Selasa, 25 Agustus 2020

Mau Jadi SJW? Tonton Dulu Film Ini!

Sepintas saya melihat cuplikan thumbnail film ini di layar HP. Biasanya saya abaikan saja rekomendasi dari YouTube itu. Tapi, kemudian sebuah pesan datang dari teman chat saya di AS. Dia berbagi sebuah link, yang dia peroleh dari teman chat-nya yang lain dari Indonesia. Teman chat-nya itu tinggal di Wonogiri dan bilang bahwa film itu menggambarkan kehidupan di tempatnya, khususnya budaya menjenguk orang yang sakit.

Teman chat saya membocorkan bahwa film ini dimulai dengan pergosipan, suatu topik yang pernah kami bicarakan dan dia ingat bahwa saya tidak menyukainya. Untuk menghargai teman chat saya itu, saya pun mengeklik link tersebut dan terbukalah film ini di YouTube.  Wow, tak kusangka rupanya berjodoh dengan yang tadinya cuma terlihat sambil lalu dan tertepikan. Malah, akhirnya saya membagikan link film ini ke beberapa teman lain.


Film ini menjadi istimewa buat saya karena beberapa hal berikut:

Latarnya di Jogja, sehingga nostalgia

Dialog yang hampir semuanya berbahasa Jawa, plat truk yang ternyata AB, pelang yang menunjukkan bahwa mereka baru keluar dari Bantul, dan detail lainnya, membangkitkan suasana yang pernah familier buat saya. Maklum saja, dulu saya kuliah di Jogja.

Sudah begitu, tampang tokoh-tokoh utamanya sendiri entah kenapa kok mirip dengan beberapa orang yang saya kenal di kampus. Akting mereka pun terasa natural, meyakinkan.

Genrenya yang komedi satire, kesukaan saya

Sepanjang cerita, ada saja hal yang bikin saya ketawa. Seiring dengan bergulirnya dialog, saya merasakan bahwa film ini bukan sekadar hiburan melainkan potret perilaku manusia. Kemasannya sih sederhana. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak begitu luar biasa, malah mungkin sangat akrab bagi masyarakat dari latar tertentu. Dialog yang lebih banyak bermain dengan tajamnya, membungkus konflik yang sesungguhnya pelik.

Rumusnya: Lucu, tapi menyentil. Sederhana, tapi pelik. 

Apanya yang menyentil sekaligus pelik?

Seperti yang telah dibocorkan teman chat saya, film ini dibuka dengan pergosipan. Sekelompok ibu-ibu berjilbab sedang dalam perjalanan di atas truk untuk menengok Bu Lurah yang dirawat di rumah sakit. Dalam situasi itu, si tokoh "jahat", sebut saja Bu Tejo karena memang demikian nama perannya, mengisi waktu dengan menggosipkan Dian--kembang di kampung mereka. Seorang ibu-ibu lain, Yu Ning, tampak gerah mendengarnya. Berkali-kali Yu Ning menimpali agar Bu Tejo tidak asal membicarakan orang, karena bisa saja itu fitnah.

Jilbab termasuk ucapan-ucapan religius yang menyelip di percakapan mereka menunjukkan bahwa mereka umat Islam. Seorang muslim yang cukup belajar agama tentu tahu bahwa gibah dan fitnah merupakan dosa. Maka sikap Yu Ning terhadap Bu Tejo bisa dianggap merupakan amar ma'ruf nahi munkar (: menyuruh kepada kebaikan, dan mengajak menjauhi keburukan).

Tapi kemudian terkupas bahwa tiap-tiap karakter itu mungkin punya motif tersembunyi. 

AWAS SPOILER!!!

Suami Bu Tejo rupanya hendak mengajukan diri sebagai lurah. Mungkin dia menjelek-jelekkan Dian--yang notabene punya hubungan dengan Bu Lurah--untuk menyingkirkan pesaing.

Yu Ning sendiri rupanya masih bersaudara jauh dengan Dian. Jadi, apakah dia murni ber-amar ma'ruf nahi munkar atau sekadar menyelamatkan muka keluarganya?

Truk yang mereka tumpangi pun akhirnya tiba di pelataran rumah sakit. Mereka disambut oleh Dian, yang dari tadi jadi bahan gosip itu. Selain itu, ada Fikri--anak Bu Lurah. 

Dian dan Fikri lalu menjelaskan bahwa Ibu Lurah belum bisa dijenguk karena masih dirawat di ruang ICU.

Ibu-ibu pun pada kecewa.

Yu Ning merasa bersalah karena dia lah yang mengusulkan untuk menjenguk Bu Lurah.

Untuk mengobati kekecewaan ibu-ibu, Bu Tejo mengajak agar mereka sekalian jalan-jalan ke Pasar Beringharjo.

Ibu-ibu pun pergi. Namun cerita belum berakhir. Film ditutup dengan adegan singkat yang menunjukkan bahwa ... Dian memang seperti yang digosipkan oleh Bu Tejo itu.

Akhir yang menghentak, menurut saya. Seketika, timbul di pikiran saya, jangan-jangan film ini beramanat agar:

JANGAN JADI SJW.

SJW atau Social Justice Warrior adalah istilah yang kerap saya temukan di internet belakangan ini. Istilah ini merujuk pada orang-orang yang doyan "membela kebenaran dan keadilan", eh, maksudnya, mendesakkan standar moral mereka kepada orang lain. Dalam film ini, tokoh Yu Ning bertindak sebagai SJW dengan berkali-kali menegur Bu Tejo yang demikian asyik bergosip. Belum cukup, setelah truk mereka sempat mogok, Yu Ning menyinggung Bu Tejo yang tidak ikut mendorong kendaraan bersama ibu-ibu lain. Bagi yang memahami kacamata Yu Ning, tentu mudah mengklaim Bu Tejo sebagai tokoh antagonis yang kerap didentikkan dengan sifat jahat. 

Namun cerita malah diakhiri dengan memberikan kemenangan kepada Bu Tejo, baik yang disadari maupun tidak. 

Yang disadari adalah ketika ternyata Yu Ning juga termasuk pemberi kabar yang "enggak jelas", seperti menjilat ludah sendiri. Maksudnya, tidak jelas apakah Bu Lurah yang sakit itu sudah bisa dijenguk atau belum. Semestinya Yu Ning mengonfirmasikan terlebih dahulu bahwa Bu Lurah memang sudah siap untuk dijenguk. Tapi, yah, HP-nya juga kehabisan baterai dalam perjalanan. Apes. Kemenangan itu ditegaskan Bu Tejo dengan memanfaatkan situasi, mengambil hati ibu-ibu lewat usul jalan-jalan ke Pasar Beringharjo.

Yang tidak disadari, yaitu bahwa Dian memang berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih tua. Seandainya Bu Tejo tahu, tentu dia jauh lebih senang lagi--merasakan kemenangan ganda.

Kaitan dengan bacaan

23 Agustus tampaknya hari adab amar ma'ruf nahi munkar sedunia. Paginya, saya membaca tafsir Quran Surat Al-Baqarah ayat 44. Siangnya, saya membaca The Daily Stoic: 366 Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living (Ryan Holiday dan Stephen Hanselman, Portfolio, 2016) entri 23 Agustus. Malamnya, saya menonton film ini. Semuanya ternyata berkaitan.

Al-Baqarah ayat 44 berbunyi sebagai berikut:
"Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?"
Saya membaca tafsirnya di aplikasi yang memuat versi Kemenag RI dan Ibnu Katsir. Tafsir tersebut menjelaskan latar belakang turunnya ayat ini, yaitu mengecam perilaku beberapa orang Yahudi yang menasihati keluarga dan kerabatnya agar tetap memeluk agama Islam, namun mereka sendiri tidak mengamalkannya. Dengan begitu mereka telah merugikan diri sendiri. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa mereka seolah-olah tidak berakal. Sebab, masakkah orang berakal tidak mengamalkan ilmu pengetahuannya? Ayat ini agar menjadi pelajaran bagi setiap bangsa, bukan hanya Bani Israil yang pembaca Taurat.

Lebih jauh, tafsir Ibnu Katsir menghubungkan ayat ini dengan perintah amar ma'ruf nahi munkar. Menyuruh kepada kebaikan dan mengajak menjauhi keburukan merupakan kewajiban bagi setiap orang yang berilmu, tapi lebih wajib lagi bagi dia untuk mengamalkannya.

Selanjutnya, seperti biasa, pembacaan tafsir jadi membingungkan karena ditampilkan berbagai pendapat ulama, di antaranya:
Malik ibnu Rabi'ah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair berkata, "Seandainya seseorang tidak melakukan amar ma'ruf, tidak nahi munkar karena diharuskan baginya bersih dari hal tersebut, niscaya tidak seorang pun yang melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar." Malik berkata, "Dan memang benar, siapakah orangnya yang bersih dari kesalahan?"
Masuk akal memang.

Tapi sepertinya itu menunjukkan kealiman yang belum paripurna. Namanya orang berilmu, mestinya dia mengetahui akibat dari meninggalkan ketaatan dan mengerjakan kemaksiatan. Orang cerdas mana yang mau merugikan diri sendiri? Tafsir ini secara keseluruhan cenderung pada pendapat bahwa amar ma'ruf nahi munkar wajib dilakukan dengan juga mengamalkannya secara pribadi.

Selanjutnya ditambahkan hadis-hadis yang menggambarkan kejamnya siksaan di akhirat terhadap para tukang ceramah di dunia yang tidak mengamalkan seruannya sendiri, padahal mereka membaca Quran!

Lewat Quran, Tuhan memerintahkan manusia untuk membaca dan berpikir--menyempurnakan akal. Dengan begitu, manusia dapat memperoleh ilmu yang dapat menghindarkan dirinya dari kerugian. The Daily Stoic seperti motivasi harian untuk menjalankan ibadah itu, khususnya untuk entri 23 Agustus yang seperti perpanjangan dari Al-Baqarah ayat 44.

Entri ini berjudul "IT'S IN YOUR SELF-INTEREST", yang kalau boleh saya terjemahkan secara bebas, berarti "DEMI KEPENTINGANMU SENDIRI". Entri ini mengilhamkan bahwa dalam melakukan "amar ma'ruf nahi munkar" (tentu saja mereka tidak menggunakan istilah itu), daripada menceramahi atau mengkhotbahi atau menguliahi atau menggurui (meski ada juga sih orang-orang yang senang mendengarkannya), mengatakan bahwa "itu dosa" atau "buruk", berkoar-koar soal moral ... lebih baik jelaskan akibat, dampak, konsekuensi dari perbuatan tersebut, bagaimana itu akan merugikan kepentingan mereka sendiri pada akhirnya.
And what happens when you apply this way of thinking to your own behavior?
Nah, pada akhirnya, kembali pada diri sendiri terlebih dahulu. Keburukan-keburukan apakah yang masih kita lakukan? Apakah akibat, dampak, konsekuensinya di kemudian hari? Bacalah, pikirkanlah, jadilah orang berilmu yang dapat menghindarkan diri dari akibat, dampak, konsekuensi yang merugikan itu, dan sampaikanlah dengan cara yang "aman". Rumusnya:
  1. Amalkan sendiri terlebih dahulu selama beberapa waktu.
  2. Amati, resapi, dan renungkan yang dialami.
  3. Bagikan pengalaman tersebut kepada orang lain, dengan nada bercerita dan reflektif alih-alih menasihati. Kita tidak menyeru dia agar harus begini atau jangan begitu, tidak. Kita hanya "curhat", atau menceritakan pengalaman seseorang yang sebut saja namanya Mawar supaya tidak dikira membongkar aib sendiri. Biar orang itu sendiri yang menarik pelajaran tersirat. Biarkan dia sendiri yang memberdayakan akalnya. Itu tanggung jawabnya sebagai manusia.
Kembali kepada Yu Ning

Film ini tidak menunjukkan apakah Yu Ning pernah menghadiri pengajian yang membahas tafsir Al-Baqarah ayat 44, juga tidak ada adegan dirinya membaca The Daily Stoic entri 23 Agustus. Malah, kita tidak bisa yakin apakah Yu Ning memang amar ma'ruf nahi munkar dengan menghardik orang bergibah, karena terungkap bahwa dia ternyata masih saudara jauh Dian.

Bagaimanapun juga, seandainya Yu Ning memang punya niat tulus, murni, ikhlas, sekadar hendak amar ma'ruf nahi munkar, film ini menunjukkan contoh pengamalannya yang tidak efektif.

Ketidakefektifan ini bukan murni kesalahan Yu Ning. Bukan karena dia tidak membaca The Daily Stoic, melainkan ada faktor-faktor lainnya seperti latar sosial (oke, bagaimana sekelompok ibu-ibu yang ditunjukkan "ndeso" itu bisa menalar akibat, dampak, konsekuensi yang merugikan dari bergibah?) dan faktor X--keXilafan (ih, maksa).

Kata peribahasa: sepandai-pandainya tupai melompat, akan jatuh juga.

Bagaimanapun kita berusaha untuk menjadi SJW yang efektif, akan ada kemungkinan suatu saat baterai HP kita mati di perjalanan sehingga tidak bisa dihubungi untuk mengklarifikasi kabar.

Di samping Stoikisme, sepertinya Absurdisme menarik juga untuk ditilik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain