Rabu, 18 Desember 2013

Kawan dari Masa Lalu

TETANGGA depan rumah menawariku upah lima ratus ribu sebulan untuk menjaga orangtuanya yang renta. Ia sendiri harus bekerja di kantor dari pagi sampai petang, tidak bisa selalu mengawasi sang ayah. Kemarin ia temukan ayahnya pingsan di kamar mandi, tidak seorangpun tahu. Mereka hidup hanya berdua. Lelaki itu tidak menikah. Karena itu ia ingin seseorang menjaga ayahnya selagi ia tidak ada.

Orangtua menyuruhku untuk menyanggupi tawaran itu. Hitung-hitung memulai pengalaman kerja, daripada di rumah saja, menanti panggilan yang tidak kunjung datang karena memang aku malas kirim lamaran. Tidak pernah kuduga enam tahun berjuang demi sarjana, ujung-ujungnya jaga jompo juga!

Enggannya diriku. Jangan-jangan aku bakal disuruh menceboki, ganti popok. Kalau bayi ya mending. Orangtuaku pun memperingatkan. Bagaimana kalau orangtuaku sendiri yang harus kuurusi. Bahkan kelak aku sendiri mungkin mengalami. Usiaku baru kepala dua, tapi problematika usia kepala tujuh sudah mencemaskanku begini! Akhirnya kuiiyakan.

Seolah bisa membaca keberatanku (yang padahal sudah kutekan dalam-dalam), lelaki itu bilang tugasku pada utamanya hanya mengawasi. (Plus menghangatkan makanan saat siang, mengangkat-jemur-tepuk-tepuk kasurnya yang kapuk, menemaninya kalau ingin jalan-jalan, dan mendengarkannya kalau ingin cuap-cuap). Kalau ada apa-apa, telepon saja.

Kakek, begitu saja aku menyebutnya. Saat aku tanya adakah yang bisa kubantu, ia menyanggah-nyanggah seakan ia cukup mandiri untuk melakukan segalanya. Tapi baru saja aku bertopang kaki, menyamankan diri selagi membaca majalah lama, ia minta diambilkan ini-itu. Lama-lama aku bisa bedakan mana obeng mana tang, mana kunci Inggris mana kunci nomor berapa. Barangkali istilah “asisten” lebih tepat untukku, alih-alih “pramurukti”. Sekarang aku tahu Kakek dulunya pengajar di jurusan Teknik Mesin. Ia masih menyibukkan diri dengan membongkar mesin ini, lalu menggarap mesin itu. Garasi dirombaknya jadi bengkel. Pantas saja kadang aku dengar bunyi las dan macam-macam. Ternyata dari rumahnya.

“Bikin apa sih, Kek?” akhirnya tanyaku.

“Mesin waktu.”

Kukira itu hanya ada dalam lacinya Nobita.

Ternyata, kakek-kakek pun masih ada yang doyan becanda. Kuladeni saja selagi ia memencet-mencet tombol, menggerak-gerakkan tuas. “Emangnya mau ke mana sih, Kek?” ujarku di sela-sela bunyi mesin yang keras… gretek gretek gretek… buss…

“Tahun… delapan…” suaranya yang rapuh tertelan dengungan… zuuummm…

“Eh, eh, kenapa ini, Kek?” Pekatnya asap memenuhi ruangan! Mataku menyipit mencari Kakek. Telingaku mengikuti ia yang terbatuk-batuk, aku pun terbatuk-batuk. Terlihat punggungnya yang tengah membungkuk. Bagian mesin yang berongga ia tepuk-tepuk. “Ayo, Kek, keluar aja!” Aku menggaet lengannya. Tapi malah ia sentak. Dasar tua-tua perkedel: makin tua makin bandel! Dalam kepanikan itu kudengar ada yang teriak “Adaw!” (atau semacam itu) dan benda pecah, entah dari mana. Mesin kembali bergretek-gretek-gretek, disertai ngik-ngik-ngik… Tidak lagi berguncang-guncang. Lamat-lamat asap mereda. Samar-samar terlihat sepatu kets menyembul dari bagian mesin yang menyerupai kerangkeng. Perlahan kami bergeser ke depannya.

Orang itu masih dalam posisi terjengkang di sudut kerangkeng. Di dekatnya butiran nasi cokelat, irisan tomat, sawi, kerupuk, dan entah apa lagi!—berhamburan, bersama pecahan piring. Mulutnya sama bulat dengan matanya. Kepalanya bergerak-gerak tidak teratur. “Sa—saya di mana?”

“Aduh!” Kakek malah tepuk jidat. Bukannya ia yang pergi ke “sana”, malah jadinya mendatangkan orang ke “sini”! “Kok bisa sih, Kek?!” seruku. “Mana tahu!?” Dan itu menjadi alasan baginya untuk utak-utik mesin lagi. Sementara aku harus bersihkan isi kerangkeng itu, dan meredakan shock orang yang kutaksir berusia tidak jauh dariku.

“Dua… ribu… tiga belas?”

“Udah. Minum aja dulu.” Semoga dapat menghilangkan kerut-kerut di dahimu.

Tangannya masih agak bergetar ketika memegang cangkir, sementara mulutnya menyeruput. “Luar biasa!” Ah. Aku tidak tahu aku sepandai itu dalam membuat teh. Tinggal kasih gula, celup, aduk… “…tahu-tahu… syuuut… dua ribu tiga belas!” Ia mengangkat tangan, lalu terkekeh-kekeh sendiri. Bukan teh ya, baiklah. Ia menjabat tanganku. “Roy… Delia? Hm… Namamu bagus juga.” Lalu ia bangkit. Melihat-lihat kerja Kakek. Perhatianku sendiri terarah pada celananya. Tepat sepinggang. Oh. Ya. Zaman dulu kan belum mode hipster. Rambutnya juga. Jambul banget. Sudah begitu, kumisnya itu loh. Seksi. Ah. Sebaiknya aku lanjutkan saja tepuk-tepuk kasur di luar.

Tidak kusangka ia bakal menyusulku. Kedua tangannya masuk ke saku. Walau lagi terik, tetap ia tantang langit. Seakan ada perbedaan antara matahari masa kini dengan matahari pada zamannya.

“Kamu masih kuliah?” tegurku.

Ia menoleh. “Aku sudah bekerja.”

“Bagus. Kerja apa?” Tapi tolong jangan tanya balik. Sebab ya ini saja kerjaku: meladeni pak tua dan tepuk-tepuk kasur. 

“Pekerjaanku… Mencari kawan baru.”

“Humas ya.” Tapi ia tidak menanggapi. Matanya memicing lagi ke langit. Mungkin lihat pesawat yang lewat. “Di jaman kamu belum ada Lion Air ya? Eh kamu dari tahun berapa sih?” ’88, jawabnya. “Berarti tahu Chaseiro dong?”

“Yang dari UI itu ya…”

“Emang situ dari mana?”

“Tadi aku di warung tenda pinggir jalan. Mau bawa nasi goreng ke tempat dudukku, lalu tahu-tahu syuuut….”

“Ya ya ya, sudah tahu.”

“Eh. Tadi aku lihat ada kotak layarnya datar begitu. Itu TV ya?”

“Mungkin…?” Oven juga bisa. Kalau TV gambarnya Syahrini. Kalau oven gambarnya bolu. Tapi memang, “TV sekarang udah layar datar.” Salurannya bukan cuman TVRI loh. “Eh, kamu mau lihat tablet enggak?” Untuk orang gaptek sepertiku, tablet adalah teknologi tercanggih yang kumiliki.

Ia meringis. “Sejujurnya aku lebih suka sirup. Ah… Tapi aku tidak kenapa-kenapa. Sungguh…”

“Bukaan…” Sebetulnya ini melanggar SOP tugasku. Tapi aku tidak sabar untuk membawa orang ini ke rumahku, dan memperlihatkan hal-hal menakjubkan lainnya dari abad ini. 

.

AKU ajarkan ia main Angry Birds. Aku ajak ia main Guess That Song—dengan kategori lagu-lagu ’80-an ke bawah tentu. Aku tunjukkan padanya bahwa pada masa kini kita tidak perlu putar kaset untuk mendengarkan lagu, tinggal pasang mp3 di playlist Winamp. (“Terus bagaimana kalau aku ingin bikin mixtape untuk pacarku?” ia tanya.) Aku setelkan untuknya lagu-lagu dari zamannya macam Chaseiro, SAS, sampai Pancaran Sinar Petromaks.

Tapi rupanya ia ingin dengar juga lagu-lagu dari masa kini. “Tapi lagu-lagu dari jaman kamu lebih bermutu daripada lagu-lagu dari jamanku. Yah. Terutama lagu-lagu dari Indonesia sih.” Maka aku putarkan “Kucing Garong”, “Keong Racun”, sampai “Buaya Buntung”.

Ia terbahak-bahak. “Orang semakin peduli sama binatang rupanya!”

“Enggak juga. Justru itu menunjukkan kalau orang-orang jaman sekarang makin enggak puitis. Bandingin aja lirik lagu-lagu jaman dulu sama jaman sekarang.”

Ketika kusodorkan koleksi bacaan lawas milik pakdeku, ia berkata, “Cukup, cukup. Kok sepertinya kamu yang antusias dengan jamanku?”

“Mungkin karena banyak barang lama di rumahku, jadinya aku suka juga.” Lalu aku menghitung berapa temanku yang mengatakan kalau seleraku serupa selera bapak mereka.

“Kenapa kamu begitu tertarik dengan masa lalu, padahal jamanmu begini menakjubkan!” Sesaat ia menoleh padaku. Sejak aku mengenalkan internet padanya, jemarinya nyaris tidak henti menggerak-gerakkan kursor di layar.

“Aku suka masa lalu dengan kesederhanaan dan kedalamannya. Sekarang ini apa-apa jadi begitu rumit, tapi sepintas lalu saja orang mengindahkannya.”

“Kalau bicara perubahan memang tak akan ada habisnya. Ada hal-hal yang jadi lebih baik, tapi sebaliknya, ada juga hal-hal yang jadi lebih buruk. Tapi ingatlah bahwa matamu letaknya di depan. Jangan terlalu sering berpaling ke belakang.”

“Kenapa?”

“Nanti lehermu sakit. Hihihi…”

“Ah. Bisa saja kamu.”

Aku tidak mengerti kenapa dialog kami berasa seperti dialog dalam film-film tahun ’80-an. Setelah berjam-jam di rumahku, kamu kembali pada Kakek. Ia mengomeliku karena tidak ada pada saat ia butuh tang, kawat, sekrup, sampai lap untuk mengusap peluhnya. Mesinnya belum baik. Aku yang menjelaskan pada anak kakek itu ihwal kehadiran Roy. Roypun bermalam di sana.

.

KEESOKAN hari, aku datang lebih pagi. Roy memberiku surat. Tapi ia minta agar aku membacanya nanti saja. Hari ini mari kita bantu Kakek supaya mesinnya beres, ajaknya. Sampai sore mesin itu masih belum berbunyi. Bagaimanapun jam kerjaku sudah usai. Kakek sudah capek.

Roy ingin melihat lebih banyak tahun 2013. Terutama tempat di mana seperempat abad lalu ia membeli nasi goreng lalu syuuut… Akupun menemaninya berkeliling dengan angkot. Malam itu kami menyaksikan bagaimana suatu kota dimakan waktu.

Roy mengaso sebentar di rumahku sebelum balik ke rumah Kakek. Sebetulnya ia masih belum puas berselancar di dunia maya. Kubiarkan ia mengutak-atik laptopku, sampai kulihat ia termenung. Layar menampilkan halaman Google. “Delia, kalau aku masukkan nama orang ke sini, aku bisa tahu informasi tentang orang itu di masa kini kan?”

“Mungkin. Tergantung orang itu pakai nama asli atau nama alay di Facebook. Tapi mestinya di jaman kamu nama alay belum ada.” Sepertinya ia tidak mengerti. Aku jelaskan lagi padanya soal media sosial dan, “kalaupun orang itu enggak pakai media sosial, kalau dia sangat-sangat-sangat terkenal, mungkin aja ada berita tentang dia di Google.” Masih berkerut keningnya. Ia menoleh lagi pada layar dengan ragu. “Emang mau cari siapa?”

“Anita,” pacarnya yang suka menulis cerpen. Roy sangat terpikat dengan mata gadis itu yang menurutnya amat cemerlang. “Sekembalinya dari jaman ini, aku ingin segera melamarnya.”

“Kamu ingin tahu gimana masa depan kamu sama dia,” tebakku.

Ia mendesah. “Sebetulnya waktu jalan-jalan tadi, ingin sekali aku mampir ke rumahnya, di Jalan Cikaso.”

“Hei, tadi kan kita emang lewat sana,” dan memang sempat kutangkap raut gelisah itu, tapi tadi kukira ia hanya kebanyakan makan angin.

“Ya… Tapi…” Ia biarkan derik jangkring saja yang mengisi keheningan beberapa lama, sebelum menutup jendela laman dan mematikan laptopku sebagaimana yang sudah kuajarkan. “Kamu tahu, kadang kita cemas dengan masa depan yang tidak pasti. Tapi kupikir, sebaiknya kita memang tidak perlu tahu pasti apa yang akan terjadi.”

Iapun pamit.

Di kamar, kubuka suratnya. Ia mulai dengan sapaan. Ia tidak bisa tidur kemarin malam sehingga ia isi waktu dengan menulis saja. Ia ungkapkan kecemasannya terlempar ke masa yang asing ini. “Tapi aku senang bertemu orang yang mengerti jamanku seperti kamu. Aku jadi merasa tidak begitu sendirian. Maukah kamu jadi kawanku, Delia?”

Tentu saja! Akupun terdorong untuk menulis balasan surat itu. “Roy, kalaupun kamu terjebak di sini selamanya, aku mau menemanimu seterusnya.” Sesaat aku termenung, meresapi kesedihan Roy yang mendadak terpisah dari kehidupannya semula. Keluarganya, teman-temannya, pacarnya… Kuharap mesin itu dapat diperbaiki dan mengembalikan Roy secepatnya. “Aku juga senang, Roy, akhirnya bertemu teman yang satu selera. Orisinil pula. Langsung dari jamannya,” lanjut kutulis.

.

DIPERLUKAN bantuan beberapa teknisi yang notabene bekas mahasiswa Kakek. Mereka akhirnya berhasil menemukan suku cadang yang serupa dengan suku cadang yang hancur saat Roy tersedot ke masa kini. Tiba juga hari kepulangan Roy.

“Aku ingin bisa bertemu kamu lagi, Delia, di masa sekarang,” kata Roy.

Aku tidak mau. Aku takut kalau bertemu lagi dengan pribadinya yang memesona itu di masa sekarang, aku bakal minta dijadikan istri muda. Tentunya ia sudah berwujud bapak-bapak.

Ia memintaku menuliskan alamatku.

“Tapi sekarang udah bukan jamannya sahabat pena.” Kenapa ia bukannya minta akunku di Line, KakaoTalk, atau Skype, yang bukannya aku punya juga sih. “Bener, mau ketemu aku lagi?”

“Tentu, Delia. Aku janji. Kita akan terus berkawan.”

Semoga ia memang seperti merpati. Tak pernah ingkar janji.[1]

“Eh iya. Sebelum aku pergi, boleh minta piring? Buat ganti punyanya abang nasi goreng yang pecah kemarin… Nanti waktu kita jumpa lagi, aku ganti.”

Aku berikan ia dua. Satu untuk abang nasi goreng. Satu untuk kenang-kenangan. Tidak perlu diganti.

Gretek-gretek-gretek… wusss…

Begitu Roy lenyap, mesin itu terus bergetar seperti mau meledak. Kontan kami kocar-kocir keluar. Untung tidak ada yang terluka parah. Hanya garasi hancur. Berliter-liter air dari keran di halaman rumahku mengocor untuk memadamkan api yang tidak begitu buas. Mesin itu sendiri tinggal rangka. Para teknisi itu menyayangkan Kakek yang lupa di mana menyimpan cetak-birunya.

.

KAKEK tidak kapok mengutak-atik mesin padahal garasi alias bengkel-kerjanya itu saja belum dibangun lagi. Dengan kehadiranku di rumahnya, ia mungkin tidak merasa sendirian lagi tiap pagi sampai petang. Tapi tanpa kehadiran Roy, aku merasa begitu kesepian. Kubaca suratnya berkali-kali. Sampai-sampai tiap habis membaca satu kata, aku bisa menduga kata apa yang tertera selanjutnya.

Aku pikir gagasan untuk bertemu lagi itu mustahil. Roy perlu seperempat abad hingga sampai ke hari di mana ia berjanji untuk mengunjungiku lagi, dalam usianya pada masa kini. Ia mungkin saja sudah melupakanku. Atau mungkin saja ia mengalami gangguan dalam perjalanannya melintasi waktu… mengingat mesin yang mendadak rusak tempo hari… dan terombang-ambing dalam dimensi antar-waktu sampai kebetulan Doraemon lewat dalam perjalanannya menuju laci Nobita lalu menyelamatkannya, dan iapun melanjutkan kehidupannya di Jepang sampai sekarang, terlalu jauh untuk sekadar menjengukku…

Hari itu Minggu petang—selisih tiga hari saja dari hari kepergian Roy, sebetulnya—hari liburku dari menjaga Kakek. Lamunanku raib begitu orangtuaku bilang ada tamu untukku. Semula aku tidak menduga kalau orang itu mungkin Roy. Mungkin temanku yang lain. Tapi begitu bertemu wajahnya, langsung aku terpikir: Roy? Ia tampak begitu muda. Bahkan lebih muda dari terakhir aku melihatnya. Kenapa bukan bapak-bapak? Jangan-jangan Kakek merakit-ulang mesin itu dan mendatangkan Roy lagi? Tapi potongan rambutnya beda. Kali ini cepak. Tanpa kumis. Memang setelah kuperhatikan lagi wajah itu, sepertinya tidak persis Roy. Apalagi ia menyebutku dengan embel-embel “Ibu”. Nadanya tidak yakin.

Dalam kebingungan kupersilakan ia duduk. “Jangan panggil ‘Ibu’, Delia aja,” kataku.

“Saya kira Delia sepantaran sama papa saya.”

“Oh, enggak, saya baru lulus kuliah kok. Kalau… Masnya?”

Namanya juga Roy. Mahasiswa tingkat akhir. Papanya meninggal bulan lalu. Janjinya untuk bertemu denganku pada tanggal dan alamat yang telah ditentukan itu diwasiatkan pada anaknya. Anak itu menunjukkan secarik kertas di mana aku menuliskan alamatku. Padahal baru tiga hari lalu, tapi tampak lecek dan menguning seolah memang sudah berusia seperempat abad. Lalu dari tasnya, Roy junior mengeluarkan sebuah bungkusan yang dilapisi kardus. Isinya piring.[]

 

selesai ditulis tangan 30-9-13, selesai diketik 17-12-13



[1] Judul novel karangan Mira W., FYI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain