Kamis, 19 Desember 2013

Cerita 08 - Figuran Drama

SURAT 1

 

MANOLA yang baik.

            Terima kasih sudah mengirimkanku surat-surat yang mengabarkan baktimu di Marewerewe. (Aku masih belum tahu di mana itu. Google saja enggak tahu.) Tadinya mau aku kumpulkan dan jual ke media yang belum puas memberitakan kehilanganmu. (Bukannya aku baca atau menonton infotainment ya, cuma tahu saja.) Karena itu dalam suratmu berikutnya, (kalau kamu berkenan membalas suratku ini), kamu patut berterima kasih padaku karena tidak melakukannya.

            Sebetulnya aku malas balas suratmu. Tapi kali ini aku kasihan. Kamu mungkin kesepian. Walau anak-anak selalu meriungimu, dan pemuda-pemuda setempat curi-curi kesempatan untuk menjadikanmu istri, kamu mungkin tetap butuh berbincang dengan sesama warga kota. Aku paham kamu bukannya senang-senang saja di sana, tapi juga berpayah-payah. Pastinya menyenangkan ya, karena dengan berpayah-payah itu jadinya kita merasa telah berbuat mulia.

Tiap hari kamu bangun pagi sekali. Membantu ibu-ibu menumbuk padi. Mengumpulkan anak-anak yang lebih suka melaut itu untuk duduk sebentar saja, menontonmu mengajari mereka membaca. Mempresentasikan program-program wisata pada warga yang sudah merasa cukup dengan hidup mereka. Membantu penelitian si Greg-siapa-itu yang ingin merancang pembangkit listrik tenaga ubur-ubur merah. Aku sudah melihat fotomu dengannya, dengan anak-anak kalian, maksudku, anak-anak setempat yang mengelilingi kalian. Jelas dia lebih ganteng dan mandiri dari Otto. Tapi bisa-bisanya kamu masih menanyakan Otto?

            Kamu memang munafik, Manola, maksudku, enggak konsisten, plinplan, blahbloh, labil. Kamu bilang kamu enggak mau memikirkan dia lagi. Tapi di tiap suratmu, ada saja namanya. Minimal satu. Hatimu ke mana, Manola?

            Baiklah kalau itu maumu. Memang itu tujuanku menulis surat ini, mengabarkan tentang dirinya.

            Kamu mungkin enggak duga kalau belakangan ini aku ketemu dia sampai beberapa kali. Jangan salah paham dulu. Berada dekat laki-laki ganteng yang enggak tertarik menjalani hubungan romantis denganmu itu rasanya menyiksa, tahu. Mulanya aku cuma ingin konsultasi. Tapi. Enggak tahu ya. Sepertinya aku malah bikin depresinya kambuh. Sedikitnya aku jadi paham kenapa akhirnya kamu enggak tahan sama dia, merasa enggak dipedulikan, terus minggat sampai jauh. (Aku enggak tahu kalau pelarianmu karena faktor-faktor lain juga. Yang aku tahu cuma yang kamu ceritakan sama aku, yang seringnya soal tunanganmu itu.) Terlepas dari masalah kalian di ranjang, depresinya itu sendiri mengkhawatirkan. Kerja di RSJ bikin dia punya stok cerita sedih. Cerita-cerita yang bahkan lebih menyedihkan dari lagu-lagunya Rhoma Irama. Baru-baru ini dia cerita soal pasien yang enggak mau berhenti salat—mantan narapidana yang konon ditolak waktu mau tobat. Tiap diajak berhenti, dia melaknat seluruh petugas jadi kafir. Rumah sakit itu suatu saat bakal dihujani batu yang dibawa burung-burung ababil. Ada juga perempuan yang tidak waras sejak bayinya meninggal dalam kandungan. Tiap malam dia panjat pohon, duduk di dahan sambil cekikikan. Bagaimana kamu bisa tahan dengar cerita-cerita macam itu tiap hari dengan hati yang sensitif?

            Otto kasih puisi-puisinya ke aku, tapi, benar kata kamu, tulisannya persis garis-garis di alat ukur detak jantung. Aku minta dia untuk belajar menulis dari awal, di buku tulis garis tiga. Percaya enggak percaya, dia ikuti saranku. Dia bilang sekarang ini dia pusing kalau memikirkan ungkapan-ungkapan padat, jadinya dia menulis yang cair saja. Cerpen. Ternyata lebih menggugah, Manola. Lakimu itu, Anton Iskandardinata atau Anton Chekhov?

            Begitulah, Manola. Setelah konsultasi yang pertama dan (kuharap) terakhir itu, dia hubungi aku lagi, tanya soal kamu. Dia pikir aku dekat sama kamu, tahu di mana kamu. (Memang seperti itu sih.) Dia curiga kamu bawa bolpoinnya yang mahal itu. Monblang atau apa mereknya, aku lupa. Dia bilang kamu suka pakai barang-barangnya tapi enggak izin. Kalaupun izin, menurut dia kamu pastinya sudah punya barang-barang kamu sendiri, jadi harusnya enggak ambil punya orang lain.

            Aku berusaha membela kamu, Manola. Waktu dia bilang kalau kamu doyan bawang (apalagi yang merah yang digoreng renyah) dan dia kelihatan enggak senang, aku bilang kalau bawang itu enak dan sehat—antioksidan. Waktu dia bilang kalau dia enggak suka kaus Green Day favorit kamu, aku bilang kaus yang nyaman untuk tidur itu ya yang sudah belel. Waktu dia bilang kalau dia risi kamu tetap tidur di kasurnya walau kamu lagi halangan untuk begituan sama dia, aku bilang kamu cuma butuh kehangatan. Waktu dia bilang kalau dia sampai kucek mata berkali-kali begitu bangun karena lihat rambut kamu sudah kembali ke bentuk asli, aku bilang rambut ala Medusa itu seksi. Waktu dia bilang kalau dia jijik tiap kamu bawa camilan ke kasur, makan sambil bicara, terus langsung tidur enggak sikat gigi, aku enggak tahu harus bilang apa lagi.

            Tapi, Manola, bagaimanapun komentar Otto tentang kamu, aku rasa dia begitu karena ingat kamu, rindu kamu. Aku sempat dengar dia bilang kalau sebetulnya kamu indah dilihat dari berbagai sisi, kalau sudah dandan. (Walau aku kira perempuan seperti itu yang Otto kenal bukan cuma kamu.)

            Manola, mungkin selama ini kamu menulis surat pakai bolpoin Otto yang kamu pinjam tapi enggak bilang itu. Dia ingin kamu mengembalikan bolpoin itu, sama kamunya sekalian. Dia titip pesan juga buat kamu di kertas kecil, aku kirim sekalian surat ini. Maaf aku intip. (Tulisannya sekarang betulan bisa dibaca lho, jadi cantik.) Jadi kamu enggak perlu repot lagi buka surat dari dia yang isinya cuma dua baris itu, biar sekalian aku kasih tahu kamu di sini:

            Adiknya sudah bisa nyelam lagi.

 

 

SURAT 2

 

MANOLA yang jual mahal.

            Setelah aku terima surat kamu yang terakhir, aku mimpi Otto mengajakku, atau lebih tepatnya, memaksaku untuk jemput kamu di Marewerewe. Aku enggak mau walaupun dia tawari aku duit berjuta-juta. Tapi kamu tahu kan, Otto itu laki-laki manja yang bisa mendapatkan apa saja. Dia beli rumahku. Keluargaku pindah. Cuma aku yang tetap di kamarku. Dia bangun roket di bawah kamarku. Dengan roket itu dia membawaku sekalian kamarku sampai Marewerewe. Aku enggak ingat apa kami benar-benar sampai sana. Yang jelas untung banget enggak ketemu kamu.

            Terserah kamu mau balik sama Otto apa enggak. Aku cuma menyampaikan pesan. Selebihnya urusan kalian. Mungkin kamu bisa kirim surat langsung ke Otto. Pasti ingat alamatnya kan? Jangan jadikan aku perantara.

            Sebetulnya aku malas balas suratmu lagi. Tapi kamu mungkin ingin tahu kabar ini. Pagi tadi kebetulan aku buka koran. Di halaman depan ada berita tentang jaringan pengedar ilegal obat penenang. Yang ditangkap polisi salah satunya berinisial AI. Aku enggak bisa pastikan itu Anton Iskandardinata tunangan kamu. Mungkin saja Arifin Ilham, Asep Irawan, atau nama-nama lain kan? Tapi mengingat sambilan Otto yang makelar obat penenang, aku jadi kepikiran.

 

 

SURAT 3 (Tidak dikirim)

 

MANOLA yang, euh, entahlah.

            Kamu datang tiba-tiba. Padahal aku tidak yakin suratku yang terakhir sudah sampai. Kamu baca sendiri berita itu di koran di kantor pos—waktu kamu ikut ke kota untuk mengirimkanku surat seperti biasa. Kamu ingin kembali saat itu juga. Tapi kenapa harus ke rumahku?

            Kulitmu cokelat berkilauan. Rambutmu cokelat kekuningan. Bajumu kumal diwarnai tanah. Penampilanmu yang megah tinggal kenangan. Kamu menerjangku dengan isakan. “Tony… Tony… Tony…” hanya itu yang sanggup kamu katakan. Panggilanmu untuk tunangan tersayang.

            Mau tidak mau aku luluh. Aku carikan pakaian terbaik sementara kamu membersihkan diri, lalu menubrukku sambil tersedu lagi. Di perjalanan tadi kamu tidak sabar untuk memastikan keadaan kekasihmu. Kamu cari telepon untuk hubungi calon mertua, yang kontan mencecarmu dengan panik. Otto tidak lagi dalam tahanan. Dia dipindahkan ke rumah sakit, ruang VVIP, karena upayanya menggorok leher sendiri. Dalam kekalutan, yang terpikir olehmu pertama-tama adalah berlabuh dulu ke kamarku yang setahumu biasa dibalut kesunyian. Barangkali sejenak kamu bisa dapatkan ketenangan, sebelum menghadapi lagi kehidupan lama yang sempat kamu tinggalkan.

            Tidak lama kamu berpedih-pedih. Kamu panggil taksi dan menyeretku serta. Di rumah sakit, kita wara-wiri mencari ruangannya. Dia sudah dipindahkan lagi sejak kapan, sudah berhasil diselamatkan. Menuju ruangannya, air matamu makin terburai. Kamu tidak pedulikan orang-orang yang menatapmu sambil termangu, merasa mengenalimu (itu kan Maladewi Kiamanola, mantan finalis ratu sejagat, duta lingkungan, model papan atas, yang diberitakan hilang itu!, dan dengan tubuh menjulang serta kulit eksotis karya mentari Marewerewe, dia tetap memukau walau tidak dandan!) atau memang mengenalimu (Manola… ke mana saja kamu, Nak…).

            Aku kira kamu tidak dengarkan benar keterangan keluarga Otto mengenai perkembangan kondisi tunanganmu itu. Kamu hanya ingin segera bertemu dengannya, dan ketika pintu terbuka untukmu, serta-merta kamu menghambur ke arahnya, memeluk-kecupnya. Hati-hati, Manola, sebaiknya kamu tidak menyenggol selang-selang yang berseliweran, apalagi alat yang membebat lehernya itu. Wajah kalian saling menempel. Kamu basahi wajahnya dengan wajahmu, mengadu hidung. Kamu berjanji tidak akan meninggalkannya lagi. Wajahnya berkerut-kerut entah menahankan gejolak apa. Aku rasa pupus sudah segala sikapnya yang biasa jemawa itu di mukamu.

            Perlahan aku mundur dari pertemuan yang mengharukan itu. Selain karena ditarik orang di belakangku—tidak boleh banyak orang di ruangan—juga karena aku sadar aku hanyalah figuran dalam adegan dramatis yang tengah berlangsung, kalau bukan pemeran pembantu. Percintaan dua sejoli yang bukan kalanganku.

            Maka aku meninggalkanmu begitu saja.

            Di jalan aku tergeli-geli. Laki-laki kaya nan sinting itu ternyata masih lebih berarti buatmu ketimbang puluhan anak Marewerewe, yang kapan katamu butuh bimbingan untuk mengenal peradaban. Dengan kepuasan seorang perompak setelah berhasil membaca titik lemah musuhnya, aku tidak tahan untuk tidak terbahak-bahak. Maafkan aku, Manola. Cita-citamu untuk meningkatkan harkat kampung terpencil ternyata hanya sebatas itu. Masih kalah oleh kelemahan lelaki yang tidak bisa mengobati jiwanya sendiri, biarpun profesinya psikiater.

Berhari-hari setelah Otto kembali ke rumahnya, dengan kamu sebagai perawatnya yang setia, kamu mengajakku mampir. Merayakan secara kecil-kecilan kondisinya yang membaik. Di depanku kalian pasangan yang lembut pada satu sama lain. Aku juga tidak berharap mendengar lagi masalahmu dengan Otto. Kalaupun ada, jangan cerita padaku. Di taman rumahnya yang asri, aku mengamatimu menyuapinya dengan bubur oat. Sampai aku tahu kalau serpihan putih itu dicampur teh, bukannya susu. Malah biasanya kamu campur dengan sambal, karena Otto suka pedas. Tapi kondisi batang tenggorok Otto sedang tidak memungkinkan. Otto tidak suka susu.

Aku pulang dengan menyayangkan anak-anak Marewerewe yang kamu tinggalkan, demi orang aneh itu. Entah kenapa. Aku bimbang harus tetap senang atau sedih dengan sikapmu itu.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain