Mama sudah tidak lagi menaruh uang di
sembarang tempat. Tiap Adek mau jajan, Mama memberi dia jatah uang. Tapi Adek
tidak mau mengerti soal jatah. Ia akan merajuk, merengek, menangis,
menjejak-jejakkan kaki, membanting diri ke lantai atau ke dinding, namun Mama
bergeming.
Adek pun beringsut ke kamar Risky.
Kadang ada recehan tercecer di karpet, atau di tempat tidur, atau di meja--di
mana saja. Kalau tidak menemukan, Adek berusaha menjangkau celana Risky yang
tergantung di balik pintu, sampai pernah gantungannya jatuh dan ia terkubur di
balik pakaian-pakaian setengah bau.
Untuk mengusir Adek yang kerap memecah
konsentrasinya belajar, biasanya Risky memberi anak itu uang ala kadarnya. Tapi
Adek tidak pernah merasa cukup. Berburu uang di kamar Risky jadi keasyikan
baru. Ia meneliti ke balik karpet, kolong tempat tidur, membuka laci-laci, membongkar
koleksi yang sudah ditata Risky rapi-rapi, sampai lupa bahwa tadinya cuma mau
mencari duit.
Risky masih bisa menahan kesabaran, asal
adiknya tidak berisik. Kalau adiknya berisik, Risky akan membentaknya. Kalau ia
mengunci pintu kamarnya, Adek akan lebih berisik lagi dengan berbagai cara
minta dibukakan. Kalau Mama sampai menyusul ke atas, ketiganya bagai ledakan
petasan Ramadan yang berentet tak habis-habis.
Sore itu, ketika Risky sedang
jalan-jalan sekalian mencari rokok, Adek masuk ke kamarnya, mulai berburu. Adek
menarik laci meja belajar Risky. Biasanya ada lipatan duit di antara alat tulis
yang terserak. Kali ini Adek menemukan secarik amplop. Ada tulisannya. "T
... O ... TO ... S ... H ..." Adek mengeja. Mama telah mulai mengajari dia
membaca. Tapi S, H, dan E, bagaimana membacanya? Adek membawa amplop itu kepada
Mama yang sedang bersantai menonton TV.
"Ma, ini apa bacanya?"
Mama menerima amplop itu. "To Shelly."
Mama mengernyit. "Ini dari mana, Dek?"
"Dari kamar Kakak."
"Ooo." Mama tersenyum.
"Balikin sana."
"Ini suratnya buat siapa, Ma?"
"Buat Teh Shelly. Udah, sana
balikin. Nanti Kakak nyari lo."
"Oh ... buat Teh Seli ...."
Adek menjauh. Mama tidak menghiraukannya lagi, kembali terserap oleh tayangan
di televisi.
Alih-alih kembali ke kamar Risky, Adek
malah menaiki sepedanya yang kini sudah beroda empat. Ia mengayuh sampai ujung
jalan, tempat rumah Shelly berada.
"TEH SELIII ..." panggilnya di
muka rumah itu.
Yang keluar malah ibunya. "Lo, Dek
Ian, ada apa? Shelly belum pulang."
"Ada surat dari Kak Iki! Buat Teh
Seli ...." Adek menyerahkan amplop itu. Mama Shelly menerimanya dan
memandangi barang itu dengan takjub. Adek memutar sepedanya, menganggap
tugasnya sebagai tukang pos dadakan telah tuntas. Ia pulang dengan girang
karena merasa telah berbuat baik kepada kakaknya. Sampai di rumah, Adek sudah
lupa dan tidak pernah mengatakan apa-apa tentang penemuannya itu kepada Risky.
Shelly tiba di rumahnya, selepas
jalan-jalan sepulang sekolah bersama gacoannya di kelas. Hatinya berseri-seri
karena dari gelagatnya Shandy tampak benar-benar tulus menyukainya. Tinggal
menunggu cowok itu putus dari cewek yang satunya.
Mama Shelly kemudian menyerahkan surat
itu.
"Dari siapa, Ma?" tanya Shelly
sambil membolak-balik amplop. Tidak ada nama pengirimnya.
"Dari Kak Iki, kakaknya Dek Ian itu
lo, anaknya Bu Slamet," jawab Mama Shelly selengkap-lengkapnya.
Kak Iki ...?
Sosok yang menyerupai Bigfoot atau
Yeti itu?!
Shelly tercengang.
Memang Kak Iki tidak jelek. Wajahnya
lucu persis adiknya, ditambah cambang yang berserakan di bagian bawah wajahnya.
Tapi, kalau dibandingkan dengan Shandy yang potongannya model cover
boy ... kalah lah!
Setelah masuk ke kamarnya, Shelly
membaca surat itu. Mulanya ia heran dengan kata "merdeka" yang
berulang-ulang. Apa hubungannya dengan bintang Leo? O rupanya Kak Iki mau ikut
UMPTN dan masuk ke ITB. Kenapa jadi mendaki gunung? Sampai di "hatiku
berdegup kencang saat melihatmu", Shelly ikut berdebar. "Because
it's you" membuatnya menggigil, seakan-akan mendamparkannya ke puncak
gunung sungguhan. "Bintangmu apa?" Shelly mencampakkan kertas itu.
Beberapa lama Shelly mengabaikan surat
itu. Saat harus bersih-bersih kamar, barulah ia memungutnya dan kebingungan
apakah dibuang saja ataukah ditaruh di tempat yang jarang ditengoknya. Akhirnya
ia memasukkan barang itu ke suatu kotak, bercampur dengan surat-surat lain yang
kebanyakan dari para sahabat penanya. Kemudian ia kembali melupakan adanya
surat itu.
Hingga, suatu sore, Shelly hendak ke
warung. Di teras, ia melihat adik lelakinya beserta teman-teman sepermainan
anak itu pada berjongkok di balik dinding pembatas halaman sambil sesekali
melongok ke arah jalan. Mereka tampaknya sedang bersembunyi. Shelly keheranan,
namun tak mencampuri. Ia melangkahkan kaki ke jalan, berbelok, dan seketika
saja ia mundur lagi dan bergabung bersama anak-anak itu. Ia bergeming sampai
mendengar ada di antara anak-anak itu yang bersuara, "Si Wowo udah pergi.
Aman!"
Anak-anak itu satu per satu lepas ke
jalan. Shelly mengikuti. Tapi, tahu-tahu sosok itu muncul lagi menghadap
mereka, baru keluar dari rumahnya--rupanya barusan ia sedang mengambil duit
yang ketinggalan. Anak-anak itu berlarian kembali masuk teras, meninggalkan
Shelly yang terpaku di jalan. Sosok itu juga melihat dia, dan terhenti. Sesaat
mereka berpandangan saja dari jauh.
Sosok itu menyeringai. Shelly
terperangah, sudah tidak memerhatikan lagi orang di kejauhan itu berjalan
mendekat sambil tertunduk rikuh lalu belok di perempatan dan menghilang. Yang
dipikirkannya hanya surat itu. Orang itu pasti menunggu-nunggu dia membalas
surat itu!
Nantinya, ketika si adik sudah pulang
dari bermain, Shelly iseng-iseng menanyakan kejadian tadi, "Tadi sembunyi
kenapa sih? Kayak ketemu orang gila aja."
"Teteh enggak tahu, ya? Temen aku
kan pernah dilempar sampai tangannya robek! Terus pernah juga dia lempar-lempar
batu ke kita!"
Shelly terperanjat. Orang itu memang
gila!
Lantas timbul bayangan kalau ia tidak
cepat-cepat membalas suratnya, bisa-bisa orang itu datang ke rumah untuk
menagih dan ....
Shelly pun mengambil pulpen dan kertas.
Sekarang ia sudah resmi pacaran dengan Shandy, tidak ada yang boleh memisahkan
mereka. Ia harus menjelaskannya kepada Kak Iki. Mudah-mudahan orang itu
mengerti. Shelly tidak mau memberi dia harapan yang berlarut-larut. Bisa-bisa
nanti Shelly diganggu ....
Kak Risky yang baik ... tulisnya.
Lalu ia mencoretnya.
Kak Risky yang terhormat ....
Ia mencoretnya lagi.
Aduh, kalau begini kapan jadinya surat
ini?!
Shelly menulis cepat-cepat di selembar
kertas yang bagus dan wangi.
Kak Risky Perdana Ashary yang terhormat
...
Terima kasih atas surat dari Kakak.
Shelly merasa tersanjung menerimanya. Shelly doakan moga-moga Kakak bisa
mencapai kemerdekaan yang diimpikan. Selamat mengikuti UMPTN, ya, Kak. Semoga
Tuhan meridai Kakak masuk ke kampus yang diidamkan.
Aduh, apa lagi, ya? Ini bagian sulitnya:
Dengan ini, Shelly meminta maaf yang
sedalam-dalamnya, karena Shelly sudah ada yang memiliki. Moga-moga Kakak
mengerti. Karena bagi Shelly, "Because it's him."
Terima kasih yang sebesar-besarnya atas
pengertian Kakak.
TTD
Shelly Ratnasari
NB.
Bintang Shelly Taurus, jadi enggak cocok
sama Leo. Pacar Shelly Virgo. Mohon maklum, ya, Kak.
Shelly tidak mau memikirkannya
lama-lama, sehingga langsung memasukkan surat itu ke dalam amplop yang sepaket
dengan kertasnya.
Saat itu sudah magrib. Jalan sepi.
Shelly berusaha melangkah cepat tanpa suara. Sampai di depan rumah Bu Slamet,
ia menyelipkan amplop itu ke lubang kotak surat lalu bergegas pergi.
Esoknya ketika mengecek kotak surat,
Mama mendapati amplop tersebut. Tulisannya rapi khas anak perempuan. Desainnya
pun cukup centil, bergambar pemuda tampan. Mama mengernyit, tergoda untuk
mengintipnya. Tapi ia mengurungkan rasa penasaran itu dan menyuruh Adek
menyampaikan surat tersebut kepada Risky.
Adek mengendap-endap memasuki kamar
Risky. Kakaknya sedang duduk membelakangi pintu, menghadap meja belajar. Adek
menggelitiki bagian belakang kuping Risky dengan sudut amplop, membalas
keusilan kakaknya yang suka diam-diam menowel kupingnya juga. Risky terkaget,
Adek terkikik.
"Tok, tok, tok, ada pak pooos
..." kata Adek sebelum menyerahkan surat tersebut. Risky menerimanya
dengan heran. Jarang-jarang ada yang mengirim surat kepadanya, termasuk kartu
ucapan Lebaran. Ia membolak-balik amplop yang bertuliskan namanya itu, lalu membukanya.
Kak Risky Perdana Ashary yang terhormat ...
Terima kasih atas surat Kakak. Shelly
....
SHELLY!
Mata Risky terbelalak menyorot kata demi
kata pada surat itu. Napasnya tercekat. Pandangannya berhenti pada seraut wajah
tampan yang menebar pesona di pojok kanan halaman.
Bintangnya Taurus ....
Kertas itu terlepas dari tangannya,
melayang-layang ke lantai.
Lalu ia menarik laci di depannya,
mengobrak-abrik isinya. Memang surat untuk Shelly yang disembunyikannya di
pojok terdalam itu sudah tidak ada. Siapa lagi pelakunya kalau bukan ...
"ADEEEK ...!!!" Risky meraung.
Begitu dilihatnya Adek di lantai bawah,
sedang anteng-antengnya duduk menonton televisi di ruang tengah, segera
ditempelengnya anak itu keras-keras. Belum cukup, ia menambahkan tendangan
sambil memaki-makinya dengan bengis. Seakan-akan segala rasa kesalnya terhadap
anak itu yang selama ini ditahan-tahannya tak tertanggungkan lagi. Mama
cepat-cepat menahan, meraih pinggang Risky dan menariknya. Kesempatan itu
dipergunakan Adek untuk berlari lintang pukang keluar rumah. Mama tersodok oleh
siku Risky dan melepaskan pegangannya. Risky pun memelesat ke jalan, menengok
ke kanan dan ke kiri namun Adek tak kelihatan. Di persimpangan pun sama saja;
keempat penjuru jalan tak ada yang menampakkan anak itu. Risky berteriak
meluapkan emosinya. Mama menyusul, menegurnya keras tak malu lagi setelah apa
yang terjadi. Namun anak itu balas meneriakinya. Ia kembali ke rumah, masuk ke
kamarnya dan membanting segala barang yang aman dibanting sebelum terduduk di
kursi belajar dan tersengguk.
Sementara itu, Mama beredar ke
jalan-jalan. Ia mencari Adek hingga terpikir untuk mendatangi rumah
teman-temannya satu per satu. Nihil. Ia tidak tahu bahwa ketakutan telah
membawa Adek jauh sampai ke kompleks sebelah.
Mama kembali ke rumah. Risky telah
mengunci pintu kamarnya. Mama menggedor-gedor.
"Ki! Risky! Bantu Mama cari Adek,
Ki!"
Namun Risky tidak menyahut. Ia telah
meringkuk dalam selimut, membentengi dirinya dalam hasrat untuk ditelan bumi
dan tidak mau muncul lagi.
Mama berkeliling lagi ke jalan, sekalian
menunggu Papa pulang.
Sementara itu, Adek sampai ke lingkungan
yang belum pernah dimasukinya. Rumah-rumah di sini tampak tidak familier. Ia
berbalik menyusuri jalan yang dilaluinya tadi, sampai masuk ke kompleksnya
lagi. Tapi, ia gentar kalau-kalau di jalan bertemu Kak Iki. Air matanya kembali
menggenang. Ia tidak tahu kenapa Kak Iki tiba-tiba mengamuk begitu. Ia terus
berjalan dengan hati-hati, siap lari kapan pun tahu-tahu Kak Iki tampak.
Alih-alih menuju rumahnya, ia menghampiri rumah temannya.
Papa pun pulang. Mama menyambutnya
dengan risau.
"Ayo cari lagi ke rumah
temannya," kata Papa. Mereka pun berpencar setelah Mama memberitahukan
rumah teman-teman Adek yang orang tuanya dikenal Papa.
Memang kali ini Adek ditemukan. Tapi ia
tidak mau pulang sampai menangis-nangis, betapapun orang tua temannya sudah
bantu membujuk.
"Kakak udah enggak marah kok," Mama meyakinkan. Namun Adek bersikeras.
Akhirnya mereka bersikap seolah-olah mengizinkan Adek tinggal di situ. Saat Adek sudah tertidur lelap, orang tua temannya itu menelepon ke rumah sehingga Mama dan Papa datang untuk menjemputnya. Adek pun digendong Papa pulang, terlalu mengantuk untuk melawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar