Waktu
itu Tia lagi lesu. Berjalan gontai memasuki kawasan kampus. Jalan lebar
beraspal dengan lelampu merah berdiri. Pohon di kanan kiri. Ia berharap hari
ini akan baik-baik saja. Tidak ada masalah yang harus ia bawa dalam kepalanya
saat duduk di tempat tidur pada malamnya. Karena beban yang dipikulnya ini
adalah masalah-masalah kemarin yang tidak selesai. Jadi masih ada paginya dan
dibawanya serta karena itu tidak bisa lepas darinya. Dan besok paginya. Dan
besok paginya. Dan besok paginya. Dan besok paginya.
Ada
beberapa orang lalu lalang dengan pakaian olahraga mereka. Olahraga pagi. Hm,
benarkah itu akan bisa mencerahkan hati meskipun sedikit saja? Bagaimana Tia
bisa mencoba, ada kuliah pagi. Saat sore hari pun ia sudah terlalu capek untuk
melakukannya. Bukan capek karena fisik
melainkan karena jiwa yang gusar.
Kapankah
ia bisa betah di kampus ini? Dan memulai hari-hari dengan riang... Tak
menjadikan segala sesuatu di depan sebagai beban...
Sampai
kemudian ada suara yang sepertinya ditujukan padanya. Ada seseorang sedang
tersenyum memandangnya tak jauh di depan. Aduh,
imutnya senyum itu. Orang itu berkata padanya, “Pagi-pagi kok udah
cemberut? Senyum dong...”
Tia
tertegun. Sambil melewati orang itu pelan ia menarik kedua ujung bibir. Sakit.
Begitu posisinya sejajar dengan orang itu ia membungkuk sedikit sambil terus
jalan.
“Nah,
gitu dong...” Orang itu tertawa renyah.
Setelah
melewatinya Tia menjilat bibir. Asin. Berapa gelas airkah yang diminumnya
beberapa hari ini? Ia menoleh ke belakang. Kakak itu sedang lari-lari. Olahraga
pagi.
Tia
menyebutnya si Kakak karena ternyata orang itu kakak angkatannya. Ia baru
menyadarinya. Ia seperti pernah lihat wajah itu. Lalu ia tanya temannya yang
hanya tahu kalau orang itu sepertinya satu angkatan di atas mereka tapi tidak
tahu namanya. Kenapa ia baru menyadarinya? Apakah karena selama ini ia selalu
jalan menunduk?
Tia
tidak selalu menemui si Kakak pada pagi hari di kawasan tempat ia biasa lewat.
Kawasan yang menjadi pilihan beberapa orang untuk berolahraga pagi. Dalam seminggu
belum tentu ada pagi ia melihatnya. Apalagi menyadari ada dirinya dan lalu
tersenyum. Tapi ujung bibirnya kini mulai bisa sedikit-sedikit membentuk
lengkung ke atas. Karena ia jadi sering menemui keberadaan si Kakak di kampus.
Saat
bertemu, biasanya si Kakak akan tersenyum sambil mengangguk. Sungguh senyum
yang imut. Maka Tia lalu menyebutnya dengan Kakak Imut. Jika dibegitukan maka
ia balas melakukan hal yang serupa. Ia juga melakukan hal yang serupa pada
orang-orang lainnya yang ia kenal. Kalaupun ia tidak pernah berinteraksi
langsung, setidaknya ia kenal muka. Entah kenapa senyum sambil mengangguk
menjadi kebiasaannya kalau bertemu dengan orang-orang. Makin lama makin banyak
orang yang menjadi sasarannya. Tak terkecuali si Kakak Imut.
Sering
pula datang saat di mana mereka berdekatan namun si Kakak Imut tidak menyadari
keberadaannya. Kalau begitu maka ia akan curi-curi pandang. Berharap pandang
mereka lalu bertemu. Si Kakak Imut menyadarinya lalu tersenyum padanya. Ia
balas tersenyum.
“Kamu
jadi banyak senyum, ya. Seneng deh liatnya...,” kata temannya suatu kali.
“Aku
emang suka senyum dari dulu kali...,” balas Tia atas perkataan temannya itu.
Karena perkataannya itu tidak sesuai dengan realita maka dapat disebut dengan
becanda.
“Nggak
ah. Dulu tuh kamu cemberut... terus. Kayak selalu ditimpa masalah.”
“Masalah
itu selalu ada, tergantung gimana kondisi kita saat sedang menghadapinya. Kalau
kondisi kita lagi bagus, ya kita hadapi masalah itu dengan senyum ini.” Tia mengutip
kata-kata yang pernah dibacanya dari suatu tulisan sambil tersenyum selebar
mungkin. Kini tidak begitu terasa sakit karena ia sudah membiasakan diri untuk
banyak minum.
“Ih,
kalau kamu senyum sama aku berarti aku masalah dong?”
“Hahaha...
iya!”
Temannya
itu memukulinya. Lalu mereka berkejar-kejaran. Ia lihat si Kakak Imut. Disempatkannya
tersenyum. Si Kakak Imut tak menyadarinya. Tapi tak apa. Kalau sadar dia pasti
akan membalasnya.
Tia
terbayang si Kakak Imut setiap saat. Setiap malam di balik meja belajar. Setiap
sebelum lelap tertidur ia bayangkan senyum imut itu, berharap muncul menghias
mimpinya. Membuatnya tidur tersenyum. Setiap pagi saat berkumpul sarapan dengan
keluarganya, agak heran juga mereka melihat ia tanpa sadar tersenyum. Ya, ia
bahkan tidak menyadarinya! Ia rasakan akibat itu sikap mereka pun mulai melunak
padanya. Setiap ia memasuki kawasan kampus. Saat masih waktu olahraga pagi.
Kadang-kadang ia bertemu si Kakak Imut. Ia tidak menanti teguran seperti saat
pertama ia ngeh akan keberadaan orang itu. Ia hanya ingin melihat seulas senyum.
Untuk men-charge jiwanya agar lebih
ringan melangkah.
Wahai, Kakak Imut... aku bahkan tidak tahu
namamu! Ia terlalu malu menanyakannya pada selain teman dekatnya yang juga
sama-sama tidak tahu siapa nama Kakak Imut sebenarnya dan Tia pun tidak
mendesaknya untuk mencari tahu. Setelah berbulan-bulan ini mereka bertukar
senyum. Setelah hidupnya membaik perlahan-lahan. Ya, pagi-pagi yang dimulai
dengan kelesuan itu sudah agak jarang ia alami. Berkat Kakak Imutkah... Apa Tia
bisa membalasnya dengan lebih dari sekedar senyum dan anggukan? Mungkinkah suatu
saat mereka tidak hanya bertukar itu melainkan juga bertukar suara? Mengenal
satu sama lain lebih dekat? Agar jiwanya makin hangat. Ia akui ia menyukai
Kakak Imut. Meski orang itu akan lulus lebih dulu, akan diingatnya senyum itu
selalu. Dan tahun-tahun yang tersisa di depan ini, ia ingin agar senantiasa
diisi oleh senyum itu. Karena tidak ada yang menjamin pagi kelesuan itu akankah
kembali lagi atau tidak.
Tia
bertemu Kakak Imut setidaknya beberapa kali seminggu. Tapi sudah seminggu ini
Kakak Imut tidak kelihatan. Ke manakah dia? Mungkinkah dia sedang sibuk? Tia
tidak tahu dia ambil berapa sks, organisasi apa saja yang diikutinya, senang
nongkrong di mana dia. Tia tidak mengenalnya selain senyum dan anggukan itu.
Dan angkatannya. Dan jurusannya. Andai mereka punya kesempatan bertukar suara
ia ingin bisa tahu hal-hal tersebut.
Minggu
yang baru telah datang. Pagi itu kelesuan mencoba menyergapnya lagi. Tia
berusaha tidak mengabaikan, meski jalannya kembali menunduk. Ingin ia sembunyikan wajah yang mulai kehilangan
daya senyumnya lagi. Ia sudah lama tidak ketemu Kakak Imut. Tak ia acuhkan
beberapa orang yang sedang berjalan santai sambil menyesap hawa pagi. Seperti
biasa, pada jam-jam segini tidak terlalu banyak orang yang berolahraga. Apalagi
langit kelam begini. Tidak ada seorangpun yang dapat mencegah hujan turun di
pagi hari. Mungkin Kakak Imut pun takkan ada. Mungkin... mungkinkah orang yang
duduk di bawah pohon beringin itu adalah Kakak Imut? Ke mana saja dia selama
ini? Dia melihat pada Tia. Senyum imut ada pada wajah itu. Tia perlihatkan juga
senyum yang cukup lebar sehingga terlihat geligi. Sebagaimana si Kakak Imut.
Tia
berjalan mendekat karena memang untuk menuju kampus ia harus melewati orang itu.
Namun jalannya sambil menunduk. Ia tidak tahu harus pasang tampang apa kalau
berjalan sambil terus menatap wajah si Kakak Imut yang seperti anak kecil itu.
Ia memutuskan ketika sudah cukup dekat dengan si Kakak Imut, ia akan mengangkat
wajahnya lagi untuk tersenyum. Ketika itu terjadi, ia tak menduga Kakak Imut
akan berkata-kata, “Eh, selama ini kita sering ketemu. Tapi aku belum tau nama
kamu. Namamu siapa sih?”
Tia
tersenyum malu-malu. Merasa geli saja. Sudah hampir setahun mereka bertukar
senyum tapi tidak mengenali satu sama lain. Tidak ada usaha untuk itu. Ia sudah
cukup senang hanya dengan mendapatkan senyum itu. Entah bagaimana dengan
pemiliknya. Tia merasa ia bukanlah orang yang cukup menarik untuk dicari tahu
identitasnya.
Melihat
Tia yang masih terdiam malu, si Kakak Imut berkata lagi sambil menjulurkan
tangannya untuk dijabat, “Namaku Noval. Kamu?”
Oh, jadi namanya Noval ya?
Memandang
tangan yang menunggu dijabat Tia jadi ingat Tuhan. Selama ini Tia lupa
berterimakasih pada-Nya karena Dia telah menciptakan si Kakak Imut yang membuat
anugrah kehidupan ini terasa sedikit seperti anugrah. Ya Tuhan, terima kasih atas segala nikmat-Mu yang mungkin hanya
segelintir yang baru benar-benar kusadari ini. Salah satunya adalah si Kakak Imut... Andai semua masalah bisa
diselesaikan hanya dengan tersenyum... Memang tidak, tapi sepertinya senyum
bisa mengikis nol koma sekian persen masalah. Memang kecil sekali tapi
setidak-tidaknya berkurang kan? Atau Tia salah mengukurnya?
Tia
tak menyambut uluran tangan itu. Sebelum berlalu sambil tersenyum untuk
menimbulkan efek misterius dan berharap si Kakak Imut akan sedikit penasaran
dengannya (haha, ya ampun, memangnya aku
ini apa... tapi aku berharap ini bisa jadi awal dari sebuah hubungan.. emm..
pertemanan?), lalu ujarnya, “Namaku Tia.”
Sudah
duduk di atas kursi, masih Tia rasakan debar itu di dada. Hangat. Apa yang akan
terjadi selanjutnya? Apakah kelak mereka akan bisa bertukar lebih banyak kata? Ia
merasa mukanya agak memanas.
Masih
sekitar satu menit sebelum waktunya dosen masuk dan memulai kuliah. Kelas sudah
penuh dengan para mahasiswa dan mahasiswi yang sibuk becanda selayaknya masih
duduk di bangku SMA. Terdengar suara mic
dinyalakan. Ketua angkatan ternyata sudah berdiri di depan kelas.
“Teman-teman,
mohon perhatiannya sebentar.”
Dalam
beberapa hitungan mereka duduk di bangku masing-masing dan senyap suara.
Terdengar beberapa percakapan pelan yang tidak begitu mengganggu.
“Kemarin
sore, kakak angkatan kita, Noval Oktavian, telah meninggal dunia. Mari kita
sama-sama berdoa agar arwah almarhum diterima di sisi-Nya. Berdoa dimulai.”
Kelas
hening seketika. Semua menunduk. Tia juga. Ternyata ada lebih dari satu Noval
di kampus ini, pikirnya. Mungkin ia harus mengenal lebih banyak kakak angkatan.
“Berdoa
selesai.”
Semua
mengangkat kepalanya lagi dan orang-orang kembali memulai keributan akan tetapi
dengan suasana yang berbeda. Tia bertanya pada salah seorang anak di depan yang
ia kira cukup akrab dengan para kakak angkatan. Tia menunggu sampai orang itu
selesai mengusap air mata.
“Ng...
eh, dia meninggalnya kenapa sih?” pelan-pelan Tia bertanya agar tidak terlalu
mengganggu orang itu.
“Aku
kurang begitu ngerti. Katanya sih komplikasi gitu deh... Terus sama orangtuanya
kan dijemput pulang—dia bukan orang asli sini. Setelah dibawa ke rumah sakit,
sempet koma beberapa hari. Terus nafasnya berhenti...,” terdengar suaranya
tercekat. Tia jadi tidak enak untuk bertanya lebih lanjut. “Aku pingin nengok
juga cuman gak diijinin orangtuaku...”
Usai kuliah Tia hendak pergi ke toilet sebentar. Padahal ia sudah bertukar senyum dengan Kakak Imut tadi pagi, tapi kenapa kelesuannya kumat ya? Mungkinkah karena ada kabar duka tersebut? Tentang meninggalnya seseorang yang tak dikenalnya? Dalam kumatnya kelesuan itu, ia biasanya bersembunyi di sana agar kecemberutannya tidak mengusik orang-orang yang ditemuinya. Aah... ia ingin bertemu Kakak Imut lagi... Hari ini dia ke kampus gak ya...
Dalam perjalanan ke toilet ia selalu menyempatkan diri melihat papan pengumuman yang terpampang, kalau-kalau ada informasi penting terbaru. Beberapa kertas seukuran A5 telah ditempel, menyatakan turut berduka cita atas meninggalnya kakak angkatan yang bernama Noval Oktavian tersebut. Salah satu lembaga mahasiswa kampus ada yang melampirkan foto almarhum yang ternyata wajahnya mirip dengan Noval yang ia temui tadi pagi.
Hah...
Dengan Noval yang memiliki senyum yang selama ini telah meringankan kelesuannya.
Jadi...
Senyum dalam foto itu tertuju padanya. Meraba-raba hatinya. Senyum imut yang mau tak mau membuatnya harus menarik dua ujung bibir ke atas .
Tidak mungkin orang itu punya saudara kembar kan... Apa kalau saudaramu ada yang meninggal kamu masih bisa duduk tenang sambil memandangi orang-orang yang berolahraga pagi..?
Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? Salah satu nikmat itu kini telah diambil-Nya kembali.
Tia mematung lama sampai seseorang menggoyang-goyangkan pundaknya dengan keras karena Tia tak segera memberi respon. Pundak itu dirasanya dingin dan terus menjalar sampai ke seluruh tubuhnya.
Kakak Imut, sedang apakah kamu sekarang?
Aku berharap, jikalaupun kamu terus hidup maka kamu sedang dalam proses menuju ke jalan yang lurus.
Aku tidak akan pernah melihatmu lagi. Kamu telah pergi selama-selamanya. Tidak tahu apakah akan ada pertemuan lagi di antara kita, sekedar untuk bertukar senyum dan anggukan.
Aku tidak akan pernah tersenyum lalu mengangguk padamu lagi karena mengharapkan darimu juga akan ada reaksi yang serupa. Biarlah interaksi kita hanya sebatas itu saja. Aku sudah cukup senang.
Meskipun kita saling kenal hanya sebatas itu; hanya bertukar senyum, percakapan hanya sesekali, tapi aku juga merasa kehilangan. Mungkin tidak sebesar rasa kehilangan yang dipunya teman-teman baikmu. Orangtuamu. Keluargamu. Orang-orang yang pernah berinteraksi lebih dari yang aku pernah denganmu.
Mungkin aku akan selalu ingat senyummu. Mungkin aku akan mengenangmu.
Kakak Imut, semoga kamu baik-baik saja di sana. Amin. Selamat jalan.
Tia
Ditutupnya buku tulis itu. Pandangnya beralih ke luar jendela, di mana ia bisa lihat di bawah para warga kampus wira-wiri ke sana ke mari dengan urusannya masing-masing.
Aku tidak terlalu mengenal orang itu.
Ia membayangkan Kakak Imut kembali ada dalam jangkauan matanya, seperti dulu-dulu.
Jadi kenapa harus ada perasaan kehilangan ini?
Ia tidak mengharapkan senyum atau sepatah dua patah kata dari orang itu ditujukan padanya.
Kenapa Kakak Imut harus pergi selamanya?
Ia hanya mengharapkan senyum itu ada lagi.
Kenapa aku harus kenal orang itu?
Meski bukan untuknya. Setidaknya ia bisa melihat untuk menikmatinya.
Kenapa aku harus cukup sering mendapatkan senyumnya?
Beberapa bulan setelah penyambutan mahasiswa baru telah berlalu. Urusan Kartu Rencana Studi telah dituntaskan dan Tia punya waktu pada beberapa pagi dalam seminggu untuk berolahraga di kawasan sekitar kampus yang memang kondusif untuk orang yang senang olahraga. Ia ingin membuktikan istilah mensana in corpore sano. Beberapa teman sekelas ternyata ada yang ingin ikut berolahraga bersamanya. Bersama-sama lebih asyik, kata mereka. Ia jadi lumayan dekat dengan mereka. Setelah berolahraga perasaan menjadi lebih segar dan itu bisa memantik percakapan yang renyah di antara mereka. Itu membuatnya mau tak mau harus tersenyum. Tersenyum dan tertawa.
Lihat, Kakak, kini aku bisa tersenyum tanpa
harus bertemu denganmu dulu.
Kendati
lesu, perasaan sendu lebih sering menyergapnya. Jika melihat jalan ini. Jika
melihat area-area di kampus yang ia pernah lihat si Kakak Imut pernah menapak
di atasnya. Ia menyadari orang itu telah tiada. Ia takkan pernah melihatnya
lagi. Senyum imut itu lagi. Ia hanya bisa membuka ingatan akan senyum itu. Lalu
menjadi stimulus buatnya sebelum ia harus menghadapi orang-orang.
Kadang-kadang
Tia berolahraga tidak bersama dengan teman-temannya itu. Beberapa malas bangun
pagi. Beberapa ada yang kuliah. Seleksi alam. Biarpun sendiri, ia berusaha
menikmatinya. Ia bertukar senyum dengan orang-orang yang sering ditemuinya saat
sedang berolahraga di sini. Mereka sudah saling kenal muka. Setahun lalu,
mungkin beginilah yang dirasakan si Kakak Imut saat sedang berolahraga,
lari-lari kecil, tanpa harus ditemani teman-temannya.
Tia
berjongkok untuk mengikat tali sepatunya yang lepas. Sambil sesekali melihat ke
depan kalau-kalau ia telah menghalangi orang. Dari kejauhan ia lihat anak itu
telah datang. Mahasiswa baru tahun ini. Adik angkatannya. Namanya Deon. Tia
telah mencari-cari informasi tentang anak itu dan yang ia dapatkan baru nama
saja. Kala berolahraga pagi di sini, Tia kerap melihatnya sedang berjalan ke
arah kampus. Dengan jalan yang agak menunduk dan muka yang muram. Ia tidak tahu
kenapa anak itu selalu pasang tampang begitu. Mungkin isi dunia hanya jadi
masalah buatnya. Tidak di rumah, tidak di kampus, tidak di mana-mana. Atau dia
sedang tidak dalam kondisi yang baik saja untuk menghadapi masalah-masalahnya
itu. Kakak Imut, beginikah dulu kamu juga
melihatku? Kini Tia rasa sudah tiba saat untuk menegur anak itu. Setelah anak
itu mendekat, “Hei, pagi-pagi kok udah cemberut? Senyum dong...”
in memoriam
AY.
yang pergi kemarin sore beserta
senyumnya.
22.53
100908
Akhir 0.08
Lagi 21.27
110908
HABIS KATA #9
Tidak ada rencana sebelumnya dan pikiran apapun yang berenang-renang dalam kepala selama beberapa waktu dalam pembuatan cerpen ini. Cerpen ini terjadi begitu saja. Sebagai luapan perasaan kehilangan atas meninggalnya seorang kakak angkatan saya sejurusan karena demam berdarah. Saya tidak begitu mengenalnya. Namun di awal-awal kehidupan saya di kampus dia suka memberi saya senyum. Orang yang ramah. Padahal frekuensi interaksi kami bisa dihitung dengan jari. Setelah lama waktu berlalu, kalau kami bertemu, kami pun jadi cuek-cuek saja. Hanya sekali-kali melempar senyum.
Sejak kehilangannya entah mengapa senyum imut yang dimilikinya terngiang-ngiang dalam kepala. Kehampaan itu terasa nyata. Mungkin apa yang saya rasakan tidak sebesar apa yang dirasakan orang-orang terdekatnya, namun tetap saja terasa. Kenyataan paling mengena adalah bahwa saya tidak akan pernah melihat senyum itu lagi. Senyum yang begitu saya sukai. Akan beda rasanya melihat orang itu tersenyum langsung pada kita, dengan melihat senym orang itu dalam foto. Lagipula saya tidak punya fotonya.
Pada malam kesekian dari hari-hari kehilangan itu (sekitar seminggu ada kiranya) saya duduk di depan notebook dan tahu-tahu jadilah cerpen ini. Pada mulanya saya menggunakan sudut pandang orang pertama namun kemudian saya ganti dengan sudut pandang orang ketiga. Kalau menggunakan sudut pandang orang pertama kesannya seperti menulis catatan harian saja, padahal bukan. Mungkin tokoh Tia memang hampir merepresentasikan apa yang saya rasakan, tapi tidak sama persis dengan apa yang saya alami. Saya ngeh akan senyum kakak angkatan itu bukan karena dia yang mula-mula mensenyumi saya sewaktu dia lagi olahraga pagi. Dalam kenyataannya saya baru ngeh sama dia waktu makrab—kalau tidak salah. Memang pada awalnya dia yang mensenyumi saya. Sejak itu kami jadi saling bertukar senyum. Lagipula kehidupan saya waktu itu tidaklah sesuram Tia dan sepertinya kakak angkatan itu senyum pada saya bukan karena saya suka cemberut.
Cerpen ini mengalami perbaikan beberapa kali hingga akhirnya saya bosan dan mencukupkan perbaikan itu sampai demikian saja. (12/31/2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar