TETANGGA depan rumah menawariku upah lima ratus ribu sebulan untuk menjaga
orangtuanya yang renta. Ia sendiri harus bekerja di kantor dari pagi sampai
petang, tidak bisa selalu mengawasi sang ayah. Kemarin ia temukan ayahnya
pingsan di kamar mandi, tidak seorangpun tahu. Mereka hidup hanya berdua.
Lelaki itu tidak menikah. Karena itu ia ingin seseorang menjaga ayahnya selagi
ia tidak ada.
Orangtua menyuruhku untuk menyanggupi tawaran itu. Hitung-hitung memulai
pengalaman kerja, daripada di rumah saja, menanti panggilan yang tidak kunjung
datang karena memang aku malas kirim lamaran. Tidak pernah kuduga enam tahun
berjuang demi sarjana, ujung-ujungnya jaga jompo juga!
Enggannya diriku. Jangan-jangan aku bakal disuruh menceboki, ganti popok.
Kalau bayi ya mending. Orangtuaku pun memperingatkan. Bagaimana kalau
orangtuaku sendiri yang harus kuurusi. Bahkan kelak aku sendiri mungkin
mengalami. Usiaku baru kepala dua, tapi problematika usia kepala tujuh sudah
mencemaskanku begini! Akhirnya kuiiyakan.
Seolah bisa membaca keberatanku (yang padahal sudah kutekan dalam-dalam),
lelaki itu bilang tugasku pada utamanya hanya mengawasi. (Plus menghangatkan
makanan saat siang, mengangkat-jemur-tepuk-tepuk kasurnya yang kapuk,
menemaninya kalau ingin jalan-jalan, dan mendengarkannya kalau ingin
cuap-cuap). Kalau ada apa-apa, telepon saja.
Kakek, begitu saja aku menyebutnya. Saat aku tanya adakah yang bisa
kubantu, ia menyanggah-nyanggah seakan ia cukup mandiri untuk melakukan
segalanya. Tapi baru saja aku bertopang kaki, menyamankan diri selagi membaca
majalah lama, ia minta diambilkan ini-itu. Lama-lama aku bisa bedakan mana
obeng mana tang, mana kunci Inggris mana kunci nomor berapa. Barangkali istilah
“asisten” lebih tepat untukku, alih-alih “pramurukti”. Sekarang aku tahu Kakek
dulunya pengajar di jurusan Teknik Mesin. Ia masih menyibukkan diri dengan
membongkar mesin ini, lalu menggarap mesin itu. Garasi dirombaknya jadi
bengkel. Pantas saja kadang aku dengar bunyi las dan macam-macam. Ternyata dari
rumahnya.
“Bikin apa sih, Kek?” akhirnya tanyaku.
“Mesin waktu.”
Kukira itu hanya ada dalam lacinya Nobita.
Ternyata, kakek-kakek pun masih ada yang doyan becanda. Kuladeni saja
selagi ia memencet-mencet tombol, menggerak-gerakkan tuas. “Emangnya mau ke
mana sih, Kek?” ujarku di sela-sela bunyi mesin yang keras… gretek gretek
gretek… buss…
“Tahun… delapan…” suaranya yang rapuh tertelan dengungan… zuuummm…
“Eh, eh, kenapa ini, Kek?” Pekatnya asap memenuhi ruangan! Mataku menyipit
mencari Kakek. Telingaku mengikuti ia yang terbatuk-batuk, aku pun
terbatuk-batuk. Terlihat punggungnya yang tengah membungkuk. Bagian mesin yang
berongga ia tepuk-tepuk. “Ayo, Kek, keluar aja!” Aku menggaet lengannya. Tapi
malah ia sentak. Dasar tua-tua perkedel: makin tua makin bandel! Dalam
kepanikan itu kudengar ada yang teriak “Adaw!” (atau semacam itu) dan benda
pecah, entah dari mana. Mesin kembali bergretek-gretek-gretek, disertai
ngik-ngik-ngik… Tidak lagi berguncang-guncang. Lamat-lamat asap mereda.
Samar-samar terlihat sepatu kets menyembul dari bagian mesin yang menyerupai
kerangkeng. Perlahan kami bergeser ke depannya.
Orang itu masih dalam posisi terjengkang di sudut kerangkeng. Di dekatnya
butiran nasi cokelat, irisan tomat, sawi, kerupuk, dan entah apa
lagi!—berhamburan, bersama pecahan piring. Mulutnya sama bulat dengan matanya.
Kepalanya bergerak-gerak tidak teratur. “Sa—saya di mana?”
“Aduh!” Kakek malah tepuk jidat. Bukannya ia yang pergi ke “sana”, malah
jadinya mendatangkan orang ke “sini”! “Kok bisa sih, Kek?!” seruku. “Mana
tahu!?” Dan itu menjadi alasan baginya untuk utak-utik mesin lagi. Sementara
aku harus bersihkan isi kerangkeng itu, dan meredakan shock orang yang kutaksir berusia tidak jauh dariku.
“Dua… ribu… tiga belas?”
“Udah. Minum aja dulu.” Semoga dapat menghilangkan kerut-kerut di dahimu.
Tangannya masih agak bergetar ketika memegang cangkir, sementara mulutnya
menyeruput. “Luar biasa!” Ah. Aku tidak tahu aku sepandai itu dalam membuat
teh. Tinggal kasih gula, celup, aduk… “…tahu-tahu… syuuut… dua ribu tiga
belas!” Ia mengangkat tangan, lalu terkekeh-kekeh sendiri. Bukan teh ya,
baiklah. Ia menjabat tanganku. “Roy… Delia? Hm… Namamu bagus juga.” Lalu ia
bangkit. Melihat-lihat kerja Kakek. Perhatianku sendiri terarah pada celananya.
Tepat sepinggang. Oh. Ya. Zaman dulu kan belum mode hipster. Rambutnya juga. Jambul banget. Sudah begitu, kumisnya itu
loh. Seksi. Ah. Sebaiknya aku lanjutkan saja tepuk-tepuk kasur di luar.
Tidak kusangka ia bakal menyusulku. Kedua tangannya masuk ke saku. Walau
lagi terik, tetap ia tantang langit. Seakan ada perbedaan antara matahari masa
kini dengan matahari pada zamannya.
“Kamu masih kuliah?” tegurku.
Ia menoleh. “Aku sudah bekerja.”
“Bagus. Kerja apa?” Tapi tolong jangan tanya balik. Sebab ya ini saja
kerjaku: meladeni pak tua dan tepuk-tepuk kasur.
“Pekerjaanku… Mencari kawan baru.”
“Humas ya.” Tapi ia tidak menanggapi. Matanya memicing lagi ke langit.
Mungkin lihat pesawat yang lewat. “Di jaman kamu belum ada Lion Air ya? Eh kamu
dari tahun berapa sih?” ’88, jawabnya. “Berarti tahu Chaseiro dong?”
“Yang dari UI itu ya…”
“Emang situ dari mana?”
“Tadi aku di warung tenda pinggir jalan. Mau bawa nasi goreng ke tempat
dudukku, lalu tahu-tahu syuuut….”
“Ya ya ya, sudah tahu.”
“Eh. Tadi aku lihat ada kotak layarnya datar begitu. Itu TV ya?”
“Mungkin…?” Oven juga bisa. Kalau TV gambarnya Syahrini. Kalau oven
gambarnya bolu. Tapi memang, “TV sekarang udah layar datar.” Salurannya bukan
cuman TVRI loh. “Eh, kamu mau lihat tablet enggak?” Untuk orang gaptek
sepertiku, tablet adalah teknologi tercanggih yang kumiliki.
Ia meringis. “Sejujurnya aku lebih suka sirup. Ah… Tapi aku tidak
kenapa-kenapa. Sungguh…”
“Bukaan…” Sebetulnya ini melanggar SOP tugasku. Tapi aku tidak sabar untuk
membawa orang ini ke rumahku, dan memperlihatkan hal-hal menakjubkan lainnya
dari abad ini.
AKU ajarkan ia main Angry Birds.
Aku ajak ia main Guess That Song—dengan
kategori lagu-lagu ’80-an ke bawah tentu. Aku tunjukkan padanya bahwa pada masa
kini kita tidak perlu putar kaset untuk mendengarkan lagu, tinggal pasang mp3 di playlist Winamp. (“Terus
bagaimana kalau aku ingin bikin mixtape
untuk pacarku?” ia tanya.) Aku setelkan untuknya lagu-lagu dari zamannya macam
Chaseiro, SAS, sampai Pancaran Sinar Petromaks.
Tapi rupanya ia ingin dengar juga lagu-lagu dari masa kini. “Tapi
lagu-lagu dari jaman kamu lebih bermutu daripada lagu-lagu dari jamanku. Yah.
Terutama lagu-lagu dari Indonesia sih.” Maka aku putarkan “Kucing Garong”,
“Keong Racun”, sampai “Buaya Buntung”.
Ia terbahak-bahak. “Orang semakin peduli sama binatang rupanya!”
“Enggak juga. Justru itu menunjukkan kalau orang-orang jaman sekarang
makin enggak puitis. Bandingin aja lirik lagu-lagu jaman dulu sama jaman
sekarang.”
Ketika kusodorkan koleksi bacaan lawas milik pakdeku, ia berkata, “Cukup,
cukup. Kok sepertinya kamu yang antusias dengan jamanku?”
“Mungkin karena banyak barang lama di rumahku, jadinya aku suka juga.”
Lalu aku menghitung berapa temanku yang mengatakan kalau seleraku serupa selera
bapak mereka.
“Kenapa kamu begitu tertarik dengan masa lalu, padahal jamanmu begini
menakjubkan!” Sesaat ia menoleh padaku. Sejak aku mengenalkan internet padanya,
jemarinya nyaris tidak henti menggerak-gerakkan kursor di layar.
“Aku suka masa lalu dengan kesederhanaan dan kedalamannya. Sekarang ini
apa-apa jadi begitu rumit, tapi sepintas lalu saja orang mengindahkannya.”
“Kalau bicara perubahan memang tak akan ada habisnya. Ada hal-hal yang
jadi lebih baik, tapi sebaliknya, ada juga hal-hal yang jadi lebih buruk. Tapi
ingatlah bahwa matamu letaknya di depan. Jangan terlalu sering berpaling ke
belakang.”
“Kenapa?”
“Nanti lehermu sakit. Hihihi…”
“Ah. Bisa saja kamu.”
Aku tidak mengerti kenapa dialog kami berasa seperti dialog dalam
film-film tahun ’80-an. Setelah berjam-jam di rumahku, kamu kembali pada Kakek.
Ia mengomeliku karena tidak ada pada saat ia butuh tang, kawat, sekrup, sampai
lap untuk mengusap peluhnya. Mesinnya belum baik. Aku yang menjelaskan pada
anak kakek itu ihwal kehadiran Roy. Roypun bermalam di sana.
KEESOKAN hari, aku datang lebih pagi. Roy memberiku surat. Tapi ia minta
agar aku membacanya nanti saja. Hari ini mari kita bantu Kakek supaya mesinnya
beres, ajaknya. Sampai sore mesin itu masih belum berbunyi. Bagaimanapun jam
kerjaku sudah usai. Kakek sudah capek.
Roy ingin melihat lebih banyak tahun 2013. Terutama tempat di mana
seperempat abad lalu ia membeli nasi goreng lalu syuuut… Akupun menemaninya
berkeliling dengan angkot. Malam itu kami menyaksikan bagaimana suatu kota
dimakan waktu.
Roy mengaso sebentar di rumahku sebelum balik ke rumah Kakek. Sebetulnya
ia masih belum puas berselancar di dunia maya. Kubiarkan ia mengutak-atik
laptopku, sampai kulihat ia termenung. Layar menampilkan halaman Google.
“Delia, kalau aku masukkan nama orang ke sini, aku bisa tahu informasi tentang
orang itu di masa kini kan?”
“Mungkin. Tergantung orang itu pakai nama asli atau nama alay di Facebook.
Tapi mestinya di jaman kamu nama alay belum ada.” Sepertinya ia tidak mengerti.
Aku jelaskan lagi padanya soal media sosial dan, “kalaupun orang itu enggak
pakai media sosial, kalau dia sangat-sangat-sangat terkenal, mungkin aja ada
berita tentang dia di Google.” Masih berkerut keningnya. Ia menoleh lagi pada
layar dengan ragu. “Emang mau cari siapa?”
“Anita,” pacarnya yang suka menulis cerpen. Roy sangat terpikat dengan
mata gadis itu yang menurutnya amat cemerlang. “Sekembalinya dari jaman ini,
aku ingin segera melamarnya.”
“Kamu ingin tahu gimana masa depan kamu sama dia,” tebakku.
Ia mendesah. “Sebetulnya waktu jalan-jalan tadi, ingin sekali aku mampir
ke rumahnya, di Jalan Cikaso.”
“Hei, tadi kan kita emang lewat sana,” dan memang sempat kutangkap raut
gelisah itu, tapi tadi kukira ia hanya kebanyakan makan angin.
“Ya… Tapi…” Ia biarkan derik jangkring saja yang mengisi keheningan
beberapa lama, sebelum menutup jendela laman dan mematikan laptopku sebagaimana
yang sudah kuajarkan. “Kamu tahu, kadang kita cemas dengan masa depan yang
tidak pasti. Tapi kupikir, sebaiknya kita memang tidak perlu tahu pasti apa
yang akan terjadi.”
Iapun pamit.
Di kamar, kubuka suratnya. Ia mulai dengan sapaan. Ia tidak bisa tidur
kemarin malam sehingga ia isi waktu dengan menulis saja. Ia ungkapkan
kecemasannya terlempar ke masa yang asing ini. “Tapi aku senang bertemu orang
yang mengerti jamanku seperti kamu. Aku jadi merasa tidak begitu sendirian.
Maukah kamu jadi kawanku, Delia?”
Tentu saja! Akupun terdorong untuk menulis balasan surat itu. “Roy,
kalaupun kamu terjebak di sini selamanya, aku mau menemanimu seterusnya.”
Sesaat aku termenung, meresapi kesedihan Roy yang mendadak terpisah dari
kehidupannya semula. Keluarganya, teman-temannya, pacarnya… Kuharap mesin itu
dapat diperbaiki dan mengembalikan Roy secepatnya. “Aku juga senang, Roy,
akhirnya bertemu teman yang satu selera. Orisinil pula. Langsung dari
jamannya,” lanjut kutulis.
DIPERLUKAN bantuan beberapa teknisi yang notabene bekas mahasiswa Kakek. Mereka
akhirnya berhasil menemukan suku cadang yang serupa dengan suku cadang yang
hancur saat Roy tersedot ke masa kini. Tiba juga hari kepulangan Roy.
“Aku ingin bisa bertemu kamu lagi, Delia, di masa sekarang,” kata Roy.
Aku tidak mau. Aku takut kalau bertemu lagi dengan pribadinya yang
memesona itu di masa sekarang, aku bakal minta dijadikan istri muda. Tentunya
ia sudah berwujud bapak-bapak.
Ia memintaku menuliskan alamatku.
“Tapi sekarang udah bukan jamannya sahabat pena.” Kenapa ia bukannya minta
akunku di Line, KakaoTalk, atau Skype, yang bukannya aku punya juga sih.
“Bener, mau ketemu aku lagi?”
“Tentu, Delia. Aku janji. Kita akan terus berkawan.”
Semoga ia memang seperti merpati. Tak pernah ingkar janji.[1]
“Eh iya. Sebelum aku pergi, boleh minta piring? Buat ganti punyanya abang
nasi goreng yang pecah kemarin… Nanti waktu kita jumpa lagi, aku ganti.”
Aku berikan ia dua. Satu untuk abang nasi goreng. Satu untuk
kenang-kenangan. Tidak perlu diganti.
Gretek-gretek-gretek… wusss…
Begitu Roy lenyap, mesin itu terus bergetar seperti mau meledak. Kontan
kami kocar-kocir keluar. Untung tidak ada yang terluka parah. Hanya garasi
hancur. Berliter-liter air dari keran di halaman rumahku mengocor untuk
memadamkan api yang tidak begitu buas. Mesin itu sendiri tinggal rangka. Para
teknisi itu menyayangkan Kakek yang lupa di mana menyimpan cetak-birunya.
.
KAKEK tidak kapok mengutak-atik mesin padahal garasi alias
bengkel-kerjanya itu saja belum dibangun lagi. Dengan kehadiranku di rumahnya,
ia mungkin tidak merasa sendirian lagi tiap pagi sampai petang. Tapi tanpa
kehadiran Roy, aku merasa begitu kesepian. Kubaca suratnya berkali-kali.
Sampai-sampai tiap habis membaca satu kata, aku bisa menduga kata apa yang
tertera selanjutnya.
Aku pikir gagasan untuk bertemu lagi itu mustahil. Roy perlu seperempat
abad hingga sampai ke hari di mana ia berjanji untuk mengunjungiku lagi, dalam
usianya pada masa kini. Ia mungkin saja sudah melupakanku. Atau mungkin saja ia
mengalami gangguan dalam perjalanannya melintasi waktu… mengingat mesin yang
mendadak rusak tempo hari… dan terombang-ambing dalam dimensi antar-waktu
sampai kebetulan Doraemon lewat dalam perjalanannya menuju laci Nobita lalu
menyelamatkannya, dan iapun melanjutkan kehidupannya di Jepang sampai sekarang,
terlalu jauh untuk sekadar menjengukku…
Hari itu Minggu petang—selisih tiga hari saja dari hari kepergian Roy,
sebetulnya—hari liburku dari menjaga Kakek. Lamunanku raib begitu orangtuaku
bilang ada tamu untukku. Semula aku tidak menduga kalau orang itu mungkin Roy.
Mungkin temanku yang lain. Tapi begitu bertemu wajahnya, langsung aku terpikir:
Roy? Ia tampak begitu muda. Bahkan lebih muda dari terakhir aku melihatnya.
Kenapa bukan bapak-bapak? Jangan-jangan Kakek merakit-ulang mesin itu dan
mendatangkan Roy lagi? Tapi potongan rambutnya beda. Kali ini cepak. Tanpa
kumis. Memang setelah kuperhatikan lagi wajah itu, sepertinya tidak persis Roy.
Apalagi ia menyebutku dengan embel-embel “Ibu”. Nadanya tidak yakin.
Dalam kebingungan kupersilakan ia duduk. “Jangan panggil ‘Ibu’, Delia
aja,” kataku.
“Saya kira Delia sepantaran sama papa saya.”
“Oh, enggak, saya baru lulus kuliah kok. Kalau… Masnya?”
Namanya juga Roy. Mahasiswa tingkat akhir. Papanya meninggal bulan lalu.
Janjinya untuk bertemu denganku pada tanggal dan alamat yang telah ditentukan
itu diwasiatkan pada anaknya. Anak itu menunjukkan secarik kertas di mana aku
menuliskan alamatku. Padahal baru tiga hari lalu, tapi tampak lecek dan
menguning seolah memang sudah berusia seperempat abad. Lalu dari tasnya, Roy
junior mengeluarkan sebuah bungkusan yang dilapisi kardus. Isinya piring.[]
selesai
ditulis tangan 30-9-13, selesai diketik 17-12-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar