Dibalikkannya
kepalanya ke arah sebelumnya. Dengan jari-jari ia buka-buka halaman per halaman
buku praktikum itu. Lalu ditutupnya. Kepalanya dipalingkan ke arah lain.
Bangkit
lagi kepalanya. Ia ambil buku ilustrasi itu. Ia buka halaman per halaman. Buku
ilustrasi itu isinya ratusan halaman tanpa garis. Sebagian besar darinya telah
terukir oleh pensil; variasi garis yang membentuk rangkaian imaji.
Ia
menggambar kepala orang dengan ekspresi wajah muram. Ketika sudah selesai
menggambar setengah badan, ia berhenti. Ia menggambar lagi orang yang sama tapi
dengan ekspresi yang berbeda. Orang itu digambarnya memegang korek. Beberapa
jauh dekat kaki orang itu (ia tersenyum ketika bisa menggambar kaki dengan
garis yang sempurna sehingga sepasang kaki itu bisa tampak proporsional)
digambarnya sebuah buku yang sedang terbakar api unggun. Ia meraih buku praktikum
pink itu. Dicermati sebentar cover-nya.
Diletakkannya kembali sementara ia mulai menyalin apa yang barusan dicermatinya
pada buku yang sedang terbakar api unggun itu. Sekali-kali diraihnya kembali
buku praktikum pink itu untuk memastikan bahwa apa yang telah digambarnya telah
mirip. Orang pada gambar ia berikan ekspresi sadis. Kedua alis terangkat ke
atas. Mulut menyeringai lebar. Ia gambar balon suara besar-besar di atas kepala
orang itu dengan bingkai garis naik turun. Tulisannya: “MMUUHAHAHHAHAHHAA...!”
Tanpa
sadar ia mengikuti ekspresi orang yang digambarnya itu. Lalu ingatannya
melayang dan melayang...
Ibu
sudah lewat beberapa kali kamarnya.
“Kamu sudah makan belum?”
Setiap kali ibu mengintip ke dalam
kamar melalui pintu yang terbuka sedikit, ia cepat-cepat menutup buku
ilustrasinya.
“Istrirahat dulu gambarnya. Makan
dulu.”
Melihat ibu pergi lagi, pelan-pelan
ia membuka lagi buku ilustrasinya.
“Kalau di dalam kamar gelap, di luar
saja gambar-gambarnya. Di luar terang gini kena matahari kok malah
gelap-gelapan. Nanti matanya rusak!”
Sehabis ibu pergi, ia benar keluar
kamar tanpa membawa buku ilustrasinya. Tak pernah ia akan melakukan itu. Buku
ilustrasinya... buku-buku ilustrasinya yang gembung karena lembaran-lembarannya
penuh terisi dan semua itu ada di atas lemarinya.
Orang bijak bilang, gantungkan
cita-citamu setinggi langit-langit, karena jika kamu menggantungnya di langit,
kamu tidak akan pernah bisa mencapainya. Kecuali kalau kamu punya kesempatan
untuk menaiki roket. Jadi buku-buku ilustrasinya itu ia taruh di atas lemari.
Akan tiba saatnya tumpukan itu meninggi sampai menyentuh langit-langit. Tapi
mungkin juga tidak. Bagaimana kalau itu ternyata bukan cita-citanya?
Sambil mengunyah, ia pandangi lemari
di seberangnya. Pada lemari itu terdapat selembar piagam penghargaan dalam
bingkai berdebu; didapatkan karena partisipasinya dalam lomba melukis antar SD
dalam lingkup nasional. Ia ingat bahwa ia sudah merasa puas dengan juara
harapan III. Bukan itu cita-citaku. Aku
ingin yang tertumpuk di atas lemariku hingga berhimpit dengan langit-langit,
bersanding dengan buku-buku ilustrasiku yang tinggal membutuhkan beberapa buku
lagi untuk mencapai langiit-langit, adalah diktat-diktat kuliahku di
Kedokteran. Lemariku pun bukanlah lemari dari kayu ringan murahan yang selalu
menghasilkan banyak serbuk di lantai yang membuat kamarku kotor, tapi lemari
dari kayu jati! Kalau bukan cendana atau eboni... Matanya kini sedang
menekuri halaman koran yang menampilkan iklan mebel dari kayu.
Tampangnya sekusut rambutnya.
“Kamu tuh mau masuk Kedokteran
ngapain?”
Jika ia hendak menggambarkan adegan
ini dalam buku ilustrasinya nanti, tentu ia akan menambahkan banyak warna merah
untuk api yang menjalar di sekeliling tubuh manusia kurus gondrong berkumis
lebat ini. Mungkin ia bisa menggambarkan sesajen berupa bunga-bungaan dan
kepala kerbau untuk menambah kesan lain.
“Ya jadi dokterlah!”
“Untuk apalah kamu jadi dokter itu?
Kamu takkan tahan. Ayah tau dalam darahmu itu mengalir jiwa yang sama dengan Ayah!”
Ia memalingkan muka; pasang tampang
malas.
“Ayah, kalau aku selama 12 tahun ini
belajar keras hanya untuk menjadi seperti Ayah, apa gunanya? Aku nggak mau kayak Ayah, hidup
pas-pasan cuma mengandalkan lukisan-lukisan yang belum tentu laku!”
“Apa?!” Mata Ayah melotot.
Cuping hidungnya mengembang. Warna merah sudah tak tepat lagi untuk
menggambarkan adegan yang akan dicatat dalam buku ilustrasinya ini nanti,
melainkan warna ungu!
“Mana formulir SPMB-mu itu?! Masuk
jurusan Seni sajalah kamu! Kamu kira kamu bisa mengingkari takdir keluarga
kita?!”
Pada halaman selanjutnya ia akan
menggambar imajinasi akan ayah dari ayahnya, ayah dari kakeknya, ayah dari ayah
dari kakeknya, ayah dari ayah dari ayah kakeknya, dan seterusnya, dan
seterusnya, sampai halaman itu penuh... dan semuanya akan menjadi orang dengan
tipe yang sama; dandanan nyentrik seniman gila! Ia tidak mungkin menggambarkan
dirinya dengan penampilan tak terurus sebagaimana mereka-mereka yang telah
menduluinya. Ia akan memakai kalung stetoskop di lehernya dengan uang terus
mengalir ke dalam jas putihnya.
“Aku nggak mau kayak Ayah! Aku mau
masa depanku lebih terjamin!” Ia melirik ibunya yang mengawasi pertikaian ini
dengan wajah prihatin dari sisi ruangan yang gelap. Hampir semua temanku memilih Kedokteran. Mereka mengharapkan masa depan
yang cemerlang. Dengan menjadi dokter kehidupan yang mapan adalah lebih pasti
ketimbang memilih jalan hdup menjadi seorang seniman!
“Memangnya kenapa kalau kamu ikut
jejak Ayah?
Bukankah kamu tau kamu mampu?”
“Yah, masyarakat nggak membutuhkan lebih banyak seniman yang hidup jauh dari kota, nggak mengurusi masyarakat secara langsung! Mereka butuh lebih banyak dokter. Ayah baca koran nggak sih? Bencana di mana-mana! Kesehatan penduduk siapa yang mau menjaganya? Dengan menjadi dokter, kita bisa menjaga kelangsungan hidup manusia...”
Ia sadar sebenarnya pengetahuannya akan hal ini minim. Jadi ia meninggalkan arena perdebatan di mana lawan sudah akan melontarkan serangan lagi; masuk ke dalam kamarnya yang hanya mampu disinari lampu temaram. Ia membuka-buka buku ilustrasinya yang sedari tadi tergeletak di meja; merekam segala yang terjadi tanpa mampu menyajikan bukti dan komentar. Kecuali oleh tangan kanan yang lihai mengisinya beberapa kali dalam sehari. Ketika halaman demi halaman buku itu terbuka, sebagian besarnya adalah api merah yang menusuk mata dengan tanggal pembuatan yang berbeda-beda. Beberapa jauh dalam dada pembuat gambar-gambar itu seakan tertusuk benda tumpul saat melihat gambar-gambar itu.
Ayah menepuk-nepuk kepalanya.
“Baik-baiklah kamu di kota ini,”
katanya.
“Kembali kalau sudah jadi dokter
ya.” Ibu tidak bisa menyembunyikan kesedihan bercampur haru.
Ia hanya mengangguk-angguk, mengiyakan segala macam nasihat ini itu dari kedua orangtuanya. Dipandanginya adik-adiknya yang menatapnya dengan polos. Ayah dan ibu kini tak usah merisaukannya lagi. Risaukan saja mereka yang masih kecil-kecil itu. Mereka pun masuk ke dalam mobil mungil reyot itu, yang akan kembali melakukan perjalanan lintas pulau. Betapa jauh dari mata kampung halaman. Namun inilah kampus Kedoteran terbaik di negri ini, yang telah begitu bermurah hari mengizinkan keberuntungannya mengetuk pintu. Dipasangnya muka tegar. Dikumpulkannya kembali segenap idealisme dan harapannya untuk membunuh romansa yang mulai bergolak.
Setelah melambaikan tangan sampai mobil mungil reyot itu tak terlihat lagi, ia masuk dan membuka buku ilustrasinya yang baru. Digambarnya dirinya sedang melonjak-lonjak. Kedua tangan diangkat ke atas. Mata berbinar. Tawa yang lebar. Ekspresi kesenangan. Jauh dari rumah! Kebebasan! Menjadi mahasiswa Kedokteran! Kemapanan! Digambarnya kalung stetoskop pada bagian leher. Beberapa jauh di depan orang gambarannya, selembar uang raksasa bersiap memeluk orang tersebut jika telah sampai padanya dan menghambur. Di belakang uang raksasa itu ia gambar lembar-lembar uang lainnya terpisah-pisah dengan ekspresi minta dipeluk juga.
Ia telah kembali ke masa kini. Telah digambarnya sebuah rumah. Terbuat dari bambu. Atapnya dari ijuk. Ada macam-macam ornamen menghiasi baik di dinding rumah maupun di halaman, membuat rumah itu terlihat unik dan ramai. Pada aslinya, rumah itu memang ada. Ayah, dengan segala daya kreativitasnya, yang membuatnya. Di bagian paling depan, ia gambar keluarganya saling bergandeng tangan. Ayahnya bergandeng dengan ibunya bergandeng dengan adiknya dengan adiknya dengan... Dirinya tidak di situ. Karena dirinya berada di kota ini.
Digambarnya tali berduri tengah menjerat tubuh seseorang...
Bagian muka orang itu dibekap buku tebal. Di kakinya dijerat buku tebal. Di lehernya terikat kalung anjing. Tali kalung itu dipegang oleh buku tebal. Dan ia dengan enggan sekali-kali melirik textbook-textbook kuliahnya yang bertebaran di kasur. Semua buku tebal pada gambar memiliki cover yang serupa dengan textbook-textbook itu.
Selesai dengan itu, ia menyenderkan badan sejenak pada punggung kursi sambil menutup mata. Tak lama kemudian ia buka halaman-halaman yang telah terisi sebelumnya pada buku ilustrasi tersebut. Gambar-gambar dengan tema serupa dengan apa yang ia gambar malam ini yang mendominasi. Ia berhenti pada suatu gambar tertanggal dua hari yang lalu. Gambar itu menunjukkan dirinya yang sedang menggambar. Di belakangnya ada lemari kayu reyot dengan buku ilustrasi-buku ilustrasi yang telah menghimpit langit-langit. Gundukan serbuk kayu teronggok di salah satu kaki lemari tersebut. Di samping lemari tersebut ada pigura berisi gambarnya sedang bersalaman dengan Benny dan Mice di sampingnya. Pada dua orang yang bersalaman itu, tangan yang satunya lagi memegang sebuah piagam. Bagian bawah piagam itu diisi titik-titik teratur yang maksudnya adalah tulisan yang saking kecilnya sampai tak terbaca. Namun di atas titik-titik itu terdapat rangkaian huruf yang masih dapat terbaca: “Juara Harapan III”
Tangannya bergerak lagi pada sisa halaman yang masih kosong cukup banyak. Jas dokter dan stetoskop itu terbang. Sesosoknya dari tampak belakang berlari ke arah sesosok ayahnya. Sesosoknya memegang kuas. Ayahnya memegang kanvas.
Dicoretnya gambar itu dengan sekali tarikan garis yang membelah kepala ayah. Diraihnya buku praktikum pink untuk ia sandingkan di sebelah buku ilustrasinya yang terbuka. Ia diam, mungkin berpikir mungkin tidak, sampai matanya menutup perlahan. Kepalanya lunglai dan terjatuh di antara dua buku.
bermula
dari...
istilahna mah,
krisis cita-cita euy..
23-241108.22:12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar