Sabtu, 20 November 2021

22. PEDANG BERMATA DUA

Risky mengetuk rumah itu, membangunkan penghuninya. Seketika pintu rumah itu terbuka, ia tergagu. Sekilas harapan berwujud cahaya lampu tadi telah membuat pikirannya kelu. Sejenak mereka hanya bertatapan, hingga penghuni rumah menegurnya. Sesaat benaknya menyuruh untuk meminta tumpangan menginap dan melanjutkan perjalanan keesokan pagi saja. Tapi mulutnya malah memuncratkan nama Abah, menerangkan siapa dirinya, dan penghuni rumah pun mafhum. Nyonya Rumah menjamu Risky dan Adek ala kadarnya sementara Tuan Rumah mempersiapkan diri untuk mengantar mereka sampai ke rumah Abah.

Tibalah mereka di rumah Abah, yang disambut dengan tak kalah herannya.

Percakapan apa pun yang terjadi semalaman itu, Risky berusaha melupakannya. Ia telah menyadari kekhilafannya, dan tak ingin terus dikorek. Ia hanya ingin beristirahat, secepatnya menemui pagi, meminta doa restu, dan segera pulang lagi.

Mereka diberi ruangan belakang. Terdapat sebuah dipan yang cukup lebar untuk ditempati keduanya.

"Enggak ada kasurnya?" tanya Adek.

Risky mengeluarkan sarung dari ransel, membentangkannya di atas dipan. Adek merangkak ke atasnya lalu meringkuk. Risky menggeletak di sampingnya. Sebentar kemudian, keduanya langsung pulas. Padahal Abah baru menyuruh orang untuk membawakan kasur dan selimut tebal ke ruangan itu, yang akhirnya hanya diletakkan di kaki dipan. Dini hari saat Risky terbangun kedinginan dan mendapati Adek berdempet padanya, ia menggelar selimut tebal menutupi badan mereka berdua.

Risky terbangun oleh cahaya matahari yang merembes melalui celah-celah dinding anyaman bambu. Keluar dari ruangan itu, ia disambut oleh Emih yang sedang memasak di perapian. Abah sudah ke sawah, katanya. Risky mengatakan mau mandi dan ditunjukkan arah ke tempat melakukannya. Ia membangunkan Adek.

Di kamar mandi, terlebih dahulu ia melepaskan semua pakaian Adek. "Kak, pipisnya enggak mau keluar," keluh Adek sementara Risky meloloskan kausnya sendiri.

"Kelamaan ditahan semalam," sekarang Risky tinggal bercelana pendek.

"Bisa! Bisa!" Adek kegirangan lalu dibungkam guyuran air oleh Risky.

Selagi disabuni, Adek melongok ke dalam bak yang hitam berlumut itu. "Iii, ada ikannya!"

Risky ikut melongok.

"Itu buat makan jentik nyamuk."

"Itu apa?!" Adek menunjuk sebentuk lonjong lagi kenyal berwarna gelap yang ujungnya bersungut di dasar bak.

"Siput."

"Itu?!"

"Cacing."

Bagus. Mereka belum lagi keluar rumah dan Adek sudah belajar keanekaragaman hayati dari dalam kamar mandi. Risky sendiri tak mengingat berbagai detail tersebut dari masa kecilnya.

Setelah Adek mengenakan pakaian bersih, Risky menyuruhnya menunggu sebentar di luar kamar mandi sementara ia sendiri membersihkan dirinya cepat-cepat. Keluar dari kamar mandi, ia mendapati Adek sedang mengulurkan rumput kepada sapi yang kandangnya tak jauh di seberang.

Mereka sarapan dan sekali lagi Risky menanyakan Abah. Emih menawarkan untuk menyusul Abah ke sawah.

Yah, Risky tidak bisa langsung meminta doa restu lantas pulang. Memang sudah takdirnya mengajak Adek menikmati nostalgia masa kecilnya dahulu.

"Sawahnya lebih luas dari yang deket rumah, kan, Dek?" kata Risky saat mereka meniti pematang. Ia sengaja menghindari bagian sawah Abah dan mengambil jalur memutar menuju kali di kaki perbukitan.

"Hu uh!" sahut Adek.

Mereka sampai di tujuan. Tempat main air yang dahulu begitu mengasyikkan kini bak arena ranjau di matanya, dengan batu-batu besar dan jeram-jeram yang tampak dalam. Bagaimana ia dahulu dengan teman-teman masa kecilnya begitu asyik mandi dan berloncatan ke sana kemari tanpa seorang pun tewas terbentur batu atau terhanyut entah ke mana?

"TAHAN!" serunya begitu Adek siap mencebur.

Sudah mah membawa kabur Adek, ia tak mau pulang membawa anak itu dalam keadaan celaka ataupun sesuatunya yang lebih parah.

"Udah, sini aja, cari kepiting." Risky menggiring Adek ke sisi yang dangkal, tempat terdapat banyak lubang di tepian sungai yang kemungkinan sarang kepiting. Ia mencari semacam ranting untuk menyodok lubang agar kepitingnya keluar. Tapi, ia cuma meleng sebentar, Adek sudah lompat lagi ke tengah. Anak itu bersikeras ingin menaiki batu yang sangat besar. Risky mengalah. Ia membantu Adek menaiki batu itu kemudian ikut duduk di sebelahnya. Sejenak ia menikmati pemandangan dari atas batu tersebut, Adek sudah menghilang lagi.

"ADEEEK!"

Anak itu sama sekali tidak betah duduk berlama-lama sekadar untuk mencari kepiting atau menikmati pemandangan, tidak sedikit pun membiarkan Risky mengendurkan pengawasannya. Mereka bermain-main di kali itu sampai sinar matahari terasa menyengat.

"Balik yuk ah!"

"Katanya di situ banyak binatangnya!" Adek menunjuk ke bukit.

"Kapan-kapan lagi aja. Sekarang udah siang!"

"Kenapa?"

"Panas!"

"Enggak apa-apa!"

"Nanti dicari Abah! Dimarahin!"

"Hu-uuuh! Kalau sore boleh enggak? Kan udah enggak panas?"

"Enggak boleh."

"Kenapaaa?! Kalau udah bilang sama Abah, boleh?!"

"Enggak boleh."

"Iiih, itu mah kata Kakak! Bukan Abah!"

Sekujur tubuh telah basah kuyup namun lamat-lamat mengering sementara mereka menyusuri pematang sambil bergandengan tangan. Kali ini Risky mengambil jalur yang secepat-cepatnya sampai ke rumah Abah.

Di kejauhan tampak rumah itu beserta Abah berdiri di muka pintu, seperti yang sedang menunggu kedatangan mereka.

"Udah mainnya?" sambut Abah begitu mereka tiba. Ia mengusap kepala Adek yang tiba-tiba saja jadi malu-malu. Segera saja mereka disuruh mandi.

Rumah agak ramai karena ada saudara dan keponakan yang datang, sudah waktunya pulang sekolah.

Risky kembali harus melalui basa-basi meresahkan itu. Kepada mereka ia mengatakan bahwa ia baru lulus SMA tahun kemarin, dan di rumah saja mempersiapkan UMPTN. Apalagi ketika bertemu saudara yang sekaligus teman sepermainannya dahulu, Risky diceritai kabar lebih banyak mengenai teman-teman sepermainannya yang lain, yang sudah pada bekerja, bahkan menikah dan beranak, meski ada pula yang kuliah di kampus-kampus kecil.

Abah menepuk-nepuk punggung Risky dan mengatakan kepada yang lain dengan kebanggaan, bahwa Risky hendak menyusul ayahnya ke ITB. Padahal Risky belum mengatakan apa-apa, tapi Abah seperti bisa membaca pikirannya. Risky tersenyum saja dengan pandangan agak tunduk, sedang yang lain-lain terpukau menatapnya. Abah lalu bercerita tentang betapa pintarnya ayah Risky. Saat itu akhir tahun '60-an, PLN belum masuk desa. Tapi ayah Risky bisa membuat rangkaian listrik sendiri dari bahan-bahan yang dibelinya di tukang loak. Rumah Abah pun menjadi yang pertama di desa itu yang terang oleh bohlam. Dengan yakin, Abah mengatakan bahwa Risky sepintar ayahnya dan mendoakan keberhasilannya di UMPTN nanti, dan sebagainya yang Risky teramat malu mendengarkannya, yang ditimpali dengan "amin" dari satu-dua orang saudaranya.

Tanpa diminta terang-terangan, doa restu sudah diberikan.

Tinggallah Risky termangu. Baik Abah maupun Papa menaruh kepercayaan besar kepadanya. Ia juga pada awalnya merasa yakin. Kalau Papa bisa, ia juga.

Ditambah lagi, sore itu, ketika ia duduk mengobrol berdua saja dengan Abah--tidak jadi pulang segera sebab ditahan untuk menginap lebih lama--sementara Adek main dengan anak-anak sekitar yang sebayanya, mengalir cerita tentang zaman Jepang dan revolusi.

Saat itu Abah masih seusia Risky dan bergabung dengan laskar santri. Tentara Jepang melatih Abah dan kawan-kawannya, betapa keras dan disiplinnya mereka. Abah terkekeh mengingat bahwa Risky juga pernah dididik Jepang, papanya juga, tapi zamannya sudah berbeda. Risky manggut-manggut saja. Pengalaman tak mengenakkan selama bersekolah dan tinggal di Jepang agaknya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang Abah ungkapkan kemudian, ketika satu per satu tetangganya dibawa untuk jadi romusa dan tidak pernah terdengar lagi kabarnya serta berbagai kemelaratan pada masa itu. Abah sendiri banyak bergerilya di hutan, makan daun-daunan dan umbi-umbian, sampai tulang belulang tercetak di sekujur tubuhnya, bersama-sama tentara Jepang yang tersisa setelah Indonesia merdeka melawan para tentara bule.

Kisah Abah yang kental oleh bumbu heroisme itu membuat Risky berpikir, kakeknya ini sungguh pemberani. Khayalannya membawa dia ke masa itu, menempatkan diri dalam situasi Abah. Badannya tentu tidak akan segempal ini, kulitnya juga tidak akan sebegitu terang. Mungkin ia jadi kurus, keling, dan kucel, tatapannya penuh waspada mengawasi setiap pergerakan di antara pepohonan, alih-alih hampir juling dengan kepala pusing akibat banyak-banyak memikirkan materi UMPTN. Situasi Abah pada waktu itu antara hidup dan mati; peluru bisa menghantamnya dari arah mana saja. Sementara Risky kini, yah, ia juga bisa mati kalau gagal kuliah, gagal mendapat pekerjaan, hanya saja prosesnya jauh lebih lamban. Risky coba menghayati ketegangan Abah dan kawan-kawan selama di hutan; apakah persis dengan ketegangannya saat membayangkan kegagalan UMPTN?

Papanya orang pintar, dan abahnya orang berani. Namun Risky merasa tidak pintar, tidak juga berani, mengingat kesulitan-kesulitannya dalam pelajaran, serta ketakutannya akan masa depan. Semakin didengarkan, ocehan Abah semakin membuatnya lemas. Namun Abah kian bergairah. Ia meninggalkan Risky yang sedang menerawang langit petang yang membentang di hadapannya, masuk ke kamar lalu keluar lagi dengan membawa satu setel seragam berbau kamper: jas hijau, kemeja kerah putih, celana panjang hijau, dan topi hijau. Ia menyerahkannya kepada Risky.

"Apa ini, Bah?"

"Itu seragam teman seperjuangan Abah dulu."

Risky tidak mengerti kenapa Abah memberikannya. Ia hendak mengembalikan barang itu, tapi Abah menahan.

"Bawa pulang aja."

"Oh, iya, nanti aku pakai waktu UMPTN," Risky berkelakar. Abah tertawa.

"Yang muda itu yang berjuang. Tapi sekarang perjuangannya udah beda," kata Abah.

Risky memandang seragam di pangkuannya. Ia mafhum. Abah mungkin ingin dia memiliki semangat juang. Seragam ini adalah simbol nyata yang bisa dilihat, dipegang, dicium.

Abah menceritakan tentang teman seperjuangannya dahulu yang dimaksudnya tadi itu. Saat Abah dan teman-temannya mulai gentar karena sudah lama kurang makan sehingga kurang tenaga dan lagi kurang senjata, tentara Jepang yang kini membela laskar rakyat itu justru makin menggebu-gebu. Hasratnya untuk mempertahankan kemerdekaan negara yang padahal bukan tanah airnya malah lebih besar daripada para pemuda lokal yang mulai menciut nyalinya. Ia memberikan contoh akan semangat nasionalisme yang sebesar-besarnya. Kekecewaannya kepada bangsanya sendiri yang telah bertekuk lutut kepada sekutu, tak menyurutkan tekadnya untuk menepati janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.

Risky takjub. Ada tentara Jepang yang alih-alih ikut pulang ke negaranya sendiri malah menetap di Indonesia?

"Terus sekarang orangnya gimana?" tanya Risky.

"Sudah mati, ditembak Walanda."

"Heh?"

Si orang Jepang hendak menularkan semangat keberanian kepada yang lain-lainnya, yang hampir pada lari dari hutan. Saat Belanda mengokang senjata, bersiap menyasar mereka, ia melompat dari persembunyian dan menerjang peluru yang membabi buta.

Risky terdiam.

"Tuh, kuburannya sebelah sana," Abah menunjuk jauh-jauh, entah ke bukit yang sebelah mana. "Besok, yuk."

Namun Risky menolak dengan alasan tidak diberi izin oleh Mama untuk menginap lama-lama. Keesokan paginya, ia dan Adek pun berpamitan kepada sanak kerabat. Ia mencium tangan Abah, meminta doa restu sekali lagi, lalu bersama Adek membonceng motor saudara yang hendak mengantarkan mereka sampai terminal.

Sepanjang perjalanan pulang, benaknya tersita oleh nasib si tentara Jepang. Begitulah kalau nekat, pikirnya. Orang Jepang memang enggak takut mati sih, ingatannya melayang kepada Si Kepiting yang hanya berupa gundukan putih di atas tandu sebelum dimasukkan ke ambulans.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain