Ini terjadi sewaktu Edo masih memberi
les privat kepada Risky. Tapi ketika itu ia sedang menghilang--rekor terlama ia
menghilang. Risky yang tidak tahu--dan entah kenapa tidak begitu berharap
juga--kapan lagi Edo bakal datang, leyeh-leyeh saja di ruang tengah sambil
melihat-lihat isi majalah Matra.
Ia sampai pada halaman yang mengangkat
tentang seorang pria dengan hobi paralayang. Tidak hanya itu, pria tersebut
juga bekas pilot pesawat ultralight, pesawat swayasa, penerjun
payung, dan pembalap gokar. Sejak kecil, pria tersebut memang ingin menjadi
penerbang dan suka memereteli mesin. Risky semakin terpesona saat disebutkan
bahwa pria itu sarjana teknik mesin lulusan ITB.[1] Ia merasa dapat
mengaitkan diri. Dahulu ia juga ingin bisa terbang dalam robot Gundam. Tapi,
untuk menghindari kemungkinan tewas dalam perang antargalaksi, ia berkompromi
dan memutuskan untuk bekerja di balik layar saja, entahkah sebagai perancang
atau montir--yang karangannya tentang itu entah bagaimana pernah dibaca Papa
itu. Memereteli mesin memang belum pernah, tapi ia suka merakit mainan jadi
sepertinya itu agak-agak mirip lah. Dan, salah satu jurusan pilihannya di UMPTN
nanti adalah Teknik Mesin ITB. Jadi, seandainya nanti ia berhasil masuk dan
lulus kuliah dari situ, masa depannya kemungkinan akan seperti bapak ini:
jangankan untuk menafkahi satu istri dan dua anak, untuk menjalankan hobi-hobi
yang pastinya mahal itu saja ia mampu. Luar biasa. Ia akan menjadi manusia yang
luar biasa kelak.
Andai a a a a aku jadi orang kaya ....
Andai a a a a anggak usah pakai kuliah
di ITB ...[2]
Seketika itu, ia teringat pada biografi
presiden pertama Indonesia yang ia terlupa pernah membacanya di mana. Soekarno
yang lahir pada 1901 itu mulai berkuliah di ITB--walau namanya waktu itu belum
ITB--pada 1921, yang berarti pada usia 20 tahun, persis dengan usia Risky nanti
ketika mulai berkuliah di ITB, kalau lolos dari UMPTN berikutnya.
Mendapati kemiripan-kemiripan itu, Risky
merasa jalan kebesaran mulai terbentang untuk dia ....
Bel berbunyi. Risky merutuk dalam hati,
tidak berharap Edo kembali secepat ini. Adek lagi di TPQ, tidak ada yang bisa
disuruh-suruh untuk membukakan pintu. Mama di kamar mandi. Risky pun
terseok-seok ke pintu depan, dan ....
Risky belum pernah sedekat ini dengan
gadis itu. Matanya begitu bundar dan meruapkan kehangatan, aromanya seharum
pisang. O rupanya ia membawa seloyang bolu pisang yang baru matang.
"Oh, Shelly ..." tahu-tahu
saja Mama muncul menyenggol Risky ke tepi.
"Dari Mama," ah, suara gadis
itu tak kalah renyah daripada pinggiran bolu yang nanti dilahap Risky hingga
hanya menyisakan separuhnya saja untuk dibagi tiga antara Adek, Mama, dan Papa.
"Duh, makasih, yaaa. Jadi
ngerepotin ...." Mama berbasa-basi dengan gadis itu, sementara Risky
terpaku di tempatnya terhalang oleh jendela.
Shelly ....
Malamnya, Risky menuliskan nama itu di
kertas.
S E L I
Risky mengernyit.
Seli ... na Dion?
Seli ... guk guk guk ayo lari-lari?
S H E L L Y, Risky menulis lagi. Kelihatannya lebih cantik. Ia merasa
yakin, dan memang begitu cara menuliskan nama tersebut yang sesuai dengan akta
kelahiran pemiliknya.
Kembang di hati Risky tidak segera
menguncup lagi, sebab Mama keburu menyiraminya dengan bolu balasan. Tadinya
Mama mau membuat sendiri bolu itu menggunakan oven yang cicilannya baru
sebagian dibayarkan menggunakan pinjaman dari uang saku Risky. Rupanya Mama
Risky dan Mama Shelly membeli oven itu sama-sama, ketika ada orang sales yang
menyusup ke arisan. Mama Shelly sudah mengetes oven itu terlebih dahulu dan
mengirimkan hasilnya yang berupa bolu pisang itu kepada Mama Risky, yang kalau
tidak begitu mungkin sudah lupa telah membeli oven. Setelah beberapa kali
percobaan yang bantat atau gosong, Mama pergi ke toko kue untuk memesan secara
khusus pada waktu yang ditentukan. Petang itu, segera setelah Papa pulang, Mama
meminjam mobilnya untuk mengambil pesanan yang baru keluar dari panggangan itu.
Risky disuruh menyetir sebab Mama belum berani dengan mobil; dengan motor pun,
paling jauh hanya ke pasar terdekat. Mama telah menyiapkan plastik hitam besar
untuk membungkus dus berisi kue tersebut. Hari sudah gelap ketika mobil masuk
lagi ke garasi. Sebelum keluar dari mobil, Mama memastikan benar-benar tak ada
seorang pun di jalan, tak ada juga yang sedang menyibak gorden di rumah-rumah
sekitar. Walau memerhatikan kelakuan Mama dengan malu, setelah bolu itu
dipindahkan ke wadah suguhan yang cantik, Risky menawarkan diri untuk
mengantarkannya. Sekarang ia tahu pasti letak rumah Shelly. Sambutan Mama
Shelly begitu hangat, menunjukkan keakraban di antara kedua wanita itu, tapi
sayang, dari ambang pintu depan rumahnya yang terbuka demikian lebar, tidak
tampak gadis itu walau cuma batang hidungnya.
Meski begitu, sepanjang jalan pulang
sampai terduduk di kursi belajarnya, Risky tidak sadarkan diri sebab terhanyut
dalam khayalan.
Suatu saat Mama akan berkata,
"Risky, sudah waktunya kamu menikah. Mama sudah pilihkan gadis perawan
yang baik-baik, anak sahabat Mama!"
Risky serta-merta akan menyergah,
"Ma, biar aku menentukan jodohku sendiri! Ini bukan lagi zaman Siti
Nurbaya!"
Tapi, seperti biasanya, Mama memaksakan
kehendaknya. "Sudah, jangan melawan! Jadilah anak berbakti! Cepat
siap-siap! Kita mau makan malam sama mereka!"
Terpaksa Risky menuruti perintah Mama.
Malam itu, mereka sekeluarga datang ke sebuah restoran mewah, untuk bertemu
dengan keluarga lainnya yang ternyata sudah familier--tetangga mereka sendiri
yang rumahnya di ujung jalan! Shelly yang berdandan untuk acara khusus itu
lebih cantik daripada biasanya ....
Hari-hari bersama Edo menjadi
tertahankan sejak itu. Bila sedang lowong, Risky sering-sering menongkrong di
balkon hasil rancangannya yang terletak menjorok ke dalam terhalang oleh
kamarnya sehingga tak tampak dari jalan itu. Ia memandang ke jalan kalau-kalau
Shelly melintas. Walau, setelah beberapa kali dilakukan pengamatan, sepertinya
gadis itu biasa lewat jalan yang lain.
Setiap kata-kata celaan dari Edo
ditangkisnya walau cuma dalam hati.
Liat aja. Gue bakal buktikan bahwa
kesempatan berikutnya benar-benar milik gue.
Ketika Pak Habibie sedang muncul di
televisi dan kebetulan di dekat situ pun ada Risky, Mama berceletuk,
"Lihat, tuh, Ki! Coba kamu kayak Pak Habibie."
Risky membatin, Jangankan
pesawat, nanti aku bikin robot tempur!
Oitsuki, oikose! Kejarlah, dan
lebihilah! Ijazah ITB di genggaman, Shelly dalam pelukan, robot swayasa dalam
jangkauan, Hahahahaha!
Dan, saat ia melihat adiknya bermain
bersama anak-anak tetangga, satu tahun dari sekarang anak itu akan mengoceh
kepada mereka, "Kakak aku kuliah di ITB lo!"
Dan, kepercayaan dirinya untuk kembali
membeli rokok di warung terdekat akan pulih. Sudah bisa ditebak apa yang bakal
diomongkan para ibu perumpi itu saat mereka melihatnya lagi, hanya saja kali
ini bukan fitnah: "Gitu-gitu dia pintar juga!"
Kabar pun akan tersiar sampai ke ujung
jalan, di mana rumah Shelly berada. Gadis itu mulai melihat dia sebagai calon
pasangan idaman. Mungkin Shelly akan sering-sering mengantarkan bolu ke rumah
Risky. Kalau mamanya tidak sempat bikin, Shelly akan membuatnya sendiri demi
kemungkinan berjumpa Risky. Risky pun akan lebih sering menongkrong di depan
televisi ruang tengah, karena letaknya yang lebih dekat dengan pintu depan
ketimbang kamarnya sendiri, demi menanti kedatangan Shelly.
Dalam penantian yang entahkah bakal
terwujud itu, Risky berkunjung ke toko buku. Niatnya membeli satu pak kertas
kuarto untuk coret-coret soal dan gambar, sekalian melihat-melihat komik
terbitan baru, dan pulangnya mampir ke toko mainan untuk menambah koleksi model
kit seperti biasanya. Namun kali itu, saat melewati bagian kertas
surat, Risky berhenti. Ia mengambil satu kemasan kertas surat bergambar seraut
wajah perempuan yang entah bagaimana dalam pandangannya sekonyong-konyong
menyerupai Shelly. Barang itu masuk dalam belanjaannya.
Padahal Risky bukan penggemar
korespondensi. Tapi, pada kesempatan itu, setelah menghirup wanginya secarik
kertas surat itu, ia mengangkat bolpoin.
Shelly ... tulisnya.
Lalu ia terdiam.
Hampir saja ia merenyukkan kertas itu
dan menimpukkannya ke kepala Adek, seperti biasanya bila tidak puas dengan
hasil gambarnya. Tapi, sayang juga, karena kertas jenis yang satu ini lumayan
juga harganya. Ia menepikan kertas tersebut, mengambil selembar kertas yang
biasa-biasa saja, dan mulai mengonsep.
Shelly ....
Ia terdiam.
Perkenalkan, namaku Risky.
Mungkin kamu tidak kenal aku.
Aku juga belum begitu mengenalmu.
Kenalan, yuk ....
Risky merengut, lalu menggumalkan kertas
itu. Namun, sayangnya, sedang tidak ada kepala Adek untuk dijadikan sasaran
timpuk. Ia menyimpan bola kertas itu di pinggir meja untuk nanti ketika Adek
masuk kamar.
Shelly ....
Risky menulis lagi.
Perkenalkan aku anaknya Ibu Slamet (Ibu
Lela).
Ah, ini sih sama saja kayak tadi!
Shelly ....
Risky mengulang.
Apa kabarmu?
Kabarku baik-baik saja.
Ia mencoretnya berkali-kali,
merenyukkannya lagi.
Shelly ....
Kali ini ia hendak melanjutkannya dengan
sebuah puisi, berisikan kata-kata yang dapat memerikan keindahan gadis itu baik
menurut mata kepalanya maupun mata batinnya--walau untuk jenis mata yang kedua,
ia mengandalkan imajinasi saja. Memang Risky suka membaca, tapi ia lebih mahir
menyusun bangun ruang jadi sebentuk robot ketimbang merangkai kata-kata jadi
seuntai puisi. Seandainya Shelly bocah laki-laki seusia Adek mungkin akan
kegirangan bila diberikan hasil gambarnya saja, tapi rupanya ia bukan!
Risky menulis lagi.
Shelly ....
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu
mengembuskan frustrasi.
Masuk ITB susah.
Sekadar mencari kata untuk memikat cewek
saja susah.
Kenapa di dunia ini tidak ada yang
mudah?!?! Ia mengacak-acak rambut.
Ia masih ingat sebagian kata-kata manis
yang diajarkan Shigeo kepadanya, saat menulis surat cintanya yang pertama
sekaligus yang terakhir--sampai saat ini, kalau ia tidak kunjung membuat yang
diperuntukkan bagi Shelly. Ia bisa menuliskan kata-kata itu saja, yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tentunya. Tapi, bagaimanapun juga, itu
kata-kata karangan Shigeo, sedang yang murni dari lubuk hatinya sendiri pada
akhirnya begini:
Bintangku Leo, karena aku lahir beberapa
hari sebelum hari peringatan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun-tahun ini, itu
juga jadi peringatan bahwa aku sedang menuju kemerdekaanku. Aku telah merdeka
dari SMA, dan aku menantikan kemerdekaan dari hal-hal lain. Merdeka dari
kelemahan diri. Merdeka dari rasa kecut. Merdeka dari orang tuaku. Merdeka dari
rumah ini. Merdeka dari orang-orang yang meremehkanku. Kemerdekaan itu akan
kuraih melalui UMPTN nanti dan ITB. Mungkin kau akan bertanya, Mengapa harus
ITB? Coba pula kau tanyakan kepada pendaki gunung, mengapa mereka mendaki
gunung? Jawaban kami sama, "Because
it's there." Barangkali itu juga jawabannya mengapa hatiku
berdegup kencang saat melihatmu. "Because it's you."
NB. Bintangmu apa?
TTD
Risky Perdana Ashary
Risky melipat kertas itu rapi-rapi, memasukkannya ke amplop, menuliskan: "TO: SHELLY" pada sisi belakang amplop, lalu menguburnya di bawah berbagai barang dalam laci, sepojok-pojoknya, sedalam-dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar