Minggu, 20 Juli 2008

Hidup Ini Susah Juga Ternyata...

Februari 2008


1

Trista Kania dengan cantik, lembut, anggun, dan berkelas, melangkah keluar dari mobil Honda Jazz merah mengilap kesayangannya, menuju ke dalam toko buku imut yang baru saja dibuka ini. Namanya Papier Shelter. Suasananya comfy banget, menurut temannya. Lagipula ada hot spot dan cafe-nya. Kecil-kecilan sih, tapi lumayanlah. Seperti inilah semestinya sebuah toko buku yang selevel dengan kalangannya. Yeahyeah. Hahahah.

Toko buku mengingatkannya pada seorang sahabatnya, saat ia masih bersekolah di SMAN Bilatung Bandung, Elmo. Dulu, terkadang ia dan Elmo mampir ke Gramedia dekat sekolah sebelum pulang ke rumah.

Tapi entah ke mana si Elmo kini. Hati Trista selalu merasa sakit kalau mengingat  fakta bahwa Elmo tidak pernah mengontaknya lagi sejak lulus SMA.

Trista menghela nafas, mencoba menenangkan sarafnya yang entah kenapa selalu menjadi tegang manakala mengingat bahwa ia telah kehilangan Elmo. Walaupun sudah tujuh bulan berlalu sejak terakhir kali ia bertemu Elmo, tapi tetap saja setiap hal kecil yang ia jumpai dalam hari-harinya selalu mengingatkannya pada cowok ganteng itu. Toko bukulah, motor Hondalah. Apapun.

Setelah tenang, Trista kembali berjalan ke arah pintu kaca Papier Shelter. Ia memastikan penampilannya sempurna dalam balutan busana dengan berbagai label internasional lewat pantulan pintu kaca yang otomatis membuka saat Trista berjalan mendekat.

Trista melangkah penuh percaya diri tapi low profile. Saat ia melihat-lihat suasana, matanya langsung menatap seraut wajah ganteng yang selalu memenuhi pikirannya selama ini. Elmo.

Trista terbelalak. Tapi tidak mangap, tentu saja.

 

2

Trista Kania adalah seorang mahasiswi sebuah universitas swasta bergengsi dan mahal di kota Bandung ini. Selain menjalani hari-hari sibuk seorang mahasiswi, ia sibuk sebagai penulis novel-novel teenlit–tentang remaja kaya seperti dirinya- yang hampir selalu laris di pasaran. Kehidupannya terlihat sempurna. Apalagi sih yang mau dikeluhkannya? Orangtuanya kaya raya, saudara-saudara kandung dan sepupu-sepupunya yang semuanya termasuk kalangan socialite itu selalu siap di sampingnya. Tapi tak ada yang tahu kalau Trista sangat menderita karena seorang cowok ganteng obsesinya bernama Elmo yang tidak pernah dan tidak akan pernah menjalin hubungan asmara dengannya.

Tak pernah lepas dari ingatan Trista kenangan-kenangan saat ia berputar-putar sambil bergandengan tangan di Taman Lalu Lalang yang terletak di seberang sekolahnya. Juga saat bermain ayunan dan panjat-panjatan. Saat pergi ke Gramedia, saat diajak ke Palasari–yang lalu ditolaknya, tapinya. Saat menyatroni kafe demi kafe di daerah Dago dengan teman-teman segengnya ikut serta. Tapi entah kenapa selulus SMA, mereka putus kontak sama sekali. SMS tidak dibalas, telepon tidak diangkat, coba-coba mampir ke BC tidak kelihatan, bahkan saat Trista datang ke rumah Elmo pun, kata yang membukakan pintu Elmo tidak ada.

Duhh..

Rasanya mimpi-mimpi romantis teman-tapi-mesra-beda-kelas yang ada dalam benak Trista tidak akan pernah terwujud. Mimpi yang sudah tercipta sejak dulu kala. Sejak Elmo dan Trista sekelas di kelas 1- 9 SMAN Belitung Bandung. Trista sampai sempat depresi.

Tapi! Di waktu dan tempat yang tidak terduga ini akhirnya ia bertemu lagi dengan Sang Prince Charming. Yah, apapun lah istilah kerennya. Akhh..

 

3

Elmo menatap makhluk cantik di hadapannya ini dengan ngeri. Sejak gagal SPMB, mati-matian Elmo menghindari sahabat semasa SMA-nya ini, yang juga adalah cinta terpendamnya dulu. Tapi tiba-tiba dia muncul, tanpa behel mahal seharga tujuh juta rupiah dan kacamata gaulnya. Di tengah jam kerja Elmo, pula. Dan, di sini kan ada–mata hitam Elmo yang sempurna melirik ke arah lain, ke arah piaraannya, yang sekarang sedang mencuri-curi kesempatan membaca gratis.

Kembali pada wajah cewek satunya, yang cantik, wajah milik Trista. Elmo hanya cengar-cengir gugup.

.

Trista merasa wajah sahabat-lelakinya-tersayang-yang-sudah-lama-tidak-ditemuinya-aduh-kangen-banget ini menyerupai ikan buntal dikasih blush on.

Huhuhu.... Lucunya... Wajahnya memerah begitu... Bisa aku masukin di novelku selanjutnya nih, tentang romansa seorang wanita lajang kaya yang terpesona pada penjaga book store cafe...

“Elmo...” ujar Trista lembut dan sangat menggairahkan. Ia memasang mimik termanis yang susah untuk diabaikan. Pura-pura membaca name tag yang tersemat di bagian dada seragam dengan pola asimetris itu. Padahal ia sudah tahu huruf-huruf apa yang akan tertera di situ. “You’re looked  like one of my  best friend. The very best friend.. Aren’t you?”

“Euh, bukan... Ini aku pinjam temanku, hari ini aku missing identity, kayak di salah satu episode Spongebob itu lho, Mbak? Priben tho priben...” ujar Elmo gugup dengan logat Cirebon dikental-kentalkan. Ia sok-sok mengelap buffet agar tak usah melihat wajah Trista.

Ah, ya, Bikini Bottom pernah hujan. Ada di episode Missing Identity. Ia akan mengingat hal ini untuk disampaikan pada.. Ya ampun, Trista yang cantik dan baik hati..

You do watch a kinda junk show like that?

Trista tidak tahu, berkat jasa seorang ceweklah Elmo bisa merasakan kembali masa kecilnya dengan menonton film-film kartun bermutu yang sangat lucu. Kedua alis Trista mengernyit lalu turun dengan indah. Matanya masih bersinar bagai permata. Seperti para tokoh cewek yang sering Elmo amati di serial Salad Days. Tipikal cewek yang niscaya mampu membuat laki manapun terpesona, mestinya Elmo termasuk.

“Oh... shut up. Kamu jangan pura-pura nggak kenal aku...”

.          

Kepala Aze nongol dari balik rak buku dengan tatapan penuh curiga. Tuh siapa ye, cewek tinggi putih dan kelihatannya cantik dan gaya banget gitu? Flirting ma Elmo? Uh, no no no no no... non sense nothing nol besar. Perasaan sejak Elmo nggak lulus SPMB kemaren dia udah nggak laku lagi ama cewek...

.          

Ada suara dalam hati Elmo yang berkata-kata, “Udah... Gak usah-usah pura-pura lagi. Jujurlah padanya, bila kau tak lagi cinta. Elo cuman manusia biasa yang tak pernah lepas dari khilaf mencoba mengubah segalanya, mungkin ada kesempatan...”

Elmo menjatuhkan kepalanya dengan pasrah. Dan mengangkatnya lagi dengan ekspresi yang sudah dibanting 180 derajat. “Hei, Trista... Udah lama nggak ketemu, ya? Gimana sekarang kabarnya...?” ucap Elmo sopan.

Trista sumringah. “Gitu dong...”

Mereka berdua terdiam.

.

“Aku baik-baik aja,” sahut Trista. Merasakan ada impuls menjalar ke pipinya yang sekarang terkena hot flush. Oh, c’mon, why should I  being so ashamed like this? Kembalikan hubungan kamu dengan dia seperti dahulu kala, bisik hatinya. Saat kalian selalu berada dalam suasana suka cita, bermain freesbee bersama di Taman Lalu Lalang. Jadikan dia gugukmu lagi yang begitu setia mengikutimu ke mana-mana, mengendus parfummu dan bertanya apa merknya... Setelah dia menghilang selama ini... “Kamu?”

“Emmm, baik. Baik banget,” jawab Elmo seadanya.

Terdiam lagi. Kebingungan melanda jiwa Trista; kenapa sekarang hubungannya dengan Elmo jadi kaku begini? Dulu mereka biasa bicara apa saja. Tak pernah ada kebekuan macam ini? Apakah yang berubah? Dirinya, atau Elmo? Trista menemukan topik yang dirasanya pas untuk mendekatkan jarak di antara mereka berdua lagi.

Well, katanya di sini koleksi buku impornya lengkap, ya? Aku penasaran. Sekalian aku mau cari bahan untuk mata kuliahku.”

.          

Entah kenapa Elmo tidak begitu suka mendengar kata ‘kuliah’. Akkhh... kuliah... kuliah... kuliah.... kuliah yang telah lama gue impiin, bagai mutiara yang hilang, hati Elmo meratap.

“Kamu bisa bantuin aku cari, kan?”

“Ng... ya, ya...”

.

5 menit kemudian mereka sudah berada di balik salah satu rak. Trista tampak begitu exciting melihat buku-buku yang dipajang di sini. Banyak buku yang belum pernah ditemuinya di tempat biasanya ia mencari bahan untuk kuliah. Ternyata benar kata temannya. Toko buku ini bagus juga, meski umurnya masih belia. Habis ini aku mau ngupi-ngupi di kafe sebelah ah, batinnya. Aroma latte-nya yang tercium sampai ke sini pasti rasanya yummy meski ia tetap yakin Starbuckslah yang terbaik. Kayaknya cozy banget baca buku ini sambil menyesap mint chocolate raisin latte di bean bag yang telihat nyaman dan empuk banget itu. Trista melirik ke bagian  lain ruangan, ke arah kafe yang bersatu dengan toko buku tersebut. Hanya berjarak beberapa meter dari kakinya.

.

Elmo menyender di salah satu rak sambil menyilangkan tangan. Ah, bukannya gue jaga kasir, ya? Rela aja gue diminta nemenin ni cewek, yang mana bodinya yahud, rambutnya pasti dikeramas pake shampoo yang di iklannya bikin setiap cewek yang make tu sampo mendesah-desah gelisah...

“Sst sst!”

Elmo menoleh dan mendapati Aze sedang mengintip dari balik rak yang sedang disantroni Trista.  

.

“Apa, sayang?” ucap Elmo lipsync.

Aze merasakan gelenyar aneh mengisi perutnya. Jijik banget sih ni anak! Ia menunjukkan ekspresi mau muntah yang tidak dibuat-buat pada Elmo. Elmo hanya terkikik. Aze menunjuk Trista.

“Itu siapa?” tanyanya tanpa suara.    

“Temen.”

“Ah, masak?”

“Iya. Aze cemburu ya?”

Aze tampak jengkel dengan kelakuan Elmo yang tidak bisa melepas sikap cunihin-nya itu. Ia buru-buru menghilang ketika Trista berbalik ke arah Elmo.

.          

Trista memandang Elmo dengan puas. “Aku seneng banget sama toko buku ini. Liat apa yang aku dapetin!” Trista memperlihatkan setumpuk buku bersampul tebal full-color berbahasa asing yang kelihatannya mahal dan memang mahal kepada Elmo, lalu menariknya lagi ke dalam pelukannya.

“Ya, buku bagus,” jawab Elmo basa-basi dan no meaning sama sekali. Tapi ia tetap menjaga senyumnya.

“Kamu kerja di sini, kan? Asik dong ya, jadi gampang cari bahan referensi... Inget nggak, dulu kita udah janji buat masuk Institut Top Banget sama-sama? Tapi akhirnya aku nggak jadi ikut SPMB sih. Malah masuk swasta...”

Senyum di bibir Elmo pudar seketika.

Trista bungkam. Ia harus menahan impulsnya untuk tidak menyinggung topik-topik sensitif.

.          

Elmo berusaha memfokuskan kembali pikirannya pada Trista. Ia menyunggingkan senyum andalannya yang paling maut. Tidak tahu di rak belakangnya, Aze sudah menyumpah-nyumpah dan bertekad untuk tidak akan mau dirayu lagi oleh Elmo.

“Oh iya Trista, kenalin,” kata Elmo, mencoba topik pembicaraan yang baru dan tidak akan menyeretnya dalam lembah hina, menarik lengan Aze dari balik rak buku.

.

Trista menatap si cewek yang masih memakai rok SMA dan jaket. Trista mengenali jaket itu sebagai jaket sebuah eskul di SMA-nya dulu. Si cewek balas menatap dengan matanya yang hitam besar.

“Ini Trista, temen Elmo waktu SMA,” kata Elmo pada cewek itu. Lalu pada Trista, Elmo berkata, ”Tris, ini Kalyana Kirana, cewek gue. Nyadar nggak Tris, inisialnya K.K. ? Kayak restoran tempat Spongebob kerja itu loh..”

“..Krusty Krab!” sebut Elmo dan si cewek berbarengan, lalu melakukan high-five dengan berisik sekali dan tertawa-tawa, terlihat sangat berbahagia. Entah ke mana sikap canggung Elmo barusan. Trista mengeleng-gelengkan kepalanya dengan ngeri. Dalam kondisi blur-nya, Trista mendengar suara-suara Elmo dan Aze yang berteriak ‘flip’ dan ‘flop’ lalu tertawa lagi.

“Oh. Hai Kalyana, kalian..” kata Trista setelah menemukan kesadarannya.

“Manggilnya jangan Kalyana. Aze aja. Biasanya juga gitu,” potong si cewek cepat. “Eh..”

“Iya Tris, yang boleh manggil dia Kalyana kan cuman Elmo seorang!” tukas Elmo, sembari mengacak-acak rambut Aze yang tanpa karakter.

“Diem kamu, ngegombal aja di depan orang. Panggil Aze aja, napa sih?! Eh, Teh Trista, Mbak Trista, tadi mau ngomong apa toh?”

Trista terdiam. Yang ia tahu, dua dari tiga mantan cewek Elmo berkulit terang. Dan tiga dari tiga cewek itu kecantikan wajahnya sangat di atas rata-rata, tinggi pula. Mirip-mirip dia-lah! Tapi cewek ini kulitnya aja udah merah kebakar matahari; tingginya pasti di bawah 160 senti, padahal Elmo hampir 180; wajahnya juga biasa aja. Biarpun begitu, dia udah bisa menyeret Elmo larut dalam kesesatan sebuah tontonan nggak bermutu bernama Sponbob! Sponbob, pliss dong!

Selain itu, Elmo memang suka menggombal dengan pacarnya, tapi belum pernah tepat di depan hidung Trista begitu. Apalagi punya panggilan kesayangan! Dalam pikirannya, Trista mulai menjajaki teori bahwa Elmo dipelet.

Ya sudah! Bukan urusannya kalau Elmo mau jatuh cinta pada cewek yang tidak bermutu tontonannya kayak gitu! Biar aja si Elmo berbohong padanya seenak perut! Terserah aja mereka mau menjadi Spongebobaholic segila apa juga! Dan peduli amat mereka saling meneriakkan ‘flip’ dan ‘flop’ selama sisa hidup mereka!

Bener, bukan urusannya?

Trista mengangkat kepalanya dan menyunggingkan senyuman yang amat manis entah pada siapa. Lalu katanya, ”Elmo, mau temenin aku jalan-jalan nggak?”

“Hah, jalan-jalan... Sama siapa??”

Argghh... Just stop piece that shit of idiotism off out of my sight, you such a bad ass.  “Oh...” Trista memegang pelipisnya. Berusaha menyembunyikan urat-urat yang bergerumul naik ke permukaan kulit.

Pasangan menjijikan ini kembali asik bercanda dan bergurau ria seakan dunia hanya milik berdua.  Berlagak seperti Fuckrick Star dan Sponge Bloody Quebec Ass.

Batin Trista mendesah-desah. Wahai Elmo kembalilah ke jalan yang benar... Elmo terlihat seperti pemuda cupu yang sebaiknya pergi saja ke neraka dunia dengan ingus berleleran di bawah hidungnya. Cewek yang namanya Aje (aduh, nama kampung macam apa itu?) itu telah memberikan aura negatif pada sahabatnya. Dalam bayangan Trista, cewek pendek butut itu seperti preman yang sering menyandera cowok-cowok ganteng untuk dihisap sari-sari kemudaannya. Oh ah oh ah. Mengapa Elmo meninggalkanku kala itu? Kalau saja aku bisa tetap menjadi friend of soul-nya, kejadian macam ini tak usah terjadi. Argh, Elmo jijik banget deh. Trista bencibencibencibencibencibenci. Harus dilenyapkan makhluk-makhluk ini.

Trista sudah siap mengangkat rak buku untuk dihantamkan ke kepala dua orang itu...

Heyyahhahh...

Brakk! Brakk! Brakk! Hahahha, kuremukkan kepala mereka... KUREMUKKAN...

.

“Elmo... itu si Trista kayak sedang ngayal sadis. Kata kamu tadi dia pengarang novel. Novel suspense thriller gitu, ya?”

“Bukan, teenlit. Aze, teenlit itu apaan sih? Rame, gak?”

“Ow, itu genrenya novel yang isinya cerita tentang kehidupan anak muda zaman sekarang. Suka-suka penulisnya aja. Kebanyakan isinya mah cuman cerita cinta-cintaan remaja gak penting gitu deh. Tapi ya, teenlit banyakan yang buat cewek sih. Sebenarnya ada sih beberapa teenlit yang bagus... Udah, kamu mah mending baca bokep aja. Puas kok.”

“Aze ngomong apa..”

“Elmo ga ngerti juga gak papa. Masih banyak waktu untuk bisa lebih memahami...” Aze berkata dan merasa dirinya sangat bijaksana saat itu juga.

.

Ucapan terakhirnya menyadarkan Trista dari lamunannya yang ekstrim dan membahayakan. Barusan ia sudah sampai pada level dimana ia sedang mencincang dua anak manusia dengan blender Miyako. Ia sudah bersiap naik ke level selanjutnya, dimana ia akan diberi senjata berupa teflon dan microwave. Peluru berlapis teflon. Kalashnikov. Revolver. Bazooka. AK 47. Senjata Pemusnah Massal Israel.

“Ka, Teh, Mbak...Trista?”

“Huh?” Trista melepaskan jari-jarinya yang lentik dan terawat dari pelipisnya. Sadar.

Akhirnya.

“Tadi kayak yang lagi trance gituh...?”

“Ngayalin jorok ya? Hahaha... Persis kamu...” Elmo menyikut pinggang Aze. “Mungkin kalian bisa jadi soulmate. Satu jiwa, satu pikiran...”

Aze tidak mengindahkan. “Woy, Teh, Mbak, Kak... Euceu, Senior, Sistah?”

“A—aku rasa aku harus cari toilet,” ujar Trista gugup dan cepat-cepat pergi.

Small room?” Terjemahan bebas dari Elmo.

I think I have to destroy something...

Trista membayar  2000 dolar USA tunai kepada pemilik Papier Shelter agar diizinkan meminjam palu dan menghancurkan toilet. Atas nama keluarga besar dan puluhan perusahaan kapitalis pemeras tenaga buruh, sang pemilik pun mau tak mau mempersilahkan Trista melakukan segala yang dia mau asal tak di depan umum. Tambahan 500 dollar lagi.

10 menit Trista sudah kembali ke hadapan Aze dan Elmo dengan wajah yang sangat cerah sumringah dan segar, seakan keran wastafel yang dipakainya untuk cuci muka tadi meledak dan menyemburkan air yang dahsyatnya tidak bisa dibandingkan dengan senyuman siapapun.

“Gimana kalau nanti malam kita ngobrol di Starbucks BIP? Aku yang bayarin deh. Tapi jemput aku ya, jam 7.”

Sambil menghancurkan dudukan toilet, otak kanan Trista yang aktif untuk berkhayal telah merancang date yang indah untuk berdua—hanya untuk berdua—di Starbucks, favoritnya. Tidak diisi dengan sadisme, tentu saja. Kecuali ada pengganggu di antara mereka berdua...

“Wah, asik, dibayarin!” ujar Aze senang. “Di Starbucks kan mahal-mahal gitu yah?”

Urat-urat itu bertonjolan kembali. Trista cepat-cepat menekannya dengan jari-jari seharga setengah juta rupiah. Kamu digaji berapa sih ama Elmo, eughhh... Arrrgghh...  Siapa, wahai Aze, siapa yang ngajak kamu? Monster dalam dirinya telah mengamuk lagi. Untung  jiwa bidadari maha sempurnanya (muncul ketika ia sedang mengarang teenlit) tidak membiarkan hal itu terjadi.

“Tidak boleh begitu...,” seru Bidadari Trista. “Bagaimana kalau pikiran-pikiran jahat ini bisa merusak ceritamu. Karirmu, Trista! Image-mu yang terjaga selama ini jangan sampai terkikis oleh... okelah, mereka memang buruk. Tapi apa jadinya kalau tiba-tiba orang-orang seperti mereka masuk ke dalam ceritamu? Novelmu? Teenlitmu? Memangnya nanti bakal ada yang beli?! Hati-hati Trista. Hati-hati...”

Okay... Okay... Tenang Trista. Tenang... It’s gonna be alrite, yeah...

“Untung aja aku gak ada PR... Jadi aku bisa ikut, yeeey!!!” sebuah senyum manis menghiasi wajah Aze. “Elmo jarang ngajakin makan di tempat mahal, huh.”

“Yeah, gratisan. Bener kan, dibayarin, Tris? Akhirnya kita bisa makan enak, Aze!”

“Minum tau, Starbucks kan jualan kopi.. Tapi ada makanannya kali ya..”

“Apapun lah.”

Mereka ber-high five lagi. Dengan keceriaan dua orang melarat lagi kikir.

Ujung bibir Trista tertarik dengan gemetar.

“Ya, aku traktir kalian. Tunggu aku di tempat parkir sini aja. Aku ada urusan sebentar. Jam 7, oke?”

“Oh, yeah... Yey!!! Buset...”

Bu—buset?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain