Risky tidak bisa memasukkan apa-apa lagi
ke otaknya, dan sesekali terluap dari mulutnya sepotong lirik lagu Nike yang
dengan seenaknya ia gubah,
Bosan! Aku dengan hidupku ...
Benci! Bila ingat nasibku ...![1]
Itu saja yang dia nyanyikan, sebab kalau
lebih panjang lagi atau lagu lain, ia tidak ada gairah--biarpun makannya tetap
banyak, kopi pun tambah berkali-kali setiap harinya. Buku-buku
membosankan, model kit yang baru sedikit dirakit terabaikan,
Tetris terasa traumatis, musik sekadar kebisingan, dan lain-lainnya lagi tak
ampuh menyegarkan. Jalan-jalan naik motor bareng Adek sekalian jajan bakso,
kemudian menyewa video dan pulang menontonnya pun tidak memulihkan
konsentrasinya saat kembali menghadapi soal-soal.
Seiring dengan perginya Sang Bintang
Kehidupan dari dunia ini, padam pula sinarnya dalam imaji Risky. Bagaimanapun
Risky berusaha memanggilnya kembali, bayangan gadis itu tak pernah muncul untuk
menghibur dan menguatkannya lagi.
Risky memasukkan salah satu kaset Nike
ke Walkman, menancapkan earphone dalam-dalam ke lubang
telinganya, memencet tombol Play, mendengarkan, lalu Fast
Forward, mendengarkan, eh, kelebihan, Rewind, mendengarkan, ah,
kelewatan lagi, dan seterusnya sampai menemukan lagu yang dikehendakinya,
"Tinggallah Ku Sendiri".
Dalam gelisah, hati yang gundah
Aku diam sendiri
Merenungi yang kini terjadi
Di antara kita berdua
Semua mimpi yang pernah ada
Lolos UMPTN besok, kuliah di ITB,
langsung dapat kerja, hidup terjamin ....
Telah musnah segalanya ....
Karena kini kita telah berpisah
Berpisah alam ....
Tinggallah kini ku sendiri ....
Aku bagai nelayan
Yang kehilangan arah ...
Dan tak tahu ke mana ...
Wouwouwouwou ...
Ku harus bersandar ....
Ah, ini, kena sekali menghunjam hati
....
Pada bagian berikutnya, Risky ingin
benar ikut menjerit-jerit,
Oh, Tuhan tolonglah ...
Tunjukkan jalan ...
Pada dirikuuu ...!
Bersamaan dengan itu, imajinasinya naik
dan terbang ke luar lewat pintu kamar yang terbuka, melayang-layang menjauhi
hamparan bangunan, menembus udara yang dikeruhi asap-asap kendaraan dan pabrik,
melintasi perkotaan Bandung yang heurin ku tantung, dan terus
tertiup angin melampaui kebun-kebun dan sawah-sawah yang membentang luas
dilatari perbukitan hijau sesungguhnya alih-alih siluet belaka, dan di
sela-selanya tampaklah kali berbatu-batu besar, kemudian rumah-rumah yang
berjarak dengan satu sama lain yang tak jauh dari padanya terdapat empang
berisikan banyak lele berlompatan lincah saat ada orang terbirit-birit masuk
lalu berjongkok dalam sebilik kecil bambu di atasnya .... Ah, lukisan panorama
alam Priangan yang dalam kenyataan mewujud kampung Abah.
Sejak masa yang dapat diingatnya, Risky
kerap berlibur ke desa itu. Sering kali orang tuanya hanya mengantarkan, dan
selama seminggu berikutnya ia dalam penjagaan Abah. Malah pernah, saat liburan
hampir berakhir, sedang orang tua Risky terlalu sibuk untuk mengantarkan ke
kampung, Abah yang datang ke rumah mereka untuk menjemput sekalian membawakan
sekarung beras.
Saat berada di kampung Abah, dari pagi
sampai siang, ia ikut Abah ke sawah dan empang. Kadang ia bergabung dengan
anak-anak setempat main layangan di tengah sawah, mandi di kali, masuk ke
hutan, berburu binatang-binatang kecil dan mengumpulkan buah-buahan liar sambil
mendaki bukit, dan berlomba teriak dari puncaknya. Mainan-mainan yang dibawanya
dari kota tak tersentuh lagi, terlupakan di dalam tas. Lalu magribnya bersama
anak-anak itu juga ia diajari Abah sembahyang dan mengaji di musala. Tapi,
pelajaran tersebut lekas terlupakan begitu Risky pulang; pada liburan
berikutnya ia perlu diingatkan lagi, diajari lagi hampir-hampir dari awal lagi.
Suatu ketika, gara-gara itu Abah memarahi Papa di depan para kerabat dan Risky
tidak pernah diantar ke sana lagi. Lalu Papa keburu pindah ke Jepang, Mama dan
Risky menyusul.
Mereka baru mengunjungi Abah lagi
setelah Adek lahir. Kini setelah mereka tinggal ke Bandung, perjalanan ke
kampung Abah cukup singkat dibandingkan dengan sewaktu dari Tangerang dahulu.
Tiap Lebaran mereka bersilaturahmi ke sana, berangkat pagi pulang siang. Risky
belum pernah menginap lagi; ia merasakan hubungan dengan Abah telah merenggang.
Orang tua saleh seperti Abah doanya
pasti diijabah, pikir Risky. Kenapa tidak minta doa restu sama Abah sekalian
menyegarkan diri?
Risky mengambil ransel dan memasukkan
pakaian, sarung, peralatan mandi, dan sebagainya, lalu melirik Adek yang sedang
memainkan gim komputer. Kayaknya seru bawa Adek. Apalagi memang
sejak lahirnya Adek belum banyak diajak jalan-jalan berekreasi, paling-paling
ke seputaran kota, Ciater, dan yang terjauh kampung Uti di Jawa. Kalaupun Adek
dibawa tiap kali bersilaturahmi Lebaran ke kampung Abah, ia belum mengalami
asyiknya bermain di kali, hutan, bukit ... sebagaimana Risky dahulu.
Kasihan Adek. Suatu ketika, Adek pernah
marah-marah. Awalnya, Adek heran ketika ia masuk ke kamar Risky dan mengumumkan
bahwa acara Kesatria Baja Hitam telah dimulai di televisi, kakaknya itu tidak
mau beranjak. Memang biasanya juga Risky tidak begitu antusias, tapi mau-mau
saja menemani adiknya menonton. Hanya kali itu ia sedang enggan dan ingin
duduk-duduk saja di kursi belajarnya untuk merenungkan entah soal UMPTN atau
soal kehidupan. Alasan yang diberikan Risky kepada adiknya saat itu, "Udah
khatam waktu di Jepang."
Mata Adek membesar, mulutnya membulat,
"Jepang?"
Risky tersenyum. Ia mengambil atlas,
siap memperkenalkan adiknya kepada Ilmu Bumi. Dengan bijak, ia membuka halaman
yang memperlihatkan peta dunia lalu mulai menunjuk-nunjuk. "Nih, Adek
tinggalnya di sini, di Pulau Jawa, negara Indonesia. Jepang di sebelah sini.
Waktu dulu, Kakak tinggalnya di kota--"
"Kakak pernah ke Jepang?"
"Iya."
"Sama siapa?"
"Sama Mama, Papa ...."
"Kok aku enggak diajak?"
"Kan waktu itu Adek belum
la--"
"KOK AKU ENGGAK DIAJAK?!"
"Belum lahir ...."
Adek mengernyih dan mulai
mengumandangkan tangisan ke seantero rumah. Risky mendesah.
"MAU KE JEPANG! MAU KE JEPANG!
HWAAA ...."
Risky terdiam, sampai Mama
tergopoh-gopoh memasuki kamarnya dan menyelidik. "Adek diapain
lagi?!"
Di sela sedu sedan Adek, Risky
menjelaskan duduk perkaranya.
"MAU KE JEPAAANG ...!" Adek
menjejak-jejakkan kaki. "Mama mah enggak ngajak-ngajak .... Hwaaa
...." Ia mengusapi matanya bergantian sembari terus berkoar-koar.
"Kan Adek belum lahir," Mama
mengulang penjelasan Risky yang membatin, Ini anak tololnya keterlaluan
apa gimana sih.
"Iya, nanti Adek ke Jepang. Kalau
udah gede. Cari beasiswa biar sekolah di Jepang kayak Papa, ya," Mama
menghibur sekalian mendoakan Adek.
Berangsur-angsur Adek memelankan
tangisannya. Katanya sambil terisak, "Asal ... asal ... asal beliin Chiki
..." lalu menyedot ingusnya dalam-dalam.
Mama menatap Risky. "Kamu ada uang,
Ki?"
Risky memalingkan wajah.
"Enggak."
Kasihan Adek.
Risky membayangkan menyampaikan niatnya
kepada Mama untuk mengajak Adek berjalan-jalan ke kampung Abah sekalian
menginap, berdua saja naik angkutan umum, dan apa kira-kira- tanggapan Mama.
Ia tidak akan bilang kepada Mama.
Setiap hari Mama biasanya keluar rumah
beberapa lama entahkah untuk belanja atau sekadar duduk santai dan mengobrol di
rumah tetangga. Adek mulai jarang dibawa-bawa, karena belakangan lebih suka
main bersama teman-temannya atau di kamar Risky. Pada kesempatan itulah, Risky
mengajak Adek. "Main ke Abah, yuk!" Adek mudah saja digiring oleh
Risky. Segera Risky menyiapkan segala yang kira-kira diperlukan Adek dalam
ransel kecil untuk dibawa adiknya itu. Lalu ia membantu Adek berganti pakaian
dan memasang sepatu. Pergilah mereka pada siang yang bolong itu. Risky bahkan
tidak meninggalkan catatan untuk Mama.
Sebenarnya Risky belum pernah ke rumah
Abah naik kendaraan umum. Tapi, ia tahu nama daerahnya, arahnya, lika-liku
jalannya, dan berbagai petunjuk lainnya. Sampai di terminal, ia mencari elf
yang menuju ke daerah itu, memastikan arahnya benar karena bisa saja nama
daerahnya sama tapi arahnya berbeda, mencari-cari Adek yang bila tidak diawasi
sebentar saja sudah mengacir entah ke mana, menyuruh Adek supaya jangan
pecicilan, mengangkat Adek masuk ke elf yang semakin lama semakin disesaki
banyak orang sehingga Adek terpaksa dipangkunya dan Adek pun memangku ransel
bawaannya sendiri. Untungnya Adek tidak rewel. Risky sudah membelikan banyak
jajanan ringan. Selain itu, ada ibu-ibu yang sesekali mengajak mengobrol;
sebenarnya Risky tidak suka tapi sepertinya itu membuat Adek menjaga sikap
karena ada yang memerhatikan.
Sudah sore ketika elf berhenti di
terminal lainnya. Risky puas karena terminal ini memang yang biasa dia lewati
dalam perjalanan keluarga ke kampung Abah sebelum-sebelumnya. Sekarang, Risky
celingukan. Lalu ia membantu Adek menaiki mobil angkutan desa. Sepanjang jalan,
Risky terus memerhatikan pemandangan yang familier untuk nanti minta berhenti
ketika sudah mencapai petunjuk yang dia kenali. Nah, itu! Risky menghentikan
sopir, menunggui adiknya yang ingin turun sendiri--loncat!--dari pintu
kendaraan, lalu membayar ongkos. Ia memandang jalur merah menanjak yang
membelok dari tepi jalan raya itu; lebarnya dapat dijejeri sekitar satu setengah
mobil. Ada beberapa ojek menongkrong di situ, tapi Risky menaksir bahwa jarak
yang tersisa tidak jauh amat bila ditempuh dengan berjalan kaki.
Buat dia begitu, buat Adek lain lagi.
"Mau pulang ..." anak itu
mengeluh dalam gandengan Risky.
"Bentar lagi."
"Kapan nyampenya?"
"Bentar lagi nyampe," Risky
membuat nadanya terdengar lebih sabar.
"Nanti Kesatria Baja Hitamnya
keburu mulai ...."
"Nanti di sana bisa nonton,"
dusta Risky.
Berkali-kali tangan Risky terasa berat,
seiring dengan kian curamnya jalur yang mereka tempuh. Lalu Risky menarik
tangannya sehingga Adek pun berjalan terseret-seret. Jalan berlapis tanah bekas
kena hujan semalam menjadikan langkah semakin terseok.
Lalu tangan Risky menjadi ringan,
kehilangan beban. Adek menggelongsor begitu saja di atas tanah sambil manyun
sepenuhnya. Mukanya merah sampai ke matanya yang berkaca-kaca.
"Mau pulang ...!" rengekannya
betul-betul memaksa kali ini.
Risky memandang adiknya dan mengembuskan
napas. "Payah, ah, gitu aja capek."
"Enggak capek!" dan ketika air
mata adiknya mulai berjatuhan,
"Cengeng!"
"ENGGAK CENGENG!"
"Tapi kok nangis ...."
"Enggak kok!" Adiknya mengusap
matanya bergantian.
"Gitu namanya cengeng!"
"MAMA! MAMAAA ...!" Adek
berteriak sekencang-kencangnya sambil menjejak-jejakkan kaki seakan-akan hendak
mengenyahkan Risky dan agar Mama tahu-tahu bakal menyembul keluar dari semak di
pinggir jalan untuk menyelamatkannya. Yang muncul malah bapak-bapak berbaju
lusuh yang memanggul rumput. Risky yang menyadari betapa memalukannya situasi ini
walaupun saksi matanya hanya seorang itu, mendekati adiknya dan berjongkok di
depan anak itu.
"Kalau enggak cengeng, jangan
cari-cari Mama!" tegasnya pelan.
"ENGGAK CENGEEENG!"
"Kalau enggak cengeng, ayo jalan
lagi!" Risky bangkit lalu menunggui adiknya berdiri. Ketika Adek mulai
berjalan, Risky meraih tangan anak itu hendak menggandengnya lagi. Namun
tangannya dicampakkan. Anak itu terus melangkah dengan kepala tertekuk
menyembunyikan air matanya, tanpa melihat jalan. Risky memindahkan ranselnya
dari punggung ke dada lalu berjalan melampaui anak itu. Kemudian ia berjongkok
mengadang arah jalan Adek.
Risky menanti Adek berjalan melewatinya,
terus mengabaikannya sehingga nanti ia mesti mencandai anak itu untuk
mencairkan suasana. Tapi, sebentar kemudian, ia merasakan beban yang
diakrabinya mendarat di punggung. Sebenarnya, sudah cukup lama Adek tidak lagi
menubruk dan memanjat punggungnya, merangkul lehernya sampai nyaris mencekik,
kemudian memukul-mukul sisi perutnya dengan kedua kaki agar maju jalan. Kali ini,
Adek tak perlu memukul-mukulkan sepatunya yang bersalut tanah liat itu ke baju
Risky. Dalam beberapa waktu ini, Adek telah bertambah besar sedikit sehingga
bobotnya pun lebih berat daripada yang diingat Risky. Ah, he ain't
heavy, he's my brother, seperti judul lagu lama yang pernah didengar Risky
sesaat ketika sedang mencari saluran radio favoritnya.
Hup! Selangkah demi selangkah Risky
memanjat tanjakan yang seperti tak ada ujung itu sembari menggendong Adek
sekalian ranselnya. Saat tanjakan itu mencapai puncaknya, tampaklah
puncak-puncak lainnya yang lebih tinggi dibelah jalan yang mengular. Risky
menyuruh Adek turun dari punggungnya. Ia mencari area berumput yang tampak
bersih di tepi jalan yang menghadap ke persawahan jauh di bawahnya serta
pegunungan jauh di seberangnya. Ada pula beberapa petak pabrik dan perumahan
serta ... "Tuh, tuh, lihat ada kereta!" Risky menarik perhatian
adiknya. Anak itu melongok dan tercenung memandang ke bawah. Dari ketinggian,
kereta itu benar-benar tampak menyerupai ular besi yang tengah meliuk-liuk pada
jalurnya.
Kemudian Risky duduk menyelonjorkan kaki
dan mengeluarkan rupa-rupa perbekalan mereka dari ransel. Setelah memuaskan
dahaga, ia menyulut sebatang rokok. Tak lupa ia memberikan juga adiknya
sebatang permen rokok-rokokan. Keduanya lalu duduk berdiam-diaman saja. Risky
terhanyut dalam pemandangan senja yang terpampang di hadapannya. Matahari turun
perlahan-lahan sembari melelehkan diri membentuk semburat-semburat oranye
kemerahan yang ambyar di langit. Risky menoleh kepada Adek, menyundul pelan
kepala anak itu seakan-akan hendak mengecek apakah adiknya tengah terserap
dalam keindahan yang sama. Adek menggumam kesal. Risky mendengus geli dan
kembali menikmati orkestra warna di langit. Lamat-lamat, warna-warna kelam bergerak
memasuki panggung sambil merayap dan mulai mengisap warna-warna lainnya yang
cerah membara itu.
Risky menyadari hari telah gelap
sedangkan sisa perjalanan sepertinya lebih jauh daripada yang ia perkirakan
sebelumnya. "Ayo, Dek!" Ia menoleh dan mendapati kepala Adek
terangguk-angguk. Mata anak itu terbuka dan sebentar kemudian mengatup lagi.
Kali ini Risky mencoba untuk menggendong
Adek di sebelah depan. Cara begini rupanya membuat dia tak leluasa melangkah.
Ia menurunkan Adek agar pindah ke belakang. Sekarang ia dapat bertahan jauh
lebih lama. Namun karena punggungnya semakin membungkuk saja dan terasa kaku
ketika hendak diangkat, ia menyuruh Adek turun lagi. Akibat berkali-kali
dipindahkan, Adek terjaga sepenuhnya dan mau berjalan sendiri saja. Keduanya
melanjutkan perjalanan sambil bergandengan.
Tahu-tahu Adek menggenggam tangan Risky
semakin erat, dan berkata, "Kak, bulannya ngikutin!" sambil sesekali
menoleh ke atas.
Risky mendongak dan melihat lingkaran
cahaya keperakan sewarna tahi kucing yang sudah kering itu.
"Jalannya yang cepet biar enggak
kekejar!" sahut Risky. Ia melepaskan tangan adiknya lalu mulai berjalan
secepat-cepatnya hampir berlari. Adek berteriak dan segera berlari menjejeri.
Risky tertawa dan meraih kepala adiknya. "Takut, ya?"
"Enggak!"
Membuktikan ketidaktakutannya, Adek
terus berjalan cepat mendahului Risky yang justru berhenti dan mulai memandangi
kerlap-kerlip mungil berserakan tinggi-tinggi sekali di atas kepalanya.
"KAKAAAK ...! Hu-uuuh!"
Akhirnya Adek sadar juga Risky tidak mengiringinya. Yang dipanggil tertawa
saja. Betapa menyegarkan, mengguyur keletihannya.
"Lihat tuh, langitnya
ketombean!" Risky menunjuk ke atas.
Adek mendongak, dan memprotes,
"Masak ketombe?! Itu tuh bintang, tahuuu ...!"
"Ketombenya banyak banget,"
Risky bersikeras, "langitnya belum keramas nih," dan seketika ingat
bahwa ia tidak membawa payung ataupun jas hujan. "Aaah, moga-moga aja dia
lagi malas keramas."
Mereka lanjut berjalan. Bermaksud
menjaga semangat adiknya, Risky menyuruh anak itu mengoceh terus, mulai dari
menyanyikan lagu-lagu yang dihafalnya sampai menghitungi bintang-bintang. Tapi,
berangsur-angsur Adek kembali loyo dan mengeluh.
"Katanya bentar lagi ...."
"Iya, bentar lagi."
"Kapan nyampenya?"
"Nanti juga nyampe."
"Kakak mah bohong!"
"Enggak bohong kok."
"BOHONG!"
"Ck, udah, jalan aja!"
Adek melepaskan pegangan tangannya dan
begitu saja menggeletakkan badan di atas tanah.
"Mau tidur di sini?" tegur
Risky.
"Pulaaang ..." adiknya
merengek, tanda-tanda akan menangis.
"Tinggal aja lah." Risky lanjut
melangkah.
Adek berteriak sekencang-kencangnya
untuk mencegah Risky meninggalkannya dan tangisannya pun memecah kesenyapan.
Bersamaan dengan itu, sebuah motor memelesat melewati mereka. Wajahnya tak
jelas, namun tampak kepala orang yang duduk di belakang motor itu menoleh
kepada mereka. Risky berjongkok dan menutupi kedua belah mukanya sampai suara
motor itu tak terdengar lagi, tinggal sedu sedan adiknya. Ia menghampiri Adek
dan membujuk anak itu agar bergelayut lagi di punggungnya.
"Mau pulaaang ..." adiknya
terus memohon sekalipun sudah digendong lagi.
Mana mungkin. Risky mendekatkan
arlojinya ke mata; sudah hampir pukul delapan malam. Kalaupun balik, mereka
sudah jalan begini jauh. Entah masih adakah angkutan umum yang beroperasi. Mau
tak mau mesti jalan terus, walau entah sampai berapa lama lagi.
Sejauh ini, area di kanan-kiri mereka
berupa perkebunan sehingga terbuka bagi cahaya bulan dan bintang. Sesekali ada
rumah menyorotkan tambahan sinar. Jalur yang ditempuh terus menanjak walau
sangat landai, namun ketinggian tak membuat Risky kedinginan. Malah sebaliknya,
peluh terus meruap membasahi baju bercampur dengan air mata, ingus, dan liur
Adek yang sesekali diusapkannya pada bahu Risky.
Sesal pun timbul. Padahal baru sebulan
lalu Lebaran lewat, dan mereka sekeluarga berkunjung ke rumah Abah menggunakan
mobil pribadi. Kenapa tidak sekalian pada waktu itu ia minta doa restu kepada
Abah? Kenapa baru terpikirkan oleh dia baru-baru ini? Atau, kenapa ia tidak
pergi sendirian saja pagi-pagi sekali sehingga semestinya bisa tiba saat siang
atau sore--pokoknya sebelum gelap? Atau, kenapa ia tidak membawa serta motor
alih-alih menumpang kendaraan umum? Apa pun, alih-alih asal minggat seperti
ini--spontan tanpa uhuy! Ia membayangkan kecemasan Mama saat
kembali ke rumah tadi siang, mencari-cari Adek tapi tak ada sahutan, lalu naik
ke kamar Risky dan mendapati ruangan itu kosong melompong, lalu menunggu sampai
petang, sampai Papa pulang, dan meluapkan segalanya. Ia membayangkan Papa yang
terdiam kebingungan. Ia membayangkan keduanya mencoba mencari-cari mereka ke
sekitar rumah sampai ke jalanan, sampai tiba pada kemungkinan bahwa Risky
sengaja membawa Adek kabur; tapi mengapa?! Dan, Papa akan berpikir, "Dasar
anak tidak tahu diuntung! Sudah dikasih ini itu, masih saja bikin
masalah!" Dan, Mama akan membatin, "Kalau mau kabur, jangan bawa-bawa
Adek!" Risky membayangkan luapan amarah keduanya nanti saat ia membawa
Adek pulang. Ia memutuskan untuk menginap malam ini saja, lalu paginya, setelah
memohon doa restu yang dibutuhkan, ia akan langsung pamit pulang.
Setelah satu belokan yang dihafalnya
betul, rupanya tanjakan mulai curam dan menyempit. Risky dilanda waswas. Walau
sesungguhnya ditemani Adek, namun betapa terasa kesendiriannya yang sembari
memanggul beban: berat, hangat--hidup. Pun telah agak lama Adek tak bersuara,
sepertinya tertidur--sunyi. Pohon-pohon mulai banyak bertumbuhan di kanan kiri,
menambah kegelapan yang kian pekat, kian pekat, kian pekat lagi di hadapannya
kini, yang celakanya, bercabang. Entahkah karena kelelahan telah merambat
sampai otaknya, sehingga kedua jalan itu tampak sama persis. Risky mencoba
mencari-cari tanda alam yang diingatnya. Mungkin ada pohon yang bentuknya khas
di kanan atau kiri, atau ada siluet gunung di atas tajuk yang sebelah kanan
atau kiri. Tidak ada. Semua pohon sama saja lekuk-lekuknya, langit yang
sebagian tertutup oleh tajuk tak mempertunjukkan apa pun selain titik-titik
cahaya.
Risky berusaha meredakan napasnya yang
terengah-engah entahkah karena lelah atau ... takut? Ia berjengit saat ada
tangan kecil mencengkeram pundaknya dan seketika teringat bahwa sedari tadi ia
menggendong Adek. "Udah nyampe?" tanya Adek lesu. Anak itu tak lagi
merasakan pergerakan Risky di sela-sela lelapnya, sehingga mengira kakaknya
berhenti karena sudah sampai.
"Bentar lagi," sahut Risky dan
tebersit di benaknya bahwa tak sebaiknya ia berlama-lama sehingga adiknya dapat
merasakan kegentarannya.
Kanan? Kiri? Ah, biasanya yang kanan yang baik. Salam
dan makan pakai tangan yang baik--Mama kerap bilang kepada Adek--tangan kanan.
Risky menegakkan tubuhnya, mempertunjukkan sikap gagah berani, dan mulai
melangkah lagi ... dengan jantung berdentam-dentam keras di balik dadanya. Adek
memeluk lehernya semakin erat.
"Kak ... Kakak ..." bisik anak
itu, seakan-akan tak mau kedengaran entah oleh siapa.
"Apa?"
Risky sudah panik saja adiknya akan
bilang, "Ada yang ngikutin," dan kali ini bukan bulan, sebab bila ia
menoleh rupanya yang mengikuti mereka bukannya wanita berbaju seksi macam Si
Manis Jembatan Ancol yang sebenarnya Diah Permatasari melainkan perempuan lain
berbaju gombroh yang melayang tanpa kaki, atau tak berambut tapi bukan Ozy
Syahputra melainkan karena kepalanya dibungkus kain dan jalannya pun
melompat-lompat ...!
"Mau pipisss ..." Adek
mendesis sedekat-dekatnya di telinga Risky sampai panasnya membuat dia
bergidik.
"Tahan dulu."
Adek merengek.
"Di sini enggak boleh pipis
sembarangan," lanjut Risky.
"Kenapa?"
"Awas lo, jangan ngompol!"
Adek merajuk.
"Udah, diem!"
Adek menurut.
Tak lama kemudian, "Kak, Kak
..." panggil Adek lagi.
"Apa?"
"Itu apa, Kak?"
Aduh. Celaka. Sial. Pertanyaan yang
dinanti-nanti akhirnya keluar juga, dan Risky menyesal menghafalkan doa-doa
cuma untuk ulangan agama!
"Kak, itu kuburan, Kak!"
"Makanya, jangan pecicilan!"
Risky merasakan muka adiknya melesak
dalam-dalam ke bahunya.
Tentu saja, ini waktunya untuk
mengajarkan keberanian kepada si kecil.
"Adek, udah belajar doa apa aja di
TPQ?" sergah Risky seraya membesarkan suaranya seakan-akan dengan begitu
dapat mengusir apa pun yang menyeramkan di sekitar mereka.
"Um ... um ... doa mau makan!"
"Gimana doanya? Coba Kakak
tes!"
"Allahumma bariklana ...."
"Yang keras!"
"ALLAHUMMA BARIKLANA ...."
Bagus, menyingkirlah kalian, hai, segala
macam dedemit, kalau tidak mau dimakan bocah ini!
"WA QINA AZABANNAR .... Udah,
Kak!"
"Ulangin!"
"Udah! Sekarang doa mau
tidur!"
"Jangan! Jangan tidur!" Jangan
biarkan setan-setan itu menganggap kita mulai lengah! "Doa mau
makan tiga puluh kali!"
"Aaah ... bosen!"
"Ulangin! Kalau enggak, diturunin
lo!"
"ENGGAK MAUUU ...!" Adek
mengentak-entakkan kakinya.
"Ya udah, ya udah! Doa bangun
tidur, hafal, enggak?!"
"Doa bangun tidur? Hm .... ALHAMDULILLAHILADZI AHYANA ...."
Cahaya! Cahaya! Seketika itu juga, muncul secercah cahaya yang dalam pandangan Risky sama benderangnya dengan matahari pukul sembilan pagi nun jauh di depan sana! Cahaya lampu rumah! Ia mempercepat langkahnya, setengah berlari, seakan-akan beban di punggungnya tak terasa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar