Februari 2008
1
Trista Kania dengan cantik, lembut, anggun, dan berkelas,
melangkah keluar dari mobil Honda Jazz merah mengilap kesayangannya, menuju ke
dalam toko buku imut yang baru saja dibuka ini. Namanya Papier Shelter.
Suasananya comfy banget, menurut temannya. Lagipula ada hot spot
dan cafe-nya. Kecil-kecilan sih, tapi lumayanlah. Seperti inilah
semestinya sebuah toko buku yang selevel dengan kalangannya. Yeahyeah. Hahahah.
Toko buku mengingatkannya pada seorang sahabatnya, saat
ia masih bersekolah di SMAN Bilatung Bandung, Elmo. Dulu, terkadang ia dan Elmo
mampir ke Gramedia dekat sekolah sebelum pulang ke rumah.
Tapi entah ke mana si Elmo kini. Hati Trista selalu
merasa sakit kalau mengingat fakta bahwa
Elmo tidak pernah mengontaknya lagi sejak lulus SMA.
Trista menghela nafas, mencoba menenangkan sarafnya yang
entah kenapa selalu menjadi tegang manakala mengingat bahwa ia telah kehilangan
Elmo. Walaupun sudah tujuh bulan berlalu sejak terakhir kali ia bertemu Elmo,
tapi tetap saja setiap hal kecil yang ia jumpai dalam hari-harinya selalu
mengingatkannya pada cowok ganteng itu. Toko bukulah, motor Hondalah. Apapun.
Setelah tenang, Trista kembali berjalan ke arah pintu
kaca Papier Shelter. Ia memastikan penampilannya sempurna dalam balutan busana
dengan berbagai label internasional lewat pantulan pintu kaca yang otomatis
membuka saat Trista berjalan mendekat.
Trista melangkah penuh percaya diri tapi low profile.
Saat ia melihat-lihat suasana, matanya langsung menatap seraut wajah ganteng
yang selalu memenuhi pikirannya selama ini. Elmo.
Trista terbelalak. Tapi tidak mangap, tentu saja.
2
Trista Kania adalah
seorang mahasiswi sebuah universitas swasta bergengsi dan mahal di kota Bandung
ini. Selain menjalani hari-hari sibuk seorang mahasiswi, ia sibuk sebagai
penulis novel-novel teenlit–tentang remaja kaya seperti dirinya- yang hampir selalu laris di pasaran. Kehidupannya terlihat sempurna.
Apalagi sih yang mau dikeluhkannya? Orangtuanya kaya raya, saudara-saudara
kandung dan sepupu-sepupunya yang semuanya termasuk kalangan socialite itu selalu siap di sampingnya. Tapi
tak ada yang tahu kalau Trista sangat menderita karena seorang cowok ganteng
obsesinya bernama Elmo yang tidak pernah dan tidak akan pernah menjalin
hubungan asmara dengannya.
Tak pernah lepas dari
ingatan Trista kenangan-kenangan saat ia berputar-putar sambil bergandengan
tangan di Taman Lalu Lalang yang terletak di seberang sekolahnya. Juga saat
bermain ayunan dan panjat-panjatan. Saat pergi ke Gramedia, saat diajak ke
Palasari–yang lalu ditolaknya, tapinya. Saat menyatroni kafe demi kafe di
daerah Dago dengan teman-teman segengnya ikut serta. Tapi entah kenapa selulus
SMA, mereka putus kontak sama sekali. SMS tidak dibalas, telepon tidak
diangkat, coba-coba mampir ke BC tidak kelihatan, bahkan saat Trista datang ke
rumah Elmo pun, kata yang membukakan pintu Elmo tidak ada.
Duhh..
Rasanya mimpi-mimpi
romantis teman-tapi-mesra-beda-kelas yang ada dalam benak Trista tidak akan
pernah terwujud. Mimpi yang sudah tercipta sejak dulu kala. Sejak Elmo dan
Trista sekelas di kelas 1- 9 SMAN Belitung Bandung. Trista sampai sempat
depresi.
Tapi! Di waktu dan
tempat yang tidak terduga ini akhirnya ia bertemu lagi dengan Sang Prince Charming. Yah, apapun lah istilah
kerennya. Akhh..
3
Elmo
menatap makhluk cantik di hadapannya ini dengan ngeri. Sejak gagal SPMB,
mati-matian Elmo menghindari sahabat semasa SMA-nya ini, yang juga adalah cinta
terpendamnya dulu. Tapi tiba-tiba dia muncul, tanpa behel mahal seharga tujuh
juta rupiah dan kacamata gaulnya. Di tengah jam kerja Elmo, pula. Dan, di sini
kan ada–mata hitam Elmo yang sempurna melirik ke arah lain, ke arah piaraannya,
yang sekarang sedang mencuri-curi kesempatan membaca gratis.
Kembali pada wajah cewek satunya, yang cantik, wajah
milik Trista. Elmo hanya cengar-cengir gugup.
.
Trista merasa wajah sahabat-lelakinya-tersayang-yang-sudah-lama-tidak-ditemuinya-aduh-kangen-banget
ini menyerupai ikan buntal dikasih blush on.
Huhuhu.... Lucunya... Wajahnya memerah begitu... Bisa aku masukin di novelku selanjutnya nih,
tentang romansa seorang wanita lajang kaya yang terpesona pada penjaga book
store cafe...
“Elmo...” ujar Trista lembut dan sangat menggairahkan. Ia
memasang mimik termanis yang susah untuk diabaikan. Pura-pura membaca name tag yang tersemat di bagian dada
seragam dengan pola asimetris itu. Padahal ia sudah tahu huruf-huruf apa yang
akan tertera di situ. “You’re looked like one of my best friend. The very best friend.. Aren’t
you?”
“Euh, bukan... Ini aku pinjam temanku, hari ini aku missing identity, kayak di salah satu
episode Spongebob itu lho, Mbak? Priben tho priben...” ujar Elmo gugup
dengan logat Cirebon dikental-kentalkan. Ia sok-sok mengelap buffet agar tak usah melihat wajah
Trista.
Ah, ya, Bikini Bottom pernah hujan. Ada di episode Missing Identity. Ia akan mengingat hal
ini untuk disampaikan pada.. Ya ampun, Trista yang cantik dan baik hati..
You do watch
a kinda junk show like that?
Trista tidak tahu, berkat jasa seorang ceweklah Elmo bisa
merasakan kembali masa kecilnya dengan menonton film-film kartun bermutu yang
sangat lucu. Kedua alis Trista mengernyit lalu turun dengan indah. Matanya
masih bersinar bagai permata. Seperti para tokoh cewek yang sering Elmo amati
di serial Salad Days. Tipikal cewek yang niscaya mampu membuat laki manapun
terpesona, mestinya Elmo termasuk.
“Oh... shut up.
Kamu jangan pura-pura nggak kenal aku...”
.
Kepala Aze nongol dari balik rak buku dengan tatapan
penuh curiga. Tuh siapa ye, cewek tinggi
putih dan kelihatannya cantik dan gaya banget gitu? Flirting ma Elmo? Uh,
no no no no no... non sense nothing nol
besar. Perasaan sejak Elmo nggak lulus SPMB kemaren dia udah nggak laku lagi
ama cewek...
.
Ada suara dalam hati Elmo yang berkata-kata, “Udah... Gak
usah-usah pura-pura lagi. Jujurlah padanya, bila kau tak lagi cinta. Elo cuman
manusia biasa yang tak pernah lepas dari khilaf mencoba mengubah segalanya,
mungkin ada kesempatan...”
Elmo menjatuhkan kepalanya dengan pasrah. Dan
mengangkatnya lagi dengan ekspresi yang sudah dibanting 180 derajat. “Hei,
Trista... Udah lama nggak ketemu, ya? Gimana sekarang kabarnya...?” ucap Elmo
sopan.
Trista sumringah. “Gitu dong...”
Mereka berdua terdiam.
.
“Aku baik-baik aja,” sahut Trista. Merasakan ada impuls
menjalar ke pipinya yang sekarang terkena hot flush. Oh, c’mon, why should I being so ashamed like this? Kembalikan
hubungan kamu dengan dia seperti dahulu kala, bisik hatinya. Saat kalian selalu
berada dalam suasana suka cita, bermain
freesbee bersama di Taman Lalu Lalang. Jadikan dia gugukmu lagi yang begitu
setia mengikutimu ke mana-mana, mengendus parfummu dan bertanya apa merknya...
Setelah dia menghilang selama ini... “Kamu?”
“Emmm, baik. Baik banget,” jawab Elmo seadanya.
Terdiam lagi. Kebingungan melanda jiwa Trista; kenapa
sekarang hubungannya dengan Elmo jadi kaku begini? Dulu mereka biasa bicara apa
saja. Tak pernah ada kebekuan macam ini? Apakah yang berubah? Dirinya, atau
Elmo? Trista menemukan topik yang dirasanya pas untuk mendekatkan jarak di
antara mereka berdua lagi.
“Well, katanya di sini koleksi buku impornya
lengkap, ya? Aku penasaran. Sekalian aku mau cari bahan untuk mata kuliahku.”
.
Entah kenapa Elmo tidak begitu suka mendengar kata
‘kuliah’. Akkhh... kuliah... kuliah...
kuliah.... kuliah yang telah lama gue impiin, bagai mutiara yang hilang, hati
Elmo meratap.
“Kamu bisa bantuin aku cari, kan?”
“Ng... ya, ya...”
.
5 menit kemudian mereka sudah berada di balik salah satu
rak. Trista tampak begitu exciting melihat buku-buku yang dipajang di
sini. Banyak buku yang belum pernah ditemuinya di tempat biasanya ia mencari
bahan untuk kuliah. Ternyata benar kata temannya. Toko buku ini bagus juga,
meski umurnya masih belia. Habis ini aku
mau ngupi-ngupi di kafe sebelah ah, batinnya. Aroma latte-nya yang
tercium sampai ke sini pasti rasanya yummy meski ia tetap yakin
Starbuckslah yang terbaik. Kayaknya cozy banget baca buku ini sambil
menyesap mint chocolate raisin latte di bean bag yang telihat
nyaman dan empuk banget itu. Trista melirik ke bagian lain ruangan, ke arah kafe yang bersatu
dengan toko buku tersebut. Hanya berjarak beberapa meter dari kakinya.
.
Elmo menyender di salah satu rak sambil menyilangkan
tangan. Ah, bukannya gue jaga kasir, ya?
Rela aja gue diminta nemenin ni cewek, yang mana bodinya yahud, rambutnya pasti
dikeramas pake shampoo yang di iklannya bikin setiap cewek yang make tu sampo mendesah-desah
gelisah...
“Sst sst!”
Elmo menoleh dan mendapati Aze sedang mengintip dari
balik rak yang sedang disantroni Trista.
.
“Apa, sayang?” ucap Elmo lipsync.
Aze merasakan gelenyar aneh mengisi perutnya. Jijik
banget sih ni anak! Ia menunjukkan ekspresi mau muntah yang tidak dibuat-buat
pada Elmo. Elmo hanya terkikik. Aze menunjuk Trista.
“Itu siapa?” tanyanya tanpa suara.
“Temen.”
“Ah, masak?”
“Iya. Aze cemburu ya?”
Aze tampak jengkel dengan kelakuan Elmo yang tidak bisa
melepas sikap cunihin-nya itu. Ia
buru-buru menghilang ketika Trista berbalik ke arah Elmo.
.
Trista memandang Elmo dengan puas. “Aku seneng banget
sama toko buku ini. Liat apa yang aku dapetin!” Trista memperlihatkan setumpuk
buku bersampul tebal full-color berbahasa asing yang kelihatannya mahal
dan memang mahal kepada Elmo, lalu menariknya lagi ke dalam pelukannya.
“Ya, buku bagus,” jawab Elmo basa-basi dan no meaning
sama sekali. Tapi ia tetap menjaga senyumnya.
“Kamu kerja di sini, kan? Asik dong ya, jadi gampang cari
bahan referensi... Inget nggak, dulu kita udah janji buat masuk Institut Top
Banget sama-sama? Tapi akhirnya aku nggak jadi ikut SPMB sih. Malah masuk
swasta...”
Senyum di bibir Elmo pudar seketika.
Trista bungkam. Ia harus menahan impulsnya untuk tidak
menyinggung topik-topik sensitif.
.
Elmo berusaha memfokuskan kembali pikirannya pada Trista.
Ia menyunggingkan senyum andalannya yang paling maut. Tidak tahu di rak
belakangnya, Aze sudah menyumpah-nyumpah dan bertekad untuk tidak akan mau
dirayu lagi oleh Elmo.
“Oh iya Trista, kenalin,” kata Elmo, mencoba topik
pembicaraan yang baru dan tidak akan menyeretnya dalam lembah hina, menarik
lengan Aze dari balik rak buku.
.
Trista menatap si cewek yang masih memakai rok SMA dan
jaket. Trista mengenali jaket itu sebagai jaket sebuah eskul di SMA-nya dulu.
Si cewek balas menatap dengan matanya yang hitam besar.
“Ini Trista, temen Elmo waktu SMA,” kata Elmo pada cewek
itu. Lalu pada Trista, Elmo berkata, ”Tris, ini Kalyana Kirana, cewek gue.
Nyadar nggak Tris, inisialnya K.K. ? Kayak restoran tempat Spongebob kerja itu
loh..”
“..Krusty Krab!” sebut Elmo dan si cewek berbarengan,
lalu melakukan high-five dengan berisik sekali dan tertawa-tawa,
terlihat sangat berbahagia. Entah ke mana sikap canggung Elmo barusan. Trista
mengeleng-gelengkan kepalanya dengan ngeri. Dalam kondisi blur-nya,
Trista mendengar suara-suara Elmo dan Aze yang berteriak ‘flip’ dan ‘flop’ lalu
tertawa lagi.
“Oh. Hai Kalyana, kalian..” kata Trista setelah menemukan
kesadarannya.
“Manggilnya jangan Kalyana. Aze aja. Biasanya juga gitu,”
potong si cewek cepat. “Eh..”
“Iya Tris, yang boleh manggil dia Kalyana kan cuman Elmo
seorang!” tukas Elmo, sembari mengacak-acak rambut Aze yang tanpa karakter.
“Diem kamu, ngegombal aja di depan orang. Panggil Aze
aja, napa sih?! Eh, Teh Trista, Mbak Trista, tadi mau ngomong apa toh?”
Trista terdiam. Yang ia tahu, dua dari tiga mantan cewek
Elmo berkulit terang. Dan tiga dari tiga cewek itu kecantikan wajahnya sangat
di atas rata-rata, tinggi pula. Mirip-mirip dia-lah! Tapi cewek ini kulitnya
aja udah merah kebakar matahari; tingginya pasti di bawah 160 senti, padahal
Elmo hampir 180; wajahnya juga biasa aja. Biarpun begitu, dia udah bisa
menyeret Elmo larut dalam kesesatan sebuah tontonan nggak bermutu bernama
Sponbob! Sponbob, pliss dong!
Selain itu, Elmo memang suka menggombal dengan pacarnya,
tapi belum pernah tepat di depan hidung Trista begitu. Apalagi punya panggilan
kesayangan! Dalam pikirannya, Trista mulai menjajaki teori bahwa Elmo dipelet.
Ya sudah! Bukan urusannya kalau Elmo mau jatuh cinta pada
cewek yang tidak bermutu tontonannya kayak gitu! Biar aja si Elmo berbohong
padanya seenak perut! Terserah aja mereka mau menjadi Spongebobaholic
segila apa juga! Dan peduli amat mereka saling meneriakkan ‘flip’ dan ‘flop’
selama sisa hidup mereka!
Bener, bukan urusannya?
Trista mengangkat kepalanya dan menyunggingkan senyuman
yang amat manis entah pada siapa. Lalu katanya, ”Elmo, mau temenin aku
jalan-jalan nggak?”
“Hah, jalan-jalan... Sama siapa??”
Argghh... Just stop piece that shit of idiotism off
out of my sight, you such a bad ass.
“Oh...” Trista memegang pelipisnya. Berusaha menyembunyikan urat-urat
yang bergerumul naik ke permukaan kulit.
Pasangan menjijikan ini kembali asik bercanda dan
bergurau ria seakan dunia hanya milik berdua.
Berlagak seperti Fuckrick Star dan Sponge Bloody Quebec Ass.
Batin Trista mendesah-desah. Wahai Elmo kembalilah ke
jalan yang benar... Elmo terlihat seperti pemuda cupu yang sebaiknya pergi saja
ke neraka dunia dengan ingus berleleran di bawah hidungnya. Cewek yang namanya
Aje (aduh, nama kampung macam apa itu?) itu telah memberikan aura negatif pada
sahabatnya. Dalam bayangan Trista, cewek pendek butut itu seperti preman yang
sering menyandera cowok-cowok ganteng untuk dihisap sari-sari kemudaannya. Oh
ah oh ah. Mengapa Elmo meninggalkanku kala itu? Kalau saja aku bisa tetap
menjadi friend of soul-nya, kejadian macam ini tak usah terjadi. Argh,
Elmo jijik banget deh. Trista bencibencibencibencibencibenci. Harus dilenyapkan
makhluk-makhluk ini.
Trista sudah siap mengangkat rak buku untuk dihantamkan
ke kepala dua orang itu...
Heyyahhahh...
Brakk! Brakk! Brakk! Hahahha, kuremukkan kepala mereka...
KUREMUKKAN...
.
“Elmo... itu si Trista kayak sedang ngayal sadis. Kata
kamu tadi dia pengarang novel. Novel suspense thriller gitu, ya?”
“Bukan, teenlit. Aze, teenlit itu apaan
sih? Rame, gak?”
“Ow, itu genrenya novel yang isinya cerita tentang
kehidupan anak muda zaman sekarang. Suka-suka penulisnya aja. Kebanyakan isinya
mah cuman cerita cinta-cintaan remaja
gak penting gitu deh. Tapi ya, teenlit
banyakan yang buat cewek sih. Sebenarnya ada sih beberapa teenlit yang bagus... Udah, kamu mah mending baca bokep aja.
Puas kok.”
“Aze ngomong apa..”
“Elmo ga ngerti juga gak papa. Masih banyak waktu untuk
bisa lebih memahami...” Aze berkata dan merasa dirinya sangat bijaksana saat
itu juga.
.
Ucapan terakhirnya menyadarkan Trista dari lamunannya
yang ekstrim dan membahayakan. Barusan ia sudah sampai pada level dimana ia
sedang mencincang dua anak manusia dengan blender Miyako. Ia sudah bersiap naik
ke level selanjutnya, dimana ia akan diberi senjata berupa teflon dan microwave.
Peluru berlapis teflon. Kalashnikov. Revolver. Bazooka. AK 47. Senjata Pemusnah
Massal Israel.
“Ka, Teh, Mbak...Trista?”
“Huh?” Trista melepaskan jari-jarinya yang lentik dan
terawat dari pelipisnya. Sadar.
Akhirnya.
“Tadi kayak yang lagi trance gituh...?”
“Ngayalin jorok ya? Hahaha... Persis kamu...” Elmo
menyikut pinggang Aze. “Mungkin kalian bisa jadi soulmate. Satu jiwa,
satu pikiran...”
Aze tidak mengindahkan. “Woy, Teh, Mbak, Kak... Euceu,
Senior, Sistah?”
“A—aku rasa aku harus cari toilet,” ujar Trista gugup dan
cepat-cepat pergi.
“Small room?” Terjemahan bebas dari Elmo.
I think I have to
destroy something...
Trista membayar
2000 dolar USA tunai kepada pemilik Papier Shelter agar diizinkan
meminjam palu dan menghancurkan toilet. Atas nama keluarga besar dan puluhan
perusahaan kapitalis pemeras tenaga buruh, sang pemilik pun mau tak mau
mempersilahkan Trista melakukan segala yang dia mau asal tak di depan umum.
Tambahan 500 dollar lagi.
10 menit Trista sudah kembali ke hadapan Aze dan Elmo
dengan wajah yang sangat cerah sumringah dan segar, seakan keran wastafel yang
dipakainya untuk cuci muka tadi meledak dan menyemburkan air yang dahsyatnya
tidak bisa dibandingkan dengan senyuman siapapun.
“Gimana kalau nanti malam kita ngobrol di Starbucks BIP?
Aku yang bayarin deh. Tapi jemput aku ya, jam 7.”
Sambil menghancurkan dudukan toilet, otak kanan Trista
yang aktif untuk berkhayal telah merancang date yang indah untuk
berdua—hanya untuk berdua—di Starbucks, favoritnya. Tidak diisi dengan sadisme,
tentu saja. Kecuali ada pengganggu di antara mereka berdua...
“Wah, asik, dibayarin!” ujar Aze senang. “Di Starbucks
kan mahal-mahal gitu yah?”
Urat-urat itu bertonjolan kembali. Trista cepat-cepat
menekannya dengan jari-jari seharga setengah juta rupiah. Kamu digaji berapa
sih ama Elmo, eughhh... Arrrgghh... Siapa, wahai Aze, siapa yang ngajak kamu?
Monster dalam dirinya telah mengamuk lagi. Untung jiwa bidadari maha sempurnanya (muncul ketika
ia sedang mengarang teenlit) tidak membiarkan hal itu terjadi.
“Tidak boleh begitu...,” seru Bidadari Trista. “Bagaimana
kalau pikiran-pikiran jahat ini bisa merusak ceritamu. Karirmu, Trista! Image-mu
yang terjaga selama ini jangan sampai terkikis oleh... okelah, mereka memang
buruk. Tapi apa jadinya kalau tiba-tiba orang-orang seperti mereka masuk ke
dalam ceritamu? Novelmu? Teenlitmu? Memangnya nanti bakal ada yang
beli?! Hati-hati Trista. Hati-hati...”
Okay... Okay... Tenang Trista. Tenang... It’s gonna be alrite,
yeah...
“Untung aja aku gak ada PR... Jadi aku bisa ikut,
yeeey!!!” sebuah senyum manis menghiasi wajah Aze. “Elmo jarang ngajakin makan
di tempat mahal, huh.”
“Yeah, gratisan. Bener kan, dibayarin, Tris? Akhirnya
kita bisa makan enak, Aze!”
“Minum tau, Starbucks kan jualan kopi.. Tapi ada
makanannya kali ya..”
“Apapun lah.”
Mereka ber-high five lagi. Dengan keceriaan dua orang
melarat lagi kikir.
Ujung bibir Trista tertarik dengan gemetar.
“Ya, aku traktir kalian. Tunggu aku di tempat parkir sini
aja. Aku ada urusan sebentar. Jam 7, oke?”
“Oh, yeah... Yey!!! Buset...”
Bu—buset?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar