DULU, dulu sekali rasanya, aku pernah meminta seorang lelaki untuk
menikahiku. Aku tidak benar-benar sadar apa yang kukatakan. Aku jelang masuk
SD, sedang tetanggaku itu hampir lulus SMA. Mungkin yang kuinginkan waktu itu
hanya bersamanya selalu. Hasrat seorang bocah untuk diperhatikan dan
diperlakukan lembut oleh seorang dewasa yang dianggapnya menawan. Lama setelah
itu—ia sudah memasuki paruh baya, aku ajukan lagi hal yang sama padanya. Kali
ini dengan kesadaran tinggi. Lagi-lagi tidak berbalas. Ia terus pergi, dengan
membawa tabunganku yang dibilangnya untuk modal bisnis. Berapa kali aku
sambangi rumahnya atau tanya ibunya di mana saja kami bersua, dia tidak pernah
ada, sampai aku jemu.
Entah sedihku karena
kehilangan calon suami potensial atau hasil jerih payahku semasa jadi kutu
loncat di perusahan-perusahaan. Dua-duanya terasa sangat berarti pada masa
paceklik berkepanjangan seperti ini. Paceklik asmara dan paceklik karier.
Paceklik asmara melandaku sudah sejak lama, bahkan sudah jadi iklim di jiwaku,
bukan lagi musim.
Kalau kamu pernah
mendengarkan Billie Holiday atau perempuan lainnya melantunkan “Lover Man”,
kamu mungkin bisa sedikit bersimpati padaku. Bukannya aku berlagak snob dengan memilih lagu bernuansa jaz
itu alih-alih “Kegagalan Cinta” dari Rhoma Irama sebagai pengiring suasana
hatiku. Tidak juga ada hubungannya dengan pandangan politikku untuk pilpres
mendatang. Bagaimanapun aku wanita heteroseksual yang mendamba “Lover Man”,
bukannya orang yang baru sekali merasa kegagalan cinta—aku sudah mengalaminya
berkali-kali. Aku ini magnet bagi lelaki, tapi dari kutub yang sama, sehingga
mereka malah mental kalau coba dekat denganku.
Apa salahku. Bulanpun
pemalu dan tidak rupawan. Hanya muncul pada waktu malam, itupun pinjam sinar
matahari. Mukanya bopeng, harusnya membuatmu gemas ingin melumurinya dengan
krim antiflek. Tapi orang-orang malah memujanya, sampai-sampai ingin
menyimpannya dalam puisi. Seorang anak bahkan merengek pada ibunya, “Ambilkan
bulan, Bu,” sambil bernyanyi. Toh bagaimanapun upaya mereka melalui lagu dan
puisi, tidak ada yang benar-benar dapat mengambilnya maupun menyimpannya. Ia
tetap sendiri jauh di sana, memandang riuhnya hidup manusia dalam gelap.
Menimbang jumlah
perempuan yang konon empat kali lebih banyak dari lelaki, dan iklan sabun yang
sempat bikin skeptis para pasangan yang hendak menjejalkan lebih banyak anak ke
dunia, kupikir sebagian perempuan memang sepatutnya mengambil sikap. Berbagi
lelaki atau selibat sekalian, dan tidak memiliki anak.
(Tapi aku masih terbuka untuk mengubah pikiran—kalau-kalau
kapan datang lelaki mapan juga rupawan melamarku.)
ADA yang lebih membebaskan dari tidak memiliki suami dan anak, yaitu tidak
lagi mengalami kehidupan.
Merenungkan bagaimana
kakekku menjalani masa senjanya dalam vertigo, demensia, dan ciri-ciri
degeneratif lain, aku harap hidupku tidak sepanjang hidupnya. Aku tidak mau
menjadi sepertinya. Tapi sekarang aku malah iri padanya. Berangan menggantikan
posisinya, di dasar lahad. Setelah hampir seabad menghirup udara, akhirnya
beliau dijemput ke lain alam.
Sebagai tribute, aku sudah menulis satu cerpen dengan beliau sebagai salah satu tokoh di dalamnya. Aku jadikan beliau ilmuwan yang berhasil menciptakan mesin waktu—bukannya penulis buku-buku manajemen sebagaimana kenyataan—sehingga beliau bisa mangkir sebentar dari masa kini yang telah menyia-nyiakannya. Tapi alih-alih mengirimnya ke masa lalu, mesin itu malah mendatangkan pria trendi dari masa itu kemari. Lantas pria trendi itu jadi temanku sedang Kakek mesti memperbaiki mesinnya.
Tidak serius, Kek. Lain
kali aku akan menulis tentangmu dengan sungguh-sungguh, sekalian merenungkan
rentang kehidupan yang berujung lubang neraka ini.
Kematian anggota keluarga
sama mengerikan dengan Lebaran. Rasa tidak nyaman karena mesti melihat muka dan
mendengar gunjing para kerabat menggeletarkanmu sampai ke sukma. Situasinya
mungkin berbeda jika kamu punya karier mapan dan atau suami menawan yang bisa
dibanggakan. Sedang yang bisa kutunjukkan hanya sikap defensif, dan sebagai
gantinya yang kudapatkan hanya sorot prihatin sanak saudara. Mengalahkan
keprihatinan atas kepergian tetua dalam keluarga, malahan. Kalau mereka cukup
cerdas, dengan melihat tampangku sekilas saja harusnya mereka sudah bisa
mengarang sendiri sekosong apa hidup yang kujalani. Tidak usah tanya lagi.
Dengan segala pengalaman yang diperoleh setelah menjalani hidup selama,
katakanlah, duapuluhan tahun, orang harusnya paham kalau memperoleh karier dan
pasangan tidaklah semudah merogoh upil dari lubang hidung—setidaknya bagi
mereka yang tidak beruntung. Bahkan tidak semua orang juga peduli kalaupun
tidak memiliki keduanya. Jadi, ketika mereka bercakap-cakap dalam rumah duka
seusai pemakaman, aku mencangkung di teras. Tatapanku pada mobil-mobil yang
berseliweran di jalanan, sedang pikiranku berencana untuk berjalan pulang ke
rumah.
Sayangnya, masih saja ada kerabat yang mengintiliku.
“Jadi bukan karena Gadang ya?” tanyanya.
“Kenapa harus karena Gadang?”
Jelatang kecil itu cengar-cengir.
“Mbak enggak ingat?”
Memoriku dikuaknya.
Aku pernah memiliki cukup banyak momen dengan Gadang. Aku
SMA, ia TK. Waktu liburan, aku menginap di rumahnya. Bersama-sama kami menonton
film tentang hewan di TV hingga menggambar rupa-rupa kendaraan di kertas buram.
Pernah aku membacakan majalah untuknya walau yang ia perhatikan hanya
gambar-gambar, juga menyuapinya makanan. Lalu keluarganya pindah ke lain kota.
Kami jarang berjumpa lagi. Namun sebelum hubungan kami merenggang, ia pernah
mengatakan sesuatu pada orangtuanya, sementara aku berada tidak jauh dari
mereka, dengan malu-malu, sembari melirikku.
“Mama, aku mau kawinnya
sama Mbak Sinta ya.”
Yang kontan disambut mamanya dengan seruan, “He… udah ngerti
kawin tho kamu?”
Tentu saja belum.
Bagaimanapun aku tertegun.
Kuberitahu ia, dari sejak ia melontarkan kalimat itu, aku
tidak pernah menganggapnya serius. Maksudku, aku selalu membayangkan pernikahan
dengan lelaki yang sebaya, atau tidak jauh selisih umurnya. Kecuali dalam kasus
dengan tetangga semasa kecilku itu. Dulupun aku malu kalau mengingat celotehku
yang spontan itu, hingga kupikir mestinya ia tidak menganggapku serius, sebagaimana
aku pada Gadang. Lagipula kami masih ada hubungan saudara.
Ia tampak lega.
Tapi aku sembunyikan saja kalau ia satu-satunya lelaki yang pernah ingin menikah denganku.
“Aku kira Mbak Sinta nunggu aku.” Ia cengengesan.
“Ya enggak.”
“Tapi makasih udah mau nikah sama aku,” kataku lagi.
“Yah…”
“Jadi, kayak gimana cewek kamu?”
Ia menggeleng-geleng dengan gugup. “Enggak…”
Aku geli melihatnya. Tentunya ia pantas mendapatkan perempuan
yang lebih baik dariku, yang sebaya, atau sedikit lebih muda…
Mungkin begitu juga yang dipikirkan lelaki itu saat menolak
keinginanku untuk menjadi pengganti istrinya. Aku pantas mendapatkan lelaki
yang lebih baik… Begitulah ia memandangku, sebagaimana aku pada Gadang.
Ya. Mungkin begitu.
“Kok senyum-senyum sendiri, Mbak?”
Kujawab saja dengan gumaman. Entahlah. Kurasa hatiku sedang
terbuka dengan harapan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar