Rabu, 30 November 2011

Masak Bareng

Persiapan BMC berjalan lamban minggu-minggu ini—bahkan sering tidak ada yang mesti dikerjakan sama sekali. Meski demikian, kata Teh Icih, kami harus tetap siaga. Jangan terlena sampai jadi gelagapan ketika momennya tiba. Kami bakal sangat dirusuhkan. Aku harap itu tidak menggangguku dalam persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Tapi aku sendiri sampai sekarang belum memutuskan hendak meneruskan ke mana. Biarlah itu jadi urusan nanti saja.

Dengan demikian, aku pun tidak sering berjumpa Manda lagi. Terakhir kali bersua, kami menonton konser di CCF. Kami pulang larut sekali karena ia hendak menikmati panorama Bandung di waktu malam dulu. Jelas esoknya aku bangun kesiangan. Aku putuskan untuk sekalian bolos saja he he. Entah bagaimana dengannya.

Aku lebih kangen ketemu Om Yan ketimbang ketemu Manda lagi. Setiap melihat pemberitaan tentangnya di media, aku maklum kalau ia punya semakin banyak acara. Ia semakin dikenal publik Indonesia. Aku pertimbangkan untuk mengontak melalui media sosialnya lagi.

Tapi sebelum aku benar-benar niat untuk mewujudkannya, itu sudah tidak diperlukan. Uwak Tata menyuruhku mengantar kue ke rumah Tante Zahra. Dengan menggunakan motor Uwak Tata, suatu petang di akhir minggu aku berkendara ke kompleks perumahan tanteku yang dosen itu. Seperti rumah-rumah di kompleks perumahan Om Yan, rumah-rumah di sini juga enak dilihat.

Ketika melihat sebuah mobil hitam, panjang, dan besar terparkir di depan pagar rumah Tante Zahra, hatiku langsung girang. Aku familier sangat dengan nomor plat yang menempel di bempernya.

Ketika mendekat, aku lihat tanteku sedang mengobrol bersama Om Yan di kursi teras. Pintu di samping Tante Zahra terbuka lebar.

Aku menyalami mereka. Tante Zahra menyuruhku langsung masuk ke dalam rumah. Aku ingin setidaknya menyapa para sepupuku, tapi sepertinya mereka ada di lantai dua. Aku hanya bertemu dengan suami Tante Zahra yang sedang membaca buku di ruang tengah. Ketika aku keluar lagi, rupanya Om Yan sudah hendak pamit. Tante Zahra menyuruhku memanggil suaminya. Kalau begitu, aku pun sekalian saja.

Om Yan sempat menegurku ketika kami berjalan ke luar halaman rumah yang tidak luas itu. Basa-basi sebentar dan tahu-tahu saja ia sudah menyambungkan pembicaraan dengan Manda lagi.

“Kapan main ke rumah lagi, Bibe?” tanyanya ramah. Ia membuka pintu mobilnya sedang aku memakai helm.

“Kapan ya Om?” balasku dengan tanya lagi, namun memendam sedikit semangat. Aku senang kalau bisa bertemu dengan ibunya Om Yan lagi, sekaligus membalas kue buatannya yang lezat itu silam hari.

“Ajak juga cowoknya Bibe.” Senyumnya makin manis.

“Ah, siapa?”

“Siapa aja boleh ha ha… Ayo, Ayah kan harus kenal sama cowok yang lagi dekat sama Bibe…”

Ya ampun, ia masih ingat saja! Sebagaimana aku suka merongrongnya terkait Tante Ri, ia balas merongrongku dengan cowok yang diisukan dekat denganku selama kegiatan persiapan BMC. Dasar, Om Yan ini kerjanya menggosip dengan Teh Icih saja.

Ia baru benar-benar masuk mobilnya setelah kami menentukan waktu yang tepat untuk mendatangi rumahnya lagi.

“Oke, moga-moga dia bisa ya Om,” sahutku.

“Sip.” Setelah ia menutup pintu mobil, barulah motor yang kukendarai melesat.

Begitu aku bisa duduk di lantai lagi, aku mengirim sms pada Manda. Aku ajak dia main ke rumahku dan aku punya kejutan untuknya. Kutambahkan emoticon dengan mata berkedip. He, rumahku, padahal rumah Om Yan. “Kapan?” Ia balik tanya. Jumat sore, besok, jawabku, bisa deh, bisa bisa bisa… Ia tidak balas. Kalau ia tidak bisa, aku mungkin akan pergi dengan ditemani camilan sarat vitamin saja untuk ibunya Om Yan. Aku akan mempraktikkan cara membuat semacam skutel dengan kentang, brokoli, dan keju yang pernah Uwak Tata tunjukkan padaku.

Pada hari yang dijanjikan, Manda baru mengirim sms padaku lagi beberapa lama setelah Jumatan. Ia bertanya apakah aku sudah di rumah. Aku bilang kalau yang kumaksud kemarin bukan rumahku—ke mana ia biasa mengantarku pulang, melainkan ke rumah yang lain. Adonan skutel baru saja kumasukkan ke dalam pinggan tahan panas. Aku tanya apakah ia mau main dulu di rumah Uwak Tata, aku berikan alamatnya. Ia setuju. “Sampai ketemu Sayang :-*” Aku tergelak karena balasannya. Ketika kami saling menggoda dan genit pada satu sama lain, itu hanya pretensi. Tapi ia memang orang yang baik.

Setelah putar-putar sebentar, Manda sampai ke rumah uwakku. Ia bilang ia baru saja ujian. Kemarin ia belum bisa memastikan kapan ujiannya selesai sehingga masih ragu untuk menanggapi ajakanku. Tidak mengapa, kataku, ia ada waktu luang saja aku bersyukur. Ia bermain dengan Rifky yang juga baru pulang dari sekolah sementara aku bersiap. Terdengar canda Manda pada Uwak Tata. Ia sebenarnya orang yang mudah akrab dengan orang lain, tapi entah mengapa dalam kepanitiaan BMC ini ia selalu ingin bareng aku. Uwak Tata juga orang yang terbuka pada orang baru. Karena sungkan mengajak teman main ke rumah sendiri maupun ke rumah Tante As, maka aku mengajak siapapun yang ingin main ke rumahku ke rumah ini. Hanya karena tidak cukup kamar saja di rumah kecil ini sehingga aku jarang menginap.

“Mana kejutannya, Be?” tagih Manda. Ia menghampiriku di dapur. “Ini ya?” tanyanya lagi begitu aku mengeluarkan pinggan tahan panas dalam oven. 

“Bukan,” kataku. “Habis ashar kita pergi ya.”

Aku baru ngeh kalau ia semakin gembil dan cokelat saja. Padahal sewaktu SMA ia tirus, putih, cakep, dan bersinar seperti pangeran. Betapa gejolak dunia kampus dapat mengubah seorang insan. Aku penasaran akan seperti apa aku setelah jadi mahasiswa nanti. Yang jelas sepertinya aku tidak bakal menyusul ke kampus Manda.

Setelah menumpang solat ashar di rumah Uwak Tata, kami pun hendak berangkat.

 “Dadah sama Teh Bibe sama pacarnya,” titah Uwak Tata pada Rifky. Manda tertawa. Ia sudah duduk di atas motor. Aku menaruh bawaanku yang berupa skutel dalam wadah tupperware dalam tas plastik di belakang tubuhnya.

“Ah Uwak mah sok ngagosip wae da,” omelku sembari duduk di atas motor.

Melajulah kami.

“Mau ke rumah siapa emangnya Bong?” Manda suka memplesetkan namaku jadi “Bibong”, masih lebih aman ketimbang yang lain. Waktu SD aku pernah membocorkan kepala anak sekelasku karena memplesetkan namaku jadi panggilan tak senonoh. Sekarang aku bersyukur ia jadi juara olimpiade.

“Ada deh, kan kejutan…”

Rumah Om Yan sebenarnya masih satu wilayah dengan rumahku. Jika rumahku ada di punggung bukit, maka rumahnya terletak di lembah.

Manda terus menebak-nebak. Sebisa mungkin aku berkilah.

Begitu motor berhenti, kepala Manda mendongak. Ia amat-amati rumah berarsitektur zadul itu. Seperti kunjungan sebelumnya, aku bermaksud masuk lewat samping rumah. Ia tidak jadi meninggalkan helm di motor begitu melihatku membawa helmku serta.

Pintu yang kutuju terbuka sedikit. Aku mengetuk pelan seraya melontar salam. Manda yang masih terbengong-bengong mengamati eksterior jadi makin bengong lagi begitu melihat siapa yang melebarkan bukaan pintu untuk kami.

“Hei Bibe, kirain enggak jadi datang,” sambut Om Yan ramah. Manda baru berhenti mencolek punggungku ketika Om Yan mengajaknya berjabat tangan.

“Manda… Om..”

“Panggil Yan aja. Ayo, langsung duduk aja…” Ia menggiring kami ke ruang terdekat, ruang makan. Di sana kami duduk.

Ketika Om Yan undur sebentar, suara Manda nyaris berupa bisikan. “Be, aku enggak percaya…” Kepalanya sedikit bergoyang.

“Percaya aja deh. Om Yan itu teman mamaku kok.”

“Om Yan…?”

Om Yan datang lagi. Sebagaimana kunjungan sebelumnya, ia hanya mengenakan oblong dan celana pendek saja. Aku geli dengan sikap Manda ketika Om Yan mulai menanyainya macam-macam. Lama-lama sikap cowok itu mulai rileks, bahkan ikut terbahak sesekali.

“Aku bawa makanan lagi buat ibunya Om,” kataku begitu percakapan sempat terisi hening. Kusodorkan bungkusan yang kubawa.

Om Yan mengeluarkan isinya. “Wah, terima kasih ya Bibe. Ibu juga tadi kayaknya mau masak tuh...”

“Ibu ke mana Om?”

“Tadi lagi mandi. Mungkin sebentar lagi selesai…”

“Eh ya Om, Manda bisa main piano juga lo Om. “Aku menepuk punggung Manda pelan. Manda menoleh padaku seakan aku telah membuka rahasia terbesarnya.

“Oh ya?”

“Saya udah lama enggak main Om. Enggak tahu masih ingat cara mainnya apa enggak.” Manda mengusap-usap tengkuknya.

“Kalau mau main, ada piano tuh…”

Aku menepuk punggung Manda lagi. Ketika ia menoleh, aku memberinya tatapan meyakinkan. Kami mengikuti Om Yan menuju ruangan lain yang masih bersisian dengan taman. Ada sebuah grand piano berwarna hitam. Manda memandangnya dengan takjub.

Aku lihat ia agak gugup ketika meletakkan jari-jarinya di atas tuts. Apalagi dengan aku dan Om Yan mengapit tak jauh dari samping kiri dan kanannya. Om Yan berdiri sedang aku menumpu kedua lenganku di atas badan piano. Manda coba memainkan melodi sederhana seperti “Twinkle Twinkle Little Star”. “Saya biasa mainin aja Om, soalnya adik-adik saya suka,” katanya malu-malu.

“Oh ya? Hebat, pasti adiknya senang sekali ya.” Manda agak tersipu namun ia berusaha menyembunyikannya. “Punya adik berapa, Manda?”

“Lima.”

“Lima?”

“Aku selalu pingin punya adik sampai lima orang,” kataku. Sudah lama aku tidak menyentuh impiku yang satu itu.

Manda mengarahkan kembali pandangannya pada tuts-tuts piano. Dengan canggung, jari-jarinya merangkai sebuah melodi lagi. Lama-lama susunan itu terdengar lancar. Aku seperti pernah mendengarnya, namun tidak terlalu familier. Lain hal dengan Om Yan. Ia menatap Manda dengan kagum. “Hebat,” katanya lagi.

“Saya baru bisa yang ini aja Om. Yang lainnya agak susah ngikutin.” Manda menunduk saat mengucapkan itu, namun ia terlihat puas.

“Enggak apa-apa. Ini bikinnya aja sampai sebelas tahun kok.”

“Ah yang benar Om?”

“Iya.” Nada Om Yan meyakinkan. Aku jadi ingat, tapi aku lupa pernah membaca di mana, karier Om Yan sebagai musisi jazz profesional memang baru melejit setelah usianya mendekati kepala tiga. Pada waktu itu ia menggubah musik yang membuatnya jadi incaran para produser. Perlu kerja keras benar untuk mengasah bakatnya agar jadi emas paling diburu.

Obrolan kami disela dengan hadirnya sosok paling ingin kujumpa sore itu. Ia sosok tinggi semampai yang membuat Manda sempat bertanya-tanya padaku, “Manggilnya Bu, Nenek, apa Tante?”

“Aku sih kemarin manggilnya ‘Ibu’ aja,” sebagaimana Om Yan, toh itu memang sebutan paling umum untuk seorang wanita.

“Ini siapa?” tanyanya pada Manda yang seketika mencium tangannya. Kelembutannya diwarnai keheranan.

“Saya temannya Bibe, Bu” jawab Manda, berusaha sesopan mungkin. Melihat sosok anggun berbalut blus biru muda itu, kian kentara kejengahan Manda.

“Teman spesial, hm?” Ibunya Om Yan melirikku. Aku sontak menggeleng-geleng. OmYan menjelaskan pada ibunya soal proyek BMC. Di sanalah aku dan Manda sejak mula kompak membantu dalam tim.

“Manda udah ada kok,” kataku. Aku bukan sekadar menggoda, tapi memang Manda suka cerita tentang teman cewek sekampusnya yang manis manja. “Oh ya, Bu, kemarin makasih lagi kuenya…” kataku. Aku sendiri masih tidak kuasa mengendalikan segan ketika bicara dengan wanita itu. Sekilas-sekilas, aku menangkap wajah Om Yan di wajahnya. “Aku bawa lagi, he he…”

“Oh, baik sekali Bibe.” Ia berbalik. “Kita cicipi sama-sama ya…” Aku menggiringnya menuju tempat di mana aku meletakkan bawaanku. Ketika kupikir wanita itu tidak awas, aku memberi isyarat pada Manda agar mengikuti kami. “Sudah minum belum?” tegur ibunya Om Yan. Memasuki ruang makan, sudah tersaji minuman untuk kami di meja. “Si Bibik bikin apa ini?” Wanita itu berhenti sejenak di tepi meja untuk mengamati. “Diminum dulu ya?” katanya.

Aku dan Manda menurut. Kami duduk di kursi lalu menuangkan segelas jeruk nipis untuk diri kami masing-masing. Aku menawari Om Yan tapi ia menggeleng dengan senyum. Ia malah membukakan wadah berisi skutel yang aku bawa untuk ibunya.

Sang ibu mengambilkan pisau, garpu, dan piring kecil untuk kami semua. Ia menjumput sedikit masakanku. Aku mengamatinya dengan sedikit deg-degan. Aku seperti kontestan dalam program kompetisi masak di TV saja, sedang ia jurinya. “Hm… Kejunya agak banyak ya Bibe? Bagus lo brokoli, banyak vitamin C-nya.”

Aku merasa sedikit lega.

“Sudah dicoba sendiri makanannya belum?” tanyanya padaku.

Aku mengangguk. Kuambil sepotong untuk diriku sendiri. Aku ambilkan juga untuk Manda. Namun Om Yan ingin mengambilkan untuk dirinya sendiri saja. Aku merasa tersentuh ketika ia mengambil banyak. Katanya, “Yang sebelumnya enak juga lo Bibe.”

“Oh ya?’ sambutku sumringah.

“Kalau bikin lagi, adonannya diaduk lebih kental lagi ya,” ucap ibunya Om Yan. Ia tidak menambah lagi. Meski demikian aku merasa kritiknya sangat berharga.

“Ibu katanya mau bikin kue juga?” tegur Om Yan pada ibunya.

“Bibe sama Manda mau bantu?” Wanita itu menoleh pada kami. Aku lekas mengangguk.

 Manda memandang saja dengan matanya yang cokelat besar. Ia sibuk mengunyah. “Apa?” tanyanya agak telat. Mendadak aku merasa agak malu dengan sikapnya. Ibunya Om Yan tersenyum saja.

“Satu sekolah juga dengan Bibe?”

“Dulu iya.” Manda lalu menyebutkan di mana ia kuliah sekarang. Ibunya Om Yan menyebutkan beberapa nama pengajar di kampus Manda yang lambat-lambat Manda kenali juga. Semuanya dosen tua. Ternyata dulu ibunya Om Yan mengajar juga, tapi bukan di kampus Manda. Di sana ada sains dan teknologi tapi tidak ada fakultas kedokteran, sebab. Ibunya Om Yan kan mengajar para dokter—baik yang masih calon maupun sudah disumpah.

Ketika ibunya Om Yan beranjak, Manda menyorongkan piringnya padaku. “Tambah Bong.”

“Saya buatkan minuman lagi, mau?” Gerakan tangan Manda tertahan ketika wanita itu menengok kami.

“Boleh Bu.” Aku mengangguk. Aku duga ia akan membuatkan teh herbal seperti dulu lagi. Aku menyukainya.

“Saya bikinkan pakai chamomile ya. Suka?”

“Suka-suka aja Bu…” Sesungguhnya aku tak mengerti sama sekali soal racikan teh herbal. Manda minta potongan skutel yang besar di piringnya.

Selanjutnya kami membantu ibunya Om Yan memasak kue. Wanita itu hendak membuat puding lapis biskuit dan bola-bola cokelat dari biskuit. Katanya, dua jenis kudapan ini selalu dapat membungkam kenakalan para cucunya.

Cara Manda menanggapi cerita sang nenek justru lebih baik daripada aku. Sementara aku berkonsentrasi meratakan adonan dalam loyang—aku tidak mau memberi hasil mengecewakan pada wanita itu—dengan santainya Manda bercakap. Meski kadang gaya Manda agak luwes, namun tawanya bisa kedengaran sangat gahar. Ibunya Om Yan terlihat agak kaget ketika Manda begitu. Tapi keanggunannya lekas kembali karena Manda tetap telaten dalam mengocok telur.

Om Yan tidak ikut membantu kami. Ia hanya mengamati dari kursi yang ia duduki sambil nimbrung pembicaraan para juru masak. Candaannya sering telak. Sebetulnya ia pria yang sangat lucu. Tangannya sesekali berhenti memasukkan camilan ke dalam mulut.

“Yang itutuh, makannya dulu paling susah. Sekarang apa aja dimakan.” Wanita itu menuding anaknya yang mesem-mesem saja.

Semuanya dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari sejam. Setelahnya, aku, Manda dan Om Yan sedikit bersenang-senang dengan menonton sebuah videoklip yang Om Yan dan kawan-kawannya buat pada awal dekade 90-an. Videoklip yang awalnya dalam format VHR itu sudah dikonversi menjadi mp3 sehingga kami bisa menyaksikannya lewat komputer tablet Om Yan. Videoklip tersebut tidak dipublikasikan. Mereka membuatnya hanya untuk bersenang-senang.

Hanya ada enam sosok di sana: lima pemuda dan seorang gadis. Semuanya berwajah Indonesia. Pengambilan gambarnya hanya makan satu hari dan satu latar. Mereka muncul bergantian. Menampilkan pose dan mimik jenaka yang menjadikan videoklip ini atraktif—selain karena aransemennya. Semua berpakaian necis namun khas zaman itu. Begitupun model rambut Om Yan: lurus dengan poni belah tengah! Jelas raut wajahnya terlihat lebih segar dan ekspresif. Sementara empat pemuda lain memainkan alat musik dengan sikap sok tak acuh, hanya sesekali ditampilkan jemari ramping Om Yan menekan tuts kibor. Lebih banyak yang ditampilkan adalah lirikan nakalnya pada sang gadis berambut ombak dengan gaun putih lebar—membuat Manda sesekali tergelak. Wajah mereka mendapat porsi tampil cukup banyak. Maklumlah, sang gadis menggambarkan sosok yang diceritakan dalam lagu tersebut, “Dreandara”,  sedang Om Yan sang vokalis.

Aku baru ngeh kalau ibunya Om Yan juga turut menyaksikan dari belakang kepala kami. Dreandara yang asli. “Apa ini?” tegurnya. Om Yan mendongak. Ia menjawab hanya dengan senyum. Kepalanya keburu diusap sang ibu.

Jingga mulai membayang hingga ke bagian dalam rumah yang belum dicahayai lampu. Aku dan Manda putuskan untuk lekas pulang setelah menunaikan solat maghrib. Namun pinta ibunya Om Yan membuat kami tak dapat melewatkan makan malam yang disajikan. Tumis bilis asam pedas yang dimakan bersama sayur labu teri sungguh memuaskan lidah.

Ibunya Om Yan sudah memindahkan skutelku ke wadah lain. Wadah tupperware-ku sendiri sudah dicucikan pembantunya. Ia bertanya berapa jumlah Manda bersaudara. “Tujuh Bu, sama ada kakak satu.” Wanita itu membungkuskan sekitar selusin potong puding lapis biskuit untuk Manda. “Semuanya entar dibagi ya?” Manda mengangguk sambil menyengir. Aku juga dibungkuskan. “Bibe mau kasih siapa aja?”

“Sedikit aja Bu.”

Kami tidak hanya diberi kudapan yang tadi kami bikin bersama. Sepertinya ia tidak pernah kehabisan stok kudapan. Kami jadi merasa tidak enak karena hendak dibawakan banyak. “Enggak apa-apa. Saya ini dari dulu memang sukanya masak, tapi yang ngabisin selalu orang lain.”

“Iya, kalau lagi enggak ada camilan, ambil di sini aja,” tambah Om Yan. Maka aku dan Manda pun pasrah. Eh tunggu. Om Yan sudah berganti baju. Ia tampil lebih rapi, licin, bersih, dan wangi ketimbang tadi.

“Mau pergi juga Om?” tanya Manda.

“Iya. Biasa… Mau nengokin keponakan…” Ia kancingkan jam tangannya.

Ibunya Om Yan menyiapkan bawaan yang lebih banyak dan beragam untuk Om Yan. Sepertinya suplai makanan untuk seminggu. Om Yan pernah cerita padaku kalau adiknya tidak telaten dalam membuat makanan kecil.

Jadi baik aku dan Manda maupun Om Yan sama-sama pamit pada sang ibu. Sementara aku dan Manda hanya mencium punggung tangan wanita itu, Om Yan mencium pipinya dengan mesra. Rasanya iri melihat kelekatan Om Yan dengan ibunya. Aku ingin mengetahui bagaimana pandangan Manda mengenai ini. Ketika aku menoleh padanya, ia balas menoleh padaku. Seakan bisa membaca pikiran satu sama lain, kompak kami menuju keluar halaman rumah.

            Kami lambaikan tangan pada Om Yan yang sudah masuk ke mobilnya, juga pada sang ibu yang mengantar putranya sampai teras. Setelah hampir keluar dari kompleks perumahan itu, Manda berkata padaku, “Ibunya Om Yan masih cantik banget. Aku pingin punya nenek kayak gitu, Bong.”

            Aku tertawa saja mendengarnya. Fakta bahwa Om Yan punya saudara kembar serta Dreandara adalah nama ibunya Om Yan, juga membuatnya terkesan. Ia bertanya-tanya apakah ia bisa minta langsung pada Ardian Hayyra jika yang bersangkutan menghasilkan karya lagi.

            “Eh Bong,” kata Manda lagi, “tipe kamu itu sebenarnya yang kayak Ardian Hayyra ya?”

            Aku tidak begitu mengerti apa maksudnya. “Enggak. Aku udah punya kriteria sendiri dong, buat cowok idamanku,” elakku.

            “Oh gitu ya. Harus yang sesuai kriteria?”

            “Iya!”

            “Lo, dulu kamu bukannya pernah dekat sama siapa gitu, adik kelas?”

            “Ah itu hanya selingan. Enggak penting.”

            “Sesuai kriteria?”

            “Enggak!” Aku merasa ia mulai menggangguku.

            “Jadi enggak harus sesuai kriteria?”

            Mau sesuai kriteria apa tidak, untuk sekarang ini respons Papa tidak akan seterbuka Om Yan. Itu yang aku tidak harapkan. Ia juga masih belum bosan bertanya kapan aku akan menutupi rambutku.

Selasa, 29 November 2011

Jazz

Tidak hampir setiap minggu aku keluar dengan Om Yan. Memang sejak beberapa bulan terakhir ini kami habiskan waktu bersama beberapa kali dalam sebulan. Aku yakin itu tidak sering. Tidak sesering aku pulang ke rumah Tante As, maksudnya, meski memang lebih sering dari kunjunganku ke kantor Papa.

Aku masih agak malas main ke kantor Papa lagi sejak aku membawa Manda ke sana. Tujuan kami hanya mengantar undangan untuk wartawan koran Papa agar meliput pra persiapan BMC. Apes benar papaku sedang di sana. Sementara Manda sudah turun teras, Papa menarik tanganku yang jalan belakangan. “Itu siapa?”

Untung saja ia tidak sampai tanya: Kenapa rambutnya panjang? Kenapa dikuncir? Kenapa warna bajunya kayak badut?

“Yang jelas bukan No-baa…” sergahku. “Tadi kan udah kenalan, namanya Man-daa…”

Kok namanya kayak perempuan?

Hanya Om Yan yang gemar menanyakan hubunganku dengan Manda, yang sebetulnya biasa-biasa saja. Kami hanya suka meniru tingkah pasangan yang kami lihat sedang larut dalam dunia mereka sendiri. Ini sangat menghibur. Kalau kami lihat Om Yan dan Tante Ri seperti itu juga, pasti kami akan bersemangat untuk menjadikan mereka target operasi kami.

“Kayak gimana contohnya?” tanya Om Yan saat aku cerita, itupun karena ia menyinggung.

Aku cerita tentang pasangan sukarelawan bernama Gozi dan Nana. Saat sedang bertugas menyebarkan publikasi, motor yang mereka naiki selip. Nana tidak terluka, namun lengan Gozi merah-merah. Sepanjang pertemuan setelahnya, Nana memijati lengan Gozi. Aku dan Manda yang memerhatikan pun beraksi. Manda menyodorkan lengannya padaku lalu merengek manja, “Lenganku sakit…” Dengan menahan geli, aku meraih lengannya lalu pura-pura memijat. “Sini Sayang, cup cup cup,” lalu aku tidak bisa menahan tawa. Suasana pertemuan jadi kendor. Gozi dan Nana mesem.

Setelah beberapa kali ke sana-sini bareng Manda, aku merasakan keuntungan dari bekerja dalam kemitraan. Secara Manda bermotor, itu memudahkan mobilitasku yang lebih mampu berpikir strategis daripada dia. Dalam tim kecil kami, bisa dikatakan kalau akulah otak sedang ia kakinya.

Namun aku dan Om Yan lebih banyak bertukar cerita tentang keluarga—meski aku harap sesekali ia menceritakan Tante Ri juga. Ia cerita kalau dulu kedua orangtuanya juga suka berpergian. Dan ia selalu menganggap keduanya orangtua hebat karena mampu mempertahankan kedekatan dengan anak-anak mereka meski sering sibuk.

Mendengar ceritanya lebih jauh, aku seolah diingatkan untuk mengubah perspektif terhadap kedua orangtuaku juga. Pada Papa yang selalu mendekapku erat, seakan tak mau lepas lagi, setiap sebelum dan sesudah pergi bertugas untuk waktu lama. Pada Mama yang seolah punya radar sehingga tahu aku sedang di rumah kami atau di rumah Tante As—ia akan pulang ke mana aku berada, seolah aku rumahnya.

Aku juga ingin bisa lebih menyayangi mereka.

Justru ketika keinginan itu tengah tersulut, dan itu berkat perbincangan dengan Om Yan, Mama malah menginterogasiku tentang pria itu.

“Udah, jangan keseringan jalan-jalan lagi sama Om Yan.”

“Kenapa?” tanyaku. “Karena bukan muhrim?”

“Sini Bibe, Mama kasih tahu…” Mendengar nada Mama, aku katupkan mulut. “Mama enggak masalah kamu mau semirip apapun sama Tante As, tapi Mama enggak suka kamu ikut-ikutan materialistis.”

Duh. Aku tidak mau meneruskan ini. Kesedihan menyergapku sekonyong-konyong. Aku tak mengerti mengapa mereka tidak bisa berhenti menjelek-jelekkan satu sama lain. Memang selama ini Tante As yang berjasa membuat pencitraan Mama jadi buruk di mataku. Namun Mama sama saja. “Siapa yang materialistis?” sanggahku.

“Jangan dikira Mama enggak tahu ke mana aja kamu pergi sama Om Yan…”

“Om Yan yang ngajak…” sergahku. Meski seringnya aku yang kasih referensi.

“Ya udah, Mama enggak larang kamu, cuman kasih tahu. Yang penting Bibe sadar buat tahu diri, ngerti? Enggak baik habis-habisan duit orang, Bibe.”

Setelah diperingatkan begitu sama Mama, aku bergeming saja di atas kasur. Melihat bayangan gembil pipiku di cermin, aku matikan lampu. Hal ini tidak sampai membuatku menangis, tapi dahiku tidak bisa berhenti berkerut. Memangnya sudah berapa banyak uang Om Yan yang kuhabiskan? Aku tidak pernah mengeluarkan dompet sekalipun setiap bersamanya. Toh ia melakukannya dengan sukarela bukan? Bukankah kami sedang dalam permainan ayah-anak? Mengapa seorang anak harus memikirkan berapa yang sang ayah keluarkan untuk dirinya?

Ayahku yang ini royal kok. Ia pernah cerita padaku kalau ia tak pernah memasak makanannya sendiri. Ia sering mencari tempat makan yang kondusif baginya untuk mengobrol dengan seseorang meski orang itu tak ia kenal lalu menraktirnya, sekadar untuk mencipta kehangatan lebih. Ia membayar setiap hal sehingga ia tidak perlu mengerjakannya dengan tangan sendiri.

Tapi tidak bisa kupungkiri juga kalau ada sejumput kesadaran yang coba menyentakku. Bagaimanapun juga, semua ini hanya pura-pura. Tidak pantas aku memanfaatkannya sedemikian rupa… Ah tidak. Aku tidak memanfaatkannya. Aku menyayanginya. Ia hanya seorang sahabat yang kelewat baik, meski aku tidak pernah akan bisa balas menraktirnya. Ia hanya ingin menemani malam-malamku yang kadang mau tak mau aku isi dalam kesendirian.

Toh sampai sekarang pun aku belum menyimpan nomor ponselnya di buku teleponku. Jangan biarkan kemajuan teknologi malah membuat kita jadi orang yang suka mengingkari janji. Lebih baik menoreh janji tanpa teknologi tapi sungguh ditepati. Kami masih menentukan pertemuan berikutnya di pertemuan terakhir.

Ya. Aku masih menepatinya. Sekaligus aku ingin konfirmasi dari Om Yan. “Om suka bilang sama Mama kalau ketemu aku?”

“Seringnya iya.” Ia sedang mengemudi. Malam ini kami menembus gelap dan dingin lagi demi mencari suasana yang pas untuk berbagi. Ia menoleh. “Kenapa, Bibe?”

“Besok-besok enggak usah bilang aja Om…”

“Kenapa?”

“Biar aku yang bilang sendiri aja…”

“Ooh…” Ia diam sebentar. “Kenapa?”

“Auh. Enggak kenapa-kenapa.”

“Ha ha ha…” Tawanya renyah sekali, disusul pertanyaan lembut, “Ada apa Bibe?”

“Enggak apa-apa…” Tapi itu dusta. “Selama ini aku ngerepotin Om ya?”

“Kenapa repot?”

“Iya… Kalau jalan sama Om Yan, aku enggak pernah bayar sendiri…”

“Ah, enggak kok. Bibe kan udah saya anggap anak sendiri… Ya Bibe?”

Seakan ada saluran lain menyampaikan suaranya yang mengatakan padaku untuk tidak usah khawatir. Maka aku membalas senyumnya. Dan menganggap ucapan Mama silam hari hanya sekadar kesungkanan biasa atas kebaikan orang lain.

Selagi aku mengamati kerlap-kerlip pemandangan malam di luar jendela, paduan instrumen musik dari speaker mobil menyentakku. Om Yan tidak pernah menyetel musik selama perjalanan kami. Tangan nya yang satu tetap pegang kemudi sementara tangan lainnya menjentikkan jari.

            Gotta get you into my life, into my life…

            Bahunya bergoyang pelan ke kanan, ke kirin, ke kanan lagi…

Gotta get you into my life, into my life…

Ia terus mengulang bait itu, lalu ikut melantunkan bagian tak berkata dengan mulut mengerucut.

            I was alone and took a ride, didn’t know what I would find there…

            Aku tergelak menyaksikan gayanya yang kocak.

Another road or maybe eye to see another side there…  Uh, and then I suddenly see you, uh, and then I tell you that I need you every single day of my life…  

            “Aku suka enggak ngerti jazz Om!” seruku, berusaha menyaingi volume lagu. Maka ia pun mengecilkannya.

            “Maaf, apa Bibe?”

            “Kayaknya jazz itu musik paling rumit ya Om…” Sering aku menyetel KLCBS keras-keras di rumah, namun aku tidak kunjung bisa menikmati jenis musik yang satu ini. “Kadang aku pusing dengernya, soalnya nadanya enggak beraturan.” Demikian pun dengan musik Om Yan. “Enggak gampang ngena iramanya.”

            “Iya, seperti pikiran kita, gitu juga kan… Pinginnya bebas. Lepas dari segala macam urusan. Iya enggak?”

            “Ya… Kadang-kadang sih…”

            “Ya, kadang-kadang kita cuman butuh ngerasa bebas sejenak buat penyegaran…”

            “Ya…”

            “Makanya nada-nadanya kedengarannya kayak yang bebas gitu ya Be? Kayak yang enggak ada aturannya?”

            Aku tercengang.

            Telunjuknya menekan-nekan layar di samping kemudi lagi. Kali ini ia memperdengarkanku contoh dari musik yang tadi aku anggap tidak beraturan itu. Ia menyenandungkan melodi tambahan dengan menirukan suatu alat musik. Di sela-sela itu, ia berkata, “Ayo Bibe. Tinggal pilih instrumen yang Bibe suka.”

Aku berpikir. Lalu aku mulai bersenandung juga. Tapi melodi yang ke luar dari mulutku kok terdengar seperti melodi lagu tertentu.

“Enggak apa-apa, teruskan,” katanya.

Maka sepanjang sisa perjalanan itu kami bermusik dengan mulut. Sampai kami lupa pada tujuan kami. Hanya sebuah makan malam biasa dengan topik obrolan yang kerap melayangkan empatiku pada orangtuaku.

“Eh Yah, gimana rasanya kalau punya anak kayak aku?”

“Kaget. Tahu-tahu anaknya udah sebesar ini.”

“Aah… Bukan itu! Lagian Om juga enggak kelihatan kayak bapak-bapak kok.”

“Oh iya?”

“Gimana kalau Om jadi kakakku aja? Kalau jadi kakak-adik ngapain aja ya Om?”

“Berantem.”

“Hah?”

“Iya. Dulu saya sama adik saya sukanya berantem.”

“Tapi adiknya Om kan perempuan?”

“Iya. Jago berantem juga lo. Mau berantem sama saya Bibe?”

Aku menggeleng.

Aku simak kenangannya akan hubungan antara ayahnya dengan adik perempuannya. Kadang ia berpikir apakah ia bisa melakukan itu denganku. Aku sih mau-mau saja.

“Kalau gitu, apa yang kita lakuin habis ini?” tanyaku.

“Sebentar… Saya mikir dulu ayah saya bakal ngapain…” Ia memejamkan mata sementara aku memandanginya dengan penuh minat. “Mm… Pulang ke rumah dan nonton TV? Eh, salah, ayah saya nonton sambil nemenin adik saya ngerjain PR.”

“Tapi aku enggak suka ngerjain PR,” rajukku.

“Adik saya suka lo. PR saya aja dikerjain.”

“Masak?”

Dulu Om Yan jarang bersungguh-sungguh mengikuti pelajaran di sekolah. “Yang penting itu jalankan apa yang kamu suka dengan sungguh-sungguh, dan kasih manfaat ke orang lain dengan itu,” ujarnya.

Dan sulit baginya untuk kemudian menerima piano sebagai bukan lagi sekadar permainan, tapi juga pelajaran. Sebelum berangkat ke Amerika, Om Yan digembleng keras sekali oleh guru pianonya. Setiap latihannya selalu diakhiri dengan jari-jari yang lemas. Piano yang biasanya jadi pelarian mau tak mau juga jadi siksaan. Tapi karena passion-nya di situ, ujung-ujungnya ia kembali juga. Malah kini ia mengajar di almamaternya.

            Ganti ia menanyakan kabar Tante As padaku. Ini merupakan topik yang cukup rajin ia lontarkan dalam setiap pertemuan kami. Perubahan yang terjadi pada seorang ibu hamil sama-sama merupakan hal menakjubkan bagi kami. Semakin besar kandungan Tante As, semakin tubuhnya condong ke belakang saat berjalan. Kadang ia mengeluh karena merasa dirinya malah jadi jelek saat hamil.

            “Mungkin tantenya Bibe ingin bilang kalau sebenarnya dia jadi cantik sekali, tapi secara enggak langsung. Bayinya perempuan kan?”

            “Iya.”

            “Biasanya kalaubayinya perempuan, ibunya juga jadi cantik.”

            Aku harap hatinya juga akan lebih cantik.

            Aku tidak bisa menolak ketika Om Yan ingin membelikan oleh-oleh untuk tanteku. Ketika akan turun dari mobil, ada dua tas plastik di atas pangkuanku. Yang satu berisi kardus berisi kudapan dari Om Yan untuk Tante As, yang satu lagi berisi berbagai macam kue yang diwadahi dengan cantik. Sudah dua kali ini aku dan ibunya Om Yan bertukar kue bikinan sendiri. Aku hendak membuka pintu ketika Om Yan menyebut namaku. Jadi aku menoleh dan sebuah kecupan berlabuh di pipiku.

            Sekonyong-konyong aku merasa panas dingin.

            “Ayahnya Om suka gitu juga sama adiknya Om?”

            “…ibu saya selalu begitu setiap saya mau pamit.”

            Aku ragu hendak balas mengecupnya di pipi juga atau tidak. Kemudian aku putuskan untuk menempelkan keningku di punggung tangannya seperti biasa.

            Aku bukannya tidak pernah dicium papaku sendiri seperti itu. Rasanya beda, tentu saja. Papaku bau kopi sedang Om Yan begitu wangi…

Aku menjadi salah tingkah sepanjang perjalananku menuju pintu rumah Tante As. Tuh kan, ia memang spesial. Tapi tadi kami belum menentukan pertemuan selanjutnya. Ah sudahlah. Aku yakin bagaimanapun caranya aku dan dia bakal bertemu lagi entah kapan dan di mana, mestinya dalam rentang waktu tak terlampau lama.

Begitu masuk ke dalam rumah, suasana sontak berbeda. Aku meletakkan bawaanku di atas meja pantri. “Oleh-oleh lagi,” kataku dengan nada ceria. Ia sedang mengerjakan sesuatu di sofa cokelat mudanya. Aku melongok sedikit lantas terkejut melihatnya merajut. Kudekati lagi ia. Mengapa ia merajut jajar genjang? “Enggak usah protes. Baru diajarin Tante Tiwi tadi.”

“Aku juga enggak bisa ngerajut kok.”

“Bawa apa tadi?”

“Oleh-oleh…”

“Tante kan sudah bilang, enggak usah kasih-kasih itu lagi.”

“Ibu hamil kan harus banyak makan…” Dan ia melakukannya. Tubuhnya sudah mulai membulat seakan ia tak ingat lagi kalau dulu kurus selalu menjadi tujuannya.

Aku dengar lagi setiap prasangka negatifnya  tentang Om Yan, tapi tidak aku dengarkan. Seandainya ia mau lebih mengenal Om Yan, ia juga akan jatuh hati. Lagi-lagi malam itu aku yang habiskan oleh-olehnya.

Senin, 28 November 2011

Sepasang Orangtua Saja Cukup

Bulan ini mereka tidak ke Bandung. Jelas Ari tidak keberatan untuk terbenam dalam tumpukan buku pelajaran, namun Vira sama sekali tidak minat pada beda antara vertebrata dengan avertebrata. Bulan ini adalah bulan ulangan akhir semester.

Meski demikian, kegelisahan mereka sama.

“Kak, kita bikin pernyataan sikap yuk.”

Kernyitan. Terdengar asing di telinganya Vira mengeluarkan istilah semacam itu.

“Vira bikin kayak gitu di kelas sama teman-teman yang lain, supaya enggak ada anak yang dijauhin lagi… Gitu kata Kak Bibe…” lanjut Vira sambil meremas-remas jemarinya. Tatapan tajam sang kakak mengalihkan pandangannya ke lantai.

Malam itu mereka duduk berhadapan di lantai kamar Ari. Kamar ini berukuran lebih kecil ketimbang kamar di rumah yang dulu—sewaktu mereka masih tinggal bersama Papa. Papa memboyong istri barunya ke rumah yang baru pula. Tanpa Papa, mereka hanya tinggal beberapa minggu saja di rumah itu. Sampai Mama mengajak mereka untuk pindah karena rumah mereka sebelumnya terlalu besar untuk mereka bertiga. Untung Mbak Tutum tidak dibawa Papa juga.

Sementara mereka bertukar kata pelan-pelan, nyanyian lembut sampai di telinga mereka. Sumbernya agak jauh dari kamar itu, namun terdengar cukup jelas. Akhirnya Mama bernyanyi lagi setelah berpisah dengan Papa. Mungkin ia bernyanyi untuk menyambut nyanyian senada yang dilantunkan seorang pria dari kejauhan.

Tiada pernah aku bahagia… Sebahagia kini oh kasih. Sepertinya ku bermimpi dan hampir tak percaya hadapi kenyataan ini…

Mungkin hanya rasa tertahankan, siapapun bisa tahu tanpa kuasa dicegah.

Belai manja serta kecup sayang, kau curahkan penuh kepastian, hingga mampu menghapuskan luka goresan cinta yang sekian lama sudah menyakitkan…

Ari pernah bilang sebelumnya pada sang adik, “Mama jatuh cinta lagi.” Vira tidak memerhatikan, namun Ari iya. Kulit Mama jadi lebih mulus dan wangi. Rambutnya lebih halus dan kemilau. Wajahnya kian bercahaya. Mama jadi rajin ke pusat kebugaran. Memang Vira bisanya hanya cemas lalu mencucurkan air mata tanpa awas akan keadaan. Adiknya terlalu sering menonton potongan “Noktah Merah Perkawinan” di Youtube. Yang kerap Ari sesalkan pada Vira adalah, mengapa adiknya yang bertampang imut-imut itu seleranya bak eyang-eyang.

Kau terangkan gelap mataku… Kau hilangkan resah hatiku… Kau hidupkan lagi cintaku, yang tlah beku dan membiru…

Selanjutnya ia tak berusaha meraba perasaan adiknya yang menggamang.

Kini tetes air mata haru… menghiasi janji yang terpadu.

Karena begitulah pinta Mama.

Tuhan jangan kau pisahkan apapun yang terjadi, ku ingin selalu dekat kekasihku…

Dan pria itu bukan Papa. Bukan pria itu yang berduet menyanyikan “Begitulah Cinta” dengan Mama di sebuah acara kampus belasan tahun lampau.

Mereka selalu ingat pada apa yang pernah mama mereka bilang. Papa dan Mama sudah tidak bisa bersama lagi. Papa lebih bahagia dengan Tante Amrin. Ari dan Vira sudah cukup membuat Mama bahagia. Meski tidak lagi bersama, Papa dan Mama akan selalu mencintai mereka dengan utuh.

“Adek, enggak apa-apa Mama nikah lagi.” Kali ini Ari coba untuk bersikap dewasa. Dalam pemahamannya, langkah awal menuju kedewasaan seorang kakak adalah bisa menenangkan sang adik. “Mama sama Papa baru bisa rujuk kalau Mama udah dinikah lagi. Gitu hukumnya, Dek.”

“Masak?” Vira mengusap bening yang menggumpal di bawah matanya.

“Iya.” Makanya, baca buku pelajaran Agama Islam, bukannya main game-game cupu melulu di laptop Mama, batin Ari. Adiknya harus terus diberi peringatan agar tidak malas belajar. Tidak semua orang diberi kemampuan untuk memahami materi secara kilat lantas tersisa banyak waktu baginya untuk bermain—seperti Ari.

“Jadi Kak Ari pingin Mama nikah lagi juga?” Vira kembali mencebik. Sesak di dadanya bergemuruh hingga ke kepala, terus memompa. Ia mengusap matanya dengan lengan. Ia ingin bisa seteguh kakaknya, sekaligus merasa agak terkhianati. Jadi tidak ada artinya peristiwa dulu, ketika sang kakak memukuli eyang putra yang telah menyuruh mama mereka tidak lama-lama menjanda. 

“Enggak.” Enggak tahu. Hanya satu yang mengganjal Ari sebetulnya. Sukar baginya untuk membenci sesama penggemar setan merah yang tak pernah melewatkan setiap derby.

Adiknya semakin merunduk. Muka tenggelam di balik lutut. Pundak berguncang pelan. Sedu sedan membuat perkataannya jadi tidak jelas. Ia luapkan pada kakaknya betapa ia iri pada teman-temannya yang tidak harus punya orangtua tiri. Sepasang orangtua saja cukup—tidak ada yang ketiga maupun yang keempat. Jika BKKBN saja bilang dua anak cukup, mengapa tidak dengan dua orangtua?—tapi yang ini tidak dikatakan Vira, ia bahkan tidak hapal apa kepanjangan BKKBN.

Ari mendorong adiknya dengan decak kesal. “Cengeng!” Sedu Vira yang sempat menyurut kembali menderas, kali ini semata karena perlakuan kakaknya.

Minggu, 27 November 2011

Bunga Asmara Bersemi Lagi

            Melihatnya pakai turtleneck rajutan lagi, entah mengapa tubuhku rasanya meleleh. Warnanya merah hati dan aku bertanya-tanya apakah hatiku lebih merah dari itu. Ia terlihat lebih menawan ketimbang saat ia pakai blazer, kaos lengan panjang, maupun kaos MU.

            Astaga. Ia kan dua-puluhan tahun lebih tua.

            Aku menutup pintu mobil dengan malu.

            “Kenapa? Kok lesu?” tegurnya dengan hangat ketika melihatku yang melunglai.

            “Eh, emang kelihatan gitu ya Om?”

            “Hmm… Sekarang enggak lagi. Siap jalan?” Ia sudah memegang tuas gigi mobilnya.

            “Si-ap!”

            Mobilnya pun menembus gerimis.

            “Kenapa sih kok sukanya hujan-hujanan?” tegur Om Yan lagi. Memang tadi aku menuju mobilnya dari sekolahku tanpa berpayung.

            “Asik Om.”

            “Enggak sakit? Enggak pusing?”

            “Enggak Om.”

            “Kuat ya Bibe…”

            “Seru lo Om. Cobain deh, hujan-hujanan.”

            “Ha ha ha… Dulu saya sakit-sakitan Bibe, makanya enggak biasa kena hujan.”

            “Hm…”

            “Sekarang enggak ayah-ayahan lagi?”

            “Oh iya lupa.” Kutepuk jidat. “Nah, Ayah, ke mana kita jalan-jalan hari ini?”

            “Jadi ke Dago Pakar enggak?”

            Aku mengangguk disertai gumaman setuju. Lalu aku mengangkat tas plastik dari pangkuanku. Ada beberapa dua wadah plastik di dalamnya. Masing-masing berisi jenis kue kering yang berbeda. “Oh ya Ayah, aku boleh titip ini sama ibunya Ayah?”

            “Hm, apa itu Nak?”

            “Ini… Aku cobain bikin kue sendiri, ngikutin yang kemarin dibilangin ibunya Ayah itu lo… Habis kemarin enak banget sih kuenya…” Coba tebak, berapa jam yang aku habiskan di rumah Uwak Tata untuk menjadikan ini semua?

            “Wow. Baik sekali Bibe… Terima kasih ya.” 

“Kalau boleh aku minta komentarnya entar, he he.”

            “Oh. Oke Bibe. Entar Ayah sampaikan… Taruh aja di belakang ya?”

            “Oke.” Aku menurut.

            Seseorang bisa mengemudi dengan tenang lalu sontak menghardik disertai makian karena kecerobohan pengemudi lain—begitulah papaku. Tapi Om Yan tetap tenang saat kegegabahan pengendara lain nyaris menyerempet mobilnya.

            Barulah saat kami sudah sampai tujuan, ia turun sekalian mengamati bodi mobilnya. “Enggak ada apa-apa kok Bibe.” Senyumnya seakan aku yang lebih was-was akan mobilnya. Harusnya kan dia!

Langit telah berhenti menurunkan air begitu kami sampai di tujuan. Tapi Om Yan tetap membawa payung panjangnya untuk berjaga-jaga. Kami tak terlalu memerhatikan jalan maupun dua-tiga pengunjung lainnya yang berpapasan, karena lebih asyik dengan perkataan satu sama lain. Memang nuansa hijau seperti ini sangat mendukung untuk itu! Udara lembap sekaligus sejuk. Kami hanya butuh suasana oke untuk berbagi kata.

“Ayah sabar banget ya, ngendarainnya,” kataku.

“Oya?” Ia terlihat geli. “Dulu pas masih belajar saya sering nyerempet orang juga soalnya, padahal di tempat saya satunya enggak sepadat di sini lalu lintasnya.”

Aku membulatkan mulut.

“Eh Bibe katanya ada cowok yang suka bareng-bareng Bibe terus ya?”

Aku tak mengerti itu siapa.

Memang ada beberapa teman cowok yang dekat denganku, tapi kalau yang suka bareng terus… “Siapa Om?”

“Katanya sukarelawan BMC juga?”

“Ha?”

Suatu ketika Om Yan mengobrol dengan Teh Icih. Obrolan mereka menjurus pada para sukarelawan yang mulai terhimpun,  hingga pasangan-pasangan yang terlihat di kalangan tersebut. Salah satunya aku dan Manda.

Kami memang sepaket—ini istilah Manda—dalam melaksanakan setiap tugas kepanitiaan BMC. Manda sangat bersemangat dalam kegiatan ini, sampai ia lupa kalau acara ini bakal melibatkan pianis pujaannya. Ia bahkan sudah tidak merengek ingin ketemu Ardian Hayyra lagi. Namun aku tahu kalau ia hanya kurang percaya diri sehingga selalu mengajakku bareng. Lagipula kadang kami suka iseng berlagak bak sepasang kekasih hanya untuk memarodikan perilaku pasangan kekasih betulan yang ada di komunitas ini. Tapi itu semua hanya untuk main-main saja, sungguh!

Ia tertawa saja menanggapi pembelaanku. “Kapan-kapan diajak main ke rumah saya boleh, Bibe. Pingin kenal aja, cowoknya Bibe kayak gimana….”

Kalau papaku sendiri sih mana sudi!

“Eh, dia bukan cowok aku!” Aku menyangkal meski kenyataannya memang sungguh demikian. Tapi tentunya Manda akan senang sekali kalau dibawa ke rumah Om Yan. Aku harus memastikan dulu apa ia masih menggemari Ardian Hayyra atau tidak… “Eh… Kalau Ayah sendiri gimana?” kataku lagi.

“Apa nih?”

“Aku kan pingin punya ibu juga, Yah. Sama saudara betulan…”

Mulutnya sedikit terbuka seakan ia tercengang. “Mau ibu yang seperti apa?” suaranya agak berbisik.

Aku berpikir sebentar untuk menentukan apa sebaiknya aku bermain-main atau langsung saja. Lalu aku putuskan untuk… “…jujur Om, aku penasaran banget nih… tentang Om Yan sama… Tante Ri. He he…”

“Ooh…” Mulutnya mengatup, mengulas sedikit senyum. “Baik… Kenapa? Kok penasaran?”

“Iya… Enggak apa-apa… Kan waktu itu pernah diajak nengok aku, terus pernah sempat ngomongin juga kan, sama Mama sama uwakku…”

Ia tertawa pelan. “Iya Bibe, sesekali kami ketemu, ya cuman untuk nostalgia aja.”

“Dulu pacarnya Om ya?”

Ia mendengus. “Ya… Sempet. Mau cerita yang kayak gimana sih?” tanyanya lembut.

“He he he…” Rasanya jadi tidak enak begini, ingin mengorek kehidupan asmara orang.

Padahal aku sudah putuskan untuk mengakhiri persinggungan ini, tapi ia melanjutkan, “Dia teman saya dari SD, Bibe. Setelah SMA, jadi dekat, gitu aja.”

“Oh… Dekat yang spesial?” Aku tidak dapat menahan diri untuk menggodanya. “Dari dulu sampai sekarang?”

“Ya enggak… Saya kan enggak mungkin ganggu orang menikah Bibe…”

“Katanya si tante udah pisah…”

“Iya…” Kedua alis Om Yan terangkat sedikit.

“Adakah cinta lama bersemi kembali?”

Ia memandangku, seakan tak habis pikir akan kekukuhanku menggodanya. Namun tidak tampak tanda-tanda ia jadi senewen atau apa. Hanya seperti tengah menghadapi kebandelan seorang anak dengan sabar saja.

“Sebenarnya begini Bibe…” Ia meraih tanganku, mengangkatnya ke atas, kontan aku berputar, seperti orang menari. Rok rempel kelabuku sedikit terangkat. Ia menarik tanganku lagi. Lantas aku tersipu ketika menyadari bahwa ia hendak mengajakku berdansa. Ia mengenggam kedua tanganku, lalu membuatku berayun-ayun sedikit. Hanya sebentar, tapi cukup membuatku mendapat perasaan baru. “Sudah cukup?” Ia membungkuk dengan gaya melayani yang sopan.

“Cerita lagi Yah…”

Tubuhnya tegak lagi. Kedua tanganku kembali digenggam dan ditariknya. Ia melepas satu tanganku, aku berayun ke samping, lalu berputar lagi. Ia yang penuh rahasia namun tak ingin mengecewakanku pun bercerita.

Saat-saat berkesan, saat ku dikenalkan, dengan seanggun mawar yang sedang mekar.

Ada luapan bahagia yang turut mengangkat perasaanku.

Bagaikan terjebak, hatiku pun meledak. Yang tak pernah terjadi, kini kualami sejak kehadirannya.

Seolah ingin diberitahunya seluruh dunia: hei, aku sedang gembira!

Burung-burung bernyanyi, alam berwarna-warni, mentari di ujung rambutnya…

Dan gumpalan itu membesar lalu membuncah ke mana-mana, menggerakkan para pasangan,para pengasong, para orangtua dan anak, para petugas, para lainnya, mengetahui beginilah rasanya bersukacita.

Inikah tanda-tandanya bunga asmara, ingin bersemi sekali lagi?Tanda-tandanya bunga asmara, ingin bersemi di dalam hati ini sekali.. lagi?

Kusadari bahwa aku mulai menyayanginya. Bukan, bukan sejenis perasaan aneh yang bikin debaran di dada tak karuan lanjut melayangkan angan-angan. Tapi suatu perasaan yang lebih besar, yang dapat menguap luas-luas. Aku hanya ingin ia mengecap indahnya sebuah ikatan dengan orang yang selamanya ia cintai.

Namun aku tak berani mengatakannya. Saat kami bertatapan, aku ingin ia bisa membaca apa yang kupikirkan tentangnya lewat mataku. Aku ingin ia tahu setiap harapanku untuknya.

Entah apakah ia dapat. Ia merangkulku setelah itu, seolah apabila ia punya anak maka aku adalah anaknya sungguhan. Seandainya ia papaku sungguhan, mungkin aku akan risi. Tapi ia berbeda. Tidak terasa sebegini nyaman dengan papaku sendiri. Aku ingin balas memeluk untuk menyalurkan kecintaanku pada seorang ayah melaluinya.

“Kita pulang yuk Bibe? Sudah mau gelap?”

Aku mendongak. Mendung ditambah naungan tajuk yang mengesankan suasana demikian sebetulnya. Kuturuti kata-katanya, daripada suasana keburu mencekam. Semakin lama waktu yang kami lalui bersama, semakin ia bukan sekadar pengganti orangtua yang tidak bisa menemani makan malam. Ia bisa menjadi sespesial Tante As.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain