Sabtu, 18 Februari 2012

Agar Pemuda Mau Bercocok Tanam



Pertanian lekat dengan isu ketahanan pangan. Masyarakat yang kelaparan akan menimbulkan kekacauan. Ketahanan pangan berarti ketahanan nasional. Namun sebagian masyarakat masih mendiskreditkan citra petani. Meski demikian, gerakan Indonesia Berkebun yang dicetuskan Ridwan Kamil ternyata mampu menghimpun animo besar besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia.

Semangat inilah yang hendak disusupkan ke dalam jiwa puluhan hingga seratusan pemuda-pemudi yang hadir di Bale Santika Tanginas Waras Binekas UNPAD pada Sabtu (18/02/12) sejak sekitar pukul 08.00 WIB hingga siang. Dengan tajuk “Dengan semangat pemudamu, kembangkan pertanian di daerahmu dan ciptakan inovasi ramah lingkungan”, seminar nasional ini mengawali rangkaian kongres nasional International Association of Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) Indonesia ke-17 yang akan dihelat pada 17-23 Februari 2012

IAAS merupakan organisasi mahasiswa pertanian dari seluruh dunia yang dibentuk di Tunisia pada tahun 1957. Indonesia merupakan satu dari 40 negara yang menjadi anggota organisasi ini. Sejak tahun 1992, IAAS memiliki perwakilan dari Indonesia melalui komite lokal di berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Sebelas Maret, Universitas Halualeo, Universitas Brawijaya, dan Institut Pertanian Bogor. Mulai tahun ini, Universitas Gadjah Mada dan Universitas Mataram turut menjadi bagian dari IAAS.

Edwin Mokodompit dari UNESCO Desk Youth mengungkapkan bahwa pertanian bukanlah ranah yang populer di kalangan muda. Sejumlah faktor penyebab adalah keengganan untuk berkotor-kotor, anggapan bahwa bidang ini tidak bergengsi dan kurang menjanjikan secara finansial, identik dengan kemiskinan, serta kurangnya dukungan dari orangtua dan lingkungan. Padahal pertanian tanpa pemuda bagaikan mesin tanpa bahan bakar, begitu menurut pembicara yang pernah tampil dalam kontes menyanyi di TV beberapa tahun silam ini.

Pergerakan pemuda di kota-kota besar di Indonesia yang bergerak di lingkungan hidup ada banyak, namun yang menyorot pertanian sedikit sekali. Pemuda perlu mengubah pola pikir agar bisa menerima pertanian sebagai sesuatu yang signifikan. Moderator Rahyang Nusantara pun menceritakan temannya sesama mahasiswa pertanian UNPAD yang setelah lulus lebih memilih untuk bekerja di bank ketimbang di dunia pertanian.

Pencitraan dibutuhkan agar masyarakat tergugah pada pertanian. Berangkat dari ide mengenai urban farming yang sudah marak dilakukan di luar negeri, Ridwan Kamil selaku salah satu pelopor Indonesia Berkebun memanfaatkan jejaring sosial untuk mewujudkan ide tersebut. Aksi dimulai dengan menyebarkan ide ini di media sosial, berkolaborasi dengan berbagai pihak yang mendukung, mencari tahu apa saja yang perlu disiapkan, hingga mengundang masyarakat untuk berpartisipasi. Buah dari upaya ini adalah Jakarta Berkebun yang berhasil mendatangkan masyarakat ke kawasan Springhill, Kemayoran. Di sana mereka bisa menyebar benih, menyiram, maupun berpose di lahan yang sudah dibuat berlarik-larik dan ditanami sebagian. Tiap larik ditandai dengan nama-nama kota agar lebih menarik.

Pengaruh acara ini ternyata meluas hingga gerakan serupa diselenggarakan di kota-kota lainnya di Indonesia seperti Medan, Surabaya, Tasik, Banten, Bandung, Pontianak, Semarang, Padang, Bogor, dan Solo. Pada tahun 2011, Indonesia Berkebun dianugrahi Google Chrome Web Hero dan Indonesia Green Award. Tidak hanya itu, berbagai instansi pendidikan seperti perguruan tinggi dan SD juga ingin berkecimpung dalam kegiatan ini. Pada pagi yang sama dengan hari berlangsungnya seminar ini, SD Pardomuan Bandung melakukan panen raya sebagai hasil dari kegiatan Bandung Berkebun.

Menurut arsitek yang akrab dipanggil Kang Emil ini, suatu gerakan lahir dari adanya permasalahan, isu, atau visi. Ketiganya kemudian membentuk ide sehingga lahirlah inisiatif. Kita tidak akan bisa mewujudkannya jika tidak berkolaborasi. Kita mungkin hanya punya ide, waktu, atau jaringan, namun tiada modal. Padahal keempatnya adalah dasar untuk membuat perubahan. Maka libatkanlah orang lain, komunitas, bahkan masyarakat lantas kemas kegiatan dalam bentuk yang mudah dan menyenangkan. Pada mulanya ini sekadar menjadi tren, lalu gerakan, namun ini diharapkan pula dapat menjadi budaya. Oleh karena itu partisipasi anak-anak sebagai investasi bagi masa depan sebaiknya tidak dilewatkan.

Gerakan Indonesia Berkebun yang umumnya diselenggarakan di kota-kota besar justru melibatkan orang-orang yang awam dalam pertanian. Namun efek media sosial berhasil menerbitkan semangat mereka untuk berpartisipasi kendati mereka tidak memahami benar apa yang mereka lakukan. Justru di sinilah peran kaum muda—mahasiswa pertanian khususnya—untuk menerangi masyarakat dengan pengetahuan yang mereka timba dari kampus. Dengan demikian, lambat laun tidak ada lagi P pada singkatan dengan “Pertanian” di dalamnya dipelesetkan kepanjangannya jadi “Perbankan”.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain