Jumat, 20 Desember 2013

Cerita 10 - Janji Monyet

DULU, dulu sekali rasanya, aku pernah meminta seorang lelaki untuk menikahiku. Aku tidak benar-benar sadar apa yang kukatakan. Aku jelang masuk SD, sedang tetanggaku itu hampir lulus SMA. Mungkin yang kuinginkan waktu itu hanya bersamanya selalu. Hasrat seorang bocah untuk diperhatikan dan diperlakukan lembut oleh seorang dewasa yang dianggapnya menawan. Lama setelah itu—ia sudah memasuki paruh baya, aku ajukan lagi hal yang sama padanya. Kali ini dengan kesadaran tinggi. Lagi-lagi tidak berbalas. Ia terus pergi, dengan membawa tabunganku yang dibilangnya untuk modal bisnis. Berapa kali aku sambangi rumahnya atau tanya ibunya di mana saja kami bersua, dia tidak pernah ada, sampai aku jemu.

            Entah sedihku karena kehilangan calon suami potensial atau hasil jerih payahku semasa jadi kutu loncat di perusahan-perusahaan. Dua-duanya terasa sangat berarti pada masa paceklik berkepanjangan seperti ini. Paceklik asmara dan paceklik karier. Paceklik asmara melandaku sudah sejak lama, bahkan sudah jadi iklim di jiwaku, bukan lagi musim.

            Kalau kamu pernah mendengarkan Billie Holiday atau perempuan lainnya melantunkan “Lover Man”, kamu mungkin bisa sedikit bersimpati padaku. Bukannya aku berlagak snob dengan memilih lagu bernuansa jaz itu alih-alih “Kegagalan Cinta” dari Rhoma Irama sebagai pengiring suasana hatiku. Tidak juga ada hubungannya dengan pandangan politikku untuk pilpres mendatang. Bagaimanapun aku wanita heteroseksual yang mendamba “Lover Man”, bukannya orang yang baru sekali merasa kegagalan cinta—aku sudah mengalaminya berkali-kali. Aku ini magnet bagi lelaki, tapi dari kutub yang sama, sehingga mereka malah mental kalau coba dekat denganku.

            Apa salahku. Bulanpun pemalu dan tidak rupawan. Hanya muncul pada waktu malam, itupun pinjam sinar matahari. Mukanya bopeng, harusnya membuatmu gemas ingin melumurinya dengan krim antiflek. Tapi orang-orang malah memujanya, sampai-sampai ingin menyimpannya dalam puisi. Seorang anak bahkan merengek pada ibunya, “Ambilkan bulan, Bu,” sambil bernyanyi. Toh bagaimanapun upaya mereka melalui lagu dan puisi, tidak ada yang benar-benar dapat mengambilnya maupun menyimpannya. Ia tetap sendiri jauh di sana, memandang riuhnya hidup manusia dalam gelap.

            Menimbang jumlah perempuan yang konon empat kali lebih banyak dari lelaki, dan iklan sabun yang sempat bikin skeptis para pasangan yang hendak menjejalkan lebih banyak anak ke dunia, kupikir sebagian perempuan memang sepatutnya mengambil sikap. Berbagi lelaki atau selibat sekalian, dan tidak memiliki anak.

(Tapi aku masih terbuka untuk mengubah pikiran—kalau-kalau kapan datang lelaki mapan juga rupawan melamarku.)

 

ADA yang lebih membebaskan dari tidak memiliki suami dan anak, yaitu tidak lagi mengalami kehidupan.

            Merenungkan bagaimana kakekku menjalani masa senjanya dalam vertigo, demensia, dan ciri-ciri degeneratif lain, aku harap hidupku tidak sepanjang hidupnya. Aku tidak mau menjadi sepertinya. Tapi sekarang aku malah iri padanya. Berangan menggantikan posisinya, di dasar lahad. Setelah hampir seabad menghirup udara, akhirnya beliau dijemput ke lain alam.

Sebagai tribute, aku sudah menulis satu cerpen dengan beliau sebagai salah satu tokoh di dalamnya. Aku jadikan beliau ilmuwan yang berhasil menciptakan mesin waktu—bukannya penulis buku-buku manajemen sebagaimana kenyataan—sehingga beliau bisa mangkir sebentar dari masa kini yang telah menyia-nyiakannya. Tapi alih-alih mengirimnya ke masa lalu, mesin itu malah mendatangkan pria trendi dari masa itu kemari. Lantas pria trendi itu jadi temanku sedang Kakek mesti memperbaiki mesinnya.

            Tidak serius, Kek. Lain kali aku akan menulis tentangmu dengan sungguh-sungguh, sekalian merenungkan rentang kehidupan yang berujung lubang neraka ini.

            Kematian anggota keluarga sama mengerikan dengan Lebaran. Rasa tidak nyaman karena mesti melihat muka dan mendengar gunjing para kerabat menggeletarkanmu sampai ke sukma. Situasinya mungkin berbeda jika kamu punya karier mapan dan atau suami menawan yang bisa dibanggakan. Sedang yang bisa kutunjukkan hanya sikap defensif, dan sebagai gantinya yang kudapatkan hanya sorot prihatin sanak saudara. Mengalahkan keprihatinan atas kepergian tetua dalam keluarga, malahan. Kalau mereka cukup cerdas, dengan melihat tampangku sekilas saja harusnya mereka sudah bisa mengarang sendiri sekosong apa hidup yang kujalani. Tidak usah tanya lagi. Dengan segala pengalaman yang diperoleh setelah menjalani hidup selama, katakanlah, duapuluhan tahun, orang harusnya paham kalau memperoleh karier dan pasangan tidaklah semudah merogoh upil dari lubang hidung—setidaknya bagi mereka yang tidak beruntung. Bahkan tidak semua orang juga peduli kalaupun tidak memiliki keduanya. Jadi, ketika mereka bercakap-cakap dalam rumah duka seusai pemakaman, aku mencangkung di teras. Tatapanku pada mobil-mobil yang berseliweran di jalanan, sedang pikiranku berencana untuk berjalan pulang ke rumah.

Sayangnya, masih saja ada kerabat yang mengintiliku.

“Jadi bukan karena Gadang ya?” tanyanya.

“Kenapa harus karena Gadang?”

Jelatang kecil itu cengar-cengir.

“Mbak enggak ingat?”

Memoriku dikuaknya.

Aku pernah memiliki cukup banyak momen dengan Gadang. Aku SMA, ia TK. Waktu liburan, aku menginap di rumahnya. Bersama-sama kami menonton film tentang hewan di TV hingga menggambar rupa-rupa kendaraan di kertas buram. Pernah aku membacakan majalah untuknya walau yang ia perhatikan hanya gambar-gambar, juga menyuapinya makanan. Lalu keluarganya pindah ke lain kota. Kami jarang berjumpa lagi. Namun sebelum hubungan kami merenggang, ia pernah mengatakan sesuatu pada orangtuanya, sementara aku berada tidak jauh dari mereka, dengan malu-malu, sembari melirikku.

Mama, aku mau kawinnya sama Mbak Sinta ya.”

Yang kontan disambut mamanya dengan seruan, “He… udah ngerti kawin tho kamu?”

Tentu saja belum.

Bagaimanapun aku tertegun.

Kuberitahu ia, dari sejak ia melontarkan kalimat itu, aku tidak pernah menganggapnya serius. Maksudku, aku selalu membayangkan pernikahan dengan lelaki yang sebaya, atau tidak jauh selisih umurnya. Kecuali dalam kasus dengan tetangga semasa kecilku itu. Dulupun aku malu kalau mengingat celotehku yang spontan itu, hingga kupikir mestinya ia tidak menganggapku serius, sebagaimana aku pada Gadang. Lagipula kami masih ada hubungan saudara.

Ia tampak lega.

Tapi aku sembunyikan saja kalau ia satu-satunya lelaki yang pernah ingin menikah denganku.

“Aku kira Mbak Sinta nunggu aku.” Ia cengengesan.

“Ya enggak.”

“Tapi makasih udah mau nikah sama aku,” kataku lagi.

“Yah…”

“Jadi, kayak gimana cewek kamu?”

Ia menggeleng-geleng dengan gugup. “Enggak…”

Aku geli melihatnya. Tentunya ia pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku, yang sebaya, atau sedikit lebih muda…

Mungkin begitu juga yang dipikirkan lelaki itu saat menolak keinginanku untuk menjadi pengganti istrinya. Aku pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik… Begitulah ia memandangku, sebagaimana aku pada Gadang.

Ya. Mungkin begitu.

“Kok senyum-senyum sendiri, Mbak?”

Kujawab saja dengan gumaman. Entahlah. Kurasa hatiku sedang terbuka dengan harapan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain