jam kemudian Ami pulang dari les bahasa Inggris. Tante Eka memberitahu Ami mengenai pizza yang dihabiskan sang ayah tanpa menyisakan untuk gadis belia itu sama sekali. Ami merajuk. Om Dede menelepon layanan pesan antar. “Yang medium aja,” katanya.

“Yang gede! Yang gede!” yang lain berseru-seru.

***

Om Dede mendapati sore yang sunyi begitu ia terjaga dari tidur. Ia menyeret langkah ke ruang tengah. Di sofa Ami sedang mengajarkan Yasmin sebuah lagu. Tante Eka tenggelam dalam berkas-berkasnya di meja makan. Om Dede menuju ruang tamu. Hanya seorang pejalan kaki yang tengah melintas. Dan mobil Tante Eka di balik pagar.

“Ma, kok enggak langsung dimasukin mobilnya?” tegur Om Dede seraya mencari-cari kunci mobil di bufet ruang tengah.

“Iya entar magrib ajalah,” ujar Tante Eka. Ia sedang sibuk menulis sesuatu pada selembar kertas, dengan setumpuk berkas sebagai alas. Namun perhatiannya teralih begitu mendapati suaminya menenteng kunci mobil. “Ayah, entar aja mobilnya dipindah!” seru Tante Eka, entah Om Dede dengar atau tidak. Pria itu sudah lenyap dari ruangan.

Mobil itu harus dipindah, demikian pikir Om Dede. Anak-anak itu harus diberi ruang.


9 – 10/10/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain