Kamis, 20 Maret 2008

Belajar Privat yang Menyenangkan...

1

Jam istirahat Aze pergi keluar dari kelasnya yang sumpek semata-mata untuk mengantarkan temannya yang beser untuk pipis di WC di lantai bawah gedung seberang.

“Bisa-bisanya sekolah dengan murid sebanyak ini cuman punya WC di satu titik. Bisa-bisanya punya beser sementara kelasnya jauh di lantai paling atas,” rutuk Aze pada temannya.

Temannya hanya bisa tersenyum pasrah menerima berondongan kata-kata itu.

Sebetulnya tiap lantai di tiap gedung yang ada di sekolah ini punya WC-nya masing-masing. Tapi WC yang paling layak dipakai dan paling tidak menjijikkan di kompleks sekolah ini cuman ada di satu tempat. Di musola ada sih, cuman jauh. Kalau nekat bisa pakai WC guru. Kalau niat mah ke sekolah sebelah, WC-nya lumayan mending.

Ternyata ada hikmahnya juga mengantar teman yang beser. Aze berpapasan dengan si ganteng berkacamata yang punya senyum maut.

“Hai, Adek...” sapa Elmo hangat. Ia memakai pakaian bebas dengan tas selempang menggantung di pundak kanan yang bebas-gips.

Oh iya, kelas 3 kan tinggal nunggu pengumuman UN dan pelepasan dan prom dan... apalagi yah? Ah, peduli. Yang jelas ngapain lelaki muda nggak jentel itu ke sini?

Meski sudah lewat beberapa malam dan kekesalan itu sendiri sudah redam, namun begitu melihat Elmo hal tersebut muncul jua.

“Hai,” balas Aze datar.

Mereka saling berlalu tanpa banyak cakap lagi. Tidak ada perlu terhadap satu sama lain. Yang diingat hanya keperluannya masing-masing. Namun ternyata setelah beberapa meter melewati Elmo, Aze bisa mendengar cowok itu memanggilnya.

Aze berbalik. Whoa, ternyata di sana sudah ada Pak Kepsek dan Elmo.

“Kamu duluan aja,” perintah Aze pada temannya.

Aze mendekat dan sebagai siswi pembangkang yang sudah insaf, ia menyalami Pak Kepsek.

Pak Kepsek bertanya dengan wajah penuh pengharapan, “Udah mulai kan belajarnya? Gimana? Berguna, kan?”

Elmo dan Aze serentak menjawab, “Ya, Pak.”

Sebuah ‘ya’ yang tidak jelas mengiyakan apa sebetulnya.

“Ya udah, Bapak mau ke sana dulu, ya. Lanjutin belajar barengnya. Bapak bangga dengan kalian, ha-ha-ha-ha-ha.” Sepertinya Pak Kepsek sedang ceria.

Aze melipat tangannya sambil memandangi kepergian Pak Kepsek ceria. “Masak aku dipanggil cuman buat itu aja?” katanya seolah-olah ‘itu’ telah membuatnya melewatkan momen yang penting. Mengantar teman ke WC, misal.

“Elmo jadi nggak enak nih ma Pak Kepsek. Pulang sekolah nanti, mau nggak belajar bareng?”

Aze menoleh. “Heuh? Belajar apa?”

“Belajar bareng,” jawab Elmo polos.

“Bukan. Maksud aku, kita... akan mempelajari apa?” ulang Aze dengan kearifan seorang guru TK.

“Ya apa aja, terserah.”

“Huh, rese banget sih Pak Kepsek...” Aze hendak pergi tapi tangan Elmo menahan pundaknya.

“Ehh... mau nggak? Mumpung hari ini Elmo lagi libur intensif.”

“Mmm, sebetulnya aku ogah. Jangan pas pulang sekolah banget deh. Besok aja habis Jumatan gimana? Di perpus.”

“Kantin aja deh.”

“Nggak mau ah. Banyak orang.”

“Kantin—“

“Perpus. Udah ya. Ciao.”

Meski Aze tidak begitu menyukai gagasan Pak Kepsek tapi... mau bagaimana lagi yah? Memangnya siapa lagi yang akan tahan membimbing Aze belajar sampai mengerti. Mungkin Elmo bisa. Ya, siapa tahu? Pinter gitu, kok. Sering diomongin guru-guru di depan kelas. Dipuji-puji... Tapi dalam berkomunikasi kayaknya dia agak bego juga.

 

2

Perpustakaan sekolah bukannya tidak rame. Mereka duduk berseberangan di ujung meja panjang yang terletak di tengah perpus. Aze tidak tahu pasti apa yang harus dia pelajari saat ini. Bukannya ia sudah ngerti. Tapi karena materi yang belum ia pahami mendalam itu banyak sekali. Elmo yang penyabar membantu Aze.

“Pelajaran yang buat kamu paling susah deh.”

“Hm. Apa ya? Semuanya terasa sama saja. Tapi nilai ulangan aku paling jelek di Kimia ma Fisika.”

“Ya udah. Kita belajar itu aja.”

“Mmm, tapi aku cuman bawa buku Fisika soalnya hari ini ada pelajarannya.”

“Ya udah, itu aja.”

“Eh, emangnya nggak apa-apa aku belajar ama Akang? Nanti kalau ada ceweknya gimana?”

“Nggak papa kok. Udah biasa.”

 

3

“Coba deh, cari dulu v-nya. Abis itu kaliin ma t...”

Tangan kanan Aze yang memegang pensil tertahan 10 cm di atas buku tulis, sebelum ia mengambil buku tulis itu dan memukul-mukulkannya di kepala. “Uuuuh... butek! Butek!”

 

4

Kedua tangan Aze menopang dahi pemiliknya. Sedari tadi ia melotot melihat perhitungannya terhadap sebuah soal yang belum juga rampung. Sejak sekitar tiga perempat jam yang lalu baru dua soal yang berhasil ia kerjakan. Padahal Elmo sudah menjelaskannya berkali-kali. Tapi kenapa ia belum juga mengerti?!?!? Aaargghh... What the hell...!!

.

Elmo tidak mengerti mengapa Aze tidak juga dapat menyelesaikan soal semudah ini. Ya... yang jelas otak mereka isinya beda. Apa anak ini benar-benar bebal ya? Kok bisa, lolos jadi siswi SMAN Bilatung? Di tengah kesenewenan yang mulai mendobrak batas kesabaran, Elmo merasa geli. Jangan-jangan otak anak itu terbuat dari bambu lagi. Ceweknya saja tidak sebodoh itu, hahaha. Tapi sebagai guru privat amatiran lagi tak dibayar ia berusaha profesional dengan menempatkan ‘murid’nya sebagai subjek.

“Elmo juga dulunya nggak tau sama sekali caranya gimana kok. Tapi kalau dipahami sedikit demi sedikit pasti bisa ngerjain.”

Aze menukas dengan cepat dan galak, “Setiap guru Fisika juga bilangnya kek gitu!”

 

5

Berpuluh menit berlalu setelah itu. Kesenewenan itu akhirnya berhasil mendobrak batas kesabaran Elmo. Terlebih lagi ketika Aze tidak selesai-selesai juga ngerjain soal nomor lima. Padahal ia sempat senang ketika Aze dengan lancar mampu mengerjakan nomor tiga dan nomor empat. Sedari tadi yang dirasakan oleh indra Elmo adalah, Aze mengeluh, Aze meratap, Aze ketiduran, Aze merutuk, Aze bengong, Aze menyerah, Aze mau keluar sekolah saja dan melamar jadi pembantu rumah tangganya guru Kimia.

“Elo teh maunya gimana seh?! Mo gue ajarin berjuta kali juga kalau lo tetep gitu mah sia-sia aja gue ngajarin!” gertak Elmo membuat beberapa anak di sekitar situ terkesiap dari kantuknya.

“Emangnya siapa yang minta diajarin Fisika? Akang sendiri yang mau kan?”

 

6

Elmo ngambek. Aze bisa melihat itu dari sorot matanya. Sedari tadi ia bungkam dan melihat ke arah lain. Aze berusaha memperbaiki. Bagaimanapun ia seharusnya menghargai kesediaan Elmo mengajarinya sampai mengerti meski sayangnya tidak tercapai. Heh, darimana datangnya kesadaran sialan ini?!

“Kang, jangan marah dong...,” ujar Aze putus asa.

Elmo tak bergeming. Aze menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Apa yang harus dia lakukan? Dia sendiri capek karena berapa kali ngotret jawabannya tidak ketemu. Jelas saja, karena rumus yang ia pakai juga asal-asalan. Elmo sih, sok-sokan pake metode Socrates. Metode macam apa pula itu?

Aze berusaha mengenakkan suasana dengan mengajak Elmo keluar dari topik yang membuatnya ngambek.

“Kang, sekarang kalo ke sekolah naik apa?”

“HUH.”

“Naik angkot ya? Masih suka ketemu copet gak? Mau aku temenin lagi?”

Elmo memandang dengan jijik. “Mama Elmo kan nggak pingin Elmo naik motor lagi, lebih berisiko. Jadi mama beliin Elmo Yaris. Tapi da tangan Elmo masih digips....,”papar Elmo sebelum sadar bahwa ia sedang ngambek.

“Berarti masih tetep naik angkot kan? Hehehe. Ngaku aja deh nggak usah gengsi.”

“...”

Setelah sejenak mengalirkan darah ke kepala dengan mendongakkan kepalanya ke atas, Aze berkata dengan suara pelan, “Aku ngaku deh...” Aze memiringkan kepalanya, menghimpun kesiapan untuk menyatakan ini. “Sebenernya... aku teh... dulu maunya masuk IPS... Tapi waktu itu ada temen aku yang bilang kalau...”

Aze berhenti untuk melihat bagaimana reaksi Elmo. Uh, tiis-tiis aja tuh.

“Mau tau kelanjutannya, nggak?”

Elmo memandang Aze sekilas. “Iya, sok terusin!” katanya masih dengan nada marah.

Aze kembali memiringkan kepalanya. Sok menerawang dengan wajah sendu, “Katanya aku teh nggak tampang masuk IPS...”

“Huh? Kenapa?” Aze bisa melihat ekspresi heran di muka Elmo.

“Ya...ya... katanya... aku... nggak... tampang! Masak gitu aja nggak ngerti sih?”

“Kenapa...?” Elmo sepertinya tertarik. Ia memperbaiki posisinya duduknya jadi lebih condong ke depan.

Aze menunduk. “Ya... soalnya... soalnya...” Uh, sampai kapan aku harus main pendramatisasian bego ini?!

Elmo tiba-tiba tergelak dan dengan penuh semangat menyala menunjuk Aze, “Soalnya kamu anak kurang gaul! Wuahahaha...” Tawa Elmo meledak.

Aze bangkit dari duduknya dan segera membereskan barang-barangnya di meja dan setelah sampai berjalan ke loker penitipan barang, dibantingnya semua itu ke dalam ransel bulukannya dengan ganas.

“Ini jadi belajar bareng terakhir kita!” serunya dramatis sebelum meninggalkan perpustakaan.

 

7

Malam harinya, seperti biasa Aze tidur-tiduran di ranjangnya. Sambil membaca koran yang dibawa pulang orangtuanya dari kantor ia menantikan hapenya bergetar. Kalau getarannya singkat berarti sms yang masuk. Kalau panjang, berarti telepon. Ia menanti sms atau telepon dari Elmo. Bagaimanapun cowok yang telah melecehkan dirinya itu harus minta maaf!

Aze telah habis membaca seluruh huruf di koran setebal 60 halaman itu. Jam di hape sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Padahal biasanya jam sembilan ia sudah mangap dengan mata terpejam. Padahal semestinya ia mengerjakan soal-soal ketimbang membaca iklan baris.

“Argh...” serunya dengan suara agak keras, mengira seluruh penghuni rumah mungil itu telah tertidur. “Nista! Nista! Nista! Si Elmo anjir banget!”

Sayup-sayup terdengar suara berintisarikan amarah yang datang mendekat. Suara ibunya, “Yanaaaa!!! Siapa yang ngajarin kamu ngomong kayak gitu?!”

 

8

Beberapa hari kemudian, Aze tengah melakukan rutinitasnya, membaca koran di atas kasur kamar. Bukannya membuat rangkuman, padahal hari-hari menuju ulum tinggal hitungan jari tangan. Sebuah sms datang ke hape Aze, membuat benda sebesar genggaman tangan anak manusia itu berderit-derit di atas meja.

Ternyata...

Sms dari Elmo.

Dalam hati Aze mengumpat, “Mo bikin ulah apa lagi bocah tengil itu?” Aze menghentakkan jempolnya pada tuts dengan penuh nafsu memburu. Sms tersebut bunyinya singkat saja:

 

J, Lmo bsk ksg nie.mo bljr brg2 gi gk?

 

Aze membalas dengan hentakan jempol emosional:

 

Makan tu foster kanginan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain