1
Elmo tenggelam dalam kasur
empuk dengan posisi telungkup. Tangkuban Elmo. Seluruh celah yang memancarkan
cahaya ditutupnya. Pintu kamar dikuncinya. Tidak ada yang bisa masuk ke dalam
penjara batinnya. Bahkan sekalipun kecoak. Peduli amat bila pintunya didobrak.
Kedua lubang telinganya disumbat musik yang merangsang orang untuk bunuh diri.
Sejak pagi pintu sudah digedor berkali-kali. Nggak denger. Nggak denger. Elmo lagi mati. Pergi sana.
Elmo tidur terus sejak
sampai kamar. Tidak keluar-keluar lagi dia. Dia berkali-kali mimpi-trance-sadar-trance-mimpi-trance-sadar.
Biasanya dia mimpi dia bangun dari segala kekacauan tersebut dalam tubuh
serangga. Mirip-mirip Metamorphosis-nya Frans Kafka gitu. Terakhir kali dia
mimpi dia bermetamorfosis jadi ulat kantong dan karena perubahan fisiknya yang
jadi bukan manusia lagi itu pacarnya sms minta putus. Aduh, siapa sih nama
pacarnya? Bahkan Elmo pun lupa. Pokoknya dia cantik kayak Putri Indonesia.
Siapa namanya? Ah ya, Artika. Dia mimpi Artika lagi jalan-jalan sama Baim pakai
baju kurang bahan warna perak. Enak di Baimnya. Subhanallah. Dalam keadaan Elmo
menderita sekali itu Artika tampak cantik sekali.
Setelah melalui proses trance yang melenakan Elmo tak bisa
memejamkan matanya lagi. Kepalanya terangkat, menoleh, tak sengaja matanya
menangkap seraut wajah di cermin. Oh, siapa itu? Jelek banget. Elmo bahkan tidak
sanggup mendeskripsikannya. Bayangan itu seolah-olah bilang sama dia, “Mati
kamu.”
Elmo bangkit dan terduduk
namun tetap menunduk di atas kasur. Tangannya merogoh-rogoh tas dan mendapati
hapenya berada di paling dasar. Dia pingin sms seseorang. Sms apa ya? Tidak
tahu hendak mengsms apa. Pokoknya sms. Entahlah mungkin nanti kepikiran.
Elmo mengaktifkan hapenya.
Menunggu sebentar. Hapenya bergetar tanda ada sms yang masuk. Bergetar terus.
Wuah, banyak sekali smsnya... Entah dari siapa saja. Missed call lebih lagi. Belasan kali telepon dari rumah. Mungkin
hendak menanyakan apa kabar hasil SPMB-nya. Buruk. Ia harus ganti nomor.
Jempolnya otomatis memencet tuts pada sms Artika.
Putus y.
Artika tidak pernah mengirimkan sms sependek itu.
Mimpi. Ini pasti masih bagian dari mimpinya yang
tersendat-sendat...
Tubuh Elmo terempas lagi ke kasur. Memejamkan mata selama
beberapa lama. Ia tak mampu terlelap lagi.
Tadinya Elmo hendak membanting hapenya. Tapi melihat begitu
banyak sms dari Aze ia jadi urung. Namun Elmo malas membaca satu per satu.
Apalagi sms dari... Trista. Elmo menahan nafas.
2
Hanya temaram lampu meja yang menemani Elmo. Ia sedang mengetik
surat wasiat di komputer. Ia pun memikirkan juga akan dimakamkan di mana ia
nantinya. Apakah ia cukup layak dimakamkan di makam keluarga di Singaparna? Di
belakang rumah Mas Fahri ada pemakaman. Di situ aja gitu? Biar dekat kalau
sekali-sekali mau menggentayangi Mas Fahri sekeluarga. Apa di halaman rumah saja
biar tidak merepotkan orangtua?
“Dear, Mama, Papa...”
demikian Elmo mengetik. Aduh, dalam sekejap ia tidak tahu hendak menorehkan
kata apa lagi. Lagian di SMA tidak pernah ia diajarkan cara membuat surat
wasiat yang baik dan benar. Ia sudah bosan diajari bikin surat lamaran kerja
meski kini dia sadar bahwa hal tersebut penting bagi lulusan SMA yang tidak
tembus SPMB. Tapi kini dia lebih berminat membuat surat wasiat saja.
Bertepatan dengan pintu kamar diketok dia berhenti mengetik lalu
langsung mengklik minimize di jendela
MS.Word.
“Elmo...”
Suara berat itu!!!
Elmo loncat ke kasur dan menyelubungi dirinya dengan selimut.
Pura-pura tidur.
“Cklek...”
Pintu terbuka. Lampu yang menempel di atap lalu memancarkan
cahaya putih yang terang benderang. Sialan! Punya kunci serep dia rupanya!!
Elmo tidak tahu apa yang terjadi di dunia di luar selimutnya. Ia
mendengar ayahnya mengeluarkan suara tertahan. “Hmp.”
Elmo memejamkan matanya. Tidur ah. Tidur. Gagang kacamata masih
menempel di pelipisnya. Elmo tidak mau membuat gerakan lagi.
Terdengar suara klik-klik dari mouse.
“Bikin surat wasiat, Elmo?”
Alamak.
“Bangun Elmo.”
Dari suara-suara yang terdengar Elmo mengira papanya telah menarik
kursi mendekat untuk didudukinya.
Elmo lagi mati. Jangan diganggu.
“STAN nanti masih buka pendaftaran...,” papanya berbicara.
Elmo tidak pernah terpikir untuk masuk STAN. Elmo selalu
kepikiran masuk STEI Institut Top Banget. Tidak ada yang dapat menggoyahkannya.
“Pria macam apa kamu seharian tidur begitu sementara berapa juta
pemuda seumuran kamu bangun di pagi hari untuk membuka bengkelnya, usaha tambal
bannya, mengangkat paculnya. Kamu andalan papa, Elmo.
“Mulai besok pagi papa nggak mau melihat kamu masih
malas-malasan begini! Papa nggak ingin ada pria lemah di rumah ini.”
Papa masih berorasi hingga lima menit ke depan. Sesudahnya Elmo
terisak pelan. Saat penjara itu gelap kembali tembok di hadapannya retak. Malam
itu Elmo berusaha tidur dengan bogem nyut-nyutan.
Dia tidak memperhitungkan berapa besar momentum yang akan
terjadi. Dia tidak mau pula mengingat-ingat rumusnya.
3
Matahari amat kejam pada jam dua seperempat siang. Terlebih di
puncak bulan kemarau ini. Tapi ini sudah rutinitas. Mau tak mau meski Aze tak
bisa bersahabat dengan kondisi seperti itu ia harus menerimanya. Ia menyusuri
gang menuju ke rumah Mas Fahri yang dijadikan markas BC tersebut. Gontai. Oh,
keteduhan... Sirnalah wahai kegerahan! Es batu! Mana es batu! Aze mau minta es
batu pada istri Mas Fahri.
Begitu mencapai pintu rumah Mas Fahri, meminta es batu,
mengulumnya, dan merayap ke pintu yang menuju tempat les, betapa tercengangnya
Aze melihat sesuatu yang tak disangkanyana... Siapa lagi itu kalau bukan Elmo?
Elmo lagi membaca koran di lorong. Dahinya berkerut-kerut tanda
sedang berpikir. Lingkaran-lingkaran hitam tebal di sekeliling matanya. Gips
yang dulu membebat lengan kirinya sudah lama dilepas. Sekarang ganti tangan
kanannya yang dibalut perban. Apakah gerangan yang terjadi..?
Aze tidak tahu harus berucap apa pada lelaki itu. Tadinya ia
ingin menyapa “hoi!” tapi entah mengapa kok urung jadinya. Biar Elmo sadar
sendirilah. Aze masuk ke tempat Mas Luki, adiknya Mas Fahri yang mengajar
Kimia.
“Mas Luki...” tegur Aze.
Mas Luki dan anak yang sedang diajarnya—kedua-duanya mendongak.
“Eh, Aze. Sekarang mau belajar apa?”
“Mas, dari jam berapa Kang Elmo di sini?”
“Ada si Elmo? Baru tahu saya...”
“Tengokin.”
“Ah, nanti aja.”
Terdengar di luar suara Mas Fahri memasuki lorong. Terdengar
keterkejutannya melihat Elmo.
“Eh, Elmo, masih butuh tali tambang?” tanya Mas Fahri dengan
nada riang.
“Dasar psikopat,” desis Mas Luki. Muridnya tersengal menahan
senyum.
Aze menengok keluar ruangan. Ia melihat Elmo tersenyum kecut.
“Nggak, Mas. Sekarang saya butuhnya batu-batu berat buat dimasukkin ke
kantong.”
“Masak mau nenggelamin diri di kali, Mo. Emangnya masih jaman
ya? Jaman sekarang mah yang lagi ngetren gantung diri. Lagian kali mana di
Bandung yang masih dalem? Udah pada dangkal semua lagian banyak sampahnya ama
lele koneng. Masak kamu mau tewas dalam kubangan tai?”
Elmo mesem-mesem saja. Aze nyaris ngakak.
“Nggak, Mas. Batu-batunya buat saya ngelempar papa...” Elmo seperti mendesis saat
mengucapkan kata ‘papa’.
Aze sempat merasakan beberapa detik di sekitarnya tanpa suara.
Hingga seekor cicak memberanikan diri untuk berdecak, dinamika bimbel semi
privat itu kembali berjalan.
Belajar dari sang cicak, Aze pun memberanikan diri keluar dari
tempatnya mengintip.
“Eh, ada Kang Elmo...”
Terinspirasi dari Aze yang belajar dari sang cicak Mas Fahri pun
mencicit lagi, “Mo, mau cobain rokok, Mo?” Ia menyulut rokoknya dengan lighter dan menghisapnya lalu ngeloyor.
“Kang, belajar yuk, Kang. Aze ada yang nggak ngerti nih.”
Mula Aze mengira Elmo masih trauma dengan soal-soal. Takut
mengingatkannya pada SPMB. Tapi Elmo mau saja disodori soal. Sikap Elmo masih
dingin tapi Aze dapat memakluminya.
Lalu mereka pun belajar hingga petang menjelang di ruang
terpencil yang dulu jadi tempat persinggahan Elmo setelah mengalami keruntuhan
kedigdayaan. Ruangan itu berfungsi sebagai ruang cadangan kalau BC sedang
kedatangan banyak ‘pasien’ atau ada ‘pasien’ yang mau menginap hendak intensif
mengerjakan soal semalaman. Namun tidak banyak yang ngeh akan keberadaan sudut
tempat jalan menuju ruang terpencil itu berada. Elmo akan aman di situ dari
jamahan pandang orang-orang yang mengenalnya, apalagi kalau orang itu murid
SMAN Bilatung juga.
Ketika sudah waktunya pulang, Elmo mengajak—atau lebih tepatnya
menyuruh—Aze untuk ikut bersamanya jalan-jalan ke BSM—Bandung Super Mall.
“Mo ngapain ya?” tanya Aze curiga.
“Nemenin Elmo aja. Bentar doang kok.” Ada sedikit keketusan
dalam kalimat Elmo. Karena takut didamprat kalau menolak, Aze menurut saja,
apalagi sepertinya emosi Elmo masih labil.
“Mm.. kalau entar ada anak Bilatung atau sebangsanya yang Akang
kenal?” tanya Aze lagi, kali ini pernuh kehati-hatian.
Elmo terdiam sebentar sambil memasukkan barang-barangnya ke
dalam tas. “Gimana nantilah.”
Ini pertama kalinya Aze naik kendaraan yang dikendarai sendiri
oleh Elmo. Sebenarnya pertama kalinya juga Aze berkendaraan duaan saja dengan
cowok dan kendaraan yang dipakai bukanlah kendaraan umum. Ada sedikit debar di
hatinya. Selama perjalanan mereka diam-diaman. Wajah Elmo tidak enak dilihat.
Untuk mengabaikan segala ketidaknyamanan ini, Aze mengamat-amati bagian dalam
mobil Elmo. Dari situ ia menerka-nerka seperti apa kepribadian Elmo sebenarnya.
Aze seperti melihat lautan aura ungu.
Kurang dari setengah jam mereka telah duduk di atap mal tersebut,
menyaksikan sunset yang tenggelam
dalam lautan perumahan sambil menyantap Roti Ngomong.
“Kang Elmo tadi dari mana aja sebelum ke BC?” iseng Aze
bertanya. Dia menanyakan hal itu karena tidak tahu mau bicara apa lagi. Aze
sedang dalam proses memahami realita yang dialaminya tadi. Elmo ke BC? Apakah
dia tidak takut atau malu bertemu dengan anak SMAN Bilatung selain Aze? Adik
kelasnya gitu, secara Elmo cukup beken. Ya meskipun jadinya mereka belajarnya
‘ngumpet’ juga. Ia bersyukur selama di BSM ini belum bertemu satu wajah pun
yang dikenalnya sebagai wajah anak Bilatung. Entah kalau ternyata sebenarnya
ada yang Elmo kenal.
“Kang, aku liat tadi spanduk di sekolah...” Aze sudah lupa
dengan pertanyaannya yang tidak dijawab Elmo tadi. SMAN Bilatung mempunyai
tradisi, setiap habis pengumuman SPMB setiap kelas yang lulus akan menuliskan
nama-nama penghuni kelas tersebut beserta fakultas dan Perguruan Tinggi mana
yang telah menerima mereka di sebuah spanduk besar. “...angkatan Akang nggak
cuman Akang aja kok yang... nggak lulus SPMB.”
Aze menghentikan segala aktivitasnya sebentar untuk melihat
bagaimana reaksi Elmo. Aze duduk di undakan semen belakang Elmo sementara Elmo
duduk di lantai. Aze nggak bisa melihat ekspresi Elmo. Aze cuman tahu Elmo
sedang mengunyah roti abonnya.
“Oh..,” kata Elmo akhirnya. “Tadi juga sebetulnya Elmo mo
ngomongin itu ke Mas Fahri tapi tadi ngajarin Aze... lupa. Yah, udahlah. Udah
lewat.”
“Syukur atuh.” Aze
lega. Kini berharap ia Elmo bisa menatap dunia dengan kepercayaan dirinya lagi.
Tidak lagi takut ketemu sama orang yang dia kenal. Semoga... “Ke sekolah atuh
yuk, Kang. Silaturahmi.”
“Ogah.”
Aze bungkam untuk beberapa lama, demi menghabiskan sisa-sisa
rotinya. Oh, nikmatnya rasa di lidah ini, dipadukan dengan sensasi yang
ditangkap mata, indahnya semburat jingga di kejauhan sana. Tentu saja kalah
jauh dengan sensasi yang ditimbulkan jika melihatnya dari Pantai Sanur...
Bersin Elmo menarik Aze dari bias nuansa jingga tersebut, meingatkannya akan
mimpi seramnya yang kapan itu. Dalam mimpi tersebut Elmo merokok. Biasanya
orang kalau sedang stres larinya ke rokok... Mungkin perasaan Elmo bisa lebih
membaik kalau dia merokok? Kalau begitu suruh si Elmo merokok saja. Bukan saran
yang baik tapi jika itu baik untuk keadaan emosi Elmo yang menegangkan Aze,
maka Aze mencobanya.
“Kang, nggak ngerokok?” Aze sudah siap-siap menjauh dari asap
rokok apabila Elmo jadi merokok.
Elmo malah menatapnya bingung. “Elmo nggak ngerokok.”
“Anak BKS nggak ngerokok?”
“Emang anak BKS harus selalu ngerokok?”
“Kenapa Akang nggak ngerokok?”
“Karena gue emang nggak kepingin ngerokok!?”
Aze buru-buru menarik diri dari percakapan ganjil itu. Ya,
ganjil. Anak-anak BKS yang terkenal beringasan dan suka bentakin orang itu...
Cewek-ceweknya judesnya bukan main. Cowok-cowoknya berandalan. Tapi tetap
intelek, tentu saja, kan anak Bilatung. Tapi anak BKS yang satu ini tidak
merokok. Anak BKS yang satu ini kemarin menangis di bahunya. Anak BKS yang satu
ini... kok bisa jadi anak BKS?
Elmo mengelap bibir dengan punggung tangannya seraya beranjak
dari duduk.
“Hayu ah, Ze. Udah mulai gelap. Mau pulang nggak?”
“Oh, iya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar