Bukan hanya perkebunan kelapa sawit, tetapi juga pertambangan batu bara dan sebagainya menggantikan hutan alam demi memenuhi konsumsi manusia modern. Batu bara merupakan sumber utama energi listrik (baca di sini). Berkat listrik, kita dapat memainkan gadget seharian. Sudah menjadi topik yang klise betapa hidup manusia sekarang ini sangat bergantung pada teknologi--gadget. Agaknya listrik sudah termasuk kebutuhan primer dalam hidup kita, mendampingi pangan, sandang, dan papan.
Merayakan kemerdekaan dengan berkurban. (Bukan ikut promosi. Biar ada ilustrasi saja.) sumber |
Sebetulnya saya cuma ingin berbagi rasa terusik saya setelah membaca dua artikel ini di Mongabay:
Community vs. company: A tiny town in Ecuador battles a palm oil giant
Bornean villagers who fought off a mine prepare to do battle again
Selain itu, saya pernah membaca hadis yang mengatakan bahwa sesuap yang kita makan pun akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat. Lalu bagaimanakah pertanggungjawaban kita jika segenggam gadget yang kita pakai sehari-hari ternyata mengakibatkan terzaliminya suatu suku di pedalaman Papua?
Sesampai saya di rumah, setelah makan beberapa bala-bala dan cireng lalu merasa mual, saya melempar topik ini ke suatu grup WA serta memikirkan langkah-langkah yang dapat saya lakukan untuk mengurangi rasa bersalah saya.
- Berhenti makan gorengan sama sekali. Batasi makanan hanya berupa buah, sayuran, serta apa pun yang direbus dan dikukus, dan beli dari warung, pasar tradisional, atau pedagang kecil.
- Berhenti minum minuman sachet sekalian. Toh kamu malas mendaur ulang sampahnya, ya kan? Minum air putih saja. Kalau ingin minum yang berasa, alternatifnya: air + madu, air + perasan jeruk nipis atau lemon + madu, kunyit asam, serta aneka minuman herbal lain yang dibuat sendiri dan bahan-bahannya dibeli di warung, pasar tradisional, atau pedagang kecil.
- Batasi penggunaan gadget. Kalau malam, daripada menyalakan lampu kamar dan menyendiri sambil menyetel musik supaya ada "suara-suara", lebih baik menggunakan lampu ruang tengah bersama-sama anggota keluarga yang lain. Toh mereka juga bersuara.
- Cari tahu tentang sumber energi alternatif.
Ow, really?!
Gagasan-gagasan di atas sama sekali tidak menyenangkan, dan banyak alasan untuk tidak melakukannya. Kan enggak tiap hari makan gorengan, sekali-sekali enggak apa-apa lah, dan lagi bala-bala itu enak banget. Memeras jeruk nipis atau lemon tiap pagi sangat merepotkan dan makan waktu, begitu pula dengan memasak herba-herbaan. Belajar bahasa asing lewat Duolingo, Youtube, dan berbagai sarana lain di internet lebih menyenangkan daripada lewat buku cetak yang hampir-hampir tidak ada gambarnya. Mencuci piring, menyetrika, menyapu dan mengepel lantai terasa membosankan tanpa mendengarkan jaz. Berkumpul bersama di ruang keluarga sangat canggung dan tidak semua orang ingin menonton siaran Asian Games di televisi. Bahkan bergaul pun hampir-hampir tidak mungkin dilakukan tanpa gadget. Zaman sekarang, ketika kita ingin menemui seseorang kita mesti menghubungi dia lebih dulu lewat WA atau apalah, alih-alih menelepon atau mendatangi langsung ke rumah dan memanggil-manggil namanya dari balik pagar seperti dahulu kala. Begitu pula dengan bekerja. Bahkan peternak pun menggunakan aplikasi untuk menyebarkan pelet dalam dosis yang tepat. Pekerjaan apa yang tidak menggunakan teknologi dewasa ini? Yah, ada saja sih dan mungkin bisa dihitung dengan jari, tetapi apa mau bekerja seperti itu? Selain itu, belajar tentang sumber energi alternatif pasti memusingkan! Ada alasannya saya enggak memilih
Kebetulan tahun ini hari kemerdekaan berdekatan waktunya dengan Idul Adha, yang identik dengan kurban. Ternyata keduanya punya keterkaitan makna juga. Kita bisa merdeka berkat pengorbanan para pahlawan, masyarakat adat, orangutan, burung, dan aneka spesies lain. Pengorbanan berarti kita lepas, bebas, merdeka dari keterikatan dengan sesuatu yang kita dikasihi, disayangi demi sesuatu yang Tinggi,
Mengurbankan kemerdekaan (Bukan ikut promosi. Biar ada ilustrasi saja.) sumber |
Sementara itu, teman-teman dari grup WA mengingatkan saya untuk tidak berpikir terlalu jauh. Tanggapan mereka juga mengingatkan saya pada orang-orang yang kemudian depresi, paranoid, dan sebagainya akibat memikirkan betapa kekuatan asing telah menguasai Indonesia atau dahsyatnya siksa neraka. Tidak lupa, ada cerpen Ursula Le Guin, "The Ones who Walk Away from Omelas" (versi bahasa Indonesia coba-coba di sini) yang seakan-akan menyiratkan bahwa begitulah kehidupan manusia: demi kebahagiaan suatu kaum, ada pihak lain yang harus menderita. Pada akhirnya, semakin berumur kita akan menjadi semakin pemilih: mana yang harus dipedulikan dan mana yang sebaiknya diabaikan. Agaknya orang memang perlu cuek supaya tetap waras. Hidup sungguh bagai makan buah simalakama. Tapi tapi tapi apa enggak buah lain yang enak dimakan?
Marilah berbagi kemerdekaan, sepertinya. (Bukan ikut promosi. Biar ada ilustrasi saja.) sumber |
Keep istigfar, tobat dan belajar zuhud, sepertinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar