1
“Tak sengaja... lewat depan rumahmu...”
Trista membuka matanya pelan-pelan. Sadar
dari mimpi buruk yang barusan membuat adrenalinnya terpacu dengan sangat
kencang.
“Ku melihat... Ada ... Tenda Biruuuuuuu...”
“...”
“TANPA UCAPAN, DIRIKU KAU TINGGALKAN!!!!”
Trista menggapai-gapai meja kecil di sebelah
tempat tidurnya dan meraih segelas air mineral yang selalu tersedia di situ.
Lalu menelan berteguk-teguk air putih untuk melumuri tenggorokannya yang terasa
sakit dan kering.
“TANPA BERDOSA...[1],”
Trista beranjak dari pembaringannya dan
berjalan menuju sumber suara itu.
“Mario, bisa gak sih kamu berhenti nyanyiin
itu?” ujar Trista. Ia sudah tiba di pintu kamar Mario, adik semata wayangnya
yang ia sayang. Belum lama ini kekasihnya pergi meninggalkan dirinya untuk
selama-lamanya, ke alam baka. Dan tak akan kembali lagi. Mario bukan lagi
berada di ambang depresi. Ia malah sedang berkubang di dalamnya. Menangisi
kepergian orang yang paling dikasihinya selama ini. Yang paling dikasihinya itu
selain papa, mama, dan kakak-kakak plus om-om, tante-tante, dan
sepupu-sepupunya yang tajir-tajir tentu saja.
“Sudahlah, bendera kuningnya aja bahkan udah
dicopot...” Trista mengelus-elus kepala Mario dengan sayang. “Udah ya, Mbak
harus siap-siap mau ke Starbucks, ada janji. Kamu mau ikut?”
Mario tidak menjawab. Masih memeluk lututnya,
mengisap jempol, dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan nelangsa. Badannya
bergerak mendekat ke kaki lalu menjauh lagi, kedua tangannya terangkat ke atas,
sambil mengerang, “Masa depaan.. masa depaan..,”
“Mau titip?”
“Masa depaan.. masa depaan..,”
“Ya udah, kalau nggak mau jangan nyesel.”
Trista menutup pintu kamar adiknya.
Siapa sangka, keluarga nyaris sempurna yang dimiliknya, yang seharusnya tidak
punya satu masalah pun untuk dikeluhkan, ternyata sanggup bertekuk lutut hanya
karena cinta.
Ah, Elmo...
2
Trista sempat deg-degan selama perjalanan ke
Papier Shelter. Ia diantar oleh sepupunya, Ramon, dengan Audy hitam. Ia cemas,
takut dan gelisah kalau-kalau apa yang akan dialaminya nanti sama persis dengan
mimpinya.
Jangan. Jangan sampai terjadi. Ia memegang
pelipisnya.
“Are
you okay, Sis?” Ramon melirik
Trista sekilas. Ia harus berkonsentrasi mengemudi. Sudah lama sih sebetulnya,
SUV-nya dulu pernah masuk sawah dalam sebuah insiden mengerikan yang tidak
direncanakan. Akibatnya SUV tersebut harus masuk bengkel. Namun karena sudah
ketinggalan zaman sebelum selesai diperbaiki akhirnya ia ganti deh. Audy yang
ini punya Trista, bukan punyanya. Mobil punya dia lebih canggih, ada kolam renangnya
segala.
“Oh, diamlah!” sergah Trista. Ramon tak
berkata apa-apa lagi.
Untungnya selama perjalanan ke Starbucks yang
terjadi lain dari yang diimpikan. Meski tidak lebih baik dari isi mimpi
buruknya, setidaknya tak ada razia dan KTP dengan tulisan ‘STATUS: KAWIN’.
Tunggu, dia belum memeriksanya
Dia harus memeriksanya. Harus.
Begitu berhenti di lampu merah dengan body
language yang tetap terjaga Trista meminjam dompet Elmo.
“Cuman liat-liat aja, kok. Kalau nggak boleh
ya nggak apa-apa...” Trista sok ngambek. Elmo jadi tak enak.
Elmo
merogoh saku jinsnya dan menyerahkan dompetnya pada Trista. Cewek tersebut
cepat-cepat mengecek kartu-kartu yang ada. ATM. SIM. KTP...
STATUS : BELUM KAWIN.
Fiuhh...
Trista mengembalikan dompet Elmo pada pemiliknya.
“Buat apa sih, ngeliat KTP?”
“Mmm.. Impulsif. Gak tau kenapa?”
“Impulsif artinya apa, Elmo?”
“Nggak tau.”
Hening.
“Aze punya KTP juga?” Trista memecah
keheningan.
“Belum bikin....”
“Oh... ya, baguslah..” Trista lega.
Memikirkan kembali kenapa ia harus ke Starbucks.
Mengembalikan ingatan Elmo yang hilang akan
momen-momen berharganya bersama Trista.
Ah, iya, tentu saja.
Trus kenapa tiba-tiba ada cewek yang namanya
Aze? Jadi untuk apa ia pergi ke Starbucks cuman buat jadi kebo congek, pakai
harus nraktir mereka berdua segala?
Tidak tahu. Tidak tahu.
Tahu-tahu mereka sudah sampai di Starbucks
BIP.
Sebelum memasuki Starbucks-nya saja kepala
Aze sudah mendongak. Sambil mangap ia terperangah dan melihat ke sekelilingnya.
Mengamati mesin pembuat kopi, orang-orang yang sedang ngopi di sana, apa saja
yang ada di meja mereka, musik yang mengalun lembut... Emang sih, Aze sering
main ke mal ini bersama teman-temannya. Tapi biasanya mereka ke atas, cuma beli
pernak-pernik murah buatan Cina di toko-toko berdekor pink.
Trista mendahului mereka ke counter, di mana berjejer para barista yang siap meracik kopi. Salah
satu barista tersenyum begitu Trista
mendatangi. Dia menyapa Trista dengan cara yang lebih akrab dari sekedar sapaan
seorang pembuat kopi kepada seorang pelanggan tidak dikenal tapi berkantong
tebal. Aze dan Elmo berdiri diam-diam saja menunggui Trista mengobrol. Lagi
sepi ini.
Saat itulah Aze merasakan dorongan gila yang
tidak salah lagi timbul karena habis nonton drama Korea. Dengan Trista mendahului
mereka, Elmo bertindak sebagai penengah, ia berdiri menghadap punggung Elmo.
Aze memelototi punggung Elmo dengan jantungnya hampir melompat ke mulut karena
berdebar keras. Samar-samar terhirup wangi tubuh Elmo.
Oh Tuhan, lindungilah hamba-Mu dari godaan
setan yang terkutuk.
.
“Pesen yang biasa, ya,” kata Trista, lalu ia
berbalik pada pasangan yang menyertainya.
“Aze pesen apa?”
“..”
“Mm?”
“Euh, kopi. Kopi..”suara Aze entah kenapa
terdengar takut.
“Iya, yang mana?”tanya Trista dengan gaya
cewek antagonis sinetron yang sesuai.
“Eh, itu aja deh, yang pink, kayak yang punya
orang itu,”kata Aze sambil menunjuk gelas di atas meja dekat mereka. “Itu jus
jambu kan yah?”
“Bukan Aze, itu Frapuccino Ice Blended rasa Raspberry,” Trista memberikan senyum charming-nya yang harus selalu ada
kapanpun dan di manapun pada Aze. Orang yang dituju merasa itu teror, bukan
senyum.
Aze terhenyak. Oh, memang ini bukan tempatku. Seharusnya aku pergi saja...
3
“Jadi, udah berapa lama kalian jadian?”
Trista membuka topik begitu mereka duduk.
“Berbulan-bulan,” kata Aze mantap.
Sebagai anak SMAN Bilatung, SMA terfavorit di
Bandung, itu bukan jawaban yang bagus, batin Trista sinis.
“Sebetulnya hari ini tepat 4 bulan kita
jadian, Aze...” jawab Elmo sendu karena ceweknya sama sekali tidak ingat.
“Oh, ya?!” Aze tampak terkejut.
“Ya, masak Aze nggak sadar sih, setiap ulang
bulan Elmo kan selalu ngajak Aze keluar makan enak?”
“Aku taunya sebulan sekali semenjak jadian
Elmo selalu ngajakin aku ke warung timbel di jalan Sungaibekas tea...”
Trista tak bisa menahan tawanya. Namun ia
tetap berhati-hati agar tak tersedak kopinya. Kalau kopinya sampai keluar lagi
lewat lubang hidung itu bakal jadi aib yang paling memalukan.
“Ah, masak... yang bener? Si Elmo?” sahut
Trista tampak tak percaya. Ia ganti menatap Elmo dengan pandangan menohok
sejak-kapan-kamu-jadi-begitu-kampungan?
Elmo mengelap kacamatanya dengan ujung kemeja
dengan hasrat ingin mati. “Kita
kan nggak bisa terus-terusan di atas. Kita juga harus merakyat, sekali-kali mencoba
menyelami kehidupan masyarakat bawah. Elmo mau jadi wakil rakyat katanya, jadi
dia harus latihan hidup susah dari sekarang...” Aze mencoba menyelamatkan Elmo
dengan alasan yang dianggapnya bagus. Tapi tak urung dia masih merasa harus
duduk sejauh-jauhnya dari Elmo.
“Ah iya?” Trista mengeluarkan ekspresi
seakan-akan hal itu merupakan hal paling tragis yang bisa terjadi dalam
panggung kehidupan.
Coba kalau dia menikah dengan aku, aku bisa bujuk papa
buat kasih dia posisi bagus di perusahaannya dan dia nggak perlu hidup melarat, pikir Trista.
Hey, kenapa aku mikirin si Elmo menikah sama
aku? Sadar Trista kemudian.
Apakah ini... takdir? Apakah takdir ini aku
yang menyadarinya duluan? Jadi... apakah aku benar-benar bakal menikah dengan
Elmo suatu saat nanti...?
Trista tidak menyadari bibirnya telah
melengkung membentuk senyum sinis.
“...karena itulah aku juga nyoba buat ikutan
hidup susah juga...” sebenarnya nggak udah ikut-ikutan Elmo hidup susah juga
aku emang udah hidup susah... lanjut
Aze merana dalam hati, tentu saja tak terlihat di luarnya.
“Hah, kenapa?” tanya Trista heran. “Kenapa
kamu juga ikut-ikutan?”
Tiba-tiba Elmo dan Aze sama-sama mengulas
senyum terkembang di bibir mereka. Menyebarkan hawa beracun bagi Trista. Mereka
jadi seperti malu-malu kucing menjijikan. Pipi Elmo nge-blush dan
menimbulkan debar jantung Trista meningkat dua kali lipat.
.
Sekonyong-konyong Aze merasa canggung dan
risih. Ini salah satu saat di mana Aze teringat bahwa mereka pacaran, dan itu
tidak sama dengan berteman. Juga, ya ampun, tadi pas di kasir itu apa yang dia
rasakan? Aze cepat-cepat menyingkirkan perasaan jengahnya dan kembali bersikap bahagia
dan kasmaran sebagaimana seharusnya.
“Mmm... Elmo janji sama aku. Katanya kalau
dia udah lulus kuliah... mmm... Elmo, kamu ah yang terusin!”
“Ah, nggak ah! Apaan sih, kok kamu
bilang-bilang?” Elmo jelas-jelas malu sambil mengenakan kacamatanya kembali.
Tapi tak kuasa menyembunyikan kebahagiaan yang seketika muncul karena ceweknya
mengungkit hal paling penting dalam hidupnya itu.
Senyum yang sedari tadi menempel di wajah
Trista memudar pelan-palan. Sepercik dugaan muncul di benaknya. Dugaan
mengerikan yang tak ingin ia bawa ke permukaan. Namun dorongan impulsif yang
menang. “Apa? Kalian mau menikah?”
Aze dan Elmo agak terkejut menerima kenyataan
bahwa Trista bisa tahu rencana besar mereka. Tapi mereka kembali terjun dalam
kebahagiaan yang sejenak tergantikan itu.
“Ya, kalau uangnya udah
cukup, dia...,” Aze menunjuk Elmo, “Mau beli cincin dan kita tunangan dan...
kayak di film-film itu loh.”
Aze tidak meneruskan. Karena orang yang ingin
diberitahu sepertinya sudah tahu apa kelanjutannya. Dengan gugup ia membentur-benturkan kedua
ujung telunjuknya di depan dada.
Trista seakan meninggalkan dunia yang sedari
tadi dipijakinya. Kegelapan mulai menyelimuti dunia sekitarnya. Isi kepalanya blank.
Ia bahkan lupa berapa hasil 9 x 9, draft teenlitnya...
Tadinya ia ingin mencabut meja di hadapannya
hingga mur-murnya terlepas dan memporakporandakan seluruh isi Starbucks.
Membanting-membantingnya, memukuli pasangan memuakkan di hadapannya. Tapi
pikiran sehat yang untungnya tertinggal di kepala ketika isi kepalanya
tiba-tiba blank tadi mengatakan,
“Kalau kamu melakukan itu, malah membuat keduanya ketakutan dan saling
berpelukan. Aze akan berkata tanpa daya, ‘...save me, Elmo, i’m so
scared...’. Elmo akan memeluknya semakin erat untuk melindunginya...dan...
seterusnya bisa kamu bayangkan sendiri, kamu kan pengarang hebat. Bukan
pemandangan yang kamu inginkan, bukan?”
Ya, benar. Akhirnya
Trista berusaha tersenyum selebar mungkin meskipun urat-urat sudah bertonjolan
di pelipisnya—malah membuatnya terlihat seperti Joker—dan berkata dengan nada
yang ditulus-tuluskan, “Wah, selamat!”
Setelah itu Trista merasa ada teflon sebesar
dan seberat gong menghantamnya. Bunyinya keras dan sangat memprihatinkan.
Tubuhnya terhantam di dinding yang remuk. Tidak—tidak, seharusnya Aze yang
berada dalam posisiku kalau begitu...
Tiba-tiba Trista berdiri dengan gelisah.
“Aku harus ke toilet!”
“Wah, semangat amat...,”
komentar Elmo.
Tuhan... tolong bantu aku membedakan mana yang ilusi dan mana yang
nyata!!! Jerit Trista pedih dalam hati sambil berlalu.
4
Malam menyelimuti bumi.
Beberapa keluarga tidur kelaparan karena tidak punya minyak untuk menggoreng
lauk makan malam. Tidak begitu di rumah Elmo. Elmo tidak menyadari bahwa
seharusnya ia bersyukur pada Tuhan Yang Maha Pengasih. Orangtuanya masih punya
anggaran buat beli minyak goreng. Sehingga Elmo punya lauk makan malam lezat
temannya nasi. Sehingga dia tidak kelaparan dan bisa belajar semalam suntuk
dengan perut kenyang. Penyebab insomnia akut yang membuat Elmo terlihat seperti
vampir dengan lingkaran mata menggantung seperti jamur pagi harinya.
Elmo belajar dengan
semangat berjuang yang tinggi. Belajar buat SPMB tahun ini. Belajar buat masuk
jurusan STEI Institut Top Banget. Padahal Elmo sendiri tidak punya gambaran
lulus dari situ dia mau kerja jadi apa. Dia tidak terlalu ngebet pula jadi
manajer atau direktur. Jadi mahasiswa STEI
Institut Top Banget udah keren banget. Dan pastinya, bangga!
I can’t sleep tonight/Everybody’s saying everything is alright/Still i
can’t close my eyes/I’m seeing a tunnel at the end of the light[2]
Elmo meraih hapenya yang
bernyanyi dan melihat nama yang tertera di LCD. Hampir aja dia menjatuhkan hape
tersebut. Begitu ingat harga hapenya ini mahal dia langsung sigap menangkap
sebelum hape hancur berderai menubruk lantai.
Ya, Elmo panik mengetahui
siapa yang menelponnya itu. Nomor itu belum dia hapus dari phonebook hapenya walaupun ia sudah mengganti nomor. Sebenarnya dia
kan sudah bertemu, bahkan memberikan nomor hapenya yang baru, dengan pemilik
nomor ini tadi , tetapi tetap saja dia bingung sebaiknya dia menerima apa
tidak. Antara takut, malu, dan pikiran rasional yang tidak mempedulikan
perasaan yang bertanya, kenapa harus
panik sih menerima panggilan dari sahabat lama? Kesalahan lo kan cuman nggak
lulus SPMB dan itu bukanlah aib sepanjang masa karena kegagalan merupakan...
Elmo menekan tuts
bertuliskan ‘yes’ setelah menyuruh rasionalitas-tukang-bacotnya untuk kalem
bentar.
“Halo.” Elmo berusaha
menjaga agar suaranya tidak terdengar gugup. Elmo merasa kurang berhasil.
Terdengar suara lembut
dari ujung sana. Suara yang bisa menaikkan gairah pria mana saja. “Elmo...”
“Ng... Trista... kenapa?
Ada apa?”
“Aku mau minta maaf. Tadi
tiba-tiba aja aku pulang nggak bareng-bareng kalian.”
“Oh, nggak papa...”
“Trus habis aku pergi
kalian ngapain aja? Cerita-cerita dong...”
Maksud Trista : “Kalian
gak ngapa-ngapain kan abis itu?”
“Mm... kita ini kok, tadinya
sih mau nonton DVD Sponbob bareng di rumah Aze. Tapi nggak tau kenapa si Aze
tadi kayak linglung, pengen cepet-cepet pulang. Agak aneh dia, karena keracunan
kafein kali, hehehe...”
Trista mencengkram gagang
telepon erat-erat. Tak peduli kuku mengkilapnya tergesek. Cepat-cepat ia
mengganti topik sebelum obrolan satu arah ini berakhir dengan segera.
“Kok belum tidur sih?”
“Ng, Elmo lagi... lagi mau
tidur.” Elmo bohong. Tengsin dia kalau mesti bilang lagi belajar buat persiapan
SPMB. Bilang belajar saja juga tak mungkin. Belajar. Belajar buat apa? Buat
kuis Kalkulus II besok? Lulus SPMB aja
nggak, udah main Kalkulus aja.
“Oh... Trista kira Elmo
masih kena insomnia akut.”
“Gak... kok.” Elmo tak
yakin. Susah jadi pria jujur.
“...kalau gitu Trista
ganggu, ya?” Suara Trista seperti bersalah dan termenung.
.
Di ujung sana Trista
berprasangka jangan-jangan cewek-tidak-berselera pacar barunya Elmo itu telah
mengobati insomnia Elmo. Tapi dengan apa? Sebagai pengarang teenlit Trista berasumsi jawabannya
adalah dengan...
Cinta.
W—what?!
Trista cepat-cepat menepis
bayangan yang mulai membentuk balon di atas kepalanya. Tidak mungkin! Trista!
Kenapa bisa-bisanya kamu coba-coba membayangkan hal rendahan seperti itu?!
The spirit of positivity muncul perlahan di
batin Trista. Mengusir kegalauan hati nan psychedelic.
“Trista? Kamu kok terdiam
gitu?” suara Elmo terdengar kembali samar-samar makin jelas dari kejauhan,
semakin menariknya ke dunia nyata lagi.
“Entahlah, Elmo.
Akhir-akhir ini aku suka agak-agak...” Trista mencari-cari kata yang tepat
untuk mengungkapkan maksudnya... well, yah... agak-agak... agak-agak seperti
penderita schizophrenia...
“Agak-agak kenapa?”
kepedulian Elmo pada Trista perlahan muncul. Ibaratnya orang pingsan, saat
mendapatkan kembali kesadarannya ia akan menggerakkan jarinya sedikit setelah
itu diam lagi. Seperti itulah.
Trista bingung. “Ehm...
yah... just... agak-agak...” Titik. “
Well, aku pingin tahu, apa rahasianya
kamu bisa mengobati insomnia kamu. Karena akhir-akhir ini aku kayaknya mulai
kena...”
Ya, gara-gara aku mikirin
kamu terus, Elmo...
“Hehe, ketularan Elmo apa,
ya? Elmo gak tau kenapa bisa insomnia Elmo bisa ilang. Sembuh sendiri meureun.”
Sementara Elmo mengoceh
terus di sana untuk menutupi kebohongan demi kebohongan yang akhirnya keluar
tanpa bersalah dari mulut pemiliknya, Trista menatap penuh kenestapaan.
Sebenarnya Trista ingin berteriak pada Elmo. “Elmo! Kenapa kamu jadi begitu?
Kenapa kamu harus nggak lulus SPMB? Kenapa kamu harus berhubungan dengan cewek
yang seperti itu dan bukannya denganku? Kurang peduli apa aku padamu?!”, tapi
itu akan terasa sangat tidak sophisticated.
Satu hal yang sebenarnya
sangat menggalaukan Trista adalah pertanyaan terakhir karena orang bilang cinta
mengalahkan segalanya. Oke, Trista hanya ingin tahu kenapa Elmo bisa begitu
tertarik pada gadis macam Aze. Secara
level mereka beda banget gitu loh. Namun Trista tak kuasa berkata-kata. Ia
tak bisa mengungkapkan sesuatu segamblang itu. Yang ia bisa ungkapkan dari dalam
dirinya pada dunia adalah kata-kata indah sebagai pengantar ke dunia
angan-angan. Ia tak tahan dengan hal-hal seperti kemiskinan, kejelekan,
keburukan, dan sebagainya. Hal-hal yang ia rasakan dari aura yang dipancarkan
gadis-gadis macam Aze. Okh...
“Trista, kok kamu jadi
suka diem gitu sih?”
Yang sebenarnya mau
dikatakan Elmo adalah: “Trista, kamu tau nggak kalau waktu yang kita pakai buat
teteleponan ini bisa Elmo manfaatkan buat ngerjain 3 soal fisika SIPENMARU?”
“Trista, udah ya? Elmo
besok shift 1 nih.” Kali ini Elmo
jujur.
“Maaf ya, Elmo, Trista
udah ganggu...”
“Gapapa kok. Kalau kata
Elmo mah Trista jangan terlalu stres
ma kuliah, ma kerjaan Trista yang lain juga. Jangan banyak pikiran.”
“Iya, Elmo, makasih ya.”
Trista menyalakan satu lilin aromaterapi lagi dan menghirup asapnya begitu
tampak cahaya api lilin yang merah kekuningan.
“Oh ya, Elmo. Kapan-kapan
kita jalan-jalan berdua lagi yuk, kayak waktu SMA dulu. Kangen deh. Just the
two of us,“ ujar Trista dengan suara tabah. Waktu SMA dulu meski Elmo udah
punya pacar tapi Elmo selalu mau menemani Trista jalan-jalan berdua dan itu tak
pernah jadi masalah karena hubungan mereka berdua waktu itu hanya sebatas sahabat. Orang-orang dengan naifnya tidak
ada yang curiga.
Jawaban Elmo kemudian
sungguh mengejutkan Trista. “Nggak ah.”
Trista, “Hah?—E—eh, yah,
nggak papa deh.”
“Ehm, maksudnya nggak
untuk sekarang-sekarang ini. Maaf banget ya, Tris.” “Oke. Lain kali lagi aja.
Dadah, Elmo.”
“Dadah... Eh, ya, Trista,
kamu masih hapal nggak teori tentang kecepatan suara di ruang vakum?” ternyata
Elmo sudah sibuk lagi dengan soal-soalnya.
Perlahan Trista memutuskan
sambungan telepon.
Di sebelah kamarnya
terdengar sayup-sayup seseorang memainkan piano.
Satu lilin aromaterapi
lagi deh.
Sementara itu Elmo tengah
mengingat-ingat lagi apa korelasi antara pegas, beban, gesekan, gaya gravitasi,
momentum dan relativitas, karena semua itu ada dalam satu soal yang sedang
dihadapinya, sambil memandangi hape. Menunggu apakah benda itu akan berjoget
lagi meski Elmo sebenarnya sungguh ingin melupakan masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar