1
Tersebutlah seorang gadis
beruntung bernama Kalyana Kirana. Lepas dari subuh yang dinginnya makin memudar
seiring dengan berjalannya mentari ke atas, meski sudah terjaga namun ia akan
masih bergulung dalam selimut tebalnya dan tidak membuka mata sampai mendengar
hapenya bernyanyi,
“Oh, baby you’re so sugar sweet..[1].”
Tangan Aze menggerayangi
permukaan kasur. Mencari hape. Ketemu. Ia ingin hal yang pertama dilihatnya
pada pagi hari itu adalah nama Elmo yang terpampang di LCD. Elmo yang baik
hati... Perhatian sekali... Membangunkan Aze setiap pagi. Meski Aze harus
bangun setengah jam lebih awal, ia rela.
Aze menyibakkan selimut
dengan senyum mengembang lebar. Ia berlari ke jendela, membuka gorden. Oh,
lihatlah dunia begitu indahnya! Bunga-bunga di kebun mekar segar seakan
tersenyum pula padanya. Menanggapi perasaan membuncah gadis itu dengan
bermain-main dan bermekaran dalam hatinya.
Aze menoleh ketika
mendengar hapenya berbunyi lagi. Sms.
ze, met pagi.bangun ya, jangan tdur gi.
Jm prtama ulngan fsika kn.igt2 apa yg kmarn
kt bahas ya
Cengiran tidak suka. Aze masuk kamar mandi lalu sarapan dengan
balado udang sisa kemarin malam. Setelah siap ia berjalan ke gerbang komplek
rumahnya untuk mencegat angkot yang lewat.
Saat memandang ke luar jendela angkot Aze teringat Elmo pernah
mengatakan sebetulnya ia ingin mengantar Aze ke sekolah setiap pagi dengan si
Yaris. Aze, yang tidak mengira akan ditodong kebaikan seperti itu, menolaknya
dengan secara tersirat bertanya apakah Elmo sudah benar-benar siap bertatap
muka dengan warga sekolah. Nanti sajalah kalau mental Elmo sudah benar-benar
pulih. Trus Elmo bilang dia kan bisa menurunkan Aze beberapa belas meter dari
sekolah lalu Aze jalan atau tidak berangkatnya lebih pagi saja ketika guru-guru
belum pada tampil di gerbang masuk. Lagi-lagi Aze bilang aaaahh... ogah. Ia malas jalan. Ia malas berangkat lebih pagi.
Lagipula, perlu waktu juga untuk membiasakan orangtua Aze dengan keadaan Aze
yang sekarang berstatus pacaran. Kalau tiba-tiba dijemput? Jangan ah, jangan
dulu ke situ..
Sampailah Aze di sekolah. Ulangan Fisika yang ditunggu-tunggu.
Aze membuka kembali memori pendengarannya tadi malam ketika diintensif via
telpon oleh Elmo. Juga pas sorenya mereka sama-sama tatap muka dan tatap soal
di BC. Soal-soal yang keluar ternyata setipe dengan yang kemarin dibahas, cuman
dimodifikasi di sana sini. Ah, bukan masalah.
Selesai ulangan Fisika, datanglah itu Kimia. Hyaa... serangan
bertubi. Untung nggak ulangan. Untung gurunya nggak masuk. Anak-anak pada
maklum karena kelas mereka dikasih guru yang agak slengean. Baru saja Aze
keluar kelas hendak mengikuti teman-temannya mabal ke kantin, hapenya mengisyaratkan ada panggilan.
Elmo. Ngapain di jam
sekolah gini? Untung pas banget gi nggak ada pelajaran...
“Kenapa, Kang?” Aze belum biasa memanggil Elmo tanpa embel-embel
‘Kang’.
“Aze, guru Kimianya nggak masuk
ya.”
“Eh... kok tahu sih?”
“Kan kemarin-kemarin Aze
kasih jadwal pelajaran Aze ke Elmo...”
Emang kamu yang minta kan? Batin Aze. Dan
guru-gurunya. Aze ingat betul. Hingga selama beberapa menit kegiatan belajar
mereka di-pending demi membicarakan
guru-guru SMAN Bilatung. Kayak yang seru
aja. Ia ingat Elmo bercerita tentang guru yang jadi guru Kimianya Aze
sekarang yang baru rajin mengajar kalau terpikir olehnya sudah waktunya
murid-murid diberi ulangan.
“Ze, Elmo gi di area
Sungaibekas loh.”
“Hah, masa? Ngapain?” Aze
ditinggal teman-temannya. Ia malah jongkok di depan kelas.
“Nungguin Aze.”
“Ih, ngapain ditungguin?”
Aze termesem-mesem. Refleks menutup mulutnya. Berubah tampang ketika ada anak
yang baru keluar kelas dan terus menatapnya sampai jauh.
“Ze, sini deh Elmo kasih
tau jalur mabalnya Bilatung...”
“Emang ada?!” Wow. Aze
sangat antusias. Sebuah SMAN Bilatung mempunyai jalur mabal? Kalaupun ada, Aze
yakin cuman 20% anak Bilatung yang bakal antusias dengan adanya jalur itu
sebagaimana dirinya. Prediksi Aze lagi, yang bakalan berani melalui jalur itu
cuman 15% dan Aze tidak termasuk ke dalamnya.
Aze merasa seperti Harry
Potter, membawa-bawa Peta Perampok pemberian si kembar Weasley yang bisa
memberi informasi tentang lorong-lorong di Hogwarts, lengkap dengan makhluk
yang tengah melaluinya. Peta Perampok Aze mungkin tidak secanggih itu. Ya...
mungkin lebih mirip dengan Peta-nya si Dora. Aze membayangkan Elmo menari
berputar-putar sambil bernyanyi-nyanyi, “Aku Peta...Aku Peta...” Lalu dia akan
memberitahu Aze apa saja yang akan dihadapinya sepanjang perjalanan.
Di belakang kantin
ternyata ada pintu kecil yang bisa dipakai keluar masuk area sekolah tanpa
harus izin ke guru piket. Bisa ada ya pintu semacam itu. Untuk melewati pintu
itu Aze harus sambil merangkak. Tahu-tahu Aze sudah berada di samping tempat
sampah besar, tempat para pegawai kantin membuang ampas jualannya. Agak bau
sih, tapi beberapa meter jalan dari situ sudah terhirup udara kebebasan.
Aze clingak clinguk kiri
kanan dan melihat Yaris biru Elmo diparkir dekat tenda mie ayam di ujung jalan.
Kelihatan kecil kepala Elmo di kursi pengemudi, rambut lebatnya yang jatuh,
sepertinya dia sedang menunduk. Kirain ketiduran.
Aze mengetuk kaca jendela
pintu penumpang di samping kemudi. Elmo mengangkat kepalanya dari cerita
bergambar yang sedang ditekuninya. Sumringah pandangnya bertemu Aze.
“Azee...!”
“Akang,” balas Aze
seadanya. Ia duduk di kursi samping Elmo dan memilah-milah komik dari tumpukan
yang ada di antara mereka. Pasti Elmo baru dari taman bacaan deh...
‘Kirain nggak kan
dateng...”
“Dateng dong.. Wah, ada
Bleach!”
“Gimana tadi ulangan
Fisikanya?”
“Mantap!” Aze mengacungkan
dua jempol ala Mas Fahri BC. Elmo tersenyum. “Udah ah, aku mau baca komik
dulu!”
Elmo mengacak rambut Aze.
Aze menghindar sampai kejeduk jendela mobil. “Aduh.”
“Nggak rugi kan punya guru
kek Elmo?”
Aze tersenyum sebelum
kembali serius membaca komik. Elmo juga tak lama kemudian melakukan aktivitas
yang sama.
Tepat pukul 09.50 Elmo
menyentuh pundak Aze. Mengingatkan gadis itu untuk kembali ke sekolah. Aze
menolak. Elmo membujuk. Aze bersikukuh. Elmo mengiming-imingi cilok. Aze minta
cilok + lumpia basah + jagung manis. Elmo mengiyakan. Aze keluar dari mobil
Elmo dengan hati riang.
2
Sundays are slow.[2]
Elmo dan Aze sudah sering
pergi berduaan namun baru kali ini mereka menamakannya kencan. Nge-date. Idih.
Masih sekitar pukul 9 pagi kala itu. Aze sudah bangun sejak pagi sekali untuk menyelesaikan pekerjaan rumah apapun yang bisa diselesaikannya saat itu hingga menjelang jam 9 nanti. Oh ya, jangan lupa alokasikan waktu untuk sarapan, mandi, dan berhias diri! Berhias diri!? Otak Aze tidak bisa memberikan visualisasi apa-apa dari frase tersebut. Ia tak ingin kalau saatnya Elmo menjemput nanti orangtuanya masih merecokinya untuk mengerjakan ini itu. Ketika terbangun, orangtua Aze terperangah pada apa yang sedang dikerjakan anak perempuan sulung mereka. Adik Aze yang baru terbangun dan segera menyadari ini, dengan santainya langsung berleha-leha di depan TV. Bersyukur karena porsi pekerjaannya hari ini berkurang.
Aze memandang dirinya di cermin yang dapat memantulkan ¾ badannya. Ia bingung harus mengapakan dirinya. Pake baju apa. Ia memporakporandakan lemari baju adiknya yang lebih gaul darinya. Melirik jam… omaigawd, bagaimana sekiranya nanti Elmo sudah datang namun ia masih memilih-milih pakaian? Ah ya ampun, biasanya juga mereka jalan berdua, tidak pernah Aze meributkan harus pakai apa seperti ini. Aze segera menentukan pilihan pada pakaian yang paling ia sukai, yang ia harapkan dapat membuatnya nyaman sepanjang hari itu. Mungkin lebih nyaman kalau status mereka hanya berteman, bukan pacaran..
Terdengar suara mobil menepi di depan halaman rumah. Jangan-jangan itu Elmo!? Kya… Kya… Kepanikan yang berlebihan. Aze buru-buru menyisir rambutnya dan menyadari bahwa disisir maupun tidak disisir sama saja; rambutnya tak kan pernah berkarakter. Aze merutuk ketika menyadari bahwa ia lupa me-roll poni tadi malam. Setidaknya kalau di-roll poninya bakal terlihat lebih berbentuk.
Terdengar suara mengobrol dua laki-laki dari halaman depan. Aze mengintip sekilas. Ya ampun, papa apa-apaan sih pake ngajak ngobrol segala?!?!?!?! Aze merasa harus cepat-cepat keluar dari kamar ini dan menyelamatkan Elmo dari hadapan papanya yang rese. Tapi… Arggh… aku lupa pake bedak!!! Aze hampir menjambak rambutnya sendiri dan ingat bahwa dia memang hampir tidak pernah memakai bedak sebelum ini, termasuk di hadapan Elmo.
Elmo menutup pintu mobil di samping Aze. Aze menunggu Elmo duduk di jok sampingnya dengan tidak sabaran.
“Ayo, cepetan jalannya…,” desak Aze, merasa risih entah kenapa padahal di luar rumah sudah tiada siapapun yang berminat mengawasi kepergian mereka.
“Pasang seatbelt-nya dulu, Ze,” ujar Elmo sambil memasang seatbelt-nya sendiri. Aze melakukannya dengan cepat. Mereka terdiam sampai Yaris Elmo keluar komplek perumahan.
“Jadi kita mau ke mana, Ze?”
“Hah?” Aze bangkit dari kebengongannya. “Mm, ke mana ya? Terserah Elmo aja deh.”
“Haha, bingung Elmo juga.”
“Iyaya… ke mana ya?” gumam Aze sambil tatapnya menerawang ke luar jendela.
“Puter-puter aja dulu yuk. Yang penting kan kita jalan berdua…”
Ih, merinding. Aze bingung haruskah ia senang atau bergidik mendengar itu.
Minggu itu agak mendung rupanya. Sesekali rintik hujan jatuh di jendela. Tapi itu tidak menyurutkan niat orang-orang untuk berolahraga pagi. Bersama teman-teman. Bersama keluarga. Bersama pacar... Sepanjang jalan Aze melihat mereka dengan pakaian santai mereka dan yang pasti sepatu olahraga dan kaos yang membungkus kaki.
Aze melihat orang-orang yang berjualan di pinggir jalan. Macam-macam yang dijual, dari mulai perkakas rumah tangga, golok, pakaian, makanan, kapal-kapalan kecil di atas baskom berisi air, boneka, balon pinguin, bed cover, selimut, tenda-tendaan...Ke daerah Asia-Afrika sampai Tegallega, begitu jauh perjalanan mereka dalam setengah jam acara puter-puter nggak jelas itu. Elmo akhirnya bertanya lagi pada Aze, “Udah kepikiran mau ke mana?”
“Belum sih, hehe...”
Lampu merah. Aze berjengit ketika ia merasakan tangannya seperti disentuh sesuatu. Ketika dilihatnya Elmo, cowok itu masih menunjukkan ekspresi kaget. Tangan yang sudah terlanjur melayang ke udara itu segera dimasukkannya ke dalam tas. Tanpa sadar, lengan Aze bersidekap protektif. Ah, untung dia ingat... Aze mengeluarkan sebuah kotak bening nan mungil.
“Kemarin aku bikin kue loh... Rasa coklat dan kayu manis...”
Aze membuka tutup kotak tersebut, menaruhnya di bawah kotak, lalu keduanya ditaruh di antara mereka, di bawah perseneling.
“Cobain deh,” kata Aze malu-malu.
Elmo mengambil sepotong. Terdengar mobil di belakang mengklakson. Elmo melajukan mobil sambil mengunyah. “Hmm... henakk...”
Mulut Elmo gembung karena mengunyah tapi Aze bisa melihat sepasang mata di balik lensa itu tersenyum.
Aze memalingkan wajahnya lagi ke jendela. Ia masih belum terbiasa kalau Elmo bergelagat hendak menyentuh dirinya. Aze bersidekap lebih rapat, seakan-akan gestur seperti itu akan lebih melindunginya.
Memasuki area Dago, dari kejauhan sudah terlihat bahwa tengah terjadi kemacetan panjang. Sebetulnya tidak masalah sih buat Aze kalau harus terjebak kemacetan seperti ini dalam mobil. Ia bawa buku bacaan, dan ada kue yang bisa dihabiskan, dan ada radio yang bisa dicari frekuensinya yang sedang memutar lagu kesukannya untuk dinikmati, dan ada Elmo yang bisa diajak ngobrol ngalor ngidul. Dulu Aze mengira orang seperti dia dan Elmo tidak akan pernah bisa nyambung kalau ngobrol. Tapi mungkin karena mereka sudah sering bersama, topik apa saja bisa mereka sambungkan.
Toh cuaca lagi nggak panas ini, menunjukkan tanda-tanda mau hujan malah.
Eh, bener hujan.
Tapi Elmo punya ide lain. Elmo akan memarkir mobilnya di tempat yang aman. Lalu mereka berdua jalan-jalan di sepanjang jalan Dago ini, menikmati indahnya daerah perbelanjaan kota Bandung yang dilindungi hutan kota yang teduh, dalam suasana hujan. Elmo menaruh satu payung besar di jok belakang mobil. Cukup untuk menaungi mereka berdua.
Ya... memang tidak ada alasan kuat buat Aze untuk menolak itu. Ia mengiyakan.
“Aze... Aze... Foto yuk...” Elmo mengeluarkan hapenya.
“Eh... enggak ah...”
“Kenapa?” Elmo sudah pasang posisi. Lensa kamera sudah diarahkannya beberapa derajat di depan mereka. Aze bingung harus berekspresi gimana. Takut nggak kontrol beungeut. Apa dia harus memonyongkan bibirnya, dengan dua jari menempel di pipi yang kembung, kepala dimiringkan beberapa derajat, dan membiarkan mata besarnya yang mendominasi supaya terlihat imut? Aze tahu jika itu ia lakukan hasilnya tidak akan sebaik terlihat pada cewek-cewek lainnya yang biasa berpose seperti itu. Ia dan teman-temannya bukan tipe cewek-cewek begitu. Selama ini ia selalu pasang tampang datar kalau mau tak mau harus difoto.
Aze melihat hasilnya pada LCD hape Elmo. Tidak buruk. Tapi Aze menolak untuk kedua kalinya. Ia maunya lebih dari tiga kali lagi.
Selanjutnya berjalan-jalanlah mereka menikmati bangunan-bangunan lama yang telah dirombak jadi distro, kafe, apalah...
“Ze, pernah gak sih Bikini Bottom kehujanan?”
“Hah?” Sebagai seorang yang dianggap pakar Spongebob oleh Elmo, Aze baru kali ini terpikirkan hal yang seperti itu. Oh. Ya ampun. Benar juga ya? Ia agak sebal karena kenapa bukan ia duluan yang menemukan kenyataan itu, melainkan Elmo. Padahal siapa yang membuat Elmo menyukai Spongebob?! “Pernah nggak ya? Kalau salju sih iya..”“Yee, kok balik nanya...”“Eh, kalo gitu entar kita ke Zy-E yuk, cari DVD Spongebob yang ceritanya di Bikini Bottom lagi musim ujan! Ya? Ya?” Elmo pasti mau membayar biaya rentalnya.
“Dasar! Kalo gitu entar ingetin Elmo ya.”
“Iya. Iya!” seru Aze bersemangat karena ingin menguak misteri apakah di Bikini Bottom pernah turun hujan. Misteri terbesar abad ini! Tadinya hendak memaksa Elmo untuk langsung saja meluncur ke Zy-E, mata Aze menangkap sebuah bangunan kafe di seberang jalan. Ia jadi merasa perutnya ingin diisi oleh sesuatu. Ditunjuknya kafe itu sambil disentuhnya lengan Elmo yang memegang gagang payung. “Ke situ yuk!”
Begitu masuk ke dalam, langsung terasa suasana hangat dan nyaman dari dalamnya. Ini pasti efek pencahayaannya... pikir Aze. Tak sempat mengamati desain interiornya lebih lama karena Aze langsung tertarik ke seberang sana, di mana terdapat lemari-lemari buku yang berjejer. Whoa, banyak buku-buku impor... Tapi yang produk anak negeri juga ada sih. Aze ingin membuka semua buku-buku yang tampaknya mahal dan menarik itu.
“Aze... Aze...” panggil Elmo yang telah melipat jaketnya dan sedang akan duduk di bangku sudut yang bersebrangan dengan area buku. “Duduk sini.”
Aze mendekat untuk duduk di hadapan Elmo. Elmo hendak mengusap bulir-bulir air di rambut Aze. Aze menangkisnya. Elmo menurunkan lagi tangannya, memandangi Aze dengan senyum yang entah apa maknanya. Membuat Aze canggung. Menghindari tatapan itu, pandangnya menyapu sekitar ruangan.
Ruangan ini diisi oleh orang-orang yang jelas bukan berasal dari kalangannya.
Lihat gaya berpakaian mereka. Bagaimana makanan dan minuman yang terhidang di meja di hadapan mereka. Beberapa orang berkumpul karena sedang berada di ajang sosialisasi. Beberapa menyendiri saja dengan laptop yang fokus mereka. Nama kafe ini apa tadi? Papier Shelter? Aneh banget. Aze tahu ‘shelter’ itu artinya tempat perlindungan. Papier apa artinya? Papier mache gitu? Apa pula itu papier mache?
“Aze mo pesen apa? Elmo pesenin ya?”
“Sebetulnya mo gorengan...”
Sebetulnya Aze baru pertama kali ke tempat macam ini. Sebetulnya Aze lebih tertarik melihat buku-buku yang terpajang di lemari. Sebetulnya Aze asing dengan beberapa nama menu yang terpampang di dinding. Kok nggak ada menu yang jelas umum macam teh, jeruk, yoghurt, dan jus-jusan gitu ya... Huh, apalah. Ada kali ya, namanya aja kali diganti, dibikin jadi ribet.
“Trus, minumnya mau apa?”
Terserah-apa-aja-aku-nggak-ngerti, begitu tatapan Aze berbicara.
Begitulah, mereka menunggu pesanan.
“Elmo udah pernah ke sini sebelumnya?” tanya Aze pelan. Berharap suaranya teredam oleh suara-suara lainnya namun masih terdengar oleh Elmo tanpa Aze harus mengulang kalimat yang sama.
“Belum. Kayaknya masih baru kok ini kafenya.”
.
Ingatan Elmo melayang ke masa-masa SMA di mana setiap ada waktu kosong sepulang sekolah, ia dan teman-temannya, cewek dan cowok—banyakan ceweknya sih, anggota BKS juga banyakan cewek, sebenarnya—naik mobil beramai-ramai untuk mencicipi kafe-kafe yang ada di daerah ini. Kalau ada kafe yang baru berdiri, maka kafe tersebut akan jadi sasaran sowan mereka berikutnya. Sehingga Elmo bisa kasih rekomendasi kafe mana yang makanan dan atau minumannya bener-bener enak, atau yang cuman jualan panorama dan prestise tapi menunya biasa aja. Yang suasananya cocok buat datang rame-rame, berduaan, atau sendirian aja. Yang koneksi wi-fi-nya secepat kilat atau selambat bekicot sekarat. Tapi sudah lama sekali sejak kunjungan terakhir Elmo ke kafe. Waktu itu dia pergi berdua aja sama Trista. Merencanakan membeli kado kejutan untuk salah satu teman mereka. Sekarang sih, boro-boro kafe, Elmo malah merasa lebih nyaman makan di warteg atau warung tenda pinggir jalan. Peluang untuk ketemu teman-teman gaulnya dulu lebih sedikit, kecuali mungkin yang letaknya berada di sekitar sekolah.
Trista...
Elmo cepat mengalihkan pikirannya agar suasana hatinya tidak kadung menyendu. Tidak ada gunanya mengulang-ulang masa lalu. Mau sampai bikin sprei basah kuyup karena air mata dan air hidung pun, ia tidak akan kembali. Tidak kan pernah bisa keluar dari memori.
“Eh, Aze. Menurut Aze, Elmo kalau kerja sambilan cocoknya jadi apa ya?”
.
“Mm.. jadi apa ya?” Aze bingung karena Elmo tidak dikaruniai tampang kekurangan duit sampai harus kerja sambilan segala. “Emang harus kerja sambilan ya?”
“Ya gapapa dong. Buat nambah uang saku aja. Kalau Elmo punya lebih banyak uang kan entar Aze bisa kecipratan juga, haha...”
Aze tidak begitu terkesan dengan gurauan itu. Ia berprasangka papa Elmo yang kiranya keras dan galak itu sudah menyetop suplai uang saku Elmo. Elmo kan sudah besar, harus mulai belajar cari uang sendiri. Kalau perlu biaya kuliahnya nanti ditanggung sendiri. Atau tidak, pergi dari rumah untuk hidup mandiri.
Hm.
“Papa nawarin Elmo kerja di tempatnya sih, tapi Elmo masih pikir-pikir. Males juga kalau di tempat kerja harus ketemu papa lagi.”
Tapi kelihatannya tidak begitu. Sebetulnya Aze takkan menolak kalau nanti Elmo jadi lebih banyak menraktirnya atau apa. Huhuhu...
“Elmo pingin bisa nabung juga sih.”
“Buat biaya kuliah? Ternyata Elmo bisa juga kepikiran gitu.”
“Nggak juga sih. Kalau cuma buat biaya kuliah mah sebenarnya papa Elmo udah ada dana... Ya... Buat rencana-rencana hidup lainnya misalnya, kan harus dipikirin dari jauh-jauh hari tuh...”
Buat uang saku juga sebenarnya, suplai Elmo kan udah distop papa semenjak nggak lulus SPMB kemarin... batin Elmo pahit. Sementara Aze tertawa dalam hati, haha... Elmo ini habis baca buku motivasi apaan lagi nih..
“...kek nikah misalnya...”
“Emang udah ada calonnya ya?”
“Loh, sekarang Elmo lagi ngomong sama dia...”
“Hahaha...”Aze ketawa garing.
Aze tidak ingin menanggapi itu dengan serius. Aze membayangkan sisa hidupnya dihabiskan bersama Elmo. Entah kenapa ia malah jadi lesu.
Seorang mas-mas waiter yang super ramah datang menyajikan pesanan Elmo untuk dirinya sendiri dan untuk Aze sambil menyebutkan nama apa yang dia sajikan itu. Aze tak berminat untuk mengingatnya. Hamburger di hadapannya begitu besar menggoda. Lihatlah lapisan dagingnya yang tebal keemasan. Warna-warna di antara roti-daging-rotinya menantang Aze untuk segera meraupnya. Selama ini ia mengira hamburger seperti itu hanya tipuan iklan saja.
“Gorengan kan?”
“He-eh.”
Terima kasih... Terima kasih ya, Elmo... Aku akan mendukungmu sepenuh hati untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang kamu idam-idamkan itu!
“Elmo ingat-ingat kalau cari kerja sambilan, cari yang dapet fasilitas,” Aze sok memberi petuah.
“Hah? Fasilitas?”
“Iya, jaga warnet, jaga taman bacaan gitu, kan bisa sambil ngenet.”
“Ah, warnet jaman sekarang mah tinggal tunggu bangkrut, udah ada hot spot dimana-mana,”
“Kan ada warnet game. Ya udah, jadi penjaga taman bacaan aja, tapi yang gajinya gede.”
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menghabiskan makanan. Mereka pun tak lama-lama lagi di situ meskipun sebenarnya Aze masih ingin menikmati buku-buku yang ada di sana. Elmo mengajak Aze untuk berwisata kuliner ke tempat makan lainnya di sekitar sini. Kafe di Bandung bukan cuman Papier Shelter aja, ledek Elmo. Iya, aku tahu, Aze berusaha agar suaranya tidak terdengar seperti sedang merajuk manja tapi begitulah adanya tanpa bisa ia kendalikan.
Sementara Elmo membayar, Aze mencari-cari hal menarik dari kafe ini yang bisa diamatinya untuk dinikmati. Pandangnya bertemu dengan selembar kertas daur ulang yang tertempel di dinding dengan font yang artistik menyusun kalimat-kalimat pemberitahuan dalam bahasa Inggris bahwa book store cafe ini sedang mencari pegawai baru. Part timer atau full timer. Blablablabalabala. Tidak semua kata ia mengerti. Aze menarik lengan Elmo agar Elmo membaca tulisan di kertas itu.
Ia tak berkeberatan kalau harus menunggui Elmo kerja, asal tempatnya di sini.
“Mau ke mana lagi Aze?”
tanya Elmo sambil mengangkat payung. Kini mereka sudah berada di luar kafe
namun masih di bawah kanopi.
“Terserah...” Biar lengan
mereka tak terkait, tapi Elmo merasa senang melihat tangan Aze rupanya sedari
tadi memegangi jaketnya.
Sundays are slow...we don’t really have to know where to go[3]
Elmo ingin hidup dalam
hari ini selamanya.
3
Aze belum juga
meninggalkan mobil Elmo, sementara rintik-rintik hujan mulai turun lagi. Ia
yang banyak terdiam hari ini. Ia yang pipinya bersemu merah sekarang. Elmo
mencuri-curi pandang pada anak perempuan yang duduk di sebelahnya itu, melepas seatbelt. oh, it is love.. From the first time i set my eyes to yours, thinking
oh, is it love..[4]
“Mmm.. Elmo? Aku turun
ya..”
Tangan Elmo menahan tangan
Aze, yang mana matanya membesar manakala wajah cowoknya itu mendekat ke wajahnya.
TAAARRRRR!!!
Petir, ternyata, yang
berbunyi sedemikian keras. Tangan Aze mendorong Elmo menjauh, lalu ia nyerocos
sok panik, yang tentu lebih baik daripada teriakan ‘KYAA! TOLONG!’: ”Anjrit,
jemuran si mamah! Yu dadah Kang, dadah!”
Sepeninggal petir adalah
Aze dengan ekspresi bersalah di mukanya, naik tangga ke kamarnya sebelum ada
orang rumahnya berpapasan dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar