Sabtu, 30 Januari 2010

ASTROLOVE

Langit malam seharusnya menjadi sesuatu yang indah dan romantis. Dongakkanlah kepala dan temukan berbagai macam rasi bintang: Orion, Cassiopea, Auriga... Kalau beruntung, kita akan dapat menemukan Andromeda, galaksi terjauh yang dapat dilihat dari bumi tanpa bantuan teleskop/teropong. Tapi bagi seseorang, taburan glitter di angkasa itu tak lebih dari seonggok ketombe di rambut siapa pun. Bukan lagi sekedar menjijikkan, tapi juga merusak hubungan di antara ia dan Sagan. Atau mungkin ialah yang telah menjadi pihak ketiga di antara mereka—Sagan dan onggokan ketombe berkelap-kelip itu? Betapa ia membenci langit malam yang sedang cerah-cerahnya.

“Ceres, menurutmu, apakah alam semesta akan terus mengembang?” akhirnya mata Sagan lepas juga dari teleskop.

Seharusnya aku yang bertanya padamu, kalau setiap berduaan malam-malam kamu selalu lebih mempedulikan benda-benda langit nggak jelas itu daripada aku, bagaimana cinta kita dapat mengembang? batinnya. Ketika sepasang matamu bukannya menatap mesra padaku, melainkan menempel di teleskop. Ketika sepasang tanganmu bukannya merangkul lembut pundakku, melainkan terus-terusan mengatur arah gagang teleskop dan posisi tripod...

Sepertinya tidak ada orang yang lebih freak pada astronomi daripada Sagan. Namanya saja diambil dari nama seorang ahli astronomi, Carl Sagan—selain karena ayahnya adalah seorang ahli astronomi yang bekerja di lembaga penelitian milik negara. Dan Sagan bersikeras memanggilnya Ceres, mentang-mentang Ceres adalah nama sebuah asteroid—satu-satunya asteroid yang terlihat berbentuk bulat! Padahal nama itu terdengar seperti sebuah merk meses, meskipun itu bagian dari nama lengkapnya, Sistania Ceres. Itu panggilan kesayanganku untukmu, karena kamu berbeda di antara yang lainnya, bujuk Sagan yang membuat hatinya seketika meleleh, kala itu. Padahal ia lebih suka dipanggil Sista. 

Betul kata orang bilang, pria yang mencintai langit malam adalah pria romantis. Sebagaimana hakikatnya langit malam, Sagan sebetulnya memang romantis. Itulah jurus yang ia gunakan untuk mendapatkan hati Sista. Langsung kena telak, ampuh! Sista masih ingat salah satu kalimat yang pernah Sagan bubuhkan dalam usaha untuk menggaet hatinya: ada milyaran bintang selain matahari, tapi kamulah bintang yang terindah.

Romantisme Sagan telah menggiring Sista ke masa yang begitu membahagiakan dalam hidupnya. Perasaannya dilambungkan tinggi hingga mencapai objek terjauh di angkasa yang hanya dapat dilihat teleskop terkuat. Untaian kata-kata indah yang berkaitan dengan nama-nama benda di angkasa menjadi penghias harinya. Guyuran perhatian Sagan, sebagaimana guyuran hujan pada musim di kala cowok itu menembaknya, membuktikan betapa cowok itu memang mencintainya.

Musim berganti.

Awalnya Sista senang Sagan jadi lebih sering mengunjunginya karena hujan lebat tidak lagi keukeuh menghalang. Beberapa malam dalam seminggu—kalau langit sedang cerah-cerahnya dan tugas-tugas sekolah sedang tidak menumpuk—Sagan akan berada di depan pintu rumahnya. Sista bisa melihatnya dari beranda: rapi, wangi, sudah mandi, dan senyum memikat dengan tabung teleskop tersampir di bahu.

Bagi Sista, jika saat seperti itu tiba, artinya itu adalah waktunya pacaran. Bagi Sagan, saat seperti itu bukanlah sekedar waktunya pacaran, melainkan pacaran sambil mengamati bintang. Sagan biasa mengajaknya mencari tempat yang paling mendukung untuk pengamatan bintang. Tempat itu bisa beranda rumahnya atau sebuah bukit di pinggiran kota.

Mengamati bintang bersama-sama memang membuat momen pacaran menjadi lebih romantis, Sista akui itu. Sista ingat pertama kalinya Sagan mengajarinya menangkap bintang dengan mata telanjang.

“Mana, nggak keliatan?” rajuk Sista manja.

“Adaptasi gelap dulu, Ceresku. Biarkan matamu menyesuaikan diri di kegelapan. Sebagai instrumen astronomi, mata kita memang punya kekurangan. Bukaan pada pupil sangat kecil, jadinya itu mempengaruhi kemampuan mengumpulkan cahaya dan kemampuan memisahkan bintang-bintang yang berdekatan.”

Benar saja. Lama-lama mata Sista dapat juga menangkap kemilau-kemilau itu. Sagan memperkenalkan mereka satu per satu, “Itu Vega. Yang itu Altair. Itu...” Sementara telunjuk Sagan menuding-nuding angkasa, Sista memandangi cowoknya itu tanpa berkedip. Ceresku... katanya, aduh, aduh...

Suatu ketika kemilau Alpha Centauri tertangkap teleskop Sagan. Sista kira mereka akan berebut teleskop untuk dapat melihatnya. Ternyata Sagan menyerahkan teleskopnya begitu saja pada Sista, seakan-akan bintang paling cemerlang yang terdekat jaraknya dari bumi itu bukanlah suatu hal yang menarik. “Binar mata kamu lebih cemerlang dari Alpha Centauri, Ceres...” kata Sagan waktu itu, yang membuat Sista makin sayang padanya.

Atau sewaktu Sagan menunjukkan planisfer padanya. Benda itu adalah oleh-oleh dari ayah Sagan yang baru pulang Amerika Serikat. Sebuah pertemuan ahli astronomi dunia baru saja dihelat di sana. Planisfer adalah semacam peta bintang—alat yang digunakan untuk menemukan rasi bintang. Sagan mendemonstrasikan cara menggunakan alat itu sambil dengan lembut berucap, “Belum ada planisfer yang dibuat untuk menemukan kamu, Ceres, makanya aku beruntung banget.” Sista tidak pernah terlalu cair untuk meleleh meskipun mungkin sudah puluhan kalimat seperti itu Sagan ucapkan untuknya.

Namun sebagaimana Malthus berteori laju pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada laju produksi pangan, obsesi Sagan terhadap perbintangan melaju lebih pesat daripada intensitas perhatiannya kepada Sista. Lama kelamaan, kedatangan Sagan dengan teleskop bintang tersampir di bahu di pintu rumah Sista mendatangkan cemberut di wajah cewek itu.

Saat langit malam sedang cerah, pasangan lain mungkin akan saling mendekap sambil berharap meyaksikan bintang jatuh. Jadi mereka dapat melantunkan permintaan akan kelanggengan hubungan mereka dalam hati. Tapi bagi Sista, malam cerah lambat laun menjadi prahara. Kini bukan belaian atau bisikan mesra lagi yang ia dapat, sebagaimana yang patut didapatkan seorang kekasih pada umumnya, melainkan kuliah astronomi. Inilah buah dari obsesi Sagan pada astronomi yang makin menjadi-jadi.

“Ceres, aku sampai sekarang masih penasaran, sebetulnya energi gelap dan materi gelap macam apa sih yang telah mengembangkan alam semesta?”

“Mata kita melihat di sepanjang garis pandangnya sendiri, atau disebut juga paralaks. Itu sebabnya kenapa planet-planet dan bintang-bintang terlihat sama aja jaraknya di mata kita—yaitu jauh. Tapi justru, teknik astronomi paling sederhana untuk menentukan jarak benda-benda angkasa itu didasarkannya pada paralaks!”

“Kamu tau nggak, Ceres, ngitung jarak bintang itu pakai trigonometri loh! Yang pertama kali menyempurnakannya itu Friederich Bessel, tahun 1938. Waktu itu dia ngitung jarak bintang yang namanya 61 Cygni.”

Lagipula ia tidak percaya bintang jatuh dapat mengabulkan permintaan. Memangnya benda itu apaan? Tuhan?

Sista berharap musim hujan cepat datang kembali. Dengan demikian, langit malam akan terlalu kelam untuk dapat menampilkan kegemerlapan para pencuri hati. Sayangnya, koran malah memberitakan gejala-gejala El Nino mulai tampak lagi.

***

Bagai ledakan besar yang menciptakan alam semesta menurut teori Big Bang, saat jeda pergantian pelajaran tiba-tiba ketua kelas maju.

“Buat teman-teman yang berminat ikutan olimpiade, ini kertas tolong diisi ya. Ini kertasnya ada banyak. Masing-masing buat satu mata pelajaran. Ada Fisika, Kimia, Biologi, dan seterusnya. Diisi di sini, nama, bla bla bla. Boleh ngisi lebih dari satu. Entar kalau udah, tolong kasih ke saya lagi ya. Jangan sampe ketinggalan, entar nyesel!”

Sebagian besar siswa bangkit dari bangku masing-masing. Mereka mengerumuni bangku terdepan, tempat ketua kelas menghamparkan kertas-kertas tersebut. Sista tidak mau ketinggalan. Daripada bingung memilih ekskul yang banyak dan tidak ada yang benar-benar diminatinya itu, lebih baik langsung ambil saja kesempatan yang ditawarkan.

Sejak tadi malam, ia berniat mencari kesibukan untuk melampiaskan kekesalannya karena kehilangan perhatian dari sang pacar. Ia bahkan sudah tidak peduli lagi akan cita-cita cowoknya itu: mengunjungi pedalaman Australia untuk mendapatkan pemandangan terbaik dalam mengamati bintang—bahkan kangguru pun ikut mengamati bintang! Perasaannya pada cowok itu lama-lama amblas sudah. Habis kesabarannya. Tidak ada gunanya lagi mereka pacaran. Sagan lebih mencintai bintang-bintang...

Sambil menyelinap ke celah-celah kerumunan, Sista memikirkan mata pelajaran apa yang akan ia pilih nanti. Kimia? Uh, a BIG NO NO. Biologi? Ia tidak kuat hapal-hapalan. Fisika? Ia malas membayangkan bertemu dengan Sagan lagi. Sudah sejak tahun lalu Sagan menjadi maestro di olimpiade Fisika dalam mewakili sekolah. Matematika? Baru menyebutnya saja Sista sudah merasa ingin muntah. Astronomi? Lagi-lagi ini mengingatkannya pada Sagan. Ketika Sista akhirnya berhasil mencapai tepi meja, kerumunan telah buyar. Tinggal beberapa anak saja yang masih tinggal. Dapat dipastikan bahwa mereka mengalami kebingungan yang sama sepertinya.

Dari jauh sudah terlihat Astronomi yang paling sepi peminat. Tidak sampai lima orang mungkin. Entah kalau digabungkan dengan kelas lain. Sementara itu, peminat untuk mata pelajaran lainnya terlihat membeludak. Kalau di kelas-kelas lainnya hal yang sama terjadi, maka seleksinya akan makin ketat. Mengingat ia bukan orang yang amat unggulnya dalam akademis, sudah pasti dengan segera ia akan tersisihkan. Dengan demikian ia tidak akan jadi punya kesibukan.

Ketua kelas menyenggol sikunya. “Eh, udah belum? Mau saya balikin ke Bu Sarah nih sekarang.”

“Aduh, bentar ah, masih bingung nih!” Sista mengisyaratkan pengusiran.

“Ayo cepat tentukan pilihanmu...” Ketua kelas tidak kalah senewennya. Ia berkata dengan nada tidak sabaran, “Udah, Astronomi aja. Pasti lolos. Kelas lain kayaknya nggak ada yang minat tuh!”

“Iya, gua juga pilih Astronomi, kayaknya gampang tuh,” seseorang menimpali. 

Ketua kelas sudah menarik kertas-kertas itu dari meja. Sista cepat-cepat bertindak. “Eh, eh, ya udah, aku pilih Astronomi aja deh!”

“Sip... sip...” Ketua kelas menyerahkan kertas bertulisan “ASTRONOMI” di atasnya. Baru 2 orang ternyata yang mengguratkan namanya di situ.

***

Pegasus, Aquila, dan kawan-kawannya tidak terlihat malam ini. Kecantikan mereka tertutup tirai air yang dijatuhkan dari langit. Kali ini, giliran teleskop Sagan yang jadi obat nyamuk. Membisu di teras rumah Sista. Menunggui tuannya berbincang asyik dengan sang pacar.

“Menurut mitologi Yunani, Orion itu anak laki-lakinya Poseidon, dewa laut. Dia itu seorang pemburu handal dengan gada dan tameng yang jatuh cinta dengan tujuh putri bersaudara yang cantik, yang disebut Pleiades, dan ia masih terus mengejar mereka di angkasa.”

“Ya, tapi suatu hari dia tewas disengat kalajengking. Makanya itu dewa menempatkan kalajengking di sisi langit yang berseberangan supaya si kalajengking lenyap pada saat Orion terlihat kembali.”

“Dan saat Orion terlihat, ia adalah rasi bintang penunjuk jalan yang bagus. Karena ia menunggangi khatulistiwa langit, ia dapat dilihat baik di Belahan Bumi Utara maupun Selatan. Di samping Bajak dan Palang Salib Selatan, Orion juga rasi bintang yang sudah tidak diragukan lagi keberadaannya di angkasa. Di sabuk Orion, tiga bintangnya yang satu menunjuk ke Sirius—“

“—bintang paling terang di langit—“

“...di Canis Major. Bintang yang lain menunjuk ke Aldebaran di Taurus. Satunya lagi menunjuk ke kelompok Pleiades.”

“Tepat sekali!”

Senyum di bibir keduanya mengembang.

“Ternyata Astronomi itu mengasyikkan, ya!” Sista mendekap salah satu seri buku mitologi Yunani bergambar yang baru dibelinya.

Sagan hanya manggut-manggut. Ia tak kalah senang. Akhirnya ceweknya dapat juga memahami kesenangannya. Selama ini ia hanya bisa bersikap pura-pura tidak ngeh saat ia sedang asyik-asyiknya mengamati bintang sementara cewek itu malah cemberut. Hingga lama kelamaan intensitas pertemuannya dengan ceweknya itu makin berkurang. Di sela-sela kesibukannya mempersiapkan Olimpiade Fisika, ia tetap berusaha menyediakan waktu untuk pacaran. Apakah itu jalan ke mal, mengamati bintang, atau kegiatan lainnya yang dapat dilakukan bersama. Ketika waktu tersedia, tak dinyana malah ceweknya yang menolak bertemu. Alasannya, cewek itu juga sedang sibuk mempersiapkan Olimpiade Astronomi. Mulanya ia agak janggal dengan itu. Ia tak menyangka Sista berminat juga pada bintang-bintang. Bukankah selama ini mereka yang menjadi sasaran kecemburuan cewek tersebut?

Ia coba memahami. Bagaimanapun juga misteri jagat semesta raya memang terlalu menakjubkan untuk dilewatkan. Semakin diselidiki, semakin dapat ditemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bahkan belum ada seorang pun yang membuatnya! Siapa yang tidak tergugah? Mungkin Sista juga telah meresapi itu.

Untunglah, kali ini Sista tak menolak ketika Sagan bermaksud bertandang ke rumahnya setelah sekian lama absen. Ia sama sekali tak menduga malam ini mereka akan alot membahas sabuk Orion, dan nyambung! Sagan membayangkan, sejak malam ini mungkin malam-malam berikutnya juga akan menjadi malam yang lebih indah. Bayangkan, sepasang kekasih yang sama-sama mengagumi langit malam dan mengkaji misteri di balik itu. Mereka akan menjadi pasangan paling romantis dan ilmiah di dunia!

“Ternyata kamu benar-benar suka sama Astronomi ya. Aku nggak nyangka loh, ternyata kamu juga suka.” Sagan bangkit sambil menyandang tabung teleskop yang sebelumnya bersandar di kursi yang didudukinya tadi. Sista mengekor. Mereka menapaki jalan aspal yang becek menuju jalan raya. Tirai hujan sudah digulung pemiliknya, tapi masih terasa tetes-tetesnya menyentuh rambut.

“Benar sekali, Gan. Aku pikir aku nggak akan berhenti sampai di olimpiade aja. Kayaknya aku bener-bener mau mempelajari Astronomi, termasuk untuk kuliahku nanti,” suara Sista tertelan lamat-lamat deru kendaraan yang berlalu lalang.

“Wah, bagus itu. Berarti, kamu mau masuk ITB dong?”

“Iya. Makanya, dari sekarang aku mau fokus mempelajari Astronomi, Gan. Masuk ITB kan susah. Aku ingin seperti Henrietta Swan Leavitt, yang memberikan sebuah penemuan berharga. Menemukan ukuran untuk memperkirakan jarak terhadap galaksi terjauh!”

“Bagus, kita bisa belajar bareng!”

“Tapi kayaknya aku belum bisa pacaran lagi deh. Kayaknya itu bisa mengganggu fokus aku.”

“Maksud kamu?”

Sista bergeming.

“Maksud kamu, kita break dulu?” Sagan memperjelas. Ia merasa sudah bisa menduga ke mana arah pembicaraan ini.

“Tidak ada istilah break, Sayang. Kalau berhenti ya berhenti. Putus ya putus.”

Sagan terdiam sejenak. Dengan berat ia mengucap, “kamu marah sama aku, ya?”

“Butuh 4,25 tahun untuk mencapai Alpha Centauri, hampir 30.000 tahun untuk menuju pusat galaksi, sekitar 2.300.000 tahun untuk menuju Galaksi Andromeda, dan 13.000.000.000 tahun untuk mencapai objek terjauh yang dapat dilihat dengan teleskop yang sangat kuat. Untuk mendapatkan aku, kamu emang nggak butuh waktu selama itu. Tapi bukan berarti kamu bisa menafikan aku begitu aja, Sagan. Urus saja bintang-bintangmu dulu, ya. Ada waktunya sendiri bagi kita untuk bersama. Saat kita udah lebih memahami apa itu cinta. Eh, tuh, angkot kamu udah dateng!” Sebuah angkot berhenti seketika Sista menudingkan telunjuk ke jalan. Sista tidak peduli bahkan jika angkot itu bukan ke arah rumah Sagan sekali pun. Sista mendorong masuk Sagan yang masih terbengong-bengong. Beruntung, angkot sudah keburu jalan saat Sagan berusaha turun kembali untuk mengejar Sista yang cepat-cepat berbalik pulang. Sista tak dapat menyembunyikan tawanya. “Makan tuh bintang-bintang!” cetusnya sebelum terkekeh. 

29 Januari 2010, 6.48 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain