Kalau pagi sudah lumrah suasana dalam kelas riuh rendah atau tidak ada satupun guru yang datang untuk jadi penengah karena memang belum waktunya jam belajar dimulai. Dari balik pintu kayu bercat hijau nongolah kepala seorang remaja pria, mengawasi keadaan di dalam kelas itu sebelum masuk dan berjalan. Matanya mencari-cari bangku yang kosong. Ia melihat kursi tanpa tas di atasnya, maupun di meja di hadapan kursi itu. Baru ia mencolek pundak seseorang, ada pria tambun masuk ke dalam kelas tidak dari jendela melainkan pintu. Kehadiran pria tambun itu menyebabkan suasana gonjang ganjing. Para remaja berseragam putih-abu maupun putih kekuningan-abu adu cepat duduk di bangku. Tinggal remaja pria dengan gestur kikuk yang pada akhirnya menjadi satu-satunya manusia dalam ruangan yang belum duduk. Yang sudah duduk memandangnya. Beberapa terpana.
Sang guru tambun menatapnya lalu membuka berkas-berkas yang dibawanya sambil dibaca sekilas-sekilas. Setelah selesai ia tanya makhluk asing itu. “Abimanyu Arisandi... ya?” Yang dimaksud mengusap-usap lehernya dan mengangguk. Dengan kalimat yang bertele-tele guru itu pada intinya menyuruh Abimanyu A. maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri. Anak itu mengaku berasal dari Garut. Beberapa gadis memandanginya tanpa kedip. Ketika ditanya kenapa dia pindah ke sekolah negeri tertua, terfavorit, dan terelit di kota ini tidak pada pergantian semester bersama para siswa mutasi lain pada umumnya, ia menjawab dengan cepat, “Karena sekolah ini adalah sekolah yang bagus!” Segera tawa dan ekspresi percaya diri dari beberapa orang menyambutnya.
“Selamat
datang Abimanyu Arisandi, kembalilah ke bangkumu.”
“Yang
mana, Pak?” tanya yang dituju sopan dan santun.
Pak
guru mengedarkan pandang ke seantereo kelas dan menemukan satu bangku tersisa
di pojok kiri. Satu meja yang mestinya untuk dua kursi, ini hanya diisi satu
kursi. Ia menunjuk bangku itu, “Di sana?” katanya. Memang hanya itu yang
tersisa. Terdengar “YAH” keras bermuatan kekecewaan yang keluar dari salah satu
dari dua gadis yang duduk di bangku di depannya. Beberapa orang terkikik selama
Abimanyu dalam perjalanan menuju bangku itu. ketika ia menarik kursi ia dapati
tulisan dengan seluruh hurufnya kapital dan menggunakan tipe-ex. Isinya:
“HATI-HATI BANGKU TERKUTUK”. Di bawahnya ada barisan nomor hape dan nama-nama
pemiliknya. Di sampingnya tertulis besar-besar: “CP GURU”. Sisanya merupakan
coretan berisi rumus-rumus trigonometri dan variasi dari rumus kecap ABC
menggunakan spidol Snowman dan pulpen Standart AE 7 Fine. Abimanyu tahu takdir menggiringnya ke bangku ini tidak
lain tidak bukan agar ia terkutuk jadi pintar. Oh ya ampun, ada rumus Fisika
dan rangkuman Biologi juga! ketika matanya beredar ke kiri. Abimanyu meraba
bangku itu dengan tangannya yang baru terbebas dari sindrom keringat dingin. Ia
melongok ke dalam kolong bangku dan mendapati rumus Kimia tertera pada dinding
kolong. Kayu bagian atas meja tersebut ternyata bisa diangkat ke atas karena
pakunya sudah pada lepas.
Pak
guru tambun mengetok whiteboard
dengan spidol. Keras. Abimanyu. memasang posisi duduk tegak. Pak guru tambun
memandang ke arahnya. Atau mungkin ke arah dua gadis yang duduk di bangku
depannya sebab mereka juga tersentak ketika whiteboard
diketok. Sedari tadi mereka memang kerja mereka menunduk dan bergumam pada
sesamanya.
Setelah
sekitar satu jam yang bikin mata Abimanyu terkatup-katup, pak guru tambun
keluar. Dalam kesempatan membuat keributan yang hanya sebentar itu, Abimanyu
baru tersadar dari ilusi gaibnya oleh karena mendengar dua gadis di depannya
sedang ngobrol.
“Ukh,”
dengan nada tertekan suara itu bagai tengah terhimpit sejuta derita. “Aku
ngerasa ada seseorang di belakangku. Mungkin di belakangku ada sesuatu, mungkin
kamu bisa liat dengan mata batin, heh?”
“Trimalah
kenyataan bangku di belakang kita akhirnya terisi juga, Pilon...”
Kedua
gadis itu sedang dalam posisi
menempelkan dagu di meja.
Yang
dibilang Pilon membenturkan lututnya pada lutut teman di sebelahnya hingga
temannya itu mengaduh. “Ssst! Jangan keras-keras!”
“...Orangnya
lagi tidur juga...” Temannya itu menggerutu.
Abimanyu
ngeh pas dia lagi tidak sadar tadi dua orang itu punya kesempatan mengamatinya.
Sampai pak guru tambun masuk lagi dalam kelas Abimanyu tidak mengangkat
pelipisnya yang menempel pada meja.
“Duh,
sial! Abis ini aku nggak
bisa santai lagi... Bisa nggak sih kamu nggak bawa-bawa aku...? Uuh...”
“Yaa
kan, getaran angklung kan terbukti mampu bersinergi dengan tenaga dalam dan
mampu menghasilkan kekuatan yang lebih ampuh lewat gelombang suara...!”
“Kamu
ngomong apa sih? Aduh!”
“Ah
iya, ulangan Fisika kamu yang kemarin kan cuman dapat 23 ya? Materi gelombang
dan getaran! Ahhaha...”
“Jangan
ketawa kamu. Nilai 20 aja nggak nyampe!”
“Karena
pak guru tau kalau umurku baru 15...”
Mereka
terdiam beberapa lama.
“Konfirmasi
lagi gih, bener gitu kucingnya si Ucrit fesesnya ikan?”
Abimanyu
membuka matanya perlahan.
“Loh,
kemarin kan kita udah ketemu bajing bermata tiga yang ekornya kaki unta...”
Dahi
Abimanyu berkerut.
“Eh,
menurut kamu si murid baru bisa nyaingin kita nggak ya?”
“Amin...
Amin... Aku berharap aku nggak
lagi jadi yang terbebal di kelas ini...”
“Kalo
masuknya nggak pas pergantian
semester disebutnya mutan juga gak ya?”
Pak
guru masuk.
Dalam
seminggu Abimanyu sudah mengenal separuh angkatan dan dikenal separuh warga
sekolah. Dalam sehari ada saja wanita yang menyapanya. Oh mungkin karena parasnya
lumayan menawan. Abimanyu pun sudah mengenal siapakah gerangan dua gadis yang
pembicaraannya suka melantur
itu, yang duduk di depannya
dan kiranya berniat tukeran bangku dengannya. Tidak, Kakak. Abimanyu akan
mempertahankan bangku itu. Ia tidak rela kutukannya dicabut meski hasil ulangan
Kimia belum dibagikan sehingga ia belum bisa membuktikan kutukan itu berlaku
apa tidak.
Gadis
yang satu namanya Dalot. Dikenal sebagai anak yang merobohkan pintu kelas yang
terkunci saat sedang les Matematika di lantai 1 gedung lama. Tapi itu cerita
yang sudah basi. Sudah dua tahun yang lalu. Ikut ekskul PATIN alias Pembuka
matA baTIN, ekskul yang kerjaannya mandi air keras, mental-mentalin diri, dan
mengusir makhluk halus. Tapi Dalot kurang aktif. Bebal #2 di kelas.
Yang
satu lagi namanya Pilon. Dikenal teman-temannya sebagai anak yang cukup kocak.
Dia adalah pemain angklung sekolah dan tidak begitu populer. Bebal #1 di kelas.
Tapi
kalau Pilon semester ini bisa mendapatkan ranking di atas Dalot, Dalot harus
mau terima jadi Bebal #1. Bebal#2 dan Pilon Bebal #3 kalau sangkaan mereka
bahwa Abimanyu pindah ke sekolah ini dengan membayar ratusan juta karena
terlalu bodoh di sekolah yang lama yang padahal sekolah bukan favorit dan nama
keluarga harus dipulihkan...terbukti benar.
Abimanyu
meyakinkan dirinya bahwa dia adalah murid yang pintar... Keyakinan itu harus
runtuh ketika hasil ulangan Kimia dibagikan di mana ia hanya dapat 10,5. Pilon
11. Dalot 21. Dalot dan Pilon meringis jumawa padanya. Seakan berkata, “Tuh
kan, benar apa yang kami bilang...?”
Abimanyu
ingin teriak. Ia tidak mau terjerat dalam komunitas cilik dua gadis aneh itu. Ia
berusaha menjauhi mereka dengan bergaul bersama orang-orang yang sekiranya beda
level dengan mereka. Level yang tidak akan sanggup mereka raih...
Meski
akhirnya ada juga yang menempati Bebal #1 di kelas ini selain mereka, tetap
saja Dalot dan Pilon bersedih. Mereka tengah berada dalam posisi favorit mereka
yaitu dagu tertempel di atas meja.
Dalot
yang pertama meratap. “Uhh... kalo nilaiku gabisa beranjak dari kepala dua dan
tidak lulus SMA—naudzubillahimindzalik...
aku terancam buka pengobatan alternatif, huhuhu...”
Dengan
mengikuti ekskul PATIN tak heran dia punya kompetensi seperti itu.
“Mending
kamu buka pengobatan alternatif, aku gimana?”
“Kamu
kan bisa menanam bambu sebagai modal mendirikan pabrik angklung.”
“Ukh.
Sial. Sial. Sial.” Pilon membenturkan kepalanya ke meja. Dalam kepusingannya ia
meminta Dalot mengubah kode genetiknya. “Ayo Dalot, waktu itu kamu bisa
menghilangkan tiga kaki musang berkaki delapan pake tenaga dalam, masak kamu nggak
bisa ubah kode genetikku jadi pintar
gitu?”
“Udah
Pilon, waktu itu kita udah pernah coba. Aku udah coba mindahin kebodohan kamu
ke kambing. Lihatlah akibatnya, kambing itu kini bisa membaca.”
“Uagh...”
“Satu-satunya
cara kita pergi ke Bu Suzanna dan minta les privat lagi...”
“Ugh.
Nggak. Nggak mau mau lagi...”
Ini
hanya salah satu dari sekian
sesi percakapan Dalot dan Pilon yang bikin dahi Abimanyu berkerut.
Sekolah
gempar! Seorang murid mereka hilang tak tentu rimbanya. Seangkatan Abimanyu dan
kawan-kawan. Orangtuanya histeris. Teman-temannya juga. Dalot juga. Polisi di mana-mana. Setiap orang diinterogasi siapa
tahu ada yang menyembunyikan. Masakkan anak itu kabur dari rumah padahal dia
memiliki kehidupan normal bahagia dengan keluarganya? Teman-temannya
menyukainya karena ia baik hati dan suka menolong. Mungkinkah ia jadi saksi suatu
tindak kejahatan yang melibatkan konspirasi internasional? Mungkinkah ia kini
telah dikecilkan dengan pil? Mungkinkah ia jadi korban mutilasi?
“Mungkin
dia pergi ke dunia lain...” sahut Dalot suntuk. Dalot merupakan satu dari
sekian gadis yang retak hatinya gara-gara laki-laki pujaannya tiba-tiba hilang.
Aneh. Dalot tidak mau melayani Pilon ngobrol ngaco lagi.
“Mungkin
dia kawin lari...” ucap Pilon sinis.
Dalot
terus menggumamkan “dunia
lain”.
Abimanyu
menyaksikan dua gadis payah itu dari atas tangga gedung lama. Ya, mereka bisa
ngobrol di mana saja. Tidak
di kelas. Tidak di jalan.
Pokoknya di tempat sepi. Dan sore hari di gedung lama merupakan momen yang pas.
Tidak seramai siang hari. Tidak seangker malam hari. Abimanyu yang
baru mau pulang setelah mendapati dua gadis itu duduk di bawah tangga. Ia
menjelajahi lantai dua tidak berniat mengganggu mereka jadi ia sengaja menunggu
dan menguping pembicaraan mereka diam-diam sambil menertawakannya dalam hati.
“Udahlah,
lupain aja si Teo. Kita di sini kan bukan untuk ngomongin orang itu.”
Dalot
mengerang. Teo adalah nama kecengannya yang hilang itu.
“Entar juga ketemu.”
“Aduh,
aku jadi nggak semangat ikutan latian PATIN lagi, nggak da dia...”
Pilon
cepat-cepat memotong, “Sut! Udah! Nih aku udah dapetin informasi tentang biang
kerok yang bikin kita nggak
bisa konsen ngerjain PR selama
ini...”
Dalot
mengangkat kepalanya. Ia menoleh pada Pilon dan memandanginya dengan ekspresi
bertanya.
“Mereka
melakukan percobaan rekayasa genetika.”
“Untuk
mempercepat kemunculan dajjal di muka
bumi dan hari kiamat...”
“Nggak... nggak gitu. Eh, nggak tau juga ding. Kamu ngerti maksudku kan? Monster? Penghancur dunia?”
“Untuk
apa ngancurin dunia? Udah ancur.”
“Mereka
sekarang ngehasilin mutan-mutan yang tidak berguna dan dibuang begitu saja.
Membuat Dalot dan Pilon harus bekerja lebih keras. Yang harus kita perbaiki
adalah dari akar-akarnya, manusianya.”
“Dan
pencemaran lingkungan akibat ulah tak senonoh mereka. Mungkin kita harus daftar
jadi relawan Greenpeace.”
“Boleh
juga.”
“Emangnya
cukup cuman dengan tenaga dalam dan angklung doang?”
Dalot
dan Pilon mendongak ke arah suara dan mendapati Abimanyu tersenyum di atas
tangga.
“Ah!
Si Bebal #1, Dalot!” tunjuk Pilon tepat ke muka.
“Aku
nggak bebal!” sergah Abimanyu
A.
“Ah.
Sudahlah kalian ini..!” bentak Dalot. “Hai, Bebal, sejak kapan kamu suka
nguping pembicaraan kami?”
Oh
tentu saja Abimanyu merasa terhina. Ujung bibirnya naik ke atas. “Emang kalian
nggak? Seenggaknya aku hanya bebal dan nggak ditambah ansos, cupu, dan aneh.”
Dalot
dan Pilon tidak berkutik.
Perkataan itu berhasil meruntuhkan seluruh kepercayaan diri yang mereka punya.
Pilon bicara dengan suara pelan, “Kok kamu bisa tahu tentang kita sih? Mm, kamu
tahu maksudku kan?”
“Abis
kalian juga kalau ngobrol kurang pelan sih. Dan aku terkutuk untuk
mendengarkan.”
“Gimana
kalo kamu turun dan kita ngobrol bareng-bareng di bawah sini dan nggak perlu teriak-teriak lagi?”
Abimanyu
menurut. Ia bercerita mengenai motif kepindahannya. Itu karena ada seorang
temannya yang mengetahui jati dirinya sebagai seseorang berkemampuan lebih yang
suka keluyuran malam hari untuk membasmi para penjahat, germo, dan togel.
Temannya itu comel. Jati dirinya terkuak dan ia tidak bisa menjadi pahlawan
misterius lagi. Untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran wartawan lokal ia
pindah ke lain kota. Ia berharap supaya temannya itu dicap pembohong. Tapi itu
tidak diperlukan lagi. Ia minta pada tantenya, Mamah Dede, untuk menghipnotis
temannya itu agar lupa. Meski itu sudah dilakukan ia tetap tidak tahan
lama-lama tinggal di Garut. Tinggal di kota itu lebih lama ia merasa
ditelanjangi. Lama-lama masuk angin. Akhirnya jadi juga ia pindah.
“Entah bagaimana nasib Garut kini...” tutup
Abimanyu sedih.
“Kenapa
kok pindahnya masih deket-deket Garut? Kenapa nggak sekalian yang jauh aja gitu, ke Amerika
misalnya?” tanya Dalot pada sesi tanya jawab. Satu termin saja.
“Nggak punya uang...” jawab Abimanyu menunduk
dan pelan. “Uangku hanya cukup sampai ke kota ini saja...”
“Jadi
bukan karena kamu terlalu bodo di sekolah yang lama... gitu?”
Dalot
dan Abimanyu sepakat menyumpal mulut Pilon dengan kaos kaki.
“Emangnya
kemampuan apa yang kamu punya sehingga mampu bikin Garut jadi kota intan? Eh,
aman?” tanya Dalot lagi.
“Kamu
pernah baca novel ‘Fingerprint’?”
Pilon
mengacungkan tangan. Dalot bertanya lagi, “Kenapa gitu?
“Ternyata
kejadian masa lalu tidak hanya dapat dilihat melalui sidik jari, kayak dalam
novel tersebut. Tapi bisa juga lewat keringat! Aku bisa tahu masa lalu dari
nempelin bagian tubuhku yang berkeringat ke keringat yang mengering yang
menempel pada suatu benda.”
“Kenapa
bisa ada kemampuan jorok macam itu?” ucap Pilon ngeri. Sumpal kaos kakinya
jatuh karena ia menyeringai jijik.
“Apalagi
kalau abis olahraga, jadi banyak yang aku tahu.”
Dalot memegang lutut Abimanyu, berkata serius, menatap dari mata ke mata, “Mungkin kamu bisa melacak Teo di mana dari bekas keringatnya?”
220308
HABIS KATA #3
Menurut saya cerpen ini lumayan kocak.
Oh, apa yang telah saya lakukan?!?!?! Memuji karya sendiri!!
Sudah jelas, cerita ini memang belum selesai. Ada niatan untuk melanjutkannya, tapi entah kapan. Karena cerita ini dilatarbelakangi oleh kemampuan aneh yang dimiliki oleh para tokohnya, sehingga supaya ceritanya tidak terlalu ngaco, riset dibutuhkan. Tenang saja, sampai kapanpun cerita ini tidak akan pernah bisa sampai menyaingi ‘Heroes’ kok. Awal mula konsep cerpen ini adalah begini... Pada waktu saya masih duduk di bangku SMA, saya pernah mengikuti ekskul semacam PATIN itu. Tapi namanya bukan PATIN kok, itu murni karangan saya sendiri. Mengikuti ekskul tersebut memberikan pengalaman-pengalaman yang berkesan dan sebagai bonusnya adalah pikiran-pikiran yang akhirnya terangkai menjadi cerita... Ada tokoh, kejadian, dan seterusnya. Entah angin apa yang mendorong saya untuk membuat tulisan awal cerita ini di buku komunikasi kelas. Saya menulis cerita itu dengan gaya bahasa yang super lebay dan tidak masuk akal. Judulnya saja ‘da zupperherroowww’—ya, kira-kira begitulah. Saya tidak ingat berapa banyak huruf p, e, r, h, o, w yang saya gunakan. Saya lupa-lupa ingat juga apakah yang saya gunakan itu huruf z atau s. Meskipun cerita itu sungguh garing dan semakin bertambah garing lagi karena saya memberikan komentar-komentar fiktif setelah habisnya cerita itu, kalau saya tidak salah ingat ada saja sih teman saya yang cukup suka. Tapi itu kan sudah bertahun-tahun lalu. Sekarang mungkin dia tidak akan mengaku kalau saya mengungkit-ngungkit itu. Namun pikiran untuk mengembangkan cerita itu tetap tersimpan dalam kepala. Hingga mungkin pada bulan Maret 2008 itu saya bingung mau bikin cerpen apa, ya sudah saya keluarkan saja pengembangan-pengembangan dari cerita itu yang telah mengendap di dasar kepala. Saya telah lupa saya pada jaman dulu waktu masih ada hasrat nrusin itu ide apa saja yang ada. Jadi ya saya karang-karang lagi saja deh, hasilnya jadilah seperti itu. Sebenarnya tokoh Abimanyu A. itu seharusnya bukan jadi ‘pembaca keringat orang’, melainkan ‘manusia rumus’, karena yang saya dan teman saya ciptakan waktu itu adalah ‘manusia rumus’, di mana dia memiliki kekuatan untuk membantu teman-temannya yang kesusahan belajar. Namun dia berkedok jadi siswa bodoh. Dia tidak pernah menunjukkan wajah aslinya melainkan menyamar. Salah satu alat penyamarannya adalah pakaian dalam ibunya. Oh, sungguh saya benar-benar lupa. Saya melupakan ide si ‘manusia rumus’ itu sehingga terciptalah si ‘pembaca keringat orang’. Sebenarnya Teo yang disebut-sebut pun, dia punya ceritanya sendiri kenapa dia bisa sampai hilang begitu. Juga kenapa Dalot bisa sampai mencurigainya pergi ke dunia lain. Tapi belum saya bikin. Kapan-kapan mungkin. Pokoknya konsep dan genre cerita ini adalah fantasi alam gaib. (12/30/2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar