Minggu, 10 Agustus 2008

IQOB JASMINE 2 16-170508

Malam itu sekitar pukul tujuh. Lepas dari aktivitas siang yang membikin penat kepala, kusempatkan diri ini membaca koran yang tergeletak di meja ruang tamu. Namun membaca koran kadang membuatku jemu. Disebabkan karena mereka selalu mengangkat berita yang itu-itu melulu. Kucampakkan koran ke meja setelah melihat-lihat sekilas isinya sambil menggerutu. Bersamaan itu kamu keluar dari ruangan dapur, duduk di kursi depanku dan mengambil koran itu.

“Ada berita rame apa hari ini?” tanyamu dengan logat khasmu.

“Biasalah, Kang. Ahmadiyah... FPI...”

“Oh...,” begitu saja katamu sambil asik membuka-buka koran.

Demi memecah kesenjangan aku berkata lagi, “Kang, aku heran. Kenapa sih umat Islam itu terpecah-pecah gitu? Apa mentang-mentang karena—apa itu yang kata iklan yang sempet diprotes itu—Islam warna-warni? Kalau tidak ada perpecahan semacam itu mungkin headline di koran bakal lebih menarik. Ngomongin apa gitu kek.”

Kamu tertawa sambil meletakkan koran itu kembali.

“Loh. Bosen juga ya Kang dengan berita yang itu-itu mulu?”

“Ini koran udah saya baca. Kamu nggak liat tho tanggalnya? Ini kan koran udah lama...”

“...oh...ya, tapi aku tetep merasa terusik, Kang. Padahal dulu kalau mengenang jaman-jaman kejayaan Islam... Saat Islam masih satu... Berada dalam satu kekhalifahan... Sekarang setelah Islam mampir ke Indonesia... Dengan adanya perpecahan semacam itu... Argh... Bikin negri kita tambah ruwet aja permasalahannya. Indonesia ini nggak bisa lepas dari masalah apa ya? Udah BBM naik pula... Gimana ini Kang??”

Kamu seperti tanggap akan apa yang tengah aku permasalahkan. Kamu lalu mengubah posisi dudukmu seakan bersiap hendak mengajakku berdiskusi.

“Jadi begini...”

Aku juga mengubah posisi dudukku.

“Banyak tokoh membagi muslim Indonesia itu menjadi tiga golongan. Golongan yang pertama itu, muslim kultural, yaitu muslim yang mengedepankan hal-hal yang bersifat ritual saja, seperti solat... zikir...mengaji...”

“Kek sufi gitu, Kang?”

“...ya. Pokoknya kalau menganggap Islam itu hanya menjalankan rukun islam saja itu namanya muslim kultural. Orientasi perbuatannya adalah kepada Allah akan tetapi ia tidak mengkaitkannya dengan sunatullah. Yang kedua itu muslim simbolis. Dia menganggap Islam itu hanya sebagai simbol, hanya sekedar agama saja....”

“Sekuler gitu, Kang?”

“...ya. Yang seperti itu. Liberalisasi Islam, itu termasuk. Kaum intelektual biasanya berada pada golongan ini. Mereka sangat mengerti akan sunatullah, sangat paham itu, akan tetapi mereka tidak mengkaitkannya dengan Allah sehingga mereka tidak merasakan kebesaran Allah sebagai pencipta sunatullah. Nah, yang ketiga, muslim ideologis, yaitu muslim yang menjadikan Islam sebagai ideologinya. Tauhid sebagai landasan hidupnya. Ya pikirannya, ucapannya, perbuatannya. Ia paham akan sunatullah dan mengkaitkannya dengan Allah sehingga ia bisa objektif dalam berpikir. Kamu inget Snouck Hurgronje?”

“Orientalis Belanda yang pura-pura masuk Islam untuk merusak masyarakat Aceh dari dalam kan?”

“Tidak hanya masyarakat Aceh. Snouck Hurgronje itu pengaruhnya luas sekali hingga membuat keadaan muslim Indonesia seperti ini. Sekembalinya dari mempelajari Islam di Mekkah, dia bilang begini pada pemerintah kolonial: Para ulama itu, jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka mereka tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Umat Islam tidak akan membahayakan pemerintahan Hindia Belanda sepanjang hanya beraktifitas pada wilayah ritual keagamaan. Umat Islam dianggap akan sangat berbahaya bila sudah aktif masuk pada wilayah politik dan ekonomi, karena disadari bahwa Islam mempunyai ideologi dan sistem tersendiri yang akan mengancam kepentingan imperialisme mereka. Snouck paham bahwa Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik. Nah, bagi umat Islam yang keukeuh mempertahankan Islam sebagai ideologinya, maka harus dicap sebagai ekstrimis. Dan begitu kan yang terjadi sekarang ini? Makanya muslim itu dipecah, sebagian digiring ke masjid, ke pesantren-pesantren di daerah terpencil untuk banyak banyak solat, mengaji. Pokoknya ritual... terus. Sebagian lagi—lewat politik asosiasi, Snouck adalah pencetusnya—dibawa ke negara-negara Barat. Disekolahkan, diberi pendidikan dan ditanamkan pola pikir Barat sehingga sekembalinya mereka ke Indonesia mereka terapkan sekulerisme sebagaimana yang mereka terima di Barat. Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita Pan Islam. Dan itu hingga sekarang masih bisa kita rasakan, ya tho?”

Prama, yang sedari tadi mondar mandir di sekitar kami, akhirnya ikut juga bergabung dan membagi keripiknya. Sambil mengunyah, ucapnya, “Kang, dari tadi ngomongin sunatullah terus, emang sunatullah tuh apaan sih, Kang?”

“Iya, apaan sih, Kang?” Aku ikut mengangguk angguk.

“Jadi, dalam Al-Quran itu, Allah bisa dipahami sebagai 3 hal. Yang pertama, sebagai ideologi atau tali. Tau kan perintah Al-Quran yang menyuruh kita untuk selalu berpegang kepada tali Allah? Tali berfungsi sebagai pengikat. Ideologi pun mengikat manusia yang menganutnya. Yang kedua, Allah sebagai Dzat Pencipta. Yang ketiga, Allah sebagai Sunatullah atau bahasa ilmuwan mah hukum alam. Hukum alam itu hukum Allah. Ketetapan Allah. ”

Aku dan Prama bertukar pandang.

“Bukannya hukum Allah itu yang kayak... kalau mencuri dipotong tangannya gitu? Trus, kalau ketetapan itu maksudnya apa, Kang?” tanyaku karena kurang mengerti.

“Qisas? Itu namanya syariat. Bedalah. Lagipula syariat itu harus dilihat dulu konteksnya. Kenapa bisa sampai turun perintah qisas itu... itu adanya kan pas periode Madinah. Pada masa itu masyarakat yang terbentuk sudah modern dan maju—makanya ada istilah masyarakat madani—sehingga kalau sampai ada yang masih mencuri itu keterlaluan sekali sehingga potong tangan dianggap tepat supaya pelakunya jera. Lagipula masyarakat Arab padang pasir kan emang dikenal berkultur keras. Pernah dengar kan cerita Umar bin Khattab, sewaktu beliau menjadi khalifah, pernah membebaskan orang yang mencuri, bahkan diberinya makanan, karena orang tersebut mencuri saking miskinnya sehingga tidak sanggup memberi makan keluarganya?”

Aku dan Prama manggut manggut.

“Yang dinamakan sunatullah itu seperti hukum gravitasi, Archimedes, dan masih banyak sekali. Ayat-ayat Allah itu luas sekali kok. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang mengulas atau memberikan tanda-tandanya. Coba buka As-Sajdah ayat 27...”

Mengetahui bahwa kami tidak membawa Al-Quran terjemah, kamu sodorkan milikmu. Aku dan Prama berdua mencari-cari ayat yang kamu maksud.

“Baca, Kang?” tanya Prama. Kamu mengangguk.

’Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami Menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami Tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang daripadanya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?’”

“Ekologi banget ya, Kang? Hehehe... Interaksi antar makhluk hidup dengan lingkungannya!”

Kamu mengangguk lagi disertai senyum. “An-Nur ayat 46 coba....,” katamu lagi.

’Sesungguhnya Kami telah Menurunkan Ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah Memimpin siapa yang Dikehendaki-Nya kepada Jalan yang lurus.’”

“Ayat-ayat di sini jangan hanya diartikan sebagai ayat-ayat yang ada di Al-Quran saja. Seperti yang tadi saya bilang, Ayat-ayat Allah itu luas sekali, ‘tertulis’ di mana-mana. Ohya, ayat-ayat yang semacam tadi itu di surat Ar-Rum dan surat Al-Furqan juga masih banyak kok. Nggak hanya IPA aja yang diisyaratkan. Yang berbau IPS juga ada kok, kayak hukum waris, pernikahan, pedoman pergaulan dalam rumah tangga. Coba An-Nur ayat 58-59....”

Aku dan Prama menelusuri huruf-huruf. Ketemu.

“Gak usah dibaca lagi ya, Kang. Males. Panjang.” Aku dan Prama meringis.

“Yaaahhh...” Kamu hanya menggaruk garuk kepalamu, geli dengan tingkah kami berdua.

“Jadi ya semua Ayat-ayat Allah itu kan menerangkan kepada kita mengenai keadaan di bumi ini. Itu semua hanya bisa kita pahami dengan ‘membaca’; perintah pertama yang turun dari Allah kepada rasul-Nya. Membaca Ayat-ayat Allah. Tentu saja karena yang membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya adalah akal maka kita membaca dengan menggunakan akal. Melibatkan aktivitas berpikir. Buah dari berpikir itu adalah ilmu.”

“Jadi bisa dibilang kalau ilmu itu penyederhanaan dari Ayat-ayat Allah ya? Gila, ilmu itu sendiri aja udah rumit!”

Prama tertawa mendengar ocehanku. Tentu dia mengerti karena kami sama-sama masih anak sekolahan yang setiap hari harus menuntut ilmu di lembaga akademis fomal.

Kamu melanjutkan, “Orang beriman, orang yang meyakini adanya Allah, tentu ia telah melalui proses untuk memahami keberadaan Allah. Seperti Nabi Ibrahim, yang setelah melalui proses berpikir terus menerus, membaca Ayat-ayat Allah, akhirnya ia menemukan-Nya. Dengan menggunakan akalnya untuk berpikir pulalah seseorang dapat menemukan jalan yang lurus, jalan yang benar dalam menuju tempat kembali kepada-Nya. Kalau landasan berpikir kita benar, tentu kita bisa memahami keberadaan dan kebesaran Allah sehingga kita tunduk kepada-Nya.”

“Emang berpikir itu harus gimana sih, Kang?”

“Ya harus objektif. Objektif itu ya sesuai dengan realita, kenyataan yang ada. Kalau orang tidak berpikir objektif, ya subjektif. Subjektif itu menganggap benar salah tegantung pada seseorang. Setiap orang tentu akan mempunyai persepsi yang berbeda-beda, kan? Sehingga subjektivitas itu bisa menimbulkan perselisihan. Nah, cara keluar dari perselisihan itu ya lihatlah pada realita yang ada. Objektif. Semua ini kan yang menciptakan Allah. Manusia hanya menemukan sehingga timbul rasa kagum dan munculnya pertanyaan: Siapa yang membuat ini semua? Hingga manusia pun akan sampai kepada pemikiran mengenai Tuhan. Kepada Zat Maha Kuasa. Satu-satunya yang paling mungkin menciptakan seluruh alam ini. Kalau orang sudah sampai pada kebenaran ini dan memahaminya maka akan timbul militansi. Kefanatikan.”

“Wah wah... kok fanatik sih, Kang? Kesannya kayak gimana... gitu.”

“Loh? Iya tho? Kalau orang tidak fanatik pada kebenaran maka ia fanatik pada ketidakbenaran. Otomatis kalau kita memahami kebenaran akan timbul sikap militansi. Kalau memahami tapi tidak menjalankan itu tidak objektif namanya.”

Aku dan Prama terdiam sebentar. Mencoba merenungi kata-katamu yang membuat kami bungkam. Kuulangi kata-kata itu ‘kalau tidak fanatik pada kebenaran, maka fanatik pada ketidakbenaran’. Benarkah kita selalu berada pada jalur kefanatikan? Sebagaimana Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lainnya yang tidak memihak blok Barat maupun blok Timur akan tetapi mereka sendiri sesungguhnya berupa blok. Gerakan Non Blok. Orang yang tidak mau dibilang fanatik, baik pada kebenaran maupun ketidakbenaran, berarti dia fanatik pada ke’tidakmaudibilangfanatik’an. Hm. Kalau aku memikirkan ini terus maka diskusi ini akan terputus dan itu akan menciptakan suasana senyap yang kurang mengenakkan. Baru saja aku mau bertanya, ternyata kamu sudah angkat suara lagi.

“Oh ya, Akang baru inget nih. Baca-baca di internet kemarin, ada fenomena menarik. Jika di Timur Tengah umumnya 'kebangkitan Islam' itu ditandai dengan peningkatan kesalehan dan konservatisme berbarengan dengan penguatan Islam politik dengan ideologi fundamentalis dan bahkan militansi dan radikalisme, maka kebangkitan Islam di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan. Pandangan orang kan, Islam di Indonesia itu seolah-olah lebih hebat, lebih bagus, dan lebih menyenangkan Kristen, Yahudi, Barat, karena tidak radikal, tidak militan, tidak fundamentalis. Tanpa sadar, dengan ungkapan semacam itu, sebenarnya kaum Muslim telah dipecah belah, masuk dalam politik belah bambu. Satu diinjak, satu diangkat. Dengan memberikan stigma negatif terhadap wajah Islam Timur Tengah semacam itu, dampak berikutnya adalah munculnya sikap negatif terhadap saudara-saudara kita Muslim di Timur Tengah, sehingga memudahkan untuk memindahkan kiblat pemikiran Islam ke Barat.

”Wacana lain yang tidak seharusnya ditelan mentah-mentah adalah penggunaan istilah dan wacana tentang fundamentalisme dan radikalisme yang juga tidak lepas dari agenda Barat dalam mencitrakan Islam sebagai momok dan musuh baru pasca-Perang Dingin. Buku-buku tentang masalah ini sangat melimpah ruah, bagaimana wacana ini terus digulirkan untuk mengacaukan persepsi kaum Muslim dan dunia internasional. Apalagi ketika wacana fundamentalisme, radikalisme, militan, dikaitkan dengan terorisme.

”Kebangkitan Islam di Indonesia ditandai dengan peningkatan toleransi dan penerimaan yang kian meluas atas gagasan-gagasan dasar tentang pluralisme keagamaan. Pendapat inilah yang sebenarnya merupakan racun pembunuh. Sebab, kebangkitan Islam dikaitkan dengan penyebaran paham pluralisme agama yang memang merupakan mesin pembunuh agama-agama. Harusnya dibedakan antara pluralitas, yang mengakui keragaman, dengan pluralisme agama, yang merupakan paham tentang realitas.”

”Maksudnya, Kang?” tanya Prama.

”Paham pluralisme itu kan mengatakan bahwa semua agama itu benar. Tuhan itu ya yang satu itu. Hanya saja cara menyembahnya beda, tergantung agama masing-masing. Tidak bisa begitu. Wong setiap agama juga mengajarkan konsep ketuhanan yang berbeda-beda kok. Ini mau disamakan gimana. Udah soal konsep gitu loh. Mendasar banget. Jadi kalau mau mengatakan Islam itu agama yang paling benar itu salah. Sebab kalau mengatakan demikian berarti agama yang lain juga benar. Tapi Islamlah yang ’paling’. Nah, kalau sudah ditempeli ’paling’ kan, jadinya bersifat relatif? Ya gak? Misal, kamu bilang akang manusia paling ganteng (Prama menggeleng cepat), tapi buat aku nggak gitu, Keanu Reeves menurutku jauh leih ganteng dari akang (”ya iyalah,” timpal Prama). Nah, kalau  sudah relatif begitu bagaimana kita bisa objektif? Semua dianggap benar. Benar ya benar. Kebenaran mutlak itu pasti ada.” Kali ini dengan meniru gaya bicaramu aku coba angkat bicara dari lubuk hatiku yang paling dalam meski dasar pemikiranku sendiri mungkin belum sekokoh kamu. ”Orang yang menganggap semua agama itu sama, itu sama saja dengan dia berada di luar agama-agama itu. Atheis. Kalau kita menganggap semua agama benar, berarti bisa saja semuanya salah. Karena ada yang dinamakan ’benar’ itu ya karena ada yang ’salah’.”

Kamu mengangguk angguk membenarkan perkataanku.

”Trus, Kang, gimana dong supaya militansi kita sebagai umat Islam nggak dianggap aksi terorisme? Padahal kan militansi itu nggak mesti kekerasan kan?” tanya Prama.

”Wah, itu agak sulit ya, karena sudah mengglobal. Yang penting itu kita ajak mereka berdialog ketimbang menggunakan kekerasan fisik. Dalam berdialog itu ya kita gunakan sunatullah. Kita pakai objektivitas. Semuanya kita kembalikan kepada realita yang ada. Realita itu ya sunatullah itu sendiri. Semua itu ada karena ketetapan-Nya.”

”Jadi solusinya gimana dong, Kang?”

”Wah, sulit juga itu. Hampir semua sektor kehidupan di negri ini memiliki permasalahan. Kalau benar-benar mengaku Islam, ya harus kita perjuangkan sistem kemasyarakatan yang benar itu. Yang berlandaskan Al-Quran.”

**

Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tanyakan sama kamu. Tapi, aduh, perut ini sudah terpuntir puntir rasanya dari tadi. Aku khawatir maagku kambuh.

”Jadi, Kang, Prama,” selaku di tengah diskusi antara kamu dan Prama yang masih berlanjut. Maksudku memang hendak mengganggu keasikan kalian berdua. Demi kesehatanku. Nyawaku. ”Mari kita beli pecel lele.”

Diskusi kalian putus. Kamu memandangku dengan tatapan berbinar. ”Udah nyobain lele di belokan sana belum? Murah loh. Cuman tiga ribu. Sambalnya juga beda dari tempat kita biasa makan.”

Hahaha, sepertinya dari tadi kamu menahan lapar juga.

**

Pada malam itu kutatap rembulan bundar yang warnanya bagai kinclongnya logam lima ratusan dari kuningan yang baru digosok Brasso. Siapa sih yang Kuasa meletakkan benda seindah itu di atas sana? Kok bisa ya nggak jatuh dan rutin turun perlahan lahan diganti bundaran yang lebih bersinar di pagi hari? Mungkinkah bulan itu dapat tegak di langit dengan sendirinya? Di tengah euforia kekagumanku, kucoba merangkai-rangkai gerak pikirku yang kerap masih belum objektif. Berpikir subjektif biasanya membawaku pada pertikaian terutama kalau sedang berdebat dengan teman. Aku ingin bisa berpikir secanggih Nabi Ibrahim hingga bisa ’menemukan’ Allah.

Membelah malam. Menapaki gerindil beraspal. Kamu dan Prama masih asik berdiskusi tentang pemberdayaan masyarakat. Katamu istilah masyarakat madani—yang sering jadi impian bangsa kita di editorial koran itu—mengacu pada masyarakat yang terbentuk pada periode Madinah (madani dan Madinah, hm, cocok juga, hehe...), yang berada di bawah pemerintahan Rasulullah dan para Khulafaurrasyidin, yang teguh menjadikan Al-Quran sebagai pedoman mereka dalam segala aspek kehidupan. Aku membayangkan seandainya pemimpin negri ini juga menjadikan Al Quran demikian...

 

 

bumi Allah, 11 malam sudah, pada 19 Juni 2008

revisi setengah sembilan lebih malam 20 Juni 2008

revisi khir (tambahan) 21.54 10 Agustus 2008

dYhsa,alumniJasmine2@Tugo,16-17Mei08

Sumber:

Laman dan Literatur

-       Al-Quran dan Terjemahnya Al-’Aliyy. CV Penerbit Diponegoro.

-          Snouck Hurgronjehuis oleh Redaksi. 31 Desember 2004 6.00 PM. Swaramuslim dari Hayatulislam.net (diunduh 10 Juni 2008 1:36 PM)

-          Paradoks Kebangkitan Islam oleh Adian Husaini. 20 Desember 2004. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (diunduh 10 Juni 2008 1:43 PM)

-          dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu salah satunya karena lupa

Wawancara

terimakasih banyak untuk temanku di Bubat Bandung—yang tidak usah disebut siapa atau ntar dia malu—atas kesediaannya ditanya-tanyai. jangan kapok kapok yaw.



HABIS KATA #6

Cerita ini tidak berjudul karena saya tidak tahu harus memberi judul apa dan saya malas memikirkan itu. Namun versi softcopy-nya sendiri berjudul ‘06_jUN08_IQOB JASMINE 2 16-170508’. Hah, apa itu maksudnya? Dan mengapa pula formatnya seperti ini? Oke, tenang dulu. Saya akan menceritakan bagaimana prosesnya hingga bisa terjadilah tulisan ini... yang sebetulnya tidak juga patut disebut cerpen...

Pada tanggal 16-17 Mei 2008 saya mengikuti kegiatan yang dibuat oleh Keluarga Mahasiswa Islam Kehutanan (KMIK) Fakultas Kehutanan UGM. Namanya JASMINE. Singkatannya kalau gak salah... Saya lupa. Semacam training keislaman gitulah. Acaranya 3 hari 2 malam, menginap di suatu desa di bukit Turgo, kaki Gunung Mrapi. Namun pada hari terakhir, dimana acaranya adalah outbond, saya tidak bisa mengikutinya karena FLP Jogja mengadakan acara Pelatihan Empatik II, di mana acara tersebut wajib diikuti oleh anggota FLP Jogja. Saya lebih memprioritaskan FLP. Oleh karena itu saya dan teman saya, yang juga anggota FLP Jogja dan hendak mengikuti acara serupa, pamit pulang pada pagi terakhir. Sebagai konsekuensi tidak mengikuti kegiatan terakhir, kami diberi hukuman membuat tulisan mengenai permasalahan yang dihadapi umat Islam. Saya kebagian yang di Indonesia sementara teman saya itu di dunia. Lingkupnya lebih luas. Saya patut bersyukur kiranya.

Dalam menulis ini saya melakukan riset (cielah...), dari mulai wawancara sampai mencari artikel terkait lewat mesin pencari google. Pada mulanya saya kepikiran untuk bertanya pada kenalan saya di Bandung yang dulu pernah jadi sarana bagi saya untuk mengetahui lebih banyak tentang keislaman. Dalam suatu kesempatan pulang ke Bandung (waktu yang diberikan untuk menggarap tulisan ini memang cukup panjang), saya mengunjunginya dan bertanya seperti apakah permasalahan yang dihadapi umat Islam di Indonesia. Saya lalu mendengarkan dia berbicara dan mengingatnya untuk dijadikan bahan tulisan saya. Saya lengkapi dengan pengetahuan-pengetahuan yang saya dapatkan dari browsing di internet. Kalau ada yang kurang jelas saya telpon kenalan saya itu. Untuk memudahkan dalam penulisan, karena saya lebih menyukai fiksi ketimbang non fiksi, maka tulisan ini saya buat dalam bentuk semi cerpen. Adapun formatnya dibuat demikian karena mbak yang menyuruh saya bikin ini (Mbak Amy, namamu sudah kutaruh sebelumnya di Prakata) menyuruh pula agar tulisan saya ini kemudian dipublikasikan bersama tulisan teman saya ke anak-anak angkatan kami dan satu angkatan di atas kami. Masing-masing angkatan dapat 25 copy. Untuk menghemat kertas, karena saya sudah terlanjur menulis banyak—kebiasaan—dan merasa sayang untuk mengeditnya, maka tulisannya saya bikin kecil-kecil namun cukup terbaca. Begitupun margin-nya saya atur sedemikian rupa.

Namun hingga saya menulis ini, tulisan ini belumlah tersebar ke siapa-siapa. Meskipun isi di dalamnya adalah apa yang saya yakini, bukanlah karangan semata, namun saya belum siap apabila ada orang yang membaca tulisan ini lalu tidak sepaham dan mengajak berdebat. Saya khawatir tidak bisa mengemukakan argumen yang tepat sebab ilmu saya belumlah banyak.

Mengapa tulisan semi cerpen ini bisa menjadi cerpen Juni, ceritanya sama seperti yang terjadi dengan cerpen Mei. (12/30/2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain