Selasa, 04 Agustus 2020

PERKELAHIAN: Bentrok Pencuri dan Penadah

Sekitar 200 warga desa Beringin berkelahi melawan karyawan PT Arara Abadi. Pasalnya, perusahaan itu menolak membeli kayu curian penduduk.

Nasib perusahaan penadah kayu curian boleh dibilang bak tersudut menghadapi dua lawan berkelahi. Bila menampung kayu curian, aparat keamanan pasti menindaknya. Tapi kalau tak mau menadahnya, penduduklah yang memusuhi mereka.

Paling tidak, itulah yang dihadapi PT Arara Abadi di Riau yang dikenal suka membeli kayu chip (kayu potongan pendek) curian dari penduduk untuk kemudian dipasok ke pabrik kertas dan pulp PT Indah Kiat. Warga Beringin, Kabupaten Bengkalis, Riau, menaruh dendam karena kayu curiannya tak ditampung PT Arara.

Padahal, sebelumnya, sejak hadir di dekat desa ini delapan tahun lalu, PT Arara selalu membeli chip dari penduduk desa ini. Rata-rata, Rp 25 juta per bulan duit perusahaan itu mengalir ke sana. Tapi, entah kenapa, sejak Desember lalu, puluhan ton kayu curian penduduk desa Beringin ditolak PT Arara.

Maka penduduk pun marah. Jalan utama yang biasa dilewati armada PT Arara diblokir dengan truk. Akibatnya, jumlah chip yang masuk ke pabrik (biasanya 100 truk per hari) berkurang.

Maka, malam itu juga (19 Desember), karyawan PT Arara melakukan pembalasan. Lebih dari 100 karyawan, dengan menggunakan sebuah traktor, menyerang desa Beringin. Pos ronda yang pertama mereka serang.

Para pemuda yang sedang berkumpul di pos itu langsung ngacir begitu melihat adanya serangan mendadak. Nahas, Firdaus, 27 tahun, tak sempat lari. Ia dihajar para karyawan itu dengan batu dan parang. "Waktu itu, saya kira Firdaus mati," kata seorang rekannya. Karena penduduk melarikan diri, rumah-rumah mereka pun menjadi sasaran lemparan batu.

Menurut seorang warga yang menyaksikan, "komandan" penyerangan itu adalah Tigor, manajer PT Arara yang selalu mengawasi penimbangan kayu, dan Rustam--kepala desa mereka sendiri. "Buktinya, ketika penyerangan itu terjadi, saya melihat Rustam turun dari sebuah mobil milik PT Arara dan tidak berbuat apa-apa untuk meredakan amarah penyerbu," katanya.

Sumber ini menduga, ada kerjasama antara Rustam dan Tigor. Pasalnya, begitu diangkat menjadi kepala desa awal 1994, ia langsung terjun di bisnis chip. Namun Rustam hanya mau membeli chip penduduk dengan harga Rp 5.000 per ton. Sedangkan penadah lain, misalnya Abu dari desa lain, berani membayar Rp 7.000.

Meski tak membeli kayu potongan dari desa Beringin, ternyata PT Arara menerima pula chip dari desa lain untuk memenuhi suplai bahan baku ke PT Indah Kiat. "Hingga kini PT Arara tetap melakukan pembelian dari penduduk desa lain," katanya.

Karena berbagai pembicu itu, meletuslah perkelahian antara penduduk Beringin dan karyawan PT Arara itu. Tapi Polsek Mnadau, yang membawahi desa ini, tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, ketika polisi diturunkan ke tempat kejadian, konon, masalahnya sudah diselesaikan secara kekeluargaan. "Itu hanya kesalah-fahaman," kata Lettu Afriyanto BR, Kepala Polsek Mandau. "Dan soal PT Arara tak mau membeli kayu dari penduduk, itu bukan wewenang saya."

Akan halnya manajemen PT Arara. Ketika dihubungi FORUM mereka tak bersedia memberi komentar. Baik Darwis Husein di PT Arara di Riau, maupun Haji Purnama yang menjadi Humas kantor pusatnya di Jakarta.

Kecuali tak mau menadah kayu curian warga Beringin, sebenarnya penduduk juga sudah lama menaruh dendam ke perusahaan milik konglomerat Eka Tjipta Widjaya. Ada 55 hektare tanah mereka yang diambil perusahaan ini untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Sudah begitu, ganti rugi yang ditetapkan bupati Rp 100 per meter cuma dibayar seperempatnya.

Ditambah lagi, ketika menggarap lahan HTI, ratusan pohon sialang (tempat bersarang lebah madu yang menjadi penghasilan tambahan penduduk Beringin) dibabat tanpa ganti rugi. Jadi, "Dari dulu kami memang sudah ditindas PT Arara," kata Syarif, seorang tokoh Desa Beringin.

BK dan Wahyudi El Panggabean (Riau)



Sumber: Forum Keadilan: Nomor 22, Tahun III, 16 Februari 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain