Mei 2007
1
Larut dalam teori relativitas
dengan suasana perpustakaan sekolah kala siang yang amat mendukung dengan
ditemani aneka mp3 dari ponselnya, seseorang membuat pikiran Elmo buyar begitu
segelas jus alpukat dingin menyentuh pipinya.
“Serius amat.”
Jus alpukat itu kini
berdiri kaku di hadapannya. Mengenalkan segelas jus alpukat pada kumpulan rumus
Fisika. Trista. Sobat bertubuh langsing tinggi semampai itu. Meski rambutnya
ikal riap-riap, berkamata dan berbehel tetap saja memesona. Tinggal menggerai
rambut, mengganti kacamata dengan lensa kontak, dan melepas behel, sudah pantas
disandingkan dengan primadona jagat raya. Kenapa bisa ada yang mengatakan dia
tidak cukup menarik ya?
“UAS Fisika kan hari
pertama,” jawab Elmo pendek lalu menyeruput jusnya. Gratis. “Thanks ya.”
Elmo buru-buru menyudahi
seruputannya ketika ia ingat akan sesuatu, “Eh, di perpus bukannya nggak boleh
bawa minum ya?”
Trista hanya tersenyum. Ia
melambaikan sebelah tangannya pada seorang bapak-bapak petugas perpustakaan di
balik meja. “Kan spesial kalau buat Elmo mah...”
Dengan susah payah karena
lehernya masih kaku untuk dipakai menengok, Elmo ikut melambai juga pada bapak
tersebut meski tidak yakin-yakin amat dengan alasan yang dikemukakan Trista.
Gadis itu menopang
kepalanya dengan sebelah tangan dan memandangi Elmo sambil tersenyum. Matanya
menangkap gerakan patah-patah tangan kanan Elmo yang mencoba menorehkan
beberapa angka di atas kertas.
“Sekarang kamu nulis pake
tangan kanan, ya?”
“He eh.”
“Nggak ikut susulan aja?”
“Percuma. Gipsnya mungkin
baru dibuka pas abis SPMB.”
“Lama, ya...”
Mata Trista yang bulat
indah bergerak ke arah gips yang menyelubungi tangan kiri Elmo. Ia mengambil
spidol dari tempat pensil Elmo dan mencantumkan beberapa kata di permukaan
gips. Elmo menoleh kaget. Untuk selanjutnya ia hanya tertawa-tawa saja.
“Kamu yakin dengan tangan
seperti itu bisa ngerjain LJK?” Kecemasan tampak di wajah elok itu.
“Bisalah. Dulu kan gue nggak
kidal. Gue nulisnya pake tangan kanan juga...”
Elmo terdiam sebentar ketika mengingat percakapan nonsense yang terjadi beberapa hari ke belakang.
“Anjing, gua kidal.”
“....berarti, aku kadal? Hahaha.”
“...Trus waktu itu gue
kecelakaan. Tangan kanan gue patah. Jadinya keterusan nulis pake tangan kiri
deh,” Elmo melanjutkan.
“Berarti tangan kamu
pernah patah dua-duanya dong?” Trista mengatakan itu dengan ekspresi geli yang
menggemaskan.
Berdesir hangat hatinya.
Elmo melambaikan tangan pada beberapa teman yang lewat dan menyapa untuk
mengalihkan perhatiannya. Tidak, tidak, Elmo udah punya cewek.
“Sekarang gue mesti belajar nulis indah dari
awal lagi deh.”
“Hihi, kayak anak SD...”
“Kalau nggak gitu ya
tulisan gue mana bisa kebaca. Banyak-banyakin nulis ma ngotret aja kalau lagi
belajar.”
Mereka saling tersenyum. Loudspeaker ponsel Elmo masih bernyanyi
lirih, “Tiada lagi yang kuinginkan/ lebih
dari yang kauberikan..[1]”
Suasana itu pecah saat
mata Elmo bergerak mengarah ke pintu masuk perpus dan menangkap sesosok tubuh
yang kaku dan tegang. Bukan, itu bukan mayat berdiri. Itu anak brengsek yang
beberapa hari lalu seangkot sama dia. Dari ekspresinya Elmo tahu anak itu
menyimpan ketakutan pada dirinya. Peduli dah. Elmo menginginkan dirinya tampak
cuek-cuek saja. Berniat kembali menatap Trista untuk menetralisir ranah
visualnya yang sempat terkontaminasi, Elmo menyaksikan Artika Sinta, kekasih
mungilnya berjalan grudak gruduk tapi imut dari luar perpus dan menabrak anak
brengsek itu. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata.
“Elmoo!!!” seru Artika
bersemangat. Ia duduk di hadapan Elmo sembari meletakkan tasnya. Seorang ibu
petugas perpustakaan menegurnya untuk menaruh tas di loker saja. Artika bilang
dia hanya sebentar di situ.
“Hai, Trista!” sapa Artika
penuh keceriaan. Ketenangan Trista yang menyambut kehadirannya. Ia sadar diri
untuk segera beranjak dari situ. Ya ya, bagaimanapun Elmo sudah punya cewek.
“Dah, Elmo,” sahut Trista
lembut sambil menepuk pundak Elmo.
“Eh, mau ke mana Tris?”
Mata Elmo mengikuti gerakan Trista.
“Aku ada bimbel tambahan
jam dua. Dah...”
“Dah, Trista...” Senyum
lebar Artika mengiringi kepergian Trista
“Eh, ke mana aja tadi?
Elmo cari-cari nggak keliatan.”
“Huh? Tadi aku dipanggil
ma anak-anak MD kelas 2. Mereka butuh bantuan ngerancang koreografer buat bazar
tahun ajaran baru nanti.”
“Sekarang kan lagi ujian,
say. Jangan banyak main ah. Ntar kalau kamu nggak lulus gimana?”
“Ih, Elmo. Hidup ini kan
nggak hanya untuk belajar dan mengamankan sekolah aja!”
“Hidup ini juga nggak
cuman buat nari, nari, dan nari.”
“Biarin aja!” seru Artika
sembari meleletkan lidah, tidak mau kalah. Elmo tertawa. Betapa lucu dan imut
tingkah ceweknya yang satu ini!
“Biarpun kata Elmo gitu,
Tika punya bukti kalau kerjaan Tika nggak cuma nari aja.”
“Apa emangnya?”
“Keluar dulu yuk, ah,
masak di sini...” Artika menarik lengan Elmo yang bebas dari gips dengan manja.
“Ya...ya...bentar...” Elmo
mengamankan barang-barangnya sebentar lalu keluar setelah merasa yakin bahwa
apa yang ditinggalkannya di atas meja perpus tersebut tidak akan mengundang
siapapun untuk melakukan aksi pencurian.
Mereka duduk di bangku
depan perpus. Artika mengeluarkan kotak makan ukuran medium dari dalam tasnya.
“Taraaa...”
Elmo masih bisa merasakan
aura buruk anak brengsek itu merayap keluar dari dalam perpustakaan ketika
Artika dengan imut menyuapkan segulung sushi ke dalam mulutnya. Anak brengsek
itu keluar dari perpus tanpa berani mengangkat muka. Huh, jangan macam-macam
sama Elmo ya. Elmo dikelilingi oleh cinta, cinta, dan cinta...
2
“FIVE! SIX! SEVEN! EIGHT!”
“AAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!”
“Uh, berisik,” rutuk Aze
begitu menaiki tangga gedung utama sekolah. Di salah satu lengannya tergantung
3 buah mainan bambu yang dapat mengeluarkan nada jika digetarkan bernama
angklung, sedang dalam proses pembajakan oleh negara Malaysia, dalam beberapa
ukuran. Aze sedang berada dalam rombongan seekskul. Kebanyakan memang
menggantung angklung di lengan. Tapi ada juga yang membawa beberapa instrumen
lain seperti contrabass, high-hat cymbal, keyboard, dan lain-lainnya. Rombongan
ini bergerak ke lantai dua gedung, meminjam salah satu kelas 3 IPA yang siang
bolong begini mesti kosong, apalagi segala macam ujian sudah kelar. Mereka
hendak berlatih beberapa lagu yang rencananya akan dimainkan pas prom. Untuk
sampai ke tempat tujuan mereka akan melewati aula yang biasa dipakai anak-anak cheers alias Modern Dance alias aerobik-atau-apalah-itu berlatih. Dan kebetulan
ekskul yang anggotanya kebanyakan cewek-cewek kece seantereo sekolah itu sedang
melangsungkan latihannya.
Begitu menginjakkan kaki
di pertengahan lantai satu dengan lantai dua, langkah Aze sempat terhenti
begitu melihat Elmo. Elmo dan empat orang temannya lagi pada jongkok dengan
bahagia di belakang anak-anak yang lagi latihan. Tangan Elmo yang sehat
memegang hape berkamera supaya tegak posisinya. Aze tahu hape itu tidak sedang
dipakai untuk smsan. Tahulah buat apa. Oh
ya, pacar Elmo kan anak MD yah, pantes aja.
Beberapa cowok anggota PA
memperlambat langkahnya.
“Uh, umbar-umbar aurat
aja!” dengus Aze pelan.
3
Sinar matahari senja
menerobos jendela. Menghasilkan nuansa sendu yang mampu membuat seorang
melankolis tergugah dan membuat sajak cinta. Elmo memandang sinar itu dan
termenung. Jiwanya sedang tidak begitu melankolis hari ini. Tungkai kaki putih
nan mulus milik cewek-cewek MD membuatnya segar dan merasa perkasa. Elmo merasa
dirinya sanggup menyelesaikan ratusan soal dari buku 1001 soal SPMB Biologi
yang sedang berada di pangkuannya meski tidak ada seorang pun cewek MD yang
bisa menemani. Yang anak kelas 3 pada bimbel, sisanya entah ke mana. Bukannya
menemani Elmo dan Geng Mesum, mungkin mereka masih ada keperluan lain. Meskipun
tubuh bersimbah peluh usai latihan, kan ada splash
cologne, mmm, serasa habis mandi...
Sekarang sekitar jam 4
sore Waktu Indonesia Barat. Sudah tidak begitu terdengar riuh anak-anak di luar
gedung utama. Mulai sepi. Termasuk gedung utama yang dinyatakan angker kalau
menjelang magrib. Tapi selama matahari bersinar, Elmo dan teman-temannya masih
merasa aman nyaman duduk di lahan lebar pertengahan lantai satu dan lantai dua.
Yang ramai terdengar hanya instrumen angklung and the gankz yang sedang menyanyikan musik-nggak-jelas-apa-ituh
dengan perpaduan yang berantakan dari lantai atas. Elmo tak merasa terganggu.
Teman-temannya pun sepertinya menikmati itu karena tidak banyak suara yang
keluar dari mereka. Elmo kira begitu. Terbukti dengan indra penglihatannya, ada
yang lagi mengisi TTS, melihat video hasil rekaman latihan anak-anak MD tadi
sambil terkikik mencurigakan, dua orang di pojokan lagi merumpi, cuman dia yang
serius menekuni soal. UAS kan sudah selesai, pantas saja mereka ingin menikmati
santai barang sejenak. Tak apalah, yang penting Elmo tetap rajin berlatih
menggunakan tangan kanan, mengerjakan ribuan soal, dan lulus SPMB. Hidup SPMB!
Berangsur paduan instrumen
yang menggetarkan jiwa itu menghilang. Digantikan dengan riuh ramai orang
bercakap-cakap. Indikator bahwa mereka sudah kelar latihan.
“Huuaahm...” Elmo menguap.
Efek yang dihasilkan tungkai kaki putih nan mulus indah ternyata tidak bertahan
lama. Elmo mulai mengantuk. Mungkin karena sejak pagi ia berkutat terus dengan
soal.
Gemuruh langkah kaki
anak-anak PA disertai suara bercakap-cakap mendekat. Elmo melihat ke atas,
tersenyum pada beberapa adik kelasnya, ada beberapa yang ia kenal, anak-anak PA
yang hendak turun.
Beberapa menit kemudian tiga
anak yang lebih senior menyusul dengan membawa lebih sedikit angklung. Elmo
tahu anak-anak yang lebih senior ini tugasnya cuma mengurusi latihan.
Ekspresinya berubah ketika melihat si anak brengsek. Iya. Yang itu. Yang mana
lagi. Elmo masih tetap sumringah ketika anak-anak-PA-selain-satu-yang-brengsek
minta permisi di hadapannya. Begitu anak brengsek itu lewat, iseng saja Elmo
menjulurkan tungkai kakinya yang panjang. Kalau anak itu awas tentu tak akan
terkena jebakan ini. Karena Elmo duduk agak jauh dari tepi tangga yang menuju
ke bawah, kalaupun anak itu terjatuh paling kena lutut doang.
Salah dugaan.
Anak itu tersandung
kakinya. Tak disangka nyana malah roll
depan, terus berguling di tangga dan menghasilkan bunyi ‘krak’ mengerikan
begitu mendarat di bawah.
Apa lacur.
“AZEEEEE!!!!” dua senior
PA kontan histeris, panik, dan lari menyusul ke bawah. Gemuruh suara kaki
bercampur dengan tang ting tung suara angklung yang tergantung di tangan
mereka. Fantastis. Teman Elmo yang sedang membawa hape merekam itu, mungkin
bagus untuk jadi backsound lagu baru
ciptaannya.
Apalagi Elmo. Melihat
gadis itu berguling bagai kambing ia langsung berdiri dan loncat turun.
Teman-temannya yang lain ikut menyusul. Jangan bayangkan seperti Dian Satro dan
Ariel dalam video klip ‘Menghapus Jejakmu’.
Dalam hitungan beberapa
menit orang-orang itu sudah mengerubungi anak yang tengah dalam posisi serupa
bersujud itu. Punggungnya bergerak naik turun. Entah karena tarikan nafas atau
sesenggukan isak tangis.
Seorang teman Elmo nyeletuk,
“Modar eta?[2]”
“Hush!” ujar teman Elmo
yang lain.
Elmo sendiri tengah shock.
Seorang anak PA menepuk
bahu anak itu. “Je, Je, kamu nggak apa apa kan?”
Tampang semua orang cemas
dan khawatir ketika anak itu mencoba bangkit dengan terpatah-patah. Elmo lega
karena ternyata anak itu masih bisa bangkit yang artinya dia belum tewas. Ia
berjongkok dan membantu anak itu bangkit dengan tangan kanannya yang sehat.
Buku soal dan pensil mekanik 12.000-annya sudah ia lempar sejak masih di atas.
Elmo sempat mendengar ada
yang menyebut anak itu ‘Aze’. Mungkinkah itu namanya?
“Namanya Aze?” tanyanya
pada salah satu anak PA dengan isyarat yang diberikan kepalanya. Anak itu
mengangguk agak tegang. Pastinya tidak lebih tegang dari saat kejadian itu baru
berlangsung.
“Aze... Aze... kamu bisa
bangun?” tanya Elmo. Tangan kanannya memegangi salah satu lengan anak itu.
Aze mengangguk perlahan.
Semua terperangah ketika Aze mengangkat wajahnya yang memar-memar. Darah di
sudut bibirnya. Elmo pucat. Ia memperkuat pegangannya. Takut gemetar saking
gugupnya.
Seorang yang Elmo ketahui
alumni yang sering bersama para PA bertanya, “Ze, bisa berdiri nggak?” Orang
itu juga bantu memegangi Aze.
Aze mencoba berdiri dengan
dukungan tangan-tangan yang memeganginya dan mengeluarkan jeritan yang sungguh
menyayat hati, “...sakit..!!”
Ia lalu menangis
sesenggukkan.
Inisiatif sebagai anak BKS
muncul lebih cepat dari yang para PA punya.
“Gih, bawa gih!”
Perintahnya pada teman-temannya. Yang disuruh malah pada dorong-dorongan.
Membuat Elmo kesal.
“Bamba! Bamba!” Elmo
menyebut nama salah satu temannya yang sesama anak BKS. Bamba maju dan memapah
Aze. Kalau tangan Elmo yang satu tidak digips mungkin dia yang akan
melakukannya sendiri. Beramai-ramai mereka pergi ke UKS meninggalkan bambu
angklung yang retak ditimpa Aze, tergeletak tak berdaya dalam ruangan besar,
dingin, dan kosong...
4
Teman-teman Elmo pindah
tempat nongkrong di depan gerbang samping belakang sekolah dan heboh
menceritakan ulang kejadian tadi. Para PA sebagian sudah pulang dan sebagian
lagi masih di areal sekolah untuk solat dan baru pulang setelah mendapatkan
jawaban yang melegakan tentang Aze. Mereka semua tadi numpuk di luar UKS karena
di dalam tidak boleh ramai.
Di balik bilik dalam UKS masih
ada Aze dan temannya dan juga dokter jaga alumni SMAN Bilatung yang untungnya
belum pulang. Elmo dan Bamba menunggu di luar bilik dengan harap-harap cemas.
Jelas Elmolah yang paling cemas. Bamba menangkap kecemasan berlebih dari
punyanya itu dan bersabda, “Kalem, bal.
Maneh jiga keur nungguan bini maneh rek
borojol wae[3].”
“Argh. Bacot.” Elmo
tersinggung anak brengsek itu dikatain bininya. Anak brengsek yang sudah
membuatnya cemas. Tambah gelisah lagi ketika anak itu jerit-jerit mengaduh di
dalam bilik. Ah iya, anak itu kan sudah punya nama. Aze, ya ya. Dan kenapa ia
malah berdiri di luar? Kenapa dia tidak masuk saja? Mungkin dia bisa membuat
anak itu lebih kalem dengan memberikan tatapan mautnya.
“Geus, maneh balik we ti heula,[4]”
ujar Elmo pada Bamba.
“Maneh teu nanaon?[5]”
Elmo menggeleng. Bamba pun
menurut. Bukan dia tersangka utama kecelakaan dan ia sudah tidak berkepentingan
lagi di sini. Anak yang celaka pun sudah diamankan. Muncul gagasan di benaknya
untuk menambah patroli hingga petang setiap hari dalam agenda BKS.
Lepas kepergian Bamba,
Elmo menyibakkan tirai bilik dan turut menyaksikan proses penyembuhan kaki Aze.
Ia cukup was-was dan tegang kalau-kalau kaki, atau tangan atau leher Aze patah
juga sepertinya. Anak ini sebentar lagi kan mau ulum. Elmo bersyukur jam segitu
UKS masih buka dan masih ada dokter jaga meskipun pas mereka santronin tadi
dokter itu sudah bersiap mau pulang. Dokter yang bertampang dokter dan
memancarkan aura dokter itu hendak menutup pintu UKS. Tas sudah menggantung dan
kunci mobil di tangan yang satu. Elmo tergopoh-gopoh menyerbu. “Pak, dokter,
kan?”
Elmo melihat kaki Aze
sedang dibalut.
“Pak, kaki dia kenapa,
Pak?” tanya Elmo sambil berusaha menyembunyikan kekhawatirannya dan tetap
tenang. Ia tidak peduli pada bagaimana menyembunyikan ekspresi bersalahnya di
depan Aze.
Sambil tetap mengerjakan
tugasnya dokter itu tersenyum dan menjawab, “Cuman keseleo.”
Setitik kelegaan dalam
sanubari Elmo.
“Tapi dua-duanya...”
Gimana jalannya entar, ya?
“Nanti aja bawa lagi ke
tukang urut. Dua tiga hari sembuh kok.”
Anak yang bernama Aze itu
sedang duduk di atas dipan, menatap kakinya yang sedang dibalut. Kedua
tangannya masih mampu menopang tubuh yang agak rebah ke belakang pada dipan,
sepertinya tidak ada yang patah. Lehernya juga tidak nyengsol. Matanya merah
dan sembab sehabis menangis. Mukanya sudah dibersihkan, tidak membuat shock seperti yang tadi. Beberapa bagian
tampak memar. Ada satu titik sumber keluarnya darah di bibirnya. Seperti habis
diklatsar BKS aja, tapi ini lebih ringan.
Ketika mata mereka
bertemu, Aze cepat-cepat memalingkan kepalanya lagi. Teman Aze yang melihat
kejadian itu memandangi Elmo dan Aze bergantian, tidak paham.
Dari obrolan singkat
bersama dokter muda itu Elmo jadi tahu bahwa kepala Aze benjol—kemungkinan
gegar otak ringan, memar di beberapa bagian muka dan tubuh—terutama yang tepat
menghantam ubin nan keras dan dingin, bibir pecah dan dinding mulutnya kegigit
hingga mulutnya jadi tempat penampungan darah.
“Dah, udah selesai.”
Dokter itu bangkit. “Cup, cup, jangan nangis lagi yah...”
Elmo menangkap ekspresi
tidak suka diperlakukan begitu dari air muka Aze.
“Makasih ya, Pak,” ujar
teman Aze penuh penghargaan. Elmo melakukan hal yang sama sementara Aze hanya
mengangguk saja sambil tersenyum canggung. Dokter itu tersenyum lagi. Katanya,
“Jangan panggil ‘Pak’ dong, panggil ‘Akang’ aja.”
“Ya Kang, makasih banyak
ya, Kang.”
“Eh iya, pulangnya naik
apa? Kalau nggak ada yang jemput biar saya antar aja, yuk.”
“Eh, nggak usah, Kang,
nggak usah—“ ujar Aze cepat.
“Trus, pulangnya? Udah ada
yang jemput?”
“Ya... nggak, sih. Ntar
aja saya telpon ayah saya...”
“Ya udah gapapa, ikut aja.
Tapi saya pulangnya sama Pak Kepsek lho.”
“Nggak usah, Kang. Bener!”
Aze kembali menegaskan dengan nada serius namun rupanya si akang dokter tidak
mau mendengar alasan. Ucapnya lagi, “Kalau gitu saya nyusul Pak Kepsek dulu
yah. Temen-temennya masih pada di sini, kan?”
Elmo dan teman Aze
mengiyakan.
Dokter itu segera keluar
bilik—kiranya untuk menghindari rentetan penolakan dari Aze—yang segera berubah
jadi keheningan.
“Ze, kalau gitu aku pulang
duluan apa, ya? Rumah aku kan jauh. Takut keburu gelap. Udah ada yang nganterin
kamu pulang ke rumah kan?” kata teman Aze, setelah beberapa lama berada dalam
keterdiaman yang mencanggungkan, sambil meraih tasnya.
“Yaaa... jangan. Temenin
aku di sini dong...!!” Aze segera menarik lengan temannya. “Seenggaknya kamu
jangan ngebiarin aku duaan ama si... itu!!”
Aze menunjuk Elmo
takut-takut. Elmo langsung melotot galak.
“Pulang aja, gapapa. Rumah
kamu jauh kan? Entar dicariin orangtuanya lagi,” kata Elmo tegas pada teman
Aze. Kepalanya memberi isyarat agar teman Aze segera keluar bilik.. Kalau dia
dan si Aze Anak brengZEk cuman berdua di bilik itu kan suasana horor yang
didapatkan anak brengsek itu bakal lebih kerasa, whuahahhaha....
Dengan berat hati Aze
melepaskan pegangannya.
“Ampe ketemu besok Aze.”
“Ya, dadah...” Aze
membalas lambaian tangan temannya.
“Jangan lupa belajar ya,
ntar lagi ulum.”
“Huh!”
Kini tinggal Elmo dan Aze
dalam bilik itu. Mata mereka bertemu.
“Kamu nggak pergi juga?”
gertak Aze galak.
Ngerasa menang kamu ya, mentang-mentang di posisi yang lemah, batin Elmo sembari mengsms mamanya untuk memberitahu ia pulangnya
agak telat karena ada sedikit urusan di sekolah. Kalau tidak begitu bisa-bisa
dia didamprat karena tidak memberi alasan kenapa pulang telat.
“Ya udah... Elmo pulang
yah, udah nggak kenapa-napa lagi kan? Impas, ya?”
“Huh! Gih, sana!”
“Marah-marah lagi... Yang
mestinya ngomong ‘impas’ kan kamu!”
“Kenapa aku nggak boleh
marah-marah? Emangnya kamu kemarin nggak marah-marah terus, hah?” Pelan, tapi
menyulut kekesalan Elmo lagi.
“Ya jadi sekarang kamu
udah ngerasain sendiri kan? Makanya...”
“Iya, tau, berisik. Pergi
sana. Nggak usah sok baik.” Aze melipat tangannya dan memandang tembok.
“Eh, masih untung yah lo teh gue tolong. Pas kemarin gue nyungsep
ke sawah, yang bikin celaka, si biang keroknya, mana? Kabur dia. Dasar cewek
kadal, bisanya melet-melet aja!”
Bahwa anak itu merasa
terhina adalah sebuah keniscayaan. Tapi hati Elmo sudah terselimuti baja api.
Tak kan ada yang bisa memporakporandakannya. Meskipun anak itu menangis lagi.
Meskipun tiba-tiba dia muntah darah.
“Apa sih? Mau ngajak
berantem, hah? Mentang-mentang anak BKS, ngegunain popularitas buat menindas.”
Elmo tersentak.
“Popularitas buat menindas
apaan? Itu namanya solidaritas tau. Kalau mau tuh kerahin temen-temen kamu si
manusia bambu!”
“Aku kan nggak sengaja
bikin kamu celaka. Kamu sengaja kan bikin aku celaka biar kita impas?”
“Heh, gue tuh ya mesti
belajar nulis dari awal lagi. Lo masih mending kaki
doang yang kena, masih bisa nulis. Masih bisa
ngebuletin LJK! Lo kira lo bakal lebih menderita dari gue, hah?!”
Itulah kata-kata
terakhirnya sebelum Aze sempat membalas. Sebelum dia balik arah. Sebelum dia
menabrak Kepala Sekolah yang sedang melongok ke dalam. Aze terkekeh.
“Eh... Ck, ck, ck,
pertengkaran rumah tangga ini teh?
Nggak lagi indehoy kan?” tegur Pak Kepsek iseng.
“Eh, Bapak...?” Elmo kaget
dan langsung menyalami Pak Kepsek sementara Aze tampak sedang memikirkan apa
arti kata ‘indehoy’ yang dimaksud Pak Kepsek gaul.
“Kenapa ini bertengkar?
Pacaran yang adem ayem dong...”
“Kita nggak pacaran,”
tukas Aze dan Elmo tegas.
“Tetep aja, nggak pacaran
juga nggak boleh bertengkar...
“Kalau ada masalah itu diselesaikan baik-baik,
jangan sambil marah. Kalau marah, segera duduk. Kalau lagi duduk, tidur. Kalau
tidur gak ilang juga marahnya, ambil air wudhu. Udah pada solat belum ini teh?”
sambung Pak Kepsek lagi.
“Udah, Pak.” Aze dan Elmo
menjawab kompak.
“Nah, sekarang... Bapak
lihat kalian ini pada... kenapa? Kok pada cedera begini? Bukan Kekerasan Dalam
Lingkungan Sekolah, kan?”
“Ini...” Elmo terdiam
sebelum menunjuk Aze. “Dia tuh, Pak, yang bikin gini.”
“Eh... Sesama anak
Bilatung gak boleh saling menyalahkan begitu. Kamu, Neng, kenapa kaki kamu itu
dua-duanya?”
“Karna dia, Pak.” Aze
balas menunjuk Elmo.
“Eeeh... sudah! Sudah!
Kalian—“ Pak Kepsek coba menghentikan Aze dan Elmo yang sudah mulai saling
mengerahkan gempuran fisik.
Dokter muda itu melongok
dari balik tirai.
“Pak, mau sekarang aja, Pak?”
5
Elmo sedang berpikir,
haruskah ia bersyukur mendapat tumpangan ke rumah apa tidak. Ia sudah menolak
ajakan Pak Kepsek yang trenyuh melihat keadaan leher dan tangannya
“Rumah saya jauh Pak, di kabupaten.”
“Harga bensin mahal, Pak,.” Aze menambahkan.
“Udah, nggak apa-apa, ini mobil hybrid.”
Dokter muda alumni SMAN
Bilatung yang kini Elmo ketahui bernama Kang Donny tengah menyetir. Di
sebelahnya duduk Pak Kepsek. Di barisan tengah Elmo dan Aze duduk sebisa
mungkin dempet ke jendela, inginnya berjauhan. Elmo sempat mengira Kang Donny
yang tinggi putih jangkung ini anaknya Pak Kepsek yang hitam, besar, dan
bertubuh gempal. Ternyata bukan. Kang Donny tadi ke sekolah diantar temannya.
Tadinya mau sekalian dijemput juga. Cuman tiba-tiba Pak Kepsek yang hobi
jalan-jalan di wilayah sekolah yang asri mampir ke UKS siang itu. Mengenali
Kang Donny sebagai tetangganya. Ngobrol sampai serak. Mengajak pulang bareng.
Berkat Pak Kepsek ketiga anak muda itu dapat menikmati perjalanan naik mobil hybird keluaran merk terbaru yang
nyaman. Horee!! Semua pun senang. Bau mobilnya enak, batin Aze.
“Kang Donny ini hebat
lho,” ujar Pak Kepsek. “Dia sekarang lagi S2 sambil magang juga, ya kan, Don?”
“Ah, biasa saja, Pak...”
Kang Donny tersipu malu.
Sedari tadi kedua penghuni
jok tengah itu diam saja, mendengarkan, dan tertawa mendengar Kang Donny dan
Pak Kepsek saling melemparkan omongan penggelitik kalbu. Kalau tidak sedang
begitu berbagai peristiwa kelam di masa lalu berkecamuk dalam benak Elmo. Ia
lupa mengambil buku Biologi dan pensil mekanik 12.000-an yang ia lempar sewaktu
melihat Aze jatuh terguling. Ia ingat bahwa Pak Kepsek ini baru beberapa tahun
diangkat jadi Kepala Sekolah SMAN Bilatung karena Kepala Sekolah yang lama
meninggal dunia tertular tuberkolosis dari istrinya[6].
Sekolah yang diasuhnya sebelum SMAN Bilatung telah menjadi sekolah yang
terkenal karena prestasinya. Beliau juga suka muncul di koran. Pak Kepsek ini sempat
cerita, seharian tadi ia mengawasi pemasangan tempat sampah. Jadi nanti setiap
area di SMAN Bilatung bakal punya dua jenis tempat sampah. Non organik sama
organik. Pak Kepsek ingin jenis tempat sampahnya lebih beragam lagi. Jadi ada
tempat khusus buat sampah kertas, sampah plastik, sampah basah, sampah logam,
sampah kaca... tapi biayanya... itu dia. Pak Kepsek inginnya nanti OSIS
menyelenggarakan acara daur ulang sampah untuk siswa-siswa SMAN Bilatung. Jadi
nanti adik-adik kelas Elmo bakal diajari cara membuat pupuk kandang dan
barang-barang kerajinan dari sampah.
Pak Kepsek baru ini punya
banyak cerita dan impian. Dan mobil hybrid
baru.
Elmo tersentak ketika
wajah Pak Kepsek tiba-tiba muncul dari balik jok depan.
“Udah, jangan berantem
lagi.”
Aze menyatakan ‘nggak,
kok’ dari ekspresinya. Elmo menggeleng.
“Kalian kan kakak dan adik
kelas. Kakak dan adik kelas seharusnya saling menyayangi dan melindungi.”
Elmo teringat insiden
pencopetan di angkot waktu itu.
“Tapi kan, Pak. Ada loh, kakak dan adik yang
nggak pernah bisa akur,” Aze komplen.
“Ya, jangan begitu...
harus akur. Kalian ini pada kelas berapa?”
“2 IPA 8,” jawab Aze.
“3 IPA 4,” jawab Elmo.
“Wah, 3 IPA 4 ya, dulu itu
kelas saya lo,” Kang Donny nyeletuk tanpa kemudian ada yang mengomentari.
“Wah, yang kelas 3, untung
aja yang kena cedera bukan tangan kanan ya. Kalau nggak, wah, nanti SPMB-nya
gimana...”
“Saya kidal, Pak,” sahut
Elmo tegar.
“Waa, kidal? Kidal itu
pake tangan kiri, ya. Kalau tangan kanan berarti... kadal?”
“...”
“...”
Cuman Kang Donny yang
ketawa.
“Wah, gimana itu nanti
SPMB-nya?”
“Saya bisa pake tangan
kanan juga kok, Pak.”
“Bagus... bagus... Kalian
bisa saling membantu pelajaran. Kalau adek yang kelas 2 nggak ngerti bisa tanya
kakaknya yang kelas 3, ya. Yang udah kelas 3 juga kalau ada pelajaran yang
lupa, bisa nanya adiknya... Bagus kan, heh?”
“Jaman saya yang kayak
gitu belum ada, Pak,” ujar Kang Donny. Wajahnya merah tertimpa sinar lampu
merah di depan sana.
“Sama. Jaman anak-anak ini
juga belum ada.”
“Gitu, ya.”
“Makanya ya, biasanya
anak-anak SMAN Bilatung ini kan les sama gurunya...”
“Jaman saya juga gitu, Pak.”
“Saya rasa perlu juga
adanya transfer antara anak yang tingkatnya lebih atas pada adiknya.”
“Di ekskul-ekskul kayak
gitu kok, Pak,” sahut Aze.
“Nggak, Neng, Bapak ingin
membuat semacam program khusus. Bapak pingin ada sistem mentoring gitu...”
“Kan udah, Pak, DKM.”
“Bukan. Jadi ide Bapak itu
supaya anak-anak kelas 3 bisa jadi mentor buat anak-anak kelas 2 dan kelas 1.
Begitupun dengan anak kelas 2, mereka bisa jadi mentor buat anak-anak kelas 1.
Tinggal dibagi aja.”
“Tapi ya, Pak, anak-anak
kelas 3-nya sendiri mungkin lagi sibuk-sibuknya persiapan buat SPMB, bimbel.
Anak-anak kelas 2 juga selain ikut bimbel, lagi sibuk-sibuknya ngurusin
ekskul...”
“Ya, untuk kelas 3-nya ya
pas semester ganjil aja, semester berikutnya mereka difokuskan buat ujian.
Lagipula kalau ada program mentoring kan nggak usah ada bimbel lagi.”
Elmo tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi kalau itu benar-benar terjadi. Persiapan SPMB nggak pake bimbel? Yang bener
ajalah. Bimbel itu perannya krusial banget buat siswa sekolahan yang lagi ada
di ujung tanduk. Makanya Elmo suka heran kalau mendengar cerita ada orang
yang bisa tembus ke PTN favorit tanpa andil dari satu pun bimbel. Bahkan
beberapa temannya yang rajin mengikuti bimbel pun berkata, “Saya ambil dua!”
Termasuk pula dirinya.
“Mmm, begini, Pak,” Elmo
mendapat inspirasi untuk ikut berkontribusi. “Kenapa nggak alumni aja, Pak,
yang turun tangan?”
“Alumni bukannya sibuk
kuliah, praktikum juga, Kang?” Aze tidak menyadari siapa yang baru saja ia
tanggapi.
“Di bimbel Elmo banyak kok
alumni yang ikut ngajar. Apalagi pas weekend.
Mereka seneng kayak gitu, Pak. Apalagi digaji.”
“Yee... sama almamater
sendiri mah sukarela atuh,” tukas Kang Donny sambil tertawa.
“Ya ya ya, kalau begitu
alumni juga harus diajak. Dengan memberikan ilmu kita pada orang lain, niscaya
ilmu itu akan semakin menempel di otak kita. Setuju, kan? Bener nggak, Don?”
Kang Donny lagi-lagi hanya
tertawa.
Aze menggumamkan kata
‘niscaya’.
“Pernah denger sih, Pak.”
Elmo mengangguk-angguk.
“Nanti mau Bapak usulkan
pas rapat. Kalau yang lain setuju bisa segera dibuat pembagiannya untuk tahun
ajaran nanti...”
“Menurut saya sih, Pak,
mending sama alumni aja mentoringnya, biar anak SMAN Bilatungnya fokus sama
kegiatan sekolah,” ujar Aze lagi.
“Hm... ya, ya. Oh...
Gimana kalau kalian aja yang jadi pionirnya?”
“Saya, Pak?”
“Bukan. Bukan kamu, Don.”
“Eh, maksud Bapak...”
“...kelinci percobaan?”
“Bukan, tapi pionir.
Perintis atau pelopor, apalah...”
Pak Kepsek menengok lagi
ke belakang. Dalam kegelapan malam yang tengah menerjang perlahan, Elmo seperti
melihat siluet beruang.
“Siapa namamu, Nak?” tanya
Pak Kepsek pada Elmo.
“Elmo.”
“Kalau kamu?” pada Aze.
“...Aze..”
“Elmo, kamu kan udah
selesai UAS kan? Tinggal nunggu hasil UN ma kelulusan ma SPMB kan? Trus kamu
Aze, anak kelas 2, sebentar lagi ulum. Kalian kan bisa saling mengajari. Aze,
kalau ada bahan ulum yang nggak dimengerti bisa tanya Elmo. Elmo kalau ada
pelajaran kelas 2 yang lupa bisa tanya Aze. Aaaah... bagus ini, bagus. Ini akan
sangat bermanfaat, Nak. Kalian udah tahu nomor telpon masing-masing belum?”
Elmo dan Aze sama-sama
menjawab ‘nggak’ dengan nada enggan. Ya
ampun, Pak Kepsek, bukankah tadi kita sudah sepakat kalau alumni saja yang jadi
mentornya??
“Ya, kalau bisa kalian
tukeran dong. Kalian kan kakak adik sekaligus pementor dan yang di...?
Dimentor.. Supaya bisa saling nanya pelajaran kapanpun dan dimanapun...”
Dimentor. Dementor.
Makhluk penjaga penjara sihir Azkaban. Entah kenapa dari arah belakang terasa
seperti ada hembusan angin dingin. Elmo bergidik. Membayangkan apabila igauan
Pak Kepsek ini terwujud dalam realita.
“Pak, bukannya lebih baik
kalau... cewek ama cewek... dan cowok ama cowok...? Entar
diomelin anak DKM loh, Pak.”
Pak Kepsek berkata, “Ah,
nggak apa-apa kok. Ya, nanti bisa juga seperti itu kalau pingin. Sekolah lain
ada yang udah memakai sistem ini duluan dan campur nggak masalah kok. Kepseknya
kan teman Bapak. Nih, untungnya Bapak bawa notes.”
Agak mangkel hati Elmo
yang sungguh tidak menginginkan kalau
dia dan anak brengsek itu harus benar-benar berinteraksi. Huh, sekolah macam
apa itu yang disebut Pak Kepsek tadi?!
“Nggak usah Pak, udah ada hape.” Meski berkata
begitu Elmo ragu-ragu mengeluarkan hapenya. Yakin
nih? Ada-ada aja si Bapak... Melihat Elmo sudah mengeluarkan hape, Aze
melakukan hal yang sama.
“Nomor apa, Pak? Hape?
Rumah?”
“Terserah.”
“Hape aja deh,” ujar Elmo.
“Ya udah, hape.” Aze
menurut.
“Perlu nomor Bapak juga nggak?”
“Oh, bisa nanya pelajaran,
Pak?” tanya Elmo polos.
Pak Kepsek menjawab dengan
sumringah. “Oh, iya. Bapak juga dulunya lulusan IKIP loh, jurusan Kimia.”
Elmo jadi ingat. Ia pernah
mendengar salah satu guru senior di SMAN Bilatung cerita kalau beliau dulu
pernah jadi pembimbing buat Kepsek yang satu ini pas lagi PPL. Konon, guru
senior tersebut nyaris tak meluluskan Pak Kepsek karena yang bersangkutan tak
lihai mengajar.
“Aze, rumahnya belok sini
bukan?”
Aze melihat sekilas ke
jendela karena ia sedang konsentrasi memasukkan nomor Elmo ke dalam buku
telepon di hapenya. Tak terasa sudah sampai ke daerah sekitar rumahnya. “Ng...
eh iya. Ntar lurus aja trus pas mentok belok kanan.”
“Minta nomor Kang Donny
juga boleh loh, bisi mau tanya-tanya
soal gimana masuk Kedokteran. Kalian ada yang berminat masuk Kedokteran nggak?
Anak SMAN Bilatung mana sih yang nggak... Kalau nggak Kedokteran ya pasti
Institut Top Banggetz... hahahaha....”
“Ah, Bapak...” Kang Donny
tersipu.
Diam sejenak. Tiba-tiba
Pak Kepsek nyeletuk dengan nada tidak yakin, ”Neng Aze, dulu pernah dipanggil
ke kantor saya nggak, ya?”
6
Malamnya, setelah melewati
berbagai pergulatan pikiran, Aze akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri
minta maaf sama Elmo. Tadinya ia mau minta maaf via sms aja, tapi rasanya lebih
sopan kalau bicara langsung lewat telpon. Sekalian maksudnya hendak menanyakan
soal Fisika yang ia tidak bisa mengerjakannya. Ya ampun, darimana datangnya
perasaan sopan atau tidaknya sesuatu ini?
Saat ia sudah separuh
jalan menuju telepon rumahnya, ia berbalik lagi. Kalau orangtuanya mendengar
Aze memanggil lawan bicaranya di telepon dengan panggilan ‘Akang’ pasti mereka
langsung heboh. Berarti Aze harus minta maaf lewat hape dengan sisa pulsanya
yang tinggal sedikit itu. Tidak apa-apa, cuman bentar ini kok. Lagian provider-nya sama, mungkin bakal murah.
Tut...tut...
Ah, sudah. Aze tidak bisa
mundur lagi. Nomornya pasti sudah tampil di layar hape Elmo.
Tut..tut...
“Halo.”
“Halo Kang, ini Aze yang
tadi Akang lempar dari tangga.”
“Yang nari-nari di jalan
terus bikin tangan gue patah dua setengah bulan sebelum SPMB ?”
“IYA”
“Oh, kenapa ?”
.
Ternyata dimanfaatkan juga
ya, nomornya ini. Nomornya yang jadi incaran cewek-cewek adik kelasnya yang
ngecengin dia, dia berikan secara cuma-cuma pada cewek tidak rupawan dengan
tingkah menyebalkan dan tidak kelihatan dalam arena pergaulan. Elmo geli
sendiri.
“Aku mikirin yang Akang
bilang terus aku sadar aku emang salah. Maaf ya Kang. Aku ini emang pengecut..”
“Ya..ya.. Nggak papa kok.
Udah Elmo anggap impas,”
“Kang,”
“Apa?”
“Aku sekalian mau nanya PR
nih, Fisika susah pisan. Biasanya aku
nanya ke temen pagi-pagi, tapi itu kan nggak baik ya, Kang. Akang masih inget
dinamika rotasi nggak? Kita kan kakak adik, Kang, harus akur dan saling
mengayomi,”
Dan papah kita adalah Pak Kepsek yang gaul.
“Oh, ya lumayan inget. Eh
iya, yang kejadian di angkot itu makasih ya,”
“Apaan?”
“Yang ada copetnya. Waktu
Elmo turun Elmo baru nyadar kalo tas Elmo kebuka gitu. Nggak tau Elmo lupa atau
gara-gara si pencopetnya. Elmo jadi utang budi nih sama Aze.”
.
Aze memperhatikan bahwa
Elmo menyebut dirinya sendiri pakai namanya. Elmo ini.. Elmo itu.. Cih, kayak anak kecil.
“Ah, yang gitu mah udah
banyak kali. Aku udah sering nemu yang kek gitu.”
“Cie.. pemberantas
kejahatan nih ceritanya?”
“Hehe iya, aku ampe
kepikiran masuk Akpol loh.”
Tidak menyangka Elmo itu
orangnya hangat dan cunihin.
Sepertinya dia sudah terbiasa ngobrol sama cewek.
“Emang Aze udah sering yah, kecopetan di
angkot?”
“Aku sendiri sih belum
pernah. Temen aku yang kecopetan waktu itu, nggak ada yang nyadar. Masih pada
polos sih. Dasar anak-anak,”
“Emangnya Aze bukan
anak-anak?”
Aze mengangkat bahunya.
Tentu Elmo tidak bisa melihat. Mereka kan tidak sedang melakukan video teleconference.
“Akang jarang naik angkot
yah? Kalo orang yang udah pengalaman mah pasti nggak sepolos Akang,”
“Ya, emang jarang sih,”
Elmo mengingat-ingat, ”Terakhir naik angkot waktu SMP.”
“Haha..”
“Maaf, sisa pulsa Anda
tidak mencukupi untuk melakukan panggilan. Silahkan isi ulang kartu prabayar
Anda.”
Tut... Tut..
...
...
SIALAAAN... Aze harus
menunggu kurang lebih dua minggu lagi untuk bisa berinteraksi sosial lewat
hapenya karena jatah pulsanya cuma lima puluh ribu sebulan. Aze hanya bisa
tidur-tiduran di ranjangnya sambil menatap layar LCD hape, menunggu Elmo balik
meneleponnya. Siapa tahu Elmo adalah tipe cowok gentle.
Ternyata bukan. Aze
menunggu hampa sambil tidur-tiduran beberapa lama sampai nomor Elmo muncul lagi
di layar hapenya. Aze terpuruk menyadari kenaifannya. Aze... Aze... kayak yang banyak duit saja kau...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar