Risky membuka koran, kembali pada
rencana mencari pekerjaan agar bisa membayar sendiri guru privat. Namun pada
suatu malam Papa pulang membawa guru privat baru.
Sebelumnya, Papa menelepon Mama
memberitahukan bahwa ia akan pulang membawa tamu. Mama yang menduga tamu itu
rekan kerja Papa pun mengakhiri perang dingin dengan Risky, meminta untuk diantar.
"Ke mana?" tanya Risky malas.
Mama kan bisa bermotor sendiri.
"Anter aja!"
Mereka bertiga pun menunggangi motor:
Adek duduk di depan, Risky di tengah memegang kemudi, sedang Mama di belakang.
Mama mengarahkan Risky berhenti di sebuah restoran. Risky malas ikut Mama
masuk, dan Adek memilih untuk menemaninya di tempat parkir. Mama keluar dari
restoran dengan membawa beberapa dus masakan jadi, untuk disuguhkan kepada tamu
Papa dan diakunya sebagai buatan sendiri.
"Kalau bawa sendiri, repot,"
terang Mama sembari memangku dus-dus itu di motor dengan posisi mendatar agar
isinya tidak berantakan.
Di luar dugaan, tamu Papa seorang lelaki
yang dari aroma dan penampilannya saja sudah menunjukkan kemahasiswaannya, atau
tepatnya, mahasiswa yang mungkin terlalu sibuk dengan kegiatan kemahasiswaannya
itu sehingga lupa keramas, lupa mandi, dan lupa mencuci jaket himpunan yang
seakan-akan merupakan kesatuan dengan jiwa dan raganya.
"Edo ini lagi magang di kantor
Papa," jelas Papa.
"Oh, kuliahnya sudah tingkat
berapa?" tanya Mama di sela-sela kernyitan.
"Semester ini jalan yang
ke-13," sahut Edo bangga.
"Hmmm." Senyum tak pudar dari
bibir Mama, kendati keningnya berkerut seperti yang sedang menghitung, Jadi
tingkat berapa?
Sedang Risky memendam tanya, Kuliah
di ITB rata-rata berapa tahun sih?
Acara makan diisi pertanyaan-pertanyaan
ringan yang dilontarkan bergantian oleh Papa dan Mama, yang dijawab secara
panjang lebar oleh Edo bak artikel sains dan teknologi di majalah berita, yang
disimak oleh Risky seraya membatin, Ini orang ngomong apa sih?
Sampailah mereka pada pokok pembicaraan.
"Risky ini mau UMPTN yang ketiga
kali," kata Papa kepada Edo. "Jurusannya mau pilih Elektro dan
Mesin."
"Oh, bagus itu!"
"Tolong kamu bimbing dia sampai
lolos, ya, Do. Ini mungkin kesempatan yang terakhir."
... sampai lolos ...
... kesempatan terakhir ....
"Baik, Pak!"
"Edo ini kan pagi sampai sorenya
magang, sambil mengerjakan tugas akhir. Jadi biasanya baru malam. Gimana, Ki,
kalau sewaktu-waktu Edo sekalian nginep di kamar kamu?"
"Intensif, ya," komentar Mama.
Risky terkesiap, dan mengiyakan saja
perkataan Papa.
Tampaknya Papa dan Edo sudah cukup
akrab. Les tidak bisa segera dimulai malam itu karena Edo ada keperluan.
Setelah orang itu pulang, Papa bilang, "Edo itu udah dua tahun ngerjain tugas
akhir, belum selesai."
"Mestinya berapa lama?" tanya
Risky.
"Kalau cepat sih, beberapa bulan
juga selesai," timpal Mama sambil beres-beres meja makan.
"Di tengah jalan, dosen
pembimbingnya ada tugas ke luar negeri. Terus dia kekurangan dana juga,"
lanjut Papa. "Yah, hitung-hitung bantu. Ayahnya rekan sekantor Papa, tapi
baru almarhum. Sekarang dia tulang punggung keluarga."
"Innalillahi ..." sahut Mama
selazimnya saat mendengar ada orang yang telah berpulang ke alam baka.
Keesokan malamnya, "les privat
intensif" pun dimulai. Begitu datang, setelah memarkir sepeda motor Honda
butut miliknya di samping mobil Papa, Edo dipersilakan langsung naik ke kamar
Risky.
Begitu Edo memasuki kamar Risky,
komputer di pojok kamar dilihatnya bagai cewek berbaju renang dalam film Warkop
saja; disapanya dengan suitan. Memang itu komputer tipe keluaran terbaru. Risky
sendiri masih jarang menggunakan barang tersebut. Tiap kali sadar sudah agak
lama mengutak-atik isinya atau memainkan gimnya, ia segera teringat pada kesempatan
terakhir UMPTN berikut. Adek yang cukup sering mencoba-coba komputer itu,
terutama segala permainannya, dan tak peduli bila selalu kalah; atau kadang ia
cuma bengong sambil memandangi pergerakan Mandelbrot di layar, dan Risky pun
ikut-ikutan melongo di belakangnya bila sudah puyeng belajar.
Edo langsung saja meluncur ke arah
komputer, menarik kursinya dan duduk. Ransel belel ia ambrukkan dekat kaki,
membunyikan beban berat di dalamnya. Meja komputer itu posisinya membelakangi
meja belajar, jaraknya cukup leluasa untuk Edo memutar badannya ke arah Risky
yang sedang duduk di kursi belajar. Edo mengeluarkan setumpuk diktat yang tak
kalah kumal daripada ranselnya, mengempaskannya di hadapan Risky. "Nih,
bahan TPB gue. Kalau lu bisa nguasain semuanya, lewat tuh UMPTN!"
Membaca tatapan Risky, Edo melanjutkan,
"Nanti lu kalau lolos ITB, ada namanya Tahap Persiapan Bersama. Kuliahnya
kayak ngulang pelajaran SMA, tapi rada-rada advance dikit lah.
Dah, lu pelajarin aja itu dulu! Gue pinjem komputer lu, yah!"
Edo membalikkan badan, menyalakan
komputer Risky. Sembari menunggu komputernya siap, ia mengamat-amati benda itu
seraya berkomentar sendiri. Lalu ia memasukkan disket dan keluarlah tampilan
yang bikin Risky mengernyit sekaligus mengundang rasa ingin tahunya. Namun Edo
memperingati, "Belajar, belajar!" Risky pun mengalihkan perhatian
kepada tumpukan diktat itu, mengambilnya satu, membukanya lembar demi lembar,
membaca satu halaman, mengerenyot, mencari halaman lain yang isinya bisa
dimengerti, menyibakkan lembarannya makin cepat sampai yang terakhir,
menepikannya, mengambil satu lagi, dan terus begitu, sampai setelah beberapa
diktat dan ternyata ada juga bundel-bundel fotokopian catatan, ia memerhatikan
bahwa rata-rata di halaman depannya ada nama cewek yang berbeda-beda.
Tapi itu tidak penting. Yang penting
adalah pelajaran SMA dan soal-soal yang selama ini ditekuninya jadi tampak
tidak sesulit isi diktat dan bundel itu.
Tapi, ini juga tidak membuatnya jadi
mudah.
Apanya yang ngulang pelajaran SMA?!?!
Risky mengusap-usap dahi, melirik Edo
yang duduk membelakangi dia, dan mengamati yang sedang dikerjakan orang itu.
Ah, tampaknya itu masih jauh lebih rumit lagi.
"Kak," tegur Risky.
"Entar yah, gue selesein ini dulu.
Besok dosen gue balik."
Risky menurut, mengulang baca-kilat
bundelan diktat tersebut, mencari bagian yang dirasanya mudah, dan mencoba
memahaminya sendiri. Jarum jam beker di hadapannya terus berdetak. Risky
tertidur menelungkup di atas bentangan salah satu diktat, menggeragap, melihat
punggung Edo yang masih saja berkutat di depan komputer, menatap jam--sudah
lewat tengah malam. Risky beranjak ke kasur dan melanjutkan tidur sampai Edo
membangunkannya lama kemudian.
"Gue pamit dulu, ya. Makasih
komputernya. Entar malam gue balik. Gue tes pemahaman TPB lu!"
"Heh?" Risky mengantar
kepergian Edo dengan pandangannya saja lalu rebah lagi.
Setelah memuaskan tidur, Risky kembali
membolak-balik kumpulan bahan TPB Edo. Sudah berkali-kali, sampai ia hafal
bagian mana saja yang dapat sedikit-sedikit ia pahami, dan selebihnya--sebagian
besarnya--membutuhkan penjelasan.
Edo menepati perkataannya. Ia datang
setelah isya. Mereka duduk di karpet kamar, dan Risky cuma melongo saat Edo
menanyakan satu soal Kalkulus.
"Lu belajar enggak sih?!" Edo
tampak kecewa.
"Iya, gue baca."
"Gue tanya konsep sederhana aja
.... Saingan lu tuh anak-anak pinter se-Indonesia!"
"Iya, gue tahu," Risky
tersinggung. "Makanya tugas lu ngajarin gue, kan?"
"Iya, gue emang lagi ngajari lu!
Yang tadi itu pre test, nilai lu E!"
"Tapi kan itu pelajaran kuliah.
Emang keluar di UMPTN?" Tidak pernah Risky melihat yang semacam itu di
buku pelajaran ataupun kumpulan soalnya. Ia berusaha tidak terdengar memelas.
"Lu bener mau kuliah di ITB, enggak
sih? Lu harus membiasakan diri sama standar tinggi dan berpikir jauh ke
depan--visioner! Seperti yang gue bilang, kalau lu bisa nguasain materi TPB,
UMPTN lewat! Paham enggak sih, lu?!" Edo mengacung-acungkan diktat
Kalkulus miliknya, atau mungkin milik cewek bekas teman sekelas yang ia colong.
"Gini, lu bayangin aja, ya, ada berapa banyak angkatan yang lulus tahun
ini milih ITB di UMPTN? Belum lagi angkatan di atasnya yang mau ngulang. Belum
angkatan di atasnya lagi."
Ya, itu gue, batin Risky.
"Bayangin semuanya belajar dari
buku-buku SMA dan kumpulan soal yang sama kayak lu!"
Risky bahkan belum menguasai semua yang
ada di situ.
"Naikin standar lu! Jangan jadi
rata-rata! Di atas rata-rata aja enggak cukup. Yang bisa masuk ke ITB itu JAUH
di atas rata-rata! Dan bahkan setelah berhasil lolos ke ITB ...."
Edo terdiam sejenak, malah
mengamat-amati wajah Risky seperti yang sedang menilai apakah tampang seperti
itu layak lolos ke ITB.
"Setelah berhasil lolos ke
ITB?" Risky mendesak, ingin mengakhiri tatapan menyidik Edo yang
membuatnya tak nyaman. "Terus gimana?"
"Itu bukan jaminan tahun berikutnya
lu masih kuliah di sana."
Risky tercengang. Kemungkinan itu tidak
pernah terlintas di benaknya sampai saat ini. Selalu dikiranya, setelah
berhasil menjadi mahasiswa ITB ia akan hidup bahagia selama-lamanya.
"Enggak sedikit teman gua yang
akhirnya berguguran."
"Berguguran?" Apa sih
kayak di film perang aja.
"DO."
"DO?"
"Drop out! Lu ngerti
bahasa Inggris, enggak sih?!"
"Iya, gue ngerti!"
"Nah, percuma kan lu susah payah
masuk ITB, tahun berikutnya DO!"
"GUE ENGGAK AKAN DO!" Tatapan
Risky nyalang.
"BAGUS ITU!" Edo sama sekali
tak gentar.
Dimulailah masa persiapan bersama Edo.
Tiap hari dimulai dengan pre test dan diakhiri dengan kuis.
Selama itu, Risky mesti menahankan kata-kata yang Edo lontarkan seenak udelnya
saja, yang pastinya berbau busuk.
"Goblok! Gitu aja enggak
ngerti!"
"Bukan gitu caranya, tolol!"
"Yakin lu mau kuliah di ITB!"
"Masuk swasta ajalah!"
Malah, sering kali Edo tak perlu
berkata-kata. Raut mukanya saja sudah mengipas-ngipasi bara api yang
bertumpuk-tumpuk dari dada ke kepala Risky.
Pada awalnya, Risky tentu saja tidak
menerima perlakuan Edo begitu saja. "Jelasin aja sampai gue ngerti. Enggak
usah pake ngata-ngatain gue segala, anjing! Belagu amat lu, anak ITB
doang!"
"Anak ITB doang,"
ulang Edo, dan dengan berani-beraninya telunjuknya naik mendorong-dorong
pelipis Risky, seakan-akan hendak menguji adakah segumpal otak di baliknya.
"Ini kata orang yang terancam gagal buat ketiga kalinya di UMPTN." Ia
tertawa. "Selama lu belum berhasil nandingin gue masuk ITB, gue berhak belagu!"
Ia pun tidak segan-segan menyambar
dengan gulungan diktat saat Risky jatuh terlelap. "Alah, lemah. Baru
segini udah pingsan. Udah pernah enggak tidur berhari-hari, enggak lu?"
Tapi, ia sendiri kapan pun merasa sudah cukup langsung saja loncat ke tempat
tidur Risky, rebah dan mendengkur. Lagaknya seperti yang ia tuan rumah saja.
Semakin hina dina Risky merasa tatkala dirinya yang mesti tidur beralaskan
karpet.
Edo datang semaunya. Tiga malam
berturut-turut, lalu dua malam berikutnya tidak datang, kemudian beberapa malam
ia muncul lagi tiap selang sehari, dan seminggu setelahnya menghilang, tapi
satu setengah minggu berikutnya, ia tidak meninggalkan kamar Risky seakan-akan
mau ikut jadi penghuni tetap di situ.
Risky mesti memastikan stok rokok dan
kopi di kamarnya selalu tersedia, lengkap dengan termosnya. Walaupun Risky
sudah menyediakan asbak-asbakan kertas yang dibuatnya sendiri secara cermat
dengan sudut-sudut 90˚ yang presisi tanpa ada satu pun yang mencong, Edo lebih
suka membuang abu rokoknya di salah satu mug Looney Tunes hadiah Indocafe
kesayangan Risky yang padahal masih berisi air kopi. Kemudian Edo mulai
menyukai mug itu juga, dan meminta agar kopinya disajikan di situ. Tentu saja
Risky jijik membayangkan bibir itu menempel di situ, biarpun nantinya bisa
dicuci berkali dengan sabun sebanyak-banyaknya.
Mama juga tampaknya kurang berkenan
dengan Edo. Setelah yang pertama, karena kerap namun rambangnya kedatangan Edo,
Mama tidak lagi merepotkan diri beli masakan jadi di restoran. Mama masak
sendiri mencoba-coba resep dengan hasil ala kadarnya seperti biasa. Edo makan
dengan lahap seperti yang mumpung, dan mungkin dikiranya itu sudah sebentuk
pujian.
Adek jadi tidak biasanya segan
berlama-lama di kamar Risky. Tidak ada yang mengacuhkannya; om itu tampak galak
sedang kakaknya takluk saja dicerca. Setidaknya Mama agak senang karena tidak
lagi mesti sering-sering meneriaki Adek supaya turun dari kamar Risky. Sekarang
anak itu betah saja di lantai bawah atau main bersama teman-temannya di luar
rumah. Adek masuk ke kamar Risky hanya ketika pasti bahwa Edo tidak ada, atau
sekadar untuk mengantarkan penganan saat orang itu ada.
Edo sendiri tampak tak tertarik kepada
anak kecil. Hanya sekali ia melirik Adek, yang saat itu belum menyadari hawa
mengintimidasi menguar dari padanya; anak itu sedang bermain di kamar Risky,
berceloteh sendiri sambil membagi-bagikan isi dompet Risky kepada para robot
mainan Risky yang sudah urun peran dalam sandiwara kolosal karangannya.
"Adek lu pinter. Sekali UMPTN, dia
bisa langsung lolos ke ITB," ramal Edo. Namun Risky menyangka orang itu
sedang meledek keberhasilannya yang tidak sekali tertunda.
Walau mendongkolkan, tidak ada yang
hendak memprotes kehadiran Edo kepada Papa--satu-satunya yang tampak
nyaman-nyaman saja dengan orang itu. Di meja makan, mereka membicarakan
pekerjaan-pekerjaan kantor, perkembangan teknologi, dan beragam terminologi
lain yang disimak Risky dan Mama dalam bisu.
Seiring dengan bertambahnya kebersamaan
mereka, timbul momen-momen mengobrol santai. Asbak kertas, bundel, diktat, mug,
dan lembaran kertas yang terserak diabaikan, berganti cerita tentang pengalaman
Edo semasa kuliah. Risky mendengarkan dan memahami bahwa kesempatan yang telah
dilaluinya bersama Edo sekadar simulasi dari kehidupan mahasiswa. Dan, itu
belum cukup mewakili keadaan yang sesungguhnya.
Edo pun mulai memahami Risky. Suatu
ketika, ia melihat-lihat koleksi robot rakitan Risky dan berkata, "Kata
Pak Slamet, lu cita-citanya bikin robot, ya?" Risky tercengang malu.
Apa-apaan Papa mengumbar fantasi masa kecilnya kepada orang ini?! "Ah,
enggak," sanggah Risky, "gue cuma suka ngerakitnya doang,"
jujur. Lalu mereka membicarakan tentang robot dan kecerdasan buatan. "Tapi
sayang," pungkas Edo, "lu lemah di elektronika."
Memang gayanya saja yang melunak, namun
pandangan Edo terhadap Risky tetap. "Menurut gue, lu ada prospek di ITB.
Tapi palingan IPK lu yang satu dua koma, dan enggak ada prestasi apa-apa. Kalau
mau IPK bagusan dikit, saran gue ke swasta aja," ramalnya dengan nada
sesimpatik mungkin.
Bahkan ia coba-coba menasihati dengan
lagak bijaksana, "Setiap menghadapi hambatan yang terasa berat, ingat, Ki,
di balik puncak gunung yang tinggi itu, masih ada gunung yang lebih tinggi, dan
enggak pernah ada gunung yang cukup tinggi buat kita."[1]
Dan, tahu-tahu saja, pada suatu malam
ketika mereka sedang makan bersama, Edo mengumumkan kabar gembira bagi dirinya
sendiri: 1) Ia telah lolos sidang tugas akhir, dan; 2) Ia mendapat tawaran
kerja dari suatu perusahaan luar kota yang akan diambilnya.
[1] Modifikasi dari
kutipan di halaman v, Jurus Kilat Jago Membuat Robot (Tim
Pusat Teknologi Tepat Guna Salman ITB, cetakan I, 2011, penerbit Dunia
Komputer, Bekasi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar