Rabu, 06 Januari 2010

Lagi-lagi Bingung Milih Cowok...

Judul : Satu Cinta Sejuta Repot 
Pengarang : Moemoe Rizal
Penerbit : Jakarta: GagasMedia, 2007
Tebal dan besar halaman : viii + 292 hlm; 13 x 19 cm  

Yang saya tahu dari pengarangnya adalah dia juga pengarang "Boysitter" (2006) dan "Oxana: Apartment Syndrome" (2006). Novel yang pertama baru saya baca beberapa kelumit di TB Gramedia BSM, itu juga saya belum dapat alur ceritanya. Sementara yang kedua saya baru baca beberapa halaman karena pengarangnya pernah mem-publish-nya di forum Lautan Indonesia (atau pada saat itu mungkin namanya masih Lautan Indosiar?). Saya tertarik untuk membaca keduanya, karena sepertinya memiliki plot yang unik, namun belum ada kesempatan untuk membacanya gratisan Xd. Dan dia alumni SMAN 11 Bandung yang juga adalah sekolah adik saya. Memang tidak ada hubungannya dengan novel yang akan saya review ini, tapi itulah point-point yang membuat saya tertarik untuk mengambilnya dari rak seorang teman dan meminjamnya.

Alkisah, di Bandung hiduplah seorang cewek SMA berusia 16 tahun keturunan Latvia bernama panggilan Ieva. Menurut seorang peramal, bakal ada 3 cowok yang hadir dalam kehidupannya: cowok yang menjadi takdirnya, cowok yang ia cintai, dan cowok yang dicintainya. Wow, pas banget dengan apa yang sedang dialami Ieva! Kebetulan sekali memang ada tiga cowok yang sedang dekat dengannya: Nick, Kai, dan Nuzy. Kira-kira siapa ya yang bakal jadian dengan tokoh utama kita yang cantik dan gaul ini? Aduh, Ieva jadi bingung deh...

Mengingatkan saya pada sebuah teenlit lainnya, "Nothing But Love", terbitan Katakita yang saya lupa siapa pengarangnya. Kalau tidak salah anaknya penyair Sitok Srengenge. Teenlit yang ini juga bercerita tentang seorang cewek SMA yang tiba-tiba didekati banyak cowok dan dia bingung mau pilih yang mana meski pada akhirnya hanya ada satu yang jadi dengannya. Saya lupa cerita persisnya bagaimana namun saya yakin masih banyak teenlit lainnya yang punya plot persis seperti dua teenlit ini.

Jadi terlepas dari ceritanya yang biasa-biasa saja, bolehlah ada beberapa nilai plus yang dimiliki teenlit ini (terlepas dari pengarangnya yang bikin saya penasaran Xd).

Meski pengarangnya cowok, tapi gaya bahasanya cewek banget... Jempol deh, pasti pengarangnya banyak baca teenlit maupun chiclit, meski karakter para cowok yang jadi lawan mainnya menurut saya masih agak-agak kabur. Untuk karakter yang lainnya bolehlah. Terutama si kembar Gam dan Gom yang bagai Shinchan dibelah dua. Meski terasa sangat "nyinchan" dan mustahil pula rasanya anak umur 6 tahun dapat berkata-kata seperti mereka, kehadiran mereka berdua cukup menghibur. Sebagaimana kehadiran Paula, si peramal, yang suka tiba-tiba muncul di dekat Ieva, entah saat cewek tersebut sedang mengantri tiket bioskop, membeli baju, maupun berdandan di toilet.

Juga temukanlah kalimat-kalimat kocak yang bertebaran di mana-mana, seperti

"...dan aku harus mendukung Persib selama aku tinggal di Bandung." (hal. 110)

atau

"Jus apa?"
"Jamur."
"Nggak ada jus jamur di sini, Gaaam... yang mau ngebikinnya juga nggak ada," kataku. Gam cemberut, lalu dia memberikan pil
ihan lain.
"Ya udah deh.
Jus buah simalakama aja." (hal 130)

dan lain-lainnya.

Jangan lewatkan juga kisah Jono si waria yang mampir di halaman 131 (mengingatkan saya pada lagu "Bencong Sapoy"-nya The Panasdalam--band indie asal Bandung: "Wanita se-Kodya Bandung punya saingan... semenjak Jono jadi bencong..." XD).

Kehidupan Ieva amat mewakili kehidupan anak muda Kota Bandung yang mapan dan tongkrongannya di mal (BSM, Istana Plaza, Paris van Java) dan banyak pula lokasi lainnya di Bandung yang disebutkan, seperti Dago, Kopo, Jl. BKR, dan lain-lain (berasa di rumah, euy!). Meski gaya bicara para tokohnya sudah diselipi 'mah', 'teh', dan semacamnya yang Bandung pisan, saya masih agak terganggu dengan beberapa unsur-kurang-nge-lokal yang meliputi beberapa tokoh. Misalnya, kenapa tokoh Nyonya Mena disebut demikian? Kenapa nggak Uwak Mena atau apalah, yang menonjolkan cita rasa lokal? Demikian pun dengan si tokoh utama, kenapa harus blasteran? Memang kenapa kalau dia orang Sunda asli misalnya? Toh yang cantik tidak mesti selalu blasteran kan? Jika unsur kebarat-baratan diganti dengan unsur lokal yang lebih ditonjolkan sekiranya itu bisa jadi nilai plus lagi.

Ringan, lucu, serba indah, kebingungan yang tidak penting, penuh kebetulan, dan rese. Jangan berharap akan hadirnya sesuatu yang baru dalam jagat per-teenlit-an dari buku ini. Membacalah hanya untuk terhibur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain

  • Tempo Nomor 20/XXXI/15 – 21 Juli 2002 - ISSN : 0126-4273 Rp 14.700 Dalam edisi ini, sedikitnya ada 3 kumpulan artikel yang menarik buat saya. Yang pertama adalah… Read more Tempo Nomor 20/XXXI/1...
    4 minggu yang lalu
  • Berkata Tidak - Aku dapat berkata tidak. Ketika aku masih anak-anak, aku takut berkata tidak. Aku melihat orang tuaku menyurutkan cinta dan perhatian mereka bila aku tidak...
    1 tahun yang lalu
  • Tentang Stovia - Tulisan berjudul "Stovia yang Melahirkan Kebangsaan" (*Kompas*, 28/5) telah menyadarkan kita tentang arti penting nilai-nilai kebangsaan yang dibangun para...
    6 tahun yang lalu