Sabtu, 20 Juli 2013

(2)

TIARACITRA

hAy, gy nGOpo?

Cepat-cepat aku menghapus sms tersebut. Kenapa nasib sial selalu merundungiku… Kemarin malam aku beli pulsa di konter terdekat rumah Nenek. Tahu-tahu aku lihat si mas-mas enggak jelas dan ternyata 4L4Y itu sepertinya berjalan ke arahku dengan seorang temannya. Setelah mendapatkan uang kembali, buru-buru aku minggat. Sepertinya si mas-mas itu lihat aku lari dari konter, terus dia mampir dan mengecek nomor ponselku, heu… siapa lagi coba? Jijik!

Hayat berdiri. Seketika aku menegakkan tubuh, yang semula terbenam dalam sofa nyaman di muka pintu ruangan Pak Bambang. Tadinya aku mau berkonsultasi soal materi TA pada dosen pembimbingku itu, tapi begitu melihat Hayat sudah menduluiku, benar-benar tidak kusangka, aku urung. Begitu cowok itu keluar dari ruangan, melewatiku, segera kuikuti dia, setelah sebelumnya tersenyum disertai anggukan pada Pak Bambang.

“Lu jadi ngambil TA sama Pak Bambang, Yat?” tanyaku sembari berusaha mengiringi langkah-langkahnya. Dia malah menjawabku dengan pertanyaan soal prosedur seminar dan sebagainya. Aku ingin bersorak saking bahagia. “Jadi lu belum pernah sampai seminar sebelumnya, Yat?”

“Makanya kalau cari topik TA tuh jangan susah-susah!” seru Hayat entah pada siapa.

TIARACITRA

Saat ospek jurusan, sekitar tiga abad lalulah, aku tahu kalau bukan aku sendiri yang beranggapan kalau Hayat adalah cowok-paling-layak keceng di jurusan, di fakultas malah, yang satu angkatan. Bagaimanapun jumlah cowok di fakultas kami cukup banyak. Tiga dari empat mahasiswa adalah… mahasiswa, yang satu lagi mahasiswi. Populasi yang kecil membuat ikatan di antara para cewek, terutama yang satu jurusan dan satu angkatan, cukup kuat. Dan bersama-sama kami menundukkan kepala dan mendesah kecewa, ketika pada momen itu juga seseorang di antara kami mengungkapkan kalau Hayat sudah punya pacar. Beda jurusan sih, tapi satu fakultas. Dan pertemuan Hayat dengan pacarnya itu sama sekali bukan pemandangan yang enak, padahal frekuensinya sering sekali. Di area kampus. Jangan tanya bagaimana intensitasnya. Hayat terlalu tampan, dan Ayudh terlalu cantik. Cowok-cowok lainnya di fakultas terlalu dekil, cewek-cewek lainnya pun terlalu sinis. Melihat pasangan tersebut menggenggam tangan satu sama lain dan berputar-putar di area berumput manapun di area kampus (tidak secara harfiah sih soalnya sanksinya 0 SKS) membuat kami mempertanyakan eksistensi kami di dunia. Tiga tahun berlalu. Ayudh diwisuda bersamaan dengan mayoritas cewek di jurusanku, teman-teman dekatku. Lingkar pergosipan di jurusan pun meredup, tapi masih menyisakan kabar kalau “pendamping-wisuda” Ayudh bukan Hayat. Dengar-dengar dari sebelum wisuda Ayudh sudah tunangan sama dosen muda di jurusannya. Itu saja yang aku tahu.

Kasihan Hayat. Tapi aku tidak bisa berhenti senyum melihat rambutnya yang setengah berdiri setengah tidur. Sepertinya berkat kuasa Pak Bambang selaku ketua jurusan (ditambah jatah studi kami yang sudah mepet), judul yang kami ajukan bisa tembus dengan lancar. Punyaku direvisi sedikit sih. Punya Hayat ganti tujuan, satu. Sekarang kami sudah bisa nongkrong di perpustakaan, mencari bahan untuk tahap selanjutnya.

Harusnya sih begitu.

Aku repot bolak-balik mengantarkan tamu ke meja yang tepat di Wedding Dash. Game jadul tapi aku selalu suka.

Tahu deh Hayat. Sesekali aku mengintipnya, melewati sisi atas layar laptopku. Ia duduk membelakangi dinding. Lengannya terlipat. Telinganya tertutup headphone. Senyumnya terulas sedikit-sedikit. Jelas-jelas bukan mengerjakan yang seharusnya kan?

Pada jam istirahat kami keluar dari perpustakaan. Ke mana lagi tujuan kami selanjutnya kalau bukan ke Kantin Barat Daya, kantin terdekat?

“Yat, emang dulu topik TA lo tentang apa sih?” akhirnya sampai juga kesempatan untuk mengobati mulutku yang sedari tadi gatal.

“Tauk, gue juga lupa.”

Dari caranya melahap bakmi, ia seolah ingin memberitahuku kalau mulutnya terlalu sibuk untuk menjawab—kalau-kalau aku ingin mengajukan pertanyaan selanjutnya.

Aku memotong-memotong pancake dengan semangat yang memudar. Ponselku berbunyi.

mæm nenG…

Argh.

[]

Setiap ia kehabisan uang, orangtuanya meneleponnya dan menyuruhnya untuk mengecek rekening. Padahal ia tidak bilang. Maka ia mengayun langkah ke ATM terdekat. Saldonya kembali tujuh digit, lumayan. Ia menransfer sebagian ke rekening pemilik kos, lalu mengambil tunai sebesar enam digit. Ia yang mengenakan jaket rajutan panjang, kaos kumal, celana pendek, dan sandal jepit, melanjutkan langkah untuk menyetop angkot, menuju mal pertama di kota itu. Ia kembali ke kos dengan membawa setumpuk buku dari Periplus. Sebagian buku ia sisihkan untuk digunakan sebagai alas kepala. Akhir-akhir ini ia lebih suka tidur di karpet, alih-alih di kasur. Ia pikir itu akan mencegahnya dari masturbasi. Ia matikan lampu. Ia menggulung diri dengan selimut. 

Ternyata tumpukan buku yang masih diplastik tidak enak untuk ganjal kepala. Ia ganti dengan sebuah buku tebal berukuran lebar yang sudah kumal. Ia memejamkan mata.

Ponselnya bergetar.

Pernah muncul pikiran untuk menyembunyikan ponsel di suatu tempat yang bisa meredam getaran, selama ia tidur. Bisa saja ia matikan. Tapi ia lebih suka melempar ponselnya jauh-jauh sekalian. Tapi yang sering terjadi ia menaruh ponselnya hanya sejangkauan lengan.

“Halo.”

Suara riang mamanya menyambut dari ujung sana. Hayat mengangkat sedikit kepalanya. Cahaya putih mengintip dari celah gorden. Hari ini tidak akan dibuka dengan matahari, tentu saja. Ia rebahkan lagi kepalanya pada buku. Mamanya menanyakan soal uang (“udah sampe, Ma.”), TA (“udah sampe proposal [ya ampun kemarin malem kan udah nanya!]”), adik-kecilmu ingin menyapa, “Alo, Kak Rahayy…” ([“hm, anak siapa itu, Ma?”]), dan hari ini mereka sekeluarga akan keluar kota untuk menjenguk Hayat ([“enggak usahlah…”]).

Telepon dari Mama melenyapkan kantuknya. Bagaimanapun ia sudah menghabiskan sepuluh jam untuk tidur. Ketika mengangkat pipi dari buku, ia menyadari genangan air liurnya menggenangi sampul bahkan merembes hingga beberapa halaman depan.

Dulu, bertahun-tahun lalu, ia pernah menjadi kakak yang baik. Hari itu pun ia dapat menjalankan perannya dengan baik. Sebelum Terios itu kembali ke metropolitan, Mama berpesan, “Sekarang fokus aja sama TA kamu dulu. Enggak usah mikirin masalah lain-lain. Mama masih bisa biayain kamu sampai S3 sekalian.” Dadah. Hingga ia menyadari bahwa ia berada di luar lingkaran itu, lingkaran-lingkaran keluarga baru. Sejak kakaknya bersuami. Mama dengan suami dan anak-anaknya yang baru. Ayah dengan gundiknya yang baru.

Keesokan pagi (yang sudah hampir siang) ia bersisian jalan dengan Tiaracitra, setelah melalui gerbang belakang yang langsung mempertemukan mereka dengan sebuah kotak raksasa yang merupakan gedung perpustakaan di kampus mereka. “Isiin dong,” ucap Hayat ketika Tiaracitra mengisi daftar pengunjung. Tiaracitra menulis, “Rahay Samash.” Hayat mencabut pulpen dari tangan Tiaracitra, mencoret tulisan tersebut, lalu menggantinya dengan, “Rahayy Shamash.”

Mereka duduk berhadapan di meja yang biasa. Hari ini Hayat akan menonton film De Avonden, sedang entah Tiaracitra akan memainkan game apa. Sembari menunggu laptop siap, “Kenapa lu baru TA sekarang, Cit?”

Pundak cewek itu menyempit. Jawabnya, “Gue banyak ngulang.”

“Enggak ngulang sambil TA?” Hayat mulai membuka-buka folder.

“Ngulangnya banyak.”

Padahal tipe cewek seperti itu tampaknya rajin dan pintar. Penampilan memang bisa menipu. Dua orang cewek melintas di samping meja mereka, menyapa Tiaracitra, “Kak Acit…” Cewek itu tersenyum. Hayat tersenyum, seraya menggumam. “Acit. Anjrit. Deket ya. Hehe.” Cewek itu cemberut.

“Kata Pak Bambang kalau mau kita udah bisa mulai ngambil data, biar cepet.”

“Hm.”

Opening film menampilkan pahatan bergambar seorang wanita yang tengah menyusui seorang bayi, seorang manusia yang lebih kecil.

Pertengahan film, Tiaracitra beringsut mendekati Hayat, “nonton apa sih?”, berdiri di belakang punggungnya, tepat di adegan Frits van Egters menarik benang wol merah yang menyusun pakaian seorang wanita, lalu seorang pria lain memasuki ruangan tersebut, tersenyum. Tiaracitra menutup mulutnya.

“Erotika dengan bokep itu berbeda,” jelas Hayat saat jam istirahat, seperti biasa di Kantin Barat Daya. Cewek itu tetap mendumel. “Lagian di film itu mah adegan nude-nya cuman bentar, enggak bakal bikin lo horny,” apalagi kalo lo udah biasa nonton yang gituan… Tiaracitra tidak tahu Hayat bandar bokep di jurusan. Tangan Tiaracitra meraup botol sambal di samping piring nasi goreng Hayat, lalu menyemprotkan banyak-banyak di samping potongan baso-tahu di piringnya. Teramati oleh Hayat, betapa cokelat lengan itu, betapa lebat rambut yang tumbuh di sana.

TIARACITRA      

Akhir-akhir ini kota ini dingin. Di depan rumah pohon-pohon bergemerisik dengan berisik, seakan memberitakan kalau angin sedang kencang-kencangnya. Aku agak ketakutan. Untung aku selalu mendapat malam yang nyaman, meringkuk dalam balutan selimut tebal. Setelah mendapat hari yang menyebalkan, dan karena itulah melelahkan.

Hayat. Walau hampir setiap hari kami bertemu di perpustakaan dengan niat untuk mengerjakan TA bersama-sama, tapi hasilnya tidak pernah ada. Seolah TA tidak penting buatnya. Hawanya yang busuk menulariku! Pernah ia kelihatannya mengetik sesuatu, yang sepertinya lebih dari sekadar status di Facebook atau tweet. Aku kira proposal. Setelah beberapa lama, aku tanya apa aku boleh lihat punyanya. Aku ingin mencontoh (atau mencontek, sama sajalah!). Dia terlihat agak kaget, terus bilang, “Punya gue belum jadi.”

Dan dia tidak bertanya balik. Walau paling-paling jawabanku sama sih.

Untungnya aku tidak ketemu si mas-mas 4LAY, kalau tidak, aku bisa makin stres. Ogah banget aku dekat-dekat orang seperti itu.

Memikirkan orang-orang itu aku jadi muram. Memikirkan diri sendiri, oh, cepat-cepat aku mengenyahkan bayangan suram. Rasanya aku butuh melampiaskan ini. Aku bangkit. Terpikir untuk mulai mengetik satu-dua kata untuk proposal. Bukan aktivitas yang bagus untuk mengisi malam. Akupun mengambil pulpen, menggambar tato geometris di betis, dan menyadari betapa sesungguhnya aku memang berbakat seni.

HAYAT

Tentu saja aku bisa begini karena tersedia kos yang nyaman, dan orangtua yang berkecukupan.

Ketika melihat para gelandangan, penghuni-gerobak, peminta-minta, sampai anjal-korengan, aku bertanya-tanya kenapa mereka tidak bunuh diri saja, bukankah hidup tidak mudah, apa yang mereka pikirkan tentang kematian…

…bagaimana rasanya menjadi mereka, apa akupun akan bunuh diri jika berada dalam posisi mereka.

Terasa ironis karena aku memandangi mereka dari balik kaca McD, dan sama sekali tidak ada keinginan untuk membelikan mereka seember ayam.

Mati sajalah kalian.

Aku berpaling ke TV di pojok atas seberang ruangan. Cuman iklan. Menenggak McCoffee sedikit-sedikit. Kembali ke talkshow. Beralih ke kaca.

Kadang aku pikir mereka sebenarnya tidak ada. Mereka jelmaan malaikat, yang menguji kemurah-hatian manusia lainnya.

HAYAT

Petang masih mendung seperti pagi tadi. Aku belum makan apa-apa lagi sejak pagi tadi. Aku tidak jadi menambah makan di warung Top Gear. Sarapan di McD sama sekali tidak mengenyangkan.

Seharian aku mencangkung di dekat jendela, meja belajarku dekat jendela. Aku membaca buku tentang seorang muslim skeptis, sebagaimana akupun merasa muslim skeptis. Terasa berat untuk otakku atau aku yang makin bodoh. Agama selalu membingungkanku.

Aku berbaring di kasur. Aku berencana untuk mendekatkan jendela dengan kasur. Jadi aku bisa mengamati mendung dari dekat, menghirup udara segar dari dekat. Aku benar-benar tertidur.

Aku bermimpi sedang bersama Tiaracitra. Di sebuah rumah di pinggir jalan ramai. Aku tidak ingat persis kami sedang apa, mungkin hanya duduk-duduk di salah satu ruangan di rumahnya. Begitu sepi, lalu seperti dipahamkan padaku kalau keluarganya sedang bertamasya ke Karimun Jawa. Dia ditinggalkan karena TA. Orangtuanya menyimpan mobil di dalam rumah, ia menunjukkan di ruangan ini dan ruangan itu. Aku terkesima bagaimana mungkin mobil bisa berada dalam posisi seperti itu di ruangan seperti ini, lewat pintu sebelah mana. Aku merokok begitu jorok, mencecerkan abu ke mana-mana, meninggalkan puntung di mana-mana. Tiaracitra meminta sebatang. Sempat aku tidak yakin cewek seperti dia akan merokok? Tapi dia juga mengambil lighter-ku. Dia mengambil mangkok kecil yang permukaannya tersaput abu. Aroma rokok samar-samar. Aku mengikutinya hingga ke sebuah ruangan di lantai dua. Ruangan persegi dengan dua jendela di pojok, menampilkan keramaian balap motor di bawah. Di bawah jendela-jendela itu, di sebelah dalam, ada tempat tidur. Tiaracitra merebahkan diri lalu mulai menyulut rokok, mengembuskan asap sambil terbatuk-batuk. Aku tersenyum. Dia mengisap lagi, kali ini lebih terampil. Tanganku terjulur mengangkat terusannya ke atas, sehingga sepasang lengannya ikut terjulur ke atas. Ujung jemarinya yang mengepit puntung mencapai jendela yang terbuka, menjatuhkan silinder itu. Terusan itu telah lolos dari tubuh Tiaracitra. Aku melucuti celana dalamnya, merengkuh tubuhnya yang hangat. Udara dingin yang melalui jendela turut merangkul kami. …euh… euh… ah… Tahu-tahu ia yang di atasku. Tidak tahu sejak kapan aku tanpa pakaian. Ia mulai menggenjot. “Citra… Citra…” aku terengah-engah, seakan aku belum siap menghadapi ini. Aku terbangun seiring dengan gumpalan basah di celanaku.

Aku agak kaget. Kelamnya sore telah sampai ke seantero kamar. Aku merapatkan selimut, merapat ke dinding, menepis sentuhan dingin. Ternyata tadi cuman mimpi, selalu seperti itu setiap kali aku habis bermimpi. Tapi aku seperti masih merasakan hawanya, hawa di mana sebelumnya kesadaranku berada. Seolah aku direnggut dengan paksa.  

HAYAT      

Desperately seeking paradise. Kata-kata itu terbenam di benak. Untuk malam ini aku hanya punya Oasis, aku hanya suka tiga: “Champagne Supernova”, “The Hindu Times”, dan “Wonderwall”. Kusetel berurutan dalam volume tertinggi. Kembali aku mencangkung di kursi, menggenjreng gitar sesuka hati. Sama sekali tidak hapal kunci. Sikuku menggeser-geser lipatan koran di meja, yang kubeli pagi tadi sepulang dari McD. Koran regional. Gelegar vokal Noel Gallagher. Aku telusuri lagi kolom-kolom di mana aku mencari frasa “part-time” dengan stabilo kuning di tangan pagi tadi. Aku berhenti begitu teringat kata ibuku. “… Mama masih bisa biayain kamu sampai S3 sekalian.” Laki-laki mana yang bernaung di ketek ibunya sampai S3. Genjrengan menguat di “The Hindu Times”. Menggoyang-goyang kepala. And I get so high, I just can’t feel it. Koor di latar. Menerbangkan ke angkasa. In and out my brain, running through my vein. You’re my sunshine, you’re my rainrain… rain... rain… Masa patah-hati sudah berlalu, sudah lebih dari setahun berlalu. Kehidupan tidak akan berubah. Kehidupan akan tetap sama kacaunya, sampai kapan berkubang dalam frustasi. Nothing’s gonna change my world, aku malah melagukan “Across the Universe” dari The Beatles di tengah “Wonderwall”.

Obat jiwa untuk malam ini ada pada kompilasi hit tahun 2000-an, aku mengganti CD. Dilanjutkan dengan mengeksplorasi Youtube, dan, mungkin, merangkai alur, membuka masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain