Minggu, 25 November 2012

Yang Kedelapan


November ini saya menulis ulang Yang Keenam, novel yang saya garap dalam rangka CampNaNoWriMo edisi Juni 2012. Maka jadilah Yang Kedelapan, dan sayapun ditahbiskan sebagai pemenang NaNoWriMo 2012. Tidak usah tepuk tangan, terima kasih.

Yang Kedelapan terdiri dari 51.304 kata menurut word count saya, tapi 51.002 menurut word count NaNoWriMo. Saya mengetiknya selama katakanlah 2 minggu di Ms Word 2007  dalam format Georgia 12, single 0 pt, A5 normal, dan bahasa Indonesia (265 halaman).

Menulis ulang

Biang untuk novel ini sesungguhnya sudah saya garap menjadi satu cerpen di pertengahan tahun 2009, satu cerpen di akhir tahun 2010, satu cerpen di pertengahan tahun 2012, dan satu novel di pertengahan tahun 2012 alias Yang Keenam; sekaligus mengilhami beberapa cerpen di tahun 2011 – 2012 dan satu novel di tahun 2011 alias Yang Kelima.

Adapun perbedaan signifikan antara Yang Kedelapan dan Yang Keenam terletak pada sudut pandang. Dalam Yang Keenam saya mengolah bahan melalui sudut pandang orang pertama dengan perspektif sembilan karakter. Dalam Yang Kedelapan saya menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan perspektif satu karakter. Saya merasa Yang Kedelapan lebih baik.

Maka penulisan novel ini terasa sangat lamban. Dalam sehari saya hanya mampu menulis sekitar 2000 – 3000 kata. Padahal tidak ada aktivitas lain yang saya kerjakan—tentu saja selain makan, minum, mandi, dan semacam. Dalam kondisi yang sama saya bisa menulis hingga 5000 kata untuk Yang Ketujuh. Tiap menyelesaikan satu bagian untuk Yang Kedelapan, saya langsung membacanya sekaligus mengeditnya. Bisa sampai berkali-kali. Hal mana dalam NaNoWriMo makruh untuk dilakukan sebetulnya. Bagaimanapun cerita ini telah saya tulis berulang lagi. Tentu saya mengharapkan hasil yang lebih baik dari waktu ke waktu. Sebisa mungkin saya meminimalisasi penulisan yang asal-asalan.

Teknik

Yang saya sadari dari penulisan saya adalah saya banyak mengandalkan: Dialog, latar tempat kadang tidak penting selama dialog dimungkinkan; Permainan rima, kadang jatuhnya bikin gaya bahasa saya terkesan ketinggian; Logika, tergantung pada pembaca apakah sebagai pun itu mempan; Arus kesadaran, well, tidak tahu apa tepat demikian, yang jelas pikiran saya selaku narator dan pikiran karakter sering bercampur aduk—bahkan karakter bisa mengoreksi pernyataan saya yang menurutnya tidak tepat.

Saya rasakan menulis novel sebagai upaya untuk menciptakan visualisasi yang mengesankan dalam benak pembaca.

Tema

Siapapun yang merasa alim atau ingin jadi alim tidak akan menyukai cerita ini. Sayapun tidak  menyukai cerita yang menonjolkan hubungan asmara baik lawan jenis maupun sesama jenis. Padahal cerita ini mengeksplorasi tentang itu. Ditambah karakter yang sepintas enggak saya banget… 

Tapi entah kenapa saya selalu bisa mengaitkan diri dengan setiap novel yang saya tulis. Setiap karakter menjelma alegori. Tema dalam novel ternyata merefleksikan apa yang saya sendiri alami dalam kehidupan saya. Bagaimanapun saya berusaha untuk menggarap cerita ini dengan serius.

Saya kira menulis novel telah membantu saya untuk lebih memahami diri saya—kehidupan saya. Terlepas dari apakah orang lain dapat mengapresiasi novel tersebut atau tidak. *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain