Penulis : Abdurrahman, SH.
Penerbit : Alumni, Bandung, 1984
Buku ini dari (almarhum) Kakek. Kalau saya enggak salah ingat, beliau memberikannya langsung kepada saya dan sepertinya saya sudah pernah membaca buku ini sebelumnya semasa kuliah di jurusan yang kebetulan saja menyangkut konservasi sumber daya rimba, hehehe.
Menurut kata pengantar, buku ini dimaksudkan sebagai bacaan anak-anak yang bertemakan suatu disiplin ilmu tertentu (tidak dinyatakan secara tersurat bahwa itu adalah "KEHUTANAN"). Selanjutnya penulis memerincikan poin-poin yang hendak diperkenalkannya melalui buku ini, yang mengenai hubungan manusia dengan hutan. Penulis mendasarkannya pada pengamatan terhadap warga di pedalaman Kalimantan.
Walau sudah tidak sepantasnya disebut sebagai "anak-anak", saya tetap merasa buku ini masih relevan banget buat saya karena saya termasuk yang "biasa hidup di kota-kota besar". Malah saya pikir upaya konservasi sumber daya rimba pun tetap bisa dijalankan dari kota besar, tapi ini bisa jadi topik tulisan tersendiri.
Menariknya, penulis bergelar "SH." (Sarjana Hukum), bukan "S.Hut" (Sarjana Kehutanan) (dan jangan-jangan pada masa buku ini ditulis lulusan kehutanan masih diberikan gelar insinyur). Sayangnya, buku ini tidak menampilkan profil penulis.
Dalam buku ini terdapat 7 cerita.
Cerita pertama, "SEBUAH DESA DI TENGAH RIMBA", membuka dengan gambaran sebuah desa yang sangat sederhana, mulai dari keadaan rumah sampai sistem kepercayaan. Belum ada listrik pula. Hidup sangat pas-pasan.
Cerita kedua, "SEKOLAH", mengurai kehidupan sekolah yang mengharukan. Anak-anak Indonesia Mengajar atau mahasiswa KKN wajiblah mengadakan program di desa dalam cerita ini. Begitu juga penganggur berpendidikan di kota-kota besar yang sudah merasa hidupnya tidak lagi berarti #eh. Tapi, sudah hampir 40 tahun berlalu, apakah ada yang keadaannya masih sebagaimana dalam cerita ini? Anak-anak di sekolah yang sedemikian itu mungkin kini sedang sibuk bernostalgia dan menasihati anak-anaknya sendiri dengan, "Dulu jaman ayah/ibu ke sekolah, harus pulang pergi naik perahu mendayung sendiri, tas cuma dikantongi keresek, bertemu buaya ..." literally!!!
Cerita kedua ini menurut saya bagus sekali untuk memahamkan kesenjangan atau tidak meratanya pendidikan. Namun walaupun pendidikan si tokoh utama dan adiknya tampak memprihatinkan, mereka tahu cara untuk survive dalam lingkungan mereka. Bandingkan dengan yang berpendidikan di kota, tidak tahu cara untuk survive selain dengan mengandalkan ijazah untuk melamar kerja yang belum tentu ada atau mau menerima orang tanpa skill nyata. Jadi harus prihatin atau justru kagumkah pada cara hidup si tokoh utama dan keluarganya? Mereka butuh pendidikan mungkin lebih supaya aware, terbuka, melek, terliterasikan, agar lingkungan tempat mereka hidup itu dapat dipertahankan dari gangguan luar (perambahan hutan oleh perusahaan besar, misal, yang memang akan dimunculkan di cerita belakangan).
Cerita ketiga, "BERLADANG", mengangkat konflik antara kearifan lokal versus keyakinan agama, pemikiran kritis dan pengetahuan berupa wawasan versus pengetahuan praktis atau pengalaman. Persisnya, cerita ini mengkritisi teknik perladangan berpindah dengan membakar hutan yang didahului dengan upacara kecil.
Cerita keempat, "MENCARI HASIL HUTAN", memperkenalkan macam-macam Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti rotan, madu, dan tanaman hias (contohnya bunga anggrek). Tersirat pemafhuman bahwa berkebun merupakan solusi dari bertambahnya manusia dan menipisnya hasil hutan.
Cerita kelima, "PERUSAHAAN-PERUSAHAN BESAR DI TENGAH RIMBA", memperbandingkan orang-orang di pabrik pengolahan kayu yang bekerja sangat berat dan teratur sekali, dengan orang-orang setempat yang walaupun pekerjaannya juga berat tapi lebih banyak santainya.
Cerita keenam, "PERUBAHAN DALAM KEHIDUPAN DI DESA", mengangkat konflik rebutan lahan antara warga desa versus perusahaan. Sampai di sini, saya menangkap bahwa sebetulnya baik warga desa maupun perusahaan sama-sama membuat kerusakan di hutan. Namun kerusakan oleh warga desa tidak secepat dan tidak semasif yang dibuat oleh perusahaan. Keduanya pun melakukannya sama-sama untuk "cari makan". Mau bagaimana lagi? Sejak kisah Jody dan Anak Rusa, demikianlah jalan kehidupan: manusia versus alam. Dalam berbuat "kerusakan" yang tidak seberapa saja, warga desa masih hidup memprihatinkan, pas-pasan dan susah berkembang.
Untuk berubah, mungkin memang harus ada yang dikorbankan. Misal, dengan masuknya perusahaan, hutan dibabat besar-besaran tapi interaksi dengan pendatang dari perusahaan justru menjadi cara yang lebih efektif untuk membuka mata warga desa akan adanya cara hidup yang lebih "baik" dan agar mereka me-"maju"-kan diri, dengan konsekuensi-konsekuensinya tersendiri.
Cerita ketujuh, "PENCEMARAN SUNGAI", merupakan penutup yang mengharukan. Untunglah perusahaan (dalam cerita ini ditampilkan) bijaksana dan mau bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkannya.
Demikianlah buku tipis ini (cuma 54 halaman!) merupakan bacaan informatif edukatif yang dikemas sebagai fiksi, dengan tokoh-tokoh rekaan, alur, latar, dan seterusnya, dengan caranya yang sederhana sehingga layak dibaca anak-anak. Bagi yang sudah mampu berpikir panjang lebar, buku ini mengajak untuk merenungkan kepelikan-kepelikan dalam hidup manusia. Terlepas dari tata bahasanya yang masih acak-acakan termasuk banyaknya tipo, I liked this book.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar