1
Jam istirahat Aze pergi
keluar dari kelasnya yang sumpek semata-mata untuk mengantarkan temannya yang
beser untuk pipis di WC di lantai bawah gedung seberang.
“Bisa-bisanya sekolah
dengan murid sebanyak ini cuman punya WC di satu titik. Bisa-bisanya punya
beser sementara kelasnya jauh di lantai paling atas,” rutuk Aze pada temannya.
Temannya hanya bisa
tersenyum pasrah menerima berondongan kata-kata itu.
Sebetulnya tiap lantai di
tiap gedung yang ada di sekolah ini punya WC-nya masing-masing. Tapi WC yang
paling layak dipakai dan paling tidak menjijikkan di kompleks sekolah ini cuman
ada di satu tempat. Di musola ada sih, cuman jauh. Kalau nekat bisa pakai WC
guru. Kalau niat mah ke sekolah
sebelah, WC-nya lumayan mending.
Ternyata ada hikmahnya juga
mengantar teman yang beser. Aze berpapasan dengan si ganteng berkacamata yang
punya senyum maut.
“Hai, Adek...” sapa Elmo
hangat. Ia memakai pakaian bebas dengan tas selempang menggantung di pundak
kanan yang bebas-gips.
Oh iya, kelas 3 kan tinggal nunggu pengumuman UN dan pelepasan dan prom
dan... apalagi yah? Ah, peduli. Yang jelas ngapain lelaki muda nggak jentel itu
ke sini?
Meski sudah lewat beberapa
malam dan kekesalan itu sendiri sudah redam, namun begitu melihat Elmo hal
tersebut muncul jua.
“Hai,” balas Aze datar.
Mereka saling berlalu
tanpa banyak cakap lagi. Tidak ada perlu terhadap satu sama lain. Yang diingat
hanya keperluannya masing-masing. Namun ternyata setelah beberapa meter
melewati Elmo, Aze bisa mendengar cowok itu memanggilnya.
Aze berbalik. Whoa,
ternyata di sana sudah ada Pak Kepsek dan Elmo.
“Kamu duluan aja,”
perintah Aze pada temannya.
Aze mendekat dan sebagai
siswi pembangkang yang sudah insaf, ia menyalami Pak Kepsek.
Pak Kepsek bertanya dengan
wajah penuh pengharapan, “Udah mulai kan belajarnya? Gimana? Berguna, kan?”
Elmo dan Aze serentak
menjawab, “Ya, Pak.”
Sebuah ‘ya’ yang tidak
jelas mengiyakan apa sebetulnya.
“Ya udah, Bapak mau ke
sana dulu, ya. Lanjutin belajar barengnya. Bapak bangga dengan kalian,
ha-ha-ha-ha-ha.” Sepertinya Pak Kepsek sedang ceria.
Aze melipat tangannya
sambil memandangi kepergian Pak Kepsek ceria. “Masak aku dipanggil cuman buat
itu aja?” katanya seolah-olah ‘itu’ telah membuatnya melewatkan momen yang
penting. Mengantar teman ke WC, misal.
“Elmo jadi nggak enak nih
ma Pak Kepsek. Pulang sekolah nanti, mau nggak belajar bareng?”
Aze menoleh. “Heuh?
Belajar apa?”
“Belajar bareng,” jawab
Elmo polos.
“Bukan. Maksud aku,
kita... akan mempelajari apa?” ulang Aze dengan kearifan seorang guru TK.
“Ya apa aja, terserah.”
“Huh, rese banget sih Pak
Kepsek...” Aze hendak pergi tapi tangan Elmo menahan pundaknya.
“Ehh... mau nggak? Mumpung
hari ini Elmo lagi libur intensif.”
“Mmm, sebetulnya aku ogah.
Jangan pas pulang sekolah banget deh. Besok aja habis Jumatan gimana? Di
perpus.”
“Kantin aja deh.”
“Nggak mau ah. Banyak
orang.”
“Kantin—“
“Perpus. Udah ya. Ciao.”
Meski Aze tidak begitu
menyukai gagasan Pak Kepsek tapi... mau bagaimana lagi yah? Memangnya siapa
lagi yang akan tahan membimbing Aze belajar sampai mengerti. Mungkin Elmo bisa.
Ya, siapa tahu? Pinter gitu, kok. Sering diomongin guru-guru di depan kelas.
Dipuji-puji... Tapi dalam berkomunikasi kayaknya dia agak bego juga.
2
Perpustakaan sekolah
bukannya tidak rame. Mereka duduk berseberangan di ujung meja panjang yang
terletak di tengah perpus. Aze tidak tahu pasti apa yang harus dia pelajari
saat ini. Bukannya ia sudah ngerti. Tapi karena materi yang belum ia pahami
mendalam itu banyak sekali. Elmo yang penyabar membantu Aze.
“Pelajaran yang buat kamu
paling susah deh.”
“Hm. Apa ya? Semuanya
terasa sama saja. Tapi nilai ulangan aku paling jelek di Kimia ma Fisika.”
“Ya udah. Kita belajar itu
aja.”
“Mmm, tapi aku cuman bawa
buku Fisika soalnya hari ini ada pelajarannya.”
“Ya udah, itu aja.”
“Eh, emangnya nggak
apa-apa aku belajar ama Akang? Nanti kalau ada ceweknya gimana?”
“Nggak papa kok. Udah
biasa.”
3
“Coba deh, cari dulu
v-nya. Abis itu kaliin ma t...”
Tangan kanan Aze yang
memegang pensil tertahan 10 cm di atas buku tulis, sebelum ia mengambil buku
tulis itu dan memukul-mukulkannya di kepala. “Uuuuh... butek! Butek!”
4
Kedua tangan Aze menopang
dahi pemiliknya. Sedari tadi ia melotot melihat perhitungannya terhadap sebuah
soal yang belum juga rampung. Sejak sekitar tiga perempat jam yang lalu baru
dua soal yang berhasil ia kerjakan. Padahal Elmo sudah menjelaskannya
berkali-kali. Tapi kenapa ia belum juga mengerti?!?!? Aaargghh... What the hell...!!
.
Elmo tidak mengerti
mengapa Aze tidak juga dapat menyelesaikan soal semudah ini. Ya... yang jelas
otak mereka isinya beda. Apa anak ini benar-benar bebal ya? Kok bisa, lolos
jadi siswi SMAN Bilatung? Di tengah kesenewenan yang mulai mendobrak batas
kesabaran, Elmo merasa geli. Jangan-jangan otak anak itu terbuat dari bambu lagi.
Ceweknya saja tidak sebodoh itu, hahaha. Tapi sebagai guru privat amatiran lagi
tak dibayar ia berusaha profesional dengan menempatkan ‘murid’nya sebagai
subjek.
“Elmo juga dulunya nggak
tau sama sekali caranya gimana kok. Tapi kalau dipahami sedikit demi sedikit
pasti bisa ngerjain.”
Aze menukas dengan cepat
dan galak, “Setiap guru Fisika juga bilangnya kek gitu!”
5
Berpuluh menit berlalu
setelah itu. Kesenewenan itu akhirnya berhasil mendobrak batas kesabaran Elmo.
Terlebih lagi ketika Aze tidak selesai-selesai juga ngerjain soal nomor lima.
Padahal ia sempat senang ketika Aze dengan lancar mampu mengerjakan nomor tiga
dan nomor empat. Sedari tadi yang dirasakan oleh indra Elmo adalah, Aze
mengeluh, Aze meratap, Aze ketiduran, Aze merutuk, Aze bengong, Aze menyerah,
Aze mau keluar sekolah saja dan melamar jadi pembantu rumah tangganya guru
Kimia.
“Elo teh maunya gimana
seh?! Mo gue ajarin berjuta kali juga kalau lo tetep gitu mah sia-sia aja gue
ngajarin!” gertak Elmo membuat beberapa anak di sekitar situ terkesiap dari
kantuknya.
“Emangnya siapa yang minta
diajarin Fisika? Akang sendiri yang mau kan?”
6
Elmo ngambek. Aze bisa
melihat itu dari sorot matanya. Sedari tadi ia bungkam dan melihat ke arah
lain. Aze berusaha memperbaiki. Bagaimanapun ia seharusnya menghargai kesediaan
Elmo mengajarinya sampai mengerti meski sayangnya tidak tercapai. Heh, darimana
datangnya kesadaran sialan ini?!
“Kang, jangan marah
dong...,” ujar Aze putus asa.
Elmo tak bergeming. Aze
menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Apa yang harus dia lakukan? Dia
sendiri capek karena berapa kali ngotret jawabannya tidak ketemu. Jelas saja,
karena rumus yang ia pakai juga asal-asalan. Elmo sih, sok-sokan pake metode
Socrates. Metode macam apa pula itu?
Aze berusaha mengenakkan
suasana dengan mengajak Elmo keluar dari topik yang membuatnya ngambek.
“Kang, sekarang kalo ke
sekolah naik apa?”
“HUH.”
“Naik angkot ya? Masih
suka ketemu copet gak? Mau aku temenin lagi?”
Elmo memandang dengan
jijik. “Mama Elmo kan nggak pingin Elmo naik motor lagi, lebih berisiko. Jadi
mama beliin Elmo Yaris. Tapi da
tangan Elmo masih digips....,”papar Elmo sebelum sadar bahwa ia sedang ngambek.
“Berarti masih tetep naik
angkot kan? Hehehe. Ngaku aja deh nggak usah gengsi.”
“...”
Setelah sejenak
mengalirkan darah ke kepala dengan mendongakkan kepalanya ke atas, Aze berkata
dengan suara pelan, “Aku ngaku deh...” Aze memiringkan kepalanya, menghimpun
kesiapan untuk menyatakan ini. “Sebenernya... aku teh... dulu maunya masuk IPS... Tapi waktu itu ada temen aku yang
bilang kalau...”
Aze berhenti untuk melihat
bagaimana reaksi Elmo. Uh, tiis-tiis
aja tuh.
“Mau tau kelanjutannya,
nggak?”
Elmo memandang Aze
sekilas. “Iya, sok terusin!” katanya masih dengan nada marah.
Aze kembali memiringkan
kepalanya. Sok menerawang dengan wajah sendu, “Katanya aku teh nggak tampang masuk IPS...”
“Huh? Kenapa?” Aze bisa
melihat ekspresi heran di muka Elmo.
“Ya...ya... katanya...
aku... nggak... tampang! Masak gitu aja nggak ngerti sih?”
“Kenapa...?” Elmo sepertinya
tertarik. Ia memperbaiki posisinya duduknya jadi lebih condong ke depan.
Aze menunduk. “Ya...
soalnya... soalnya...” Uh, sampai kapan
aku harus main pendramatisasian bego ini?!
Elmo tiba-tiba tergelak
dan dengan penuh semangat menyala menunjuk Aze, “Soalnya kamu anak kurang gaul!
Wuahahaha...” Tawa Elmo meledak.
Aze bangkit dari duduknya
dan segera membereskan barang-barangnya di meja dan setelah sampai berjalan ke
loker penitipan barang, dibantingnya semua itu ke dalam ransel bulukannya
dengan ganas.
“Ini jadi belajar bareng
terakhir kita!” serunya dramatis sebelum meninggalkan perpustakaan.
7
Malam harinya, seperti
biasa Aze tidur-tiduran di ranjangnya. Sambil membaca koran yang dibawa pulang
orangtuanya dari kantor ia menantikan hapenya bergetar. Kalau getarannya
singkat berarti sms yang masuk. Kalau panjang, berarti telepon. Ia menanti sms
atau telepon dari Elmo. Bagaimanapun cowok yang telah melecehkan dirinya itu
harus minta maaf!
Aze telah habis membaca
seluruh huruf di koran setebal 60 halaman itu. Jam di hape sudah menunjukkan
pukul sebelas malam. Padahal biasanya jam sembilan ia sudah mangap dengan mata
terpejam. Padahal semestinya ia mengerjakan soal-soal ketimbang membaca iklan
baris.
“Argh...” serunya dengan
suara agak keras, mengira seluruh penghuni rumah mungil itu telah tertidur.
“Nista! Nista! Nista! Si Elmo anjir banget!”
Sayup-sayup terdengar
suara berintisarikan amarah yang datang mendekat. Suara ibunya, “Yanaaaa!!!
Siapa yang ngajarin kamu ngomong kayak gitu?!”
8
Beberapa hari kemudian,
Aze tengah melakukan rutinitasnya, membaca koran di atas kasur kamar. Bukannya
membuat rangkuman, padahal hari-hari menuju ulum tinggal hitungan jari tangan.
Sebuah sms datang ke hape Aze, membuat benda sebesar genggaman tangan anak
manusia itu berderit-derit di atas meja.
Ternyata...
Sms dari Elmo.
Dalam hati Aze mengumpat,
“Mo bikin ulah apa lagi bocah tengil itu?” Aze menghentakkan jempolnya pada
tuts dengan penuh nafsu memburu. Sms tersebut bunyinya singkat saja:
J, Lmo bsk ksg nie.mo bljr brg2 gi gk?
Aze membalas dengan hentakan jempol emosional:
Makan tu foster kanginan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar