Minggu, 11 September 2022

Sebuah Pengingat

Di buku Cognitive Behavioural Therapy for Dummies (oleh Rob Willson dan Rhena Branch, John Wiley & Sons, Ltd, 2006), ada bab yang berjudul "Spotting Errors in Your Thinking". Satu cara untuk mengetahui adanya kekeliruan dalam berpikir adalah dengan menulis catatan harian kemudian membacanya disertai dengan kesadaran. Tentu sebaiknya terlebih dahulu kita sudah mengetahui tentang tipe-tipe kekeliruan dalam berpikir itu agar dapat mengenalinya. 

Sebenarnya bukannya saya hafal semua tipe kekeliruan berpikir menurut buku CBT for Dummies itu. Jadi saya perlu menengok lagi isi bab "Spotting Errors" tersebut, dan sepertinya kekeliruan yang saya temukan berikut ini termasuk ke tipe "fortune-telling". 

01 Juni '03
Dan kayaknya besok, besok, dan seterusnya nggak akan jadi hari yang baik. Sampai tiba kelas 2, dan keadaannya nggak ada yang berubah. Selalu kayak gitu. Bosen, kan? Seandainya SMP-ku ini lebih nyenengin atau lebih gimanaaa gitu. Firasatku, sih, kayaknya sampai kelas 3 pun, aku nggak bakal punya temen deket di SMP. Menyedihkan banget. Aku mesti bersabar sampai SMA yang keadaannya mungkin nggak jauh beda. Atau sampai perguruan tinggi?

Saya telah tamat membaca semua diary SMP saya dan menemukan bahwa yang saya ramalkan pada kelas 1 itu tidaklah benar. Di kelas 2, keadaan berangsur-angsur berubah. Walau kadang-kadang masih merasa kesepian, pada akhirnya saya bisa memiliki teman(-teman) curhat di samping untuk jalan-jalan. Malah di kelas 3 saya punya sekelompok teman yang bisa dibilang cukup dekat bahkan kami menjalankan suatu hobi kreatif bersama-sama. Terjadi momen-momen nikmat yang masih dapat menghibur saya sekarang ini ketika membacanya. Firasat saya tidak terbukti. Keadaan tidak melulu membosankan lagi menyedihkan, walau tidak mungkin juga untuk selalu menyenangkan. Namanya juga hidup :v

Keadaan di SMA dan perguruan tinggi pun berbeda. Saya tidak lagi sepasif di SMP. 

Nyatanya, sampai sekarang ini, hampir dua dekade setelah saya menulis catatan itu, hidup masih berlangsung dengan sewajarnya: ada hari-hari baik dan ada juga hari-hari buruk. Dari waktu ke waktu, ada saja orang yang bisa dianggap sebagai "teman" untuk diajak/mengajak mengobrol termasuk curhat intens entahkah dengan bertemu langsung atau lewat chatting dan telepon. Saya belajar bahwa teman tidak mesti orang yang itu-itu saja yang bertahan dalam jangka waktu lama, mereka bisa siapa saja yang datang dan pergi kapan saja. 

Keberadaan teman supaya hidup lebih menyenangkan dan tidak senantiasa membosankan lagi menyedihkan itu tentunya tidak lepas dari upaya-upaya dari dalam diri, misalnya dengan:
1. Berinisiatif mengajak orang lain berkenalan terlebih dahulu ketimbang menunggu didekati,
2. Unjuk kemampuan sebagai umpan yang menarik orang untuk mau berinteraksi, 
3. Mengikuti kursus-kursus memungkinkan untuk memperoleh teman untuk keep contact setelahnya, apalagi jika ternyata memiliki kemiripan nasib #eh,
4. Sengaja mencari di aplikasi chatting, misalnya Bottled.

Tentunya dengan mengingat bahwa sesungguhnya tiada daya upaya selain karena Allah :v 

Kalau dari sudut pandang tazkiyatunnafs, sepenggal catatan di atas mungkin merupakan perwujudan dari penyakit "berprasangka buruk kepada Allah" serta "berpanjang angan-angan (buruk)". Timbulnya ramalan buruk itu sepertinya karena situasi hidup saya waktu itu yang agak gonjang-ganjing. Namun bukannya optimistis dengan berdoa kepada Allah meminta teman dekat serta berusaha berperilaku yang manis kepada anak-anak di sekitar (eh, sebetulnya saya tidak ingat bagaimana persisnya saya menanggapi mereka) diiiringi dengan keyakinan bahwa Allah tidak akan membiarkan saya terus nelangsa begitu, saya malah pesimistis dengan membayangkan situasi akan berlangsung permanen tanpa perubahan entahkah dari luar atau dari dalam diri. Kalaupun ada satu sifat positif yang bisa saya temukan, ialah kesadaran untuk bersabar ._.

Yah, bisa dimaklumi yang namanya ABG itu suka bersikap lebay. Entri tersebut mungkin sekadar ekspresi kelebayan saya yang baru saja mengenal dunia, belum banyak mempelajari bagaimana harus menyikapi yang memang memerlukan waktu serta percobaan dan pengalaman. 

Anyway, baru-baru ini, saya membaca suatu komentar di YouTube bahwa menjadi pesimis itu sesungguhnya menguntungkan dari kedua sisi, sebab entahkah pemikiran buruk itu benar (ada kesenangan dalam merasa benar), atau, kalaupun kenyataan yang terjadi sebaliknya (yang datang malah kebaikan), maka itu bakal menjadi kejutan yang tidak kalah menyenangkan. Memang, menyadari bahwa kenyataan yang terjadi tidaklah seburuk yang dibayangkan itu lumayan menyenangkan sih, wkwkwk.

Tentunya, di samping meramalkan yang buruk-buruk, pada waktu itu juga saya banyak mengkhayalkan yang muluk-muluk. Alih-alih merasa anjlok gegara pada enggak kesampaian, itu malah jadi bahan tertawaan saya ketika membacanya sekarang semacam momen gile-lu-ndro! begitulah XD Yah, mungkun pada waktu mengkhayalkannya pun saya sudah sadar bahwa itu enggak bakal kesampaian, dan karena itulah saya hanya bisa mengkhayalkannya untuk sedikit menghibur diri, huhuhu.

Jadi, memang pada akhirnya banyak di antara bayangan-bayangan yang muncul--entahkah buruk ataupun muluk--tetap menjadi sekadar bayangan. Dan, hal apa pun itu bisa dijadikan bahan untuk bersyukur, termasuk tabiat negatif di masa lalu yang menggelikan kalau dimiliki seorang ABG (contoh lainnya seperti dalam serial Diary of A Wimpy Kid dan Lupus ABG) tapi jadi komedi suram kalau masih ada pada seorang "dewasa", wkwkwk. Kalau dipandang secara serius, sepertinya itu tanda bahwa masih ada ABG di dalam jiwa yang memerlukan pembinaan. Hmmmhhh ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain