Berkebun yang baru saya coba tahun-tahun ini, pada usia yang dikatakan sudah dewasa, saya rasakan sebagai suatu pendidikan karakter. Terus terang, berkebun saya rasakan lebih sebagai suatu kewajiban ketimbang passion. Ibarat anak kecil yang mesti terus-menerus didorong untuk bangun pagi, makan teratur, bobo siang, sikat gigi sebelum tidur, dan sebagainya, berkebun memaksa saya untuk belajar membentuk kebiasaan-kebiasaan baru.
1. Bersyukur
Tuhan melimpahkan nikmat kepada manusia, dan manusia mesti mensyukurinya. Bagaimanakah caranya? Di antaranya dengan memanfaatkan nikmat tersebut untuk kepentingan hidupnya.
Hasil panen kompos pertama, belum terurai dengan baik. |
2. Disiplin dan bertanggung jawab
Rutin menyiram tanaman setiap hari adalah pencapaian tersendiri. Betapa tidak. Adakalanya kemalasan menyerang. Kalau tidak berhasil mengalahkannya, bisa-bisa tanaman pada mati kekeringan.
Tiap kali kemalasan melanda, saya mengingatkan diri bahwa tanaman itu sudah dikasih nyawa. Kamu sudah menumbuhkannya, dengan menanamnya dan menyiraminya pada waktu kamu lagi semangat-semangatnya berkebun. Sekarang kamu malas, dan ingin membiarkannya begitu saja? Rasa-rasanya seperti kamu memutuskan untuk punya anak sehingga hamil dan lalu melahirkan. Tapi sudah begitu bayi itu kamu diamkan saja, tidak disusui atau apa. Kan tega amat, tidak bertanggung jawab. Menyirami tanaman tiap hari merupakan tindak lanjut paling minimal. Paling, karena sebetulnya mesti diberi pupuk dan diawasi dari hama juga.
3. Menghargai
Hasil panen minggu ini. |
Tentunya ini bagian dari mensyukuri nikmat Tuhan, yang telah menjadikan tanaman itu tumbuh sampai layak panen. Bahkan, sesungguhnya nikmat tersebut bukan hanya berupa tanaman yang sengaja ditanam melainkan juga tumbuhan liar yang ternyata dapat dimakan. Contohnya, di sekitar rumah saya, tumbuh sirih cina dan mengkudu tanpa ada yang sengaja menanamnya.
4. Proporsional
Saya tidak begitu yakin akan mana istilah yang tepat untuk yang satu ini. Intinya sih menyangkut pengendalian hama. Saya pernah mendengar bahwa hama itu dikendalikan, bukan dibasmi. Hama pun berhak atas yang kita tanam, asal tidak kebanyakan. Ibarat kita bekerja atau berbisnis, lalu uang yang kita hasilkan dari situ mesti disisihkan untuk zakat dan pajak. Lebih dari itu boleh saja, dianggap sebagai sedekah.
Hasil panen ecoenzyme. Karena aromanya kurang sedap, sepertinya akan dijadikan pupuk dan pestisida saja. |
Nah, untuk menjaga supaya bagian kita tidak dijarah oleh yang kurang berhak, kita mesti rajin-rajin memantau dan tentunya mengambil tindakan dengan menyemprotkan pestisida. Pestisida yang digunakan tentu saja yang ramah lingkungan. Ibarat ada peminta-minta dan kita tidak hendak memberi dia uang, maka sebaiknya kita tidak menghardik tapi menolak dengan halus dan tidak menyakitkan(?)
.
Begitu dulu yang terpikirkan oleh saya. Berkebun lebih dari sekadar untuk ketahanan pangan, yang sepertinya sebatas pada fisik. Berkebun bukan sekadar memupuk tanah untuk menyuburkan tanaman, melainkan juga memupuk jiwa untuk menyehatkan pribadi. Walau katanya tidak ada kata terlambat untuk belajar, saya merasa sayang baru menyadari hal tersebut sekarang ini. Seandainya saja sedari kecil saya sudah dididik untuk menghayati sikap-sikap tersebut dengan cara berkebun ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar