Senin, 11 November 2024

Investigasi Pohon-pohon: 100 Puisi tentang Kerusakan Lingkungan Hidup

Gambar dari Tonggak Pustaka.
Penulis : Chairul Anwar
Edisi buku cetak I, September 2009
Edisi buku digital II, November 2022
ISBN : 978-623-91272-2-0 (E-) 978-623-361-000-0
Penerbit : Tonggak Pustaka dan Amongkarta, Yogyakarta

Saya menemukan buku ini di Ipusnas waktu iseng mencari buku puisi terkait alam dan sebagainya, langsung memulai membacanya, seperti membaca buku biasa. (Sampai titik ini, saya berpikiran bahwa membaca puisi sebagaimana yang diajarkan buku-buku teori terlalu memakan waktu, mungkin hanya bisa diterapkan oleh yang mempelajari puisi secara serius, bukan pembaca kasual :-/). 

Banyak puisi dalam buku ini mengulang-ulang celaan terhadap cukong, politikus, siapa-siapa yang terang berperan dalam perusakan hutan, yang demi dolar tidak saja menzalimi aneka ragam flora fauna, tetapi juga suka menzinai "asisten wanita berwajah kemilau". 

Karena kerap terasa bagai sambatan, buku ini mengingatkan pada buku Masuk Surga Karena Memungut Sampah (yang dalam waktu ini masih dibaca). Hanya saja, karena bentuknya puisi ketimbang esai, buku ini relatif lebih lancar dibaca. 

Sebagian puisi diakhiri dengan ketidakberdayaan penulis, kadang pula seperti mengakui bahwa yang diurainya hanya racauan. Contohnya dalam pernyataan-pernyataan berikut.
Rasanya tulisan ini harus menepi deh sebab hanya bikinan orang sedih berlarat-larat (halaman 127, "Kabar Pohon dan Semak-semak Dilumat Api")
Aku hanya pengembara yang kantongnya kosong perut juga keroncongan dan tulis puisi walau tak ada yang baca (halaman 129, "Puisi Iseng Semak-semak Pakis Tak Terbaca")
Sebaiknya kata-kata dalam puisi ini jangan dibiarkan mengalir deras ke hulu. Kesasar kau nanti. Sebab hanya ditulis orang yang hidup sepi sendiri di hilir berteman gerimis (halaman 135, "Pesan Ikan Mujair kepada Jeram")
Agaknya tak penting dilanjutkan keluh peyair yang cuma keturunan anak buaya (halaman 144, "Keluhan Keturunan Buaya")
Setelah banyaknya puisi yang cenderung seragam, jadi timbul gagasan bahwa kuantitas bisa saja diimbangi dengan perluasan atau pendalaman kualitas. 

Misal, dalam isu lingkungan hidup, sesungguhnya bukan cuma cukong/politikus saja yang bisa dipersalahkan, melainkan setiap manusia termasuk orang biasa pun berperan. Individu dapat mengambil tanggung jawab terhadap apa pun yang ia konsumsi, dengan melacak mulai dari bagaimana barang itu diproduksi, didistribusikan, sampai setelah menjadi sampah. Apalagi dalam kaitannya dengan keperempuanan, jenisnya bukan cuma "asisten wanita berwajah kemilau" melulu yang bisa diungkit, sebab dalam urusan belanja kerumahtanggaan yang biasanya dipercayakan kepada perempuan, kaum ini memiliki peran tak kalah penting dalam menentukan timbunan sampah yang berakhir di TPA. 

Selain itu, melihat dari judul-judulnya saja dalam daftar isi yang menyebut beragam spesies (: pinang, angsoka, mahoni, ular sanca, sonokeling, akasia, cocorbebek, burung murai, kuping gajah, kayu ulin, kerbau, lebah, kucing hutan, semut, burung parkit, babi hutan, burung merak, siamang, landak, kumbang, harimau belang, dan banyak lagi), jadi timbul ekspektasi puisi-puisi ini akan memberikan kekayaan wawasan sebagaimana dalam buku Pohon-pohon Sahabat Kita: Sajak Anak-anak. Namun, isinya lagi-lagi tentang cukong dan "asisten wanita wajah kemilau", alih-alih mengeksplorasi lebih jauh atau spesifik mengenai spesies yang disebut pada judul.

Kesan seragam itu mengemuka kiranya karena puisi-puisi ini dibaca secara terusan. Sebetulnya ada saja sepilihan puisi yang kena dalam menggugat kepedulian pembaca agar berempati terhadap makhluk-makhluk selainnya, menempatkan mereka dalam posisi yang sejajar. Puisi dalam buku ini pun mungkin akan lebih seru bila dibacakan keras-keras sebagai pengisi acara lingkungan hidup. 

Berikut salinan utuh satu puisi sebagai contoh.
Air Mata di Pipi Pohon-pohon Pinang

Kini aku pohon-pohon pinang di hutan-hutan yang tak lagi perawan
mustahil bisa menatap sinar matahari menerobos dari daun-daun dan ranting-ranting
Simak setiap bunyi yang keluar dari siul burung-burung tentang kedamaian
Dari azan subuh berkumandang hingga isya menyapa yang tersisa hanya udara kering
Doa-doa untuk kebahagiaan terjepit di geladak kapal mengangkut kayu gelondongan
Orang-orang yang senantiasa mengisi hidupnya degan mulut madu kebohongan

Engkau tidak seksama melihat pohon meranti meneteskan air mata
Pernahkah engkau punya niat menghapus air mata di pipi pohon keruing?
Apakah engkau pernah membandingkan air mata bahagia keluargamu bergelimang harta
dengan air mata pohon-pohon pinang di hutan yang terluka parah karena hangus?
Banyak yang kita tidak tahu apa yang dirasakan tanaman di hutan dan binatang melata
Tetapi engkau juga tidak tahu apa yang engkau dan keluargamu rasakan itu semacam rakus
Sadar atau tidak, kalau berbulan-bulan kayu gelondongan diseret liar ke mana-mana
Selama itu pula orang-orang telah melukai tubuhnya dan sungai meminum darahnya
Tetapi pernahkah terpikir olehmu suatu ketika mereka meminta engkau tetap jadi tikus?
Tidak, tidak sama sekali, katamu dengan tubuh terguncang dan mulut terbata-bata
Tetapi tetap saja engkau riang gembira meminum darahnya tak putus dirundung haus

Engkau senang membawa ke mana-mana kepala kosong lantaran enggan merenung
betapa berharga darah dan nyawa, meskipun itu hanya sebatang pohon dan seekor capung
Kebahagiaanmu, kebahagiaan keluargamu, kolegamu adalah kolaborasi membagi untung
tinggal menyisakan korban diiringi penyesalan, apa guna untung jika kepala buntung?

Yogyakarta, 18 Juli 2014

(halaman 11-12)
Kutipan favorit:
Kesendirian adalah jalan terbaik yang harus ditempuh agar kau luruh
bersemayam dalam sepi berkerumun sunyi agar jiwamu mudah tersentuh
menyaksikan harimau belang berlarian dikepung lidah api tubuh melepuh
(halaman 149, "Harimau Belang dan Beruang Madu")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain