Sabtu, 07 Januari 2023

Hama dan Penyakit Tanaman: Kenali dan Atasi

Gambar di-screenshot 
dari Ipusnas.
Penulis : Argohartono Arie Raharjo

Penerbit : PT. Trubus Swadaya, Depok

Cetakan : Pertama, Juni 2017

Ukuran : viii + 320 halaman, 25 cm

ISBN : 978-602-9407-33-4, (E) 978-602-9407-63-1


Menurut kata pengantar dalam buku ini, Indonesia memang surganya hama dan penyakit tanaman. Petani mengalokasikan 70% pengeluaran untuk pestisida, penyemprotannya selang sehari atau gagal panen. Musim kemarau banyak hama, musim hujan banyak penyakit. Hama terdiri dari pemakan daun, penggerek, pengisap, pengorok daun, pembentuk puru daun, penggulung dan pelipat daun, thrips dan tungau, serta lalat buah tephritidae. Penyakit terdiri dari protozoa, chromista/stratmenopiles, cendawan, bakteri, virus, alga, dan nematoda. 

Buku ini memperkenalkan aneka hama dan penyakit tanaman itu pertama-tama melalui gejalanya. Banyak gejala yang tampak serupa, padahal jenis penyebabnya berbeda-beda. Setelah memperlihatkan beragam gejala kerusakan pada tanaman, bagian selanjutnya dalam buku ini yaitu mengenal lebih jauh tentang organisme-organisme penyebabnya, mulai dari nama, asal mulanya, siklus hidupnya, sampai pengendaliannya, yang meliputi cara-cara mekanis, kimiawi, dan budidaya. Mekanis, secara kasar, bisa diartikan sebagai bunuh, buang, musnahkan langsung. Kimiawi menggunakan zat-zat pabrikan yang mesti dibeli. Budidaya kurang lebih berarti perlakuan pada tanah, misalnya dengan membalikkannya supaya kena matahari sehingga organisme-organisme pengganggu yang bernaung di dalamnya pada mati. Kehadiran mereka dipengaruhi faktor-faktor berupa: kondisi lingkungan, kesehatan tanaman, populasi, serta pengaruh manusia. 

Membaca buku ini terasa seperti suatu terapi bagi saya agar berani menghadapi hewan semacam ulat dan sebagainya dari dekat. Soalnya buku ini dilengkapi dengan gambar bermacam-macam ulat yang walaupun cuma 2D tapi gede dan full color, bo! Horrifyingly educative, lol. Saya sudah mengantisipasi gambar hewan menggeuleuhkan lain seperti bekicot, keong, dan siput, besar-besar dari dekat, tapi herannya, tidak ada.

Tak sekadar menakutkan, tapi juga sesungguhnya menarik mengetahui wujud hewan-hewan itu secara saksama. Kutu putih pseudococcidae, misalnya, sebetulnya jamak ditemukan pada tanaman, tapi ketika diperbesar saya baru ngeh kelihatannya kayak cireng yang belum digoreng (laper, bu?). Ulat penggulung daun pisang juga bentuknya literally kayak pisang dong! Dan, ternyata, apel juga bisa kudisan lo!!! (halaman 94).

Ada pula di antara beberapa organisme ini yang perilakunya tampak menarik. Contohnya kutu bor Asterolecaniidae (halaman 159), berikut saya kutipkan beberapa fakta hidupnya:

Serangga yang tergolong kutu sisik ini terkenal malas bergerak. Ia "mengurung" diri dalam kerak tembus pandang atau sisik yang datar. .... Kutu itu hanya bergerak untuk kawin, di luar itu hanya diam di tempat. Jantan dewasa memang bisa terbang tapi tidak bisa makan, sehingga hidupnya tidak lama. Jika tidak segera menemukan pasangan, ia akan mati sebelum menghasilkan keturunan. .... Betina tidak bersayap; hanya diam menunggu datangnya pejantan.

Astaga, betapa nolep dan menyedihkannya suratan hidup yang digariskan pada spesies ini. Dah lah.

Aphid betina adalah spesies yang independent woman, karena mampu menghasilkan keturunan tanpa kehadiran pejantan dan umumnya dapat menarik semut untuk melindunginya karena cairan manis (halaman 160). You go, girl! Predator alaminya yaitu kepik ladybug dan belalang sembah, yah, mungkin mereka itu semacam emak-emak tradisional dan pemuka agama bagi para feminis liberal ini #eh. Selain aphid betina, ada kutu persik betina (perusak daun Muzus persicae/aphis tembakau) yang mampu menghasilkan keturunan tanpa pejantan. Mereka mungkin dapat berteman baik dengan tungau perusak Acarina (halaman 187) yang mana telurnya "yang tak dibuahi menjadi pejantan haploid yang tetap bekemampuan menghasilkan generasi biseksual" :v 

Membaca buku ini seperti belajar Biologi lagi, membuat takjub dan mengapresiasi jerih payah para peneliti sehigga bisa terhimpun pengetahuan mengenai banyaknya spesies pengganggu tanaman. Mengetahui jumlah mereka yang demikian banyaknya pun memahamkan bahwa bercocok tanam itu sesungguhnya rumit, apalagi kalau skala besar. Sebagian media cenderung memperlihatkan hasil yang bagus-bagus saja untuk memotivasi orang berkebun dengan mengoptimalkan sumber-sumber daya yang tersedia, di sisi lain ada juga berita-berita mengenai derita petani yang gagal panen dan sebagainya. Memang tiap-tiap kerusakan yang dibuat hama penyakit itu ada pengendaliannya, tapi orang mesti tekun melakukannya atau mengalami kerugian. Bahkan virus penyebab penyakit ada yang tidak bisa dihilangkan, tapi menetap tersembunyi dalam tanah menanti inang untuk dijangkiti.

Kalau boleh saya kaitkan dengan penyucian jiwa, mengibaratkan tanaman sebagai manusia sedang hama penyakit berupa pikiran toxic, hasrat buruk, emosi negatif, dan sifat jahat lainnya, maka hal-hal tersebut ada juga pengendaliannya mau dengan cara agamis atau sekuler sebagaimana ada cara mekanis, kimiawi, dan budidaya. Kalau dalam buku mengenai cognitive behavioural therapy, istilahnya adalah psychological gardening. Namun manusia itu sendiri sebagai yang dijangkiti sekaligus yang harus menjadi avatar pengendali kudu awas sewaktu-waktu, aktif menerapkan berbagai cara yang ada itu. Jangan sampai lalai. Berkebun luar dalam.Yah, berkebun hanya satu dari beberapa aktivitas lain yang bisa menjadi refleksi dalam mengelola kehidupan batin. Dengan menjahit, misalnya, belajar pula menambal lubang-lubang di hati, membuatnya tetap fungsional bahkan lebih menarik seperti patchwork, eaaa ....

Juga, gambar hama penyakit yang berupa bercak-bercak atau bintil-bintil kadang mengingatkan pada karya manusia yang suka menghias-hias, misalkan membuat motif atau pola pada suatu bidang, menempel-nempelkan stiker kecil di permukaan apa, dan seterusnya. Gejala atau kerusakan yang ditimbulkan hama penyakit ini pun tampak sebagai suatu karya seni, contoh jelasnya mungkin dapat berupa ulat dengan bulu warna-warni yang mentereng atau motif "batik" pada permukaan daun, padahal itu sebetulnya mengganggu produktivitas tanaman. Demikian karya seni buatan manusia ada yang lahir dari jiwa rusak dan terganggu. Atau, orang lebih memilih untuk menekuni seni ketimbang menghasilkan buah cipta lain yang manfaatnya lebih jelas. Eh, entah apa memang boleh dimaknai demikian atau asal main kait saja ini :v Namun itulah alam. Mungkin kita tidak bisa membasminya sampai habis sama sekali, hanya bisa mengendalikannya agar tidak melampaui ambang batas. Biarkanlah ada sedikit ruang untuk "seni", tapi utamakan produktivitas yang jelas-jelas bermanfaat.

Dipikir lagi, memang tidak bisa secara membabi buta mengaitkan pengendalian hama penyakit tanaman dengan kelola batin. Penyakit hati seperti sombong, misalnya, mesti diberantas habis sebab setitik saja jadi penghalang ke surga. Barulah yang seperti iri, masih diperbolehkan dengan memperhatikan "ambang batas" yaitu hanya iri kepada orang-orang tertentu sebagai motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Saya membaca buku ini di Ipusnas, tidak ada TOC per bagian. Rasanya lebih enak dan nyaman jika memiliki versi fisik buku ini supaya mudah membukai halamannya langsung ke indeks mencari sesuai keperluan. Namun sepertinya buku ini baru betul-betul berguna bagi yang giat, tekun, dan serius berkebun aneka macam tanaman apalagi kalau berskala besar. Karena saya berkebun masih skala kecil-kecilan (lebih tepatnya lagi, mini-minian), maka saya hanya mencatat petunjuk-petunjuk praktis serta gangguan-gangguan yang relevan atau telah saya temukan dalam pengalaman saya yang masih sangat terbatas, yang kiranya masih dapat ditangani dengan cara-cara sederhana berupa perangkap kuning serta pestisida nabati buatan sendiri dari bahan-bahan yang mudah ditemukan (: bawang putih, cabai, jahe, daun dan buah muda pepaya, merica, daun tomat). Namun buku ini masih memberi saya "PR" untuk mencari sendiri cara-cara membuatnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain