SURAT 1
MANOLA yang baik.
Terima kasih sudah
mengirimkanku surat-surat yang mengabarkan baktimu di Marewerewe. (Aku masih
belum tahu di mana itu. Google saja enggak tahu.) Tadinya mau aku kumpulkan dan
jual ke media yang belum puas memberitakan kehilanganmu. (Bukannya aku baca
atau menonton infotainment ya, cuma
tahu saja.) Karena itu dalam suratmu berikutnya, (kalau kamu berkenan membalas
suratku ini), kamu patut berterima kasih padaku karena tidak melakukannya.
Sebetulnya aku malas
balas suratmu. Tapi kali ini aku kasihan. Kamu mungkin kesepian. Walau
anak-anak selalu meriungimu, dan pemuda-pemuda setempat curi-curi kesempatan
untuk menjadikanmu istri, kamu mungkin tetap butuh berbincang dengan sesama
warga kota. Aku paham kamu bukannya senang-senang saja di sana, tapi juga
berpayah-payah. Pastinya menyenangkan ya, karena dengan berpayah-payah itu
jadinya kita merasa telah berbuat mulia.
Tiap hari kamu bangun pagi sekali. Membantu ibu-ibu menumbuk
padi. Mengumpulkan anak-anak yang lebih suka melaut itu untuk duduk sebentar
saja, menontonmu mengajari mereka membaca. Mempresentasikan program-program
wisata pada warga yang sudah merasa cukup dengan hidup mereka. Membantu
penelitian si Greg-siapa-itu yang ingin merancang pembangkit listrik tenaga
ubur-ubur merah. Aku sudah melihat fotomu dengannya, dengan anak-anak kalian,
maksudku, anak-anak setempat yang mengelilingi kalian. Jelas dia lebih ganteng
dan mandiri dari Otto. Tapi bisa-bisanya kamu masih menanyakan Otto?
Kamu memang munafik,
Manola, maksudku, enggak konsisten, plinplan, blahbloh, labil. Kamu bilang kamu enggak mau memikirkan dia lagi.
Tapi di tiap suratmu, ada saja namanya. Minimal satu. Hatimu ke mana, Manola?
Baiklah kalau itu maumu.
Memang itu tujuanku menulis surat ini, mengabarkan tentang dirinya.
Kamu mungkin enggak duga
kalau belakangan ini aku ketemu dia sampai beberapa kali. Jangan salah paham
dulu. Berada dekat laki-laki ganteng yang enggak tertarik menjalani hubungan
romantis denganmu itu rasanya menyiksa, tahu. Mulanya aku cuma ingin
konsultasi. Tapi. Enggak tahu ya. Sepertinya aku malah bikin depresinya kambuh.
Sedikitnya aku jadi paham kenapa akhirnya kamu enggak tahan sama dia, merasa
enggak dipedulikan, terus minggat sampai jauh. (Aku enggak tahu kalau
pelarianmu karena faktor-faktor lain juga. Yang aku tahu cuma yang kamu
ceritakan sama aku, yang seringnya soal tunanganmu itu.) Terlepas dari masalah
kalian di ranjang, depresinya itu sendiri mengkhawatirkan. Kerja di RSJ bikin
dia punya stok cerita sedih. Cerita-cerita yang bahkan lebih menyedihkan dari
lagu-lagunya Rhoma Irama. Baru-baru ini dia cerita soal pasien yang enggak mau
berhenti salat—mantan narapidana yang konon ditolak waktu mau tobat. Tiap
diajak berhenti, dia melaknat seluruh petugas jadi kafir. Rumah sakit itu suatu
saat bakal dihujani batu yang dibawa burung-burung ababil. Ada juga perempuan
yang tidak waras sejak bayinya meninggal dalam kandungan. Tiap malam dia panjat
pohon, duduk di dahan sambil cekikikan. Bagaimana kamu bisa tahan dengar
cerita-cerita macam itu tiap hari dengan hati yang sensitif?
Otto kasih puisi-puisinya
ke aku, tapi, benar kata kamu, tulisannya persis garis-garis di alat ukur detak
jantung. Aku minta dia untuk belajar menulis dari awal, di buku tulis garis
tiga. Percaya enggak percaya, dia ikuti saranku. Dia bilang sekarang ini dia
pusing kalau memikirkan ungkapan-ungkapan padat, jadinya dia menulis yang cair
saja. Cerpen. Ternyata lebih menggugah, Manola. Lakimu itu, Anton
Iskandardinata atau Anton Chekhov?
Begitulah, Manola. Setelah
konsultasi yang pertama dan (kuharap) terakhir itu, dia hubungi aku lagi, tanya
soal kamu. Dia pikir aku dekat sama kamu, tahu di mana kamu. (Memang seperti
itu sih.) Dia curiga kamu bawa bolpoinnya yang mahal itu. Monblang atau apa
mereknya, aku lupa. Dia bilang kamu suka pakai barang-barangnya tapi enggak
izin. Kalaupun izin, menurut dia kamu pastinya sudah punya barang-barang kamu
sendiri, jadi harusnya enggak ambil punya orang lain.
Aku berusaha membela
kamu, Manola. Waktu dia bilang kalau kamu doyan bawang (apalagi yang merah yang
digoreng renyah) dan dia kelihatan enggak senang, aku bilang kalau bawang itu
enak dan sehat—antioksidan. Waktu dia bilang kalau dia enggak suka kaus Green
Day favorit kamu, aku bilang kaus yang nyaman untuk tidur itu ya yang sudah
belel. Waktu dia bilang kalau dia risi kamu tetap tidur di kasurnya walau kamu
lagi halangan untuk begituan sama dia, aku bilang kamu cuma butuh kehangatan.
Waktu dia bilang kalau dia sampai kucek mata berkali-kali begitu bangun karena
lihat rambut kamu sudah kembali ke bentuk asli, aku bilang rambut ala Medusa
itu seksi. Waktu dia bilang kalau dia jijik tiap kamu bawa camilan ke kasur,
makan sambil bicara, terus langsung tidur enggak sikat gigi, aku enggak tahu
harus bilang apa lagi.
Tapi, Manola,
bagaimanapun komentar Otto tentang kamu, aku rasa dia begitu karena ingat kamu,
rindu kamu. Aku sempat dengar dia bilang kalau sebetulnya kamu indah dilihat
dari berbagai sisi, kalau sudah dandan. (Walau aku kira perempuan seperti itu
yang Otto kenal bukan cuma kamu.)
Manola, mungkin selama
ini kamu menulis surat pakai bolpoin Otto yang kamu pinjam tapi enggak bilang
itu. Dia ingin kamu mengembalikan bolpoin itu, sama kamunya sekalian. Dia titip
pesan juga buat kamu di kertas kecil, aku kirim sekalian surat ini. Maaf aku
intip. (Tulisannya sekarang betulan bisa dibaca lho, jadi cantik.) Jadi kamu
enggak perlu repot lagi buka surat dari dia yang isinya cuma dua baris itu,
biar sekalian aku kasih tahu kamu di sini:
Adiknya sudah bisa nyelam lagi.
SURAT 2
MANOLA yang jual mahal.
Setelah aku terima surat
kamu yang terakhir, aku mimpi Otto mengajakku, atau lebih tepatnya, memaksaku
untuk jemput kamu di Marewerewe. Aku enggak mau walaupun dia tawari aku duit
berjuta-juta. Tapi kamu tahu kan, Otto itu laki-laki manja yang bisa
mendapatkan apa saja. Dia beli rumahku. Keluargaku pindah. Cuma aku yang tetap
di kamarku. Dia bangun roket di bawah kamarku. Dengan roket itu dia membawaku
sekalian kamarku sampai Marewerewe. Aku enggak ingat apa kami benar-benar
sampai sana. Yang jelas untung banget enggak ketemu kamu.
Terserah kamu mau balik
sama Otto apa enggak. Aku cuma menyampaikan pesan. Selebihnya urusan kalian.
Mungkin kamu bisa kirim surat langsung ke Otto. Pasti ingat alamatnya kan?
Jangan jadikan aku perantara.
Sebetulnya aku malas
balas suratmu lagi. Tapi kamu mungkin ingin tahu kabar ini. Pagi tadi kebetulan
aku buka koran. Di halaman depan ada berita tentang jaringan pengedar ilegal
obat penenang. Yang ditangkap polisi salah satunya berinisial AI. Aku enggak
bisa pastikan itu Anton Iskandardinata tunangan kamu. Mungkin saja Arifin
Ilham, Asep Irawan, atau nama-nama lain kan? Tapi mengingat sambilan Otto yang
makelar obat penenang, aku jadi kepikiran.
SURAT 3 (Tidak
dikirim)
MANOLA yang, euh, entahlah.
Kamu datang tiba-tiba.
Padahal aku tidak yakin suratku yang terakhir sudah sampai. Kamu baca sendiri
berita itu di koran di kantor pos—waktu kamu ikut ke kota untuk mengirimkanku
surat seperti biasa. Kamu ingin kembali saat itu juga. Tapi kenapa harus ke
rumahku?
Kulitmu cokelat
berkilauan. Rambutmu cokelat kekuningan. Bajumu kumal diwarnai tanah.
Penampilanmu yang megah tinggal kenangan. Kamu menerjangku dengan isakan.
“Tony… Tony… Tony…” hanya itu yang sanggup kamu katakan. Panggilanmu untuk tunangan
tersayang.
Mau tidak mau aku luluh.
Aku carikan pakaian terbaik sementara kamu membersihkan diri, lalu menubrukku
sambil tersedu lagi. Di perjalanan tadi kamu tidak sabar untuk memastikan
keadaan kekasihmu. Kamu cari telepon untuk hubungi calon mertua, yang kontan
mencecarmu dengan panik. Otto tidak lagi dalam tahanan. Dia dipindahkan ke
rumah sakit, ruang VVIP, karena upayanya menggorok leher sendiri. Dalam
kekalutan, yang terpikir olehmu pertama-tama adalah berlabuh dulu ke kamarku
yang setahumu biasa dibalut kesunyian. Barangkali sejenak kamu bisa dapatkan
ketenangan, sebelum menghadapi lagi kehidupan lama yang sempat kamu tinggalkan.
Tidak lama kamu berpedih-pedih.
Kamu panggil taksi dan menyeretku serta. Di rumah sakit, kita wara-wiri mencari
ruangannya. Dia sudah dipindahkan lagi sejak kapan, sudah berhasil
diselamatkan. Menuju ruangannya, air matamu makin terburai. Kamu tidak
pedulikan orang-orang yang menatapmu sambil termangu, merasa mengenalimu (itu kan Maladewi Kiamanola, mantan finalis ratu
sejagat, duta lingkungan, model papan atas, yang diberitakan hilang itu!, dan
dengan tubuh menjulang serta kulit eksotis karya mentari Marewerewe, dia tetap memukau walau tidak dandan!)
atau memang mengenalimu (Manola… ke mana
saja kamu, Nak…).
Aku kira kamu tidak
dengarkan benar keterangan keluarga Otto mengenai perkembangan kondisi
tunanganmu itu. Kamu hanya ingin segera bertemu dengannya, dan ketika pintu
terbuka untukmu, serta-merta kamu menghambur ke arahnya, memeluk-kecupnya.
Hati-hati, Manola, sebaiknya kamu tidak menyenggol selang-selang yang
berseliweran, apalagi alat yang membebat lehernya itu. Wajah kalian saling
menempel. Kamu basahi wajahnya dengan wajahmu, mengadu hidung. Kamu berjanji
tidak akan meninggalkannya lagi. Wajahnya berkerut-kerut entah menahankan
gejolak apa. Aku rasa pupus sudah segala sikapnya yang biasa jemawa itu di
mukamu.
Perlahan aku mundur dari
pertemuan yang mengharukan itu. Selain karena ditarik orang di belakangku—tidak
boleh banyak orang di ruangan—juga karena aku sadar aku hanyalah figuran dalam
adegan dramatis yang tengah berlangsung, kalau bukan pemeran pembantu.
Percintaan dua sejoli yang bukan kalanganku.
Maka aku meninggalkanmu
begitu saja.
Di jalan aku
tergeli-geli. Laki-laki kaya nan sinting itu ternyata masih lebih berarti
buatmu ketimbang puluhan anak Marewerewe, yang kapan katamu butuh bimbingan
untuk mengenal peradaban. Dengan kepuasan seorang perompak setelah berhasil
membaca titik lemah musuhnya, aku tidak tahan untuk tidak terbahak-bahak.
Maafkan aku, Manola. Cita-citamu untuk meningkatkan harkat kampung terpencil
ternyata hanya sebatas itu. Masih kalah oleh kelemahan lelaki yang tidak bisa
mengobati jiwanya sendiri, biarpun profesinya psikiater.
Berhari-hari setelah Otto kembali ke rumahnya, dengan kamu
sebagai perawatnya yang setia, kamu mengajakku mampir. Merayakan secara
kecil-kecilan kondisinya yang membaik. Di depanku kalian pasangan yang lembut
pada satu sama lain. Aku juga tidak berharap mendengar lagi masalahmu dengan
Otto. Kalaupun ada, jangan cerita padaku. Di taman rumahnya yang asri, aku
mengamatimu menyuapinya dengan bubur oat. Sampai aku tahu kalau serpihan putih
itu dicampur teh, bukannya susu. Malah biasanya kamu campur dengan sambal,
karena Otto suka pedas. Tapi kondisi batang tenggorok Otto sedang tidak
memungkinkan. Otto tidak suka susu.
Aku pulang dengan menyayangkan anak-anak Marewerewe yang kamu
tinggalkan, demi orang aneh itu. Entah kenapa. Aku bimbang harus tetap senang
atau sedih dengan sikapmu itu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar