September 2008
1
Terbangun pada minggu pagi hari itu, Elmo berdiri di balik
jendela. Mengintip mentari dari celah gorden. Ia merasakan pancaran hangat
sinarnya yang dapat mengaktifkan provitamin D menyapa tubuhnya. Spirit of positivity, yeah, I feel it...
And the morning is for you...
And the sunshine is free...[1]
Setelah semalam suntuk tidak tidur menamatkan The Secret, Elmo merasakan semangat
hidup yang baru. Isi buku yang dibeli mama untuk menemaninya kala terserang
insomnia akut yang akhir-akhir ini menderanya begitu menggugah.
SPMB adalah masa lalu. Ia tidak akan mengulangi kesalahan yang
sama; mengisi semua pilihan dengan STEI Institut Top Banget dan tidak
menyiapkan cadangan. Trampolin itu harus ia singkirkan agar perasaan sesumbar
dan percaya dirinya tidak melambung jauh lalu naas terhempas jatuh. Begitulah
hasil evaluasi kegagalannya dengan Aze dan Mas Fahri kemarin.
Perasaan ringan itu mengawang di dada. Menggerakkan ujung bibir
Elmo membentuk lengkung positif. Ayo tatap masa depan! Keluarkanlah energi
positif agar segala kebaikan berebut untuk jadi milikmu!
“Semangat Elmo!!” Elmo mengacungkan kepalan tangan. Ia
memasukkan kepalanya dalam lubang kaos. Mengusir hawa dingin.
Tak tersirat olehnya pikiran untuk terus mandi, menggosok gigi,
dan membersihkan tempat tidur. Yang mendominasi adalah harapan untuk ikut SPMB
lagi tahun depan. Pasti ada SPMB lagi di tahun berikutnya. Kalau nggak, yah nabung buat USM deh. Harapan ada bila kau tahu
mana jalan yang benar, Elmo ingat sepenggal lagu yang dinyanyikan oleh
anak-anak AFI Junior angkatan pertama. Jalan yang benar untuk mencapai tujuannya
adalah dengan mengerjakan soal sebanyak-banyaknya, yang sulit, yang sukar, yang
susah. Tangan Elmo bergerak menggapai pintu rak. Mengeluarkan soal-soal yang
dulu sering diuliknya. Membuka-buka buku pelajaran SMA yang dulu sering
dijamahinya. Elmo tidak benar-benar langsung mengerjakannya. Untuk hari ini ia
hanya berniat me-refresh otaknya.
Mengingatkan kembali akan kenangan aktivitas belajar yang dulu dilakoninya.
Hingga tahu-tahu malam datang. Energi Elmo seperti tiada
habisnya. Segala panggilan dari luar tak diindahkannya. Makanan pun diantar ke
dalam kamar.
Ah, iya. Kalau tidak salah ia juga punya bank soal di
komputernya. Meski soal-soalnya masih tergolong mudah akan tetapi karena ada game-nya Elmo jadi tertarik. Setelah
seharian ini mencoba berkawan lagi dengan soal-soal ia merasa otaknya mulai
agak jenuh. Ia nyalakan komputernya. Menunggu sebentar. Lho, kok nggak ada shortcut-nya
di desktop?! Window Explorer... Mmmm... ah, Elmo ingat, selepas SPMB
dia ingin meng-install game baru, tapi hal itu malah membuat
kinerja komputernya menurun bagai hewan sipemalas yang sedang sekarat. Jadi
karena ia merasa tidak akan membutuhkan soal-soal SMA lagi, bank soalnya itu ia
uninstall.
Ia mengangkat rak CD ke atas meja dan mencari-cari CD interaktif
bank soal untuk di-install-nya lagi.
Menemukan itu, matanya menangkap satu CD-RW yang tidak ada judulnya. CD itu terlihat
mencolok karena cover polosnya itu di antara CD-CD Elmo yang didominasi oleh CD
game. Apa ya?
Dimasukkannya CD-RW itu. Menunggu sebentar. Nama CD itu “2004-2007ErLanggaMOchammad”.
Isinya ber-folder-folder.
Foto-foto yang jadi bukti masa-masa kejayaannya.
Dibukanya satu folder.
Filmstrip. Elmo si ganteng. Elmo sama
teman-temannya. Teman-teman sekelas. Dari kelas satu sampai kelas tiga.
Teman-teman cewek. Teman-teman cowok. Di tangga. Di kantin. Di dalam kelas. Di
depan kelas. Di koridor. Di lorong. Di perpus. Tempat mana sih di sekolah yang
tidak pernah Elmo hinggapi? Ternyata ia juga tak lupa memasukkan foto hari-hari
terakhir ia bergips dengan gipsnya itu penuh coretan warna-warni dari
teman-temannya.
Folder lain. Elmo dengan anak-anak
BKS bermuka sangar. Berlinangan air mata di muka bonyoknya saat dilantik. Sama
angkatan atas pas pelantikan anggota baru. Sama bapak pembina yang berkumis
baplang. Sama anaknya bapak pembina berkumis baplang yang cantik jelita.
Persiapan diklatsar.
Masa-masa itu, pernah dialami, bagai roll film yang berputar. Menampar mata. Elmo berusaha membangun
dinding dalam jiwanya agar tidak terlalu larut dalam romansa.
Folder lain. Foto ama temen-temen
ceweknya lagi. Folder lain. Foto sama guru-gurunya. Guru BP. Guru Biologi. Guru
Kimia. Guru Agama. Guru Kn. Guru Matematika. Sama anaknya guru juga, kalau
sekiranya cantik. Elmo anak kesayangan guru. Pinter, supel, ganteng, dan gaul.
Folder lain. Foto waktu tur budaya
di Bali. Foto-foto dengan teman-temannya. Kebersamaan. Foto-foto narsis
bertelanjang dada. Dalam kamar hotel. Ruang makan. Lobby. Kolam renang. Halaman
hotel. Dalam bis. Di pantai. Di ayunan. Di bawah nyiur. Dengan background sunset, mereka loncat.
Hasilnya adalah sebuah siluet yang indah. Semua gaya ada. Tinggal pilih yang
mana.
Elmo menyadari sesuatu yang hangat sedang melintasi pipinya. Ia
mengusapnya. Meski foto-foto ini membuka kembali jendela kenangan yang telah ia
tutup rapat-rapat, namun ia tidak ingin segera meng-close-nya. Dia menikmati momen ini. Sebagai seorang pria melankolis, meski luarnya gahar, akan
tetapi dalam hatinya, ia lembut bagaikan salju...
Masih ada CD foto SMP loh...
Yang selain itu juga ada... goda suara hati Elmo yang lain, seperti hendak menguak luka hati
Elmo lebih dalam. Ah, teman-teman masa lalunya... Ia akan sangat malu sekali
apabila bertemu dengan mereka... Mereka juga tentu akan bertanya-tanya, teman
sealmamater mereka yang pintar ini—Elmo—pada akhirnya berlabuh pada jurusan apa
di perguruan tinggi mana...
Tangan Elmo lama tidak mengklik mouse saat sampai pada satu potret. Matahari yang begitu jingga
mencair, lebur bersama air. Menjadi bagian dari samudra luas di mana ada pisang
terapung di atasnya. Bukit-bukit begitu hitam. Siluet seseorang tampak kecil
sedang berjalan sambil menunduk menyusuri pantai. Nyiur doyong seperti hendak
merengkuhnya. Jauh di depan semua yang tampak kecil itu, gadis cantik berambut
ikal dan berhati lembut itu berada dalam rangkulan Elmo. Trista. Elmo. Dua
sahabat yang tak terpisahkan kala SMA itu. Elmo merasa dinding pertahanannya
rubuh. Debar-debar rasa yang dulu indah tersembunyi kini terasa begitu
menyiksa.
Sahabat yang sebenarnya selalu dicintainya! Wanita lembut yang
selalu dapat menyejukkan hatinya! Tapi dia selalu punya cewek imut-imut lain,
tidak mesti cinta kan?
Titik kulminasi. Nostalgia yang menguras jiwa dan airmata.
Menatap lembayung di langit Bali,
dan kusadari
betapa berharga kenanganmu.
Di kala jiwaku tak terbatas,
bebas berandai
mengulang waktu.
Hingga masih bisa kuraih dirimu,
sosok yang
mengisi kehampaan kalbuku.
Bilakah diriku
berucap maaf,
masa yang telah kuingkari dan meninggalkanmu,
oh, cinta...
Teman yang
terhanyut arus waktu mekar mendewasa,
masih kusimpan
suara tawa kita.
Bantal biru wangi mawar itu kini basah. Setelah mematikan
komputer dan lampu kamar, Elmo mendekam di balik selimut. Ia terlalu pengecut
untuk memiliki kenangan itu kembali.
Dulu, di masa-masa depresinya yang jarang itu, Elmo selalu punya
tempat melabuhkan kesedihannya. Teman-temannya banyak. Mau cewek, mau cowok,
mau guru, tinggal pilih tergantung jenis permasalahannya. Trista... Elmo
berusaha mengenyahkan nama itu. Ia bahkan malu kalau harus bercerita pada mama.
Apa kata dunia? Anak tunggalnya yang sudah akil balig itu masih bisa meneteskan
air mata?!
Dulu Elmo senang punya teman-teman cewek, karena mereka begitu
lucu, perasa, penyayang.... Kalau Elmo mau curhat mestilah mereka lebih
mengerti. Dulu Elmo punya banyak teman cewek. Kini Elmo memutus semua kontak.
Kini teman cewek Elmo cuman Aze.
Di tengah suara kasar air hidung yang diisap masuk kembali, Elmo
mendapatkan nomor Aze di phone book-nya.
Dia kan cewek. Mungkinkah dia juga bisa menjadi tempat berbagi
akan rasa gundah di hati?
Aze tidak minat untuk memiliki nada sambung. Tut... tut...
tut...
Terdengar suara Aze. Agak sedikit berbeda memang kedengarannya
dari suara yang biasa ia dengar kalau ketemu langsung. Aze seperti berada di
suatu tempat yang agak ramai..
“Aze...”
“.. iya, halo? Ini siapa?”
Elmo baru ingat nomor barunya ini belum sempat ia beritahukan
pada siapa-siapa selain kepada Mas Fahri.
“Ini Elmo, nomor baru.”
“Oh... Kang Elmo... kenapa Kang?”
“Elmo kangen sama temen-temen SMA...,” suara parau yang mencuat
dari perihnya hati.
“Hah? Apa sih?” Terdengar suara decapan. Itu Aze pasti sedang
menerima telponnya sambil makan.
Elmo terhenyak. Bisa-bisanya
dia menanggapi curhatanku seperti itu!? batinnya.
Mendadak Elmo kehilangan hasrat untuk curhat.
“Ada perlu apa, Kang?” Suara mendecap lagi. Kedengarannya anak
tak berperasaan itu sedang makan sesuatu yang amat berminyak. “Udah makan malam
belum? Tahu goreng enak loh, digoreng di minyak bekas goreng ayam jadi ada
sensasi ayamnya gitu deh...”
“Ah, Aze mah nggak dengerin Elmo...”
“...oh, Elmo gi curhat? Biasanya cowok ngecurhatin apa sih?”
“Ngecurhatin... argh, udah lah, lupain aja, Elmo udah gak hasrat
lagi...”
Suara agak rame itu berkurang intensitasnya menjadi suara tidak
rame. Sepertinya Aze telah menyepi.
“Ih, sori atuh, tadi teh
suara Akang nggak kedengeran...”
Memang Elmo harus menelan semua perasaan itu bulat-bulat kalau
sedang berhadapan dengan orang yang tidak tepat.
“Iya, gapapa kok, emang Elmo udah nggak pingin curhat lagi.”
“Mmm, gitu yah? Kok ganti nomor sih Kang?”
“Banyak yang gangguin.” Elmo tidak ingin menjelaskan siapa-siapa
saja yang mengganggunya itu.
“Secret admirer yah?”
tanya Aze lugu.
Bukan... orang-orang rese
dari masa lalu yang gue terlalu malu untuk berinteraksi dengan mereka lagi... “Hahaha, anggep aja gitu.”
“Eh iya, Akang, tadi malam aku ngerjain soal ada yang nggak
ngerti.”
“Soal apa?”
Mendengar kata ‘soal’, perlahan spirit of positivity Elmo bangkit merangkak. Jadilah semalam itu
mereka membahas soal. Soal yang tidak begitu sulit, menurut Elmo. Di tengah
ketelatenannya menjelaskan tanpa tatap muka dan tatap soal, sesekali ia tertawa
mendengar celotehan Aze yang kadang agak tidak umum.
Dari kejauhan terdengar seseorang memanggil-manggil Aze...
“Iya... bentar....,” Aze berkata dengan agak ketus menjawab
panggilan itu. Lalu berkatalah ia lagi pada Elmo, “Kang, maaf ya, aku disuruh
ikut pengajian ama bapak aku. Ih, masak yah malam-malam ikut pengajian?”
“Boong kali, bukan pengajian itu mah, Aze mau di-ruqyah kali... Udah, nggak usah ikutan,
biar Elmo aja yang nge-ruqyah...”
“Sialan kamu. Beneran nih. Aduh, rese banget sih...itu... Maaf
ya Kang, kalau sekali lagi dipanggil aku nggak dateng entar aku digampar...”
“Yah, Aze... Masak beneran digampar sih? Harus sekarang banget?”
“IYA.”
“...ya udah deh... makasih ya Aze.”
“Aku yang harusnya makasih tau. Udah ya.”
Belum Elmo bicara lagi, telepon telah ditutup.
Elmo berguling, dari yang telungkup jadi terlentang. Selimut
masih menutupi sebagian tubuhnya. Ia pandangi kegelapan. Tak terasa lagi beban
di hatinya. Terus ia tatap langit-langit hingga lama kelamaan ia mengantuk dan
setelah sekian minggu kekurangan waktu tidur efektif, malam itu Elmo terlelap
tanpa terusik.
Sempat ia bermimpi. Mimpi indah. Mimpi di Taman Lalu Lalang, Di
tengah hamparan rumput. Di sela-sela sarana bermain anak. Elmo dan Aze
berlari-lari. Saling berkejaran. Capek. Berbaring di atas permadani hijau,
menatap lingkaran kuning di tengah layar biru dengan domba-domba putih. Hingga
pulih tenaga mereka untuk saling berkejaran lagi. Dengan sebelah tangannya Aze
memutari tiang dan melemparkan selendangnya. Adegan klimaksnya, Elmo melempar
piring berisi tahu jumbo goreng panas dengan sekuat tenaga. Aze mengejarnya.
Setelah dekat dengan kepalanya, gadis itu meloncat dan menangkap benda terbang
itu dengan mulutnya.
Have you ever seen such a
beautiful dream?[2]
2
Adik Aze terbangun sebentar di tengah malam. Oh, posisi tidur
yang amat tidak nyaman sekali. Ia menjulurkan lengannya yang kebas. Merasakan
akhirnya darah segar bisa melewati jalurnya lagi. Sebentar kemudian ia sudah
mulai agak terlelap dan segera terusik lagi dengan suara tidak lazim dari kamar
sebelah,
“Guk! Guk!”
Kamar si Kak Yana.
3
Melantun lagu favorit dari hape Aze. Oh. Elmo.
“Halo?”
“Ze, Elmo nemu soal unik nih. Bahas bareng yuk!”
“Oh, iya, iya. Ih, akang, aku juga lagi ngerjain soal loh.”
.
“Ze, entar kalau ada soal yang nggak ngerti tanya Elmo aja
gapapa. Jangan sampe ada yang nggak ngerti, ntar SPMB soalnya suka nggak
terduga gitu.”
“Iya, akang. Makasih. Kok baik sih?”
“Ya eyalah, Elmo gituh. Miskol aja ntar kalau ada apa-apa.”
“Miskol?”
“Ntar Elmo telpon deh, beres kan?”
“Eu. Yah. Makasih.”
“Kok nadanya gitu sih, Ze?”
“Ng, aku cuman ngrasa nggak enak aja.”
“Gak usah dipikirin, lagi!“
.
Melantun nada dering dari hape Elmo. Aze, pasti mo nanya-nanya
soal lagi deh...
Tanpa melihat LCD Elmo sudah tahu itu siapa karena nada tersebut
memang ia set khusus untuk panggilan dari Aze. Panggilan kerja...
.
“Ze, kalau Elmo nelponnya pas tengah malem aja gimana? Sekarang
kan provider kita lagi murah.”
“Boleh. Boleh. Lagian kan aku suka insomnia gitu...”
“Haha, Aze kena insomnia juga?”
“Iya... Aku ampe kepikiran bikin Insomniaholic Tutorial Club.”
.
“Aze... kemarin nggak miskol...”
“Iya... sori ya, Kang. Kemarin aku ngantuk banget abis dari
rumah saudara. Sekarang mau bahas soal apa, Kang?”
.
Mandi malam yang menyegarkan. Makan malam yang menyenangkan. Aze
merasa sedang dalam kondisi amat prima untuk mengerjakan soal. Ia merasa
sanggup mengerjakan soal sampai burung hantu berdendang.
Kerjain. Kerjain. Kerjain.
Wah, ada yang nggak ngerti!
Untung ada ini...!
Aze meraih hape buluknya. Jarinya baru 2 cm dari tuts ketika
LCD-nya menyala. Panggilan dari Elmo. Setelah lama ternyata nggak mati-mati.
Bukan miskol. Lagian ngapain juga Elmo miskal miskol, mana cukup pulsa Aze
untuk balas menelpon?
“Halo?”
“Ze, mo bahas soal gak? Ntar malam ya?”
Panggilan diputus. Aze menatap LCD hapenya yang mulai menggelap
lagi. Tanpa sadar senyumnya melebar dan dadanya berdebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar