Guru privat Risky yang pertama adalah
mahasiswa Teknik Industri ITB tingkat tiga. Ia menguasai setiap bidang yang
diujikan di UMPTN, malah berpengalaman memberikan les privat khusus persiapan
UMPTN sejak ia sendiri lulus UMPTN.
Ia memperkenalkan diri sebagai Amru.
Sebagai guru privat spesialisasi UMPTN yang berpengalaman, ia telah
mengembangkan trik-trik tersendiri semacam yang pernah Risky dapatkan dari
bimbel lalu lupakan. Caranya mengajar mudah dimengerti, dan wajahnya yang
dipenuhi jerawat besar-besar itu bagaikan fitur yang dengan sendirinya
mengarahkan Risky agar berkonsentrasi sepenuhnya pada suaranya atau
coret-coretannya pada kertas yang menerangkan pemecahan soal-soal sulit.
Pertemuan demi pertemuan, minggu demi minggu, Risky mendapat kemajuan berarti
dalam memahami materi demi materi. Ketika Mama menanyakan, Risky bilang ia
merasa enak dengan Amru.
Tapi, suatu sore yang datang bukan lagi
Amru. Saat itu, seperti biasa, Risky membukakan pintu begitu bel berbunyi.
Kagetnya ia mendapati yang datang malah seorang perempuan muda berjilbab
panjang dan berkacamata. Tidak lama Risky kebingungan, sebab Mama segera
menyusul menyambut tamu itu dan memperkenalkan keduanya kepada satu sama lain.
Gadis itu rupanya mahasiswi Teknik Elektro ITB yang akan menjadi guru privat
baru Risky. Memang jurusannya sesuai dengan jurusan tujuan Risky. Ia bisa
tanya-tanya. Tapi, selama les berlangsung, Risky hampir tidak sanggup bersuara.
Untunglah guru tersebut anteng saja, seakan-akan tidak terpengaruh oleh
kekikukan yang dialami Risky.
Setelah gadis itu pulang, Risky menyosor
Mama.
"Mana si Amru?"
"Udah berhenti," sahut Mama
acuh tak acuh.
"Kenapa?"
"Seenaknya aja naikin bayaran. Dua
kali lipat!
"Terus kenapa? Kali aja dia butuh
buat ngobatin jerawatnya!"
"Kemahalan! Udah, guru yang mana
pun sama aja asal bayarannya terjangkau. Yang penting kan ada tempat buat
nanya-nanya!"
Risky mencoba satu pertemuan lagi. Tapi
kerikuhannya menjadi-jadi. Ia menjawab terbata-bata tiap kali ditanya, sontak
menarik diri jauh-jauh saat tangan mereka tak sengaja bersentuhan, menyenggol
sampai tumpah segelas teh yang disediakan bagi guru itu. Padahal tidak ada yang
istimewa pada gadis tersebut. Wajahnya biasa. Pakaiannya sederhana. Risky putus
asa memikirkan bahwa pantas saja ia tidak pernah berhasil punya pacar; baru
duduk bersama sedekat ini saja--dengan cewek yang bahkan tidak sedikit pun
menimbulkan perasaan romantis, yang kebaikan sikapnya sebatas formalitas--ia
sudah mempermalukan diri sendiri di luar kendali.
Seusai pertemuan itu, Risky bilang pada
Mama, "Gurunya jangan perempuan. Enggak nyaman."
Walaupun kurang terima, Mama menurut. Ia
menelepon mahasiswi itu lalu meniti lagi iklan baris di koran.
Tibalah waktu yang dijanjikan dengan si
calon guru baru. Bel berbunyi, Risky membukakan pintu, dan mendongak sedikit
pada pria rupawan di hadapannya. Seketika saja Risky disergap gelagat buruk.
"Cari siapa, ya?" tegur Risky, walau sambil menyadari bahwa bisa saja
ini guru privatnya yang baru. Namun Mama keburu menyusul dan menyambut orang
itu dengan keramahan yang sekonyong-konyong naik di atas batas kewajaran.
Namanya Riko, mahasiswa Teknik Geodesi
ITB. Risky berusaha tidak melihat wajah orang itu selama pertemuan berlangsung.
Tapi rupanya wajah semacam itu amat mengundang untuk ditatap dan ditonjok.
Tentu saja Risky menahan bogemnya supaya tidak naik. Beri orang ini kesempatan,
ia tahu. Ketidaksenangannya tidak beralasan.
"Gimana gurunya?" tanya Mama,
setelah pertemuan berakhir dan orang itu pergi. Sesaat Risky mengamat-amati
wajah Mama, yang tampak berseri-seri ataukah cuma perasaannya saja.
"Okelah," sahut Risky acuh tak
acuh.
"Enggak usah ganti-ganti lagi,
ya!"
Risky menatap Mama curiga. Mama balas
menatapnya dengan, Kenapa kamu lihat-lihat Mama kayak gitu?! Risky
mengalihkan muka.
Perasaan ini persis dengan yang
melandanya sekitar sepuluh tahun lalu atau lebih, beberapa lama sebelum mereka
pindah ke Jepang, saat tiap malam penantiannya berujung dengan mengintip ke
balik gorden kamar, mendapati sesosok lelaki tegap membukakan pintu mobil untuk
Mama. Disorot lampu teras, tampak wajah itu menyerupai aktor film tapi pastinya
bukan. Risky cepat-cepat berlari ke ruang depan dan membukakan pintu. Kalau
tidak begitu, orang itu akan cium-cium Mama sebelum pergi dengan mobilnya.
"Ma, itu siapa?" tanya Risky
akhirnya.
"Ah, cuma teman,"
kata Mama, lantas segera mengalihkan. "Kenapa kamu belum tidur, sayang?
Kan Mama udah bilang, tidur duluan aja. Enggak usah tunggu Mama."
Suatu malam, Risky tidak lagi menanti
sendirian. Tumben-tumbenan, hari itu Papa pulang lebih cepat daripada Mama.
Risky pun berusaha untuk segera tidur, tapi tidak bisa.
Ketika sudah hampir waktunya,
terdengarlah suara mobil yang sudah diakrabinya itu. Risky menyibak sedikit
gorden jendela kamarnya: pemandangan yang sama dengan malam-malam sebelumnya,
hanya saja kali ini Papa turut di dalamnya. Selagi terjadi pertengkaran,
jendela rumah-rumah tetangga yang menjadi latarnya satu per satu menyala. Ada
yang keluar, disusul yang lain, dan perkelahian pun terlerai. Namun sejak itu
anak-anak tetangga meneror Risky dengan, "Orang tua kamu mau cerai."
Memang konyol membayangkan Mama sekarang
ini dengan mahasiswa itu. Risky menepisnya jauh-jauh. Tapi, seiring dengan
majunya pertemuan, bertambah pula hal-hal yang sulit ditoleransi Risky.
Ketampanannya, kesabarannya, kepintarannya, keramahannya, kemurahan bayaran
yang disepakatinya dengan Mama; apa ubahnya dia dengan si Sial-adin?! Belum
lagi, tiap kali pertemuan selesai, Mama selalu menyempatkan diri untuk
mengantar orang itu sampai ke pintu depan; padahal tidak begitu dengan
guru-guru sebelumnya. Pada menit-menit menjelang berakhirnya pertemuan, Mama
pasti sudah bersiaga di balik dinding ruang tamu. Risky bisa mengendus wangi
parfumnya yang lebih sengit daripada biasa.
Risky tidak tahan lagi. Hari itu,
diam-diam ia pergi beberapa jam sebelum jadwal les, dan baru pulang beberapa
jam setelahnya--ketika sudah malam. Tentu saja Mama meledak. Risky beralasan
ban motornya pecah dan lalu jalanan macet, yang sulit diterima Mama. Luapan
kemarahan Mama ditanggapi janji hampa untuk tidak mengulangi, sebab pada jadwal
les berikutnya, ia mengulangi. Kali ini ia tidak repot-repot mengarang alasan.
"Kamu jangan mempermainkan orang
tua, ya!" bentak Mama.
"Aku enggak mau sama si Riko
lagi!" tegas Risky.
"Sudah dicarikan masih pilih-pilih!
Sama perempuan enggak mau, yang laki-laki enggak mau!"
"Aku udah enak sama si Amru. Mama
main berhenti aja!"
"Mahal si Amru itu!"
"Si Amru juga modelnya enggak kayak
Roy Marten, enggak bisa diajak pacaran," sindir Risky, yang membuat Mama
terperangah.
"Apa?! Apa kamu bilang!?"
serang Mama. Wajahnya memerah. "Kamu ini kurang ajarnya sudah keterlaluan!
Tidak tahu menghormati orang tua!"
Risky bergeming saja, memalingkan pandangan sementara kerah bajunya direnggut Mama. Papa yang biasanya acuh tak acuh pun terpaksa menghampiri dan berusaha melepaskan Mama dari Risky.
"Kamu cari guru sendiri saja," kata Papa di sela-sela sumpah serapah Mama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar