TIARACITRA
hAy, gy nGOpo?
Cepat-cepat aku menghapus sms tersebut. Kenapa nasib sial selalu merundungiku… Kemarin malam aku beli pulsa
di konter terdekat rumah Nenek. Tahu-tahu aku lihat si mas-mas enggak jelas
dan ternyata 4L4Y itu sepertinya berjalan ke arahku dengan seorang temannya.
Setelah mendapatkan uang kembali, buru-buru aku minggat. Sepertinya si mas-mas itu lihat aku lari dari
konter, terus dia mampir dan mengecek nomor ponselku, heu… siapa lagi coba?
Jijik!
Hayat berdiri. Seketika aku menegakkan tubuh, yang
semula terbenam dalam sofa nyaman di muka pintu ruangan Pak Bambang. Tadinya aku mau berkonsultasi soal materi TA
pada dosen pembimbingku itu, tapi begitu melihat Hayat sudah menduluiku,
benar-benar tidak kusangka, aku urung. Begitu cowok itu keluar dari ruangan,
melewatiku, segera kuikuti dia, setelah sebelumnya tersenyum disertai anggukan pada Pak Bambang.
“Lu jadi ngambil TA sama Pak Bambang, Yat?” tanyaku
sembari berusaha mengiringi langkah-langkahnya. Dia malah menjawabku dengan
pertanyaan soal prosedur seminar dan sebagainya. Aku ingin bersorak saking
bahagia.
“Jadi lu belum pernah sampai seminar sebelumnya, Yat?”
“Makanya kalau cari topik TA tuh jangan susah-susah!”
seru Hayat entah pada siapa.
TIARACITRA
Saat ospek jurusan, sekitar tiga abad lalulah, aku
tahu kalau bukan aku sendiri yang beranggapan kalau Hayat adalah cowok-paling-layak keceng di
jurusan, di fakultas malah, yang satu angkatan. Bagaimanapun jumlah cowok di
fakultas kami cukup banyak. Tiga dari empat mahasiswa adalah… mahasiswa, yang
satu lagi mahasiswi. Populasi yang kecil membuat ikatan di antara para cewek, terutama yang satu
jurusan dan satu angkatan, cukup kuat. Dan bersama-sama kami menundukkan
kepala dan mendesah kecewa, ketika pada momen itu juga
seseorang di antara kami mengungkapkan kalau Hayat sudah punya pacar. Beda jurusan sih, tapi satu fakultas. Dan pertemuan Hayat
dengan pacarnya itu sama sekali bukan pemandangan yang enak, padahal
frekuensinya sering sekali. Di area kampus. Jangan tanya bagaimana intensitasnya.
Hayat terlalu tampan, dan Ayudh terlalu cantik. Cowok-cowok lainnya di fakultas terlalu dekil,
cewek-cewek lainnya pun terlalu sinis. Melihat pasangan tersebut menggenggam
tangan satu sama lain dan berputar-putar di area berumput manapun di area
kampus (tidak secara harfiah sih soalnya sanksinya 0 SKS) membuat kami mempertanyakan eksistensi kami di dunia.
Tiga tahun berlalu. Ayudh diwisuda bersamaan dengan mayoritas cewek di
jurusanku, teman-teman dekatku. Lingkar pergosipan di jurusan pun meredup,
tapi masih menyisakan kabar kalau “pendamping-wisuda” Ayudh bukan Hayat. Dengar-dengar dari sebelum wisuda Ayudh sudah
tunangan sama dosen muda di jurusannya. Itu saja yang aku tahu.
Kasihan Hayat. Tapi aku tidak bisa berhenti senyum
melihat rambutnya yang setengah berdiri setengah tidur. Sepertinya berkat kuasa Pak Bambang selaku ketua jurusan (ditambah
jatah studi kami yang sudah mepet), judul yang kami ajukan bisa tembus dengan
lancar. Punyaku direvisi sedikit sih. Punya Hayat ganti tujuan, satu. Sekarang
kami sudah bisa nongkrong di perpustakaan, mencari bahan untuk tahap
selanjutnya.
Harusnya sih begitu.
Aku repot bolak-balik mengantarkan tamu ke meja yang
tepat di Wedding
Dash. Game
jadul tapi aku selalu suka.
Tahu deh Hayat. Sesekali aku mengintipnya, melewati
sisi atas layar laptopku.
Ia duduk membelakangi dinding. Lengannya terlipat. Telinganya tertutup headphone.
Senyumnya terulas sedikit-sedikit. Jelas-jelas bukan mengerjakan yang
seharusnya kan?
Pada jam
istirahat kami keluar
dari perpustakaan. Ke mana lagi tujuan kami selanjutnya kalau bukan ke Kantin Barat Daya, kantin
terdekat?
“Yat, emang dulu topik TA lo tentang apa sih?”
akhirnya sampai juga kesempatan untuk mengobati mulutku yang sedari tadi
gatal.
“Tauk, gue juga lupa.”
Dari caranya melahap bakmi, ia seolah ingin memberitahuku kalau mulutnya terlalu
sibuk untuk menjawab—kalau-kalau aku ingin mengajukan pertanyaan selanjutnya.
Aku memotong-memotong pancake
dengan semangat yang memudar. Ponselku berbunyi.
mæm nenG…
Argh.
[]
Setiap ia kehabisan uang, orangtuanya meneleponnya dan menyuruhnya
untuk mengecek rekening. Padahal ia tidak bilang. Maka ia mengayun langkah ke
ATM terdekat. Saldonya kembali tujuh digit, lumayan. Ia menransfer sebagian ke
rekening pemilik kos, lalu mengambil tunai sebesar enam digit. Ia yang mengenakan jaket rajutan
panjang, kaos kumal, celana pendek, dan sandal jepit, melanjutkan langkah
untuk menyetop angkot, menuju mal pertama di kota itu. Ia kembali ke kos
dengan membawa setumpuk buku dari Periplus. Sebagian buku ia sisihkan untuk digunakan sebagai alas kepala.
Akhir-akhir ini ia lebih suka tidur di karpet, alih-alih di kasur. Ia pikir
itu akan mencegahnya dari masturbasi. Ia matikan lampu. Ia menggulung diri
dengan selimut.
Ternyata tumpukan buku yang masih diplastik
tidak enak untuk ganjal
kepala. Ia ganti dengan sebuah buku tebal berukuran lebar yang sudah kumal. Ia
memejamkan mata.
Ponselnya bergetar.
Pernah muncul pikiran untuk menyembunyikan ponsel di
suatu tempat yang bisa meredam getaran, selama ia tidur. Bisa saja ia matikan. Tapi ia lebih suka
melempar ponselnya jauh-jauh sekalian. Tapi yang sering terjadi ia menaruh
ponselnya hanya sejangkauan lengan.
“Halo.”
Suara riang mamanya menyambut dari ujung sana. Hayat
mengangkat sedikit kepalanya. Cahaya putih mengintip dari celah gorden. Hari ini
tidak akan dibuka dengan matahari, tentu saja. Ia rebahkan lagi kepalanya pada
buku. Mamanya menanyakan soal uang (“udah sampe, Ma.”), TA (“udah sampe
proposal [ya ampun kemarin malem kan udah nanya!]”), adik-kecilmu ingin menyapa, “Alo, Kak Rahayy…” ([“hm,
anak siapa itu, Ma?”]), dan hari ini mereka sekeluarga akan keluar kota untuk
menjenguk Hayat ([“enggak usahlah…”]).
Telepon dari Mama melenyapkan kantuknya. Bagaimanapun
ia sudah menghabiskan sepuluh jam untuk tidur. Ketika mengangkat pipi dari buku, ia
menyadari genangan air liurnya menggenangi sampul bahkan merembes hingga
beberapa halaman depan.
Dulu, bertahun-tahun lalu, ia pernah menjadi kakak
yang baik. Hari itu pun ia dapat menjalankan perannya dengan baik. Sebelum Terios itu kembali ke
metropolitan, Mama berpesan, “Sekarang fokus aja sama TA kamu dulu. Enggak
usah mikirin masalah lain-lain. Mama masih bisa biayain kamu sampai S3
sekalian.” Dadah. Hingga ia menyadari bahwa ia berada di luar lingkaran itu, lingkaran-lingkaran keluarga baru. Sejak
kakaknya bersuami. Mama dengan suami dan anak-anaknya yang baru. Ayah dengan
gundiknya yang baru.
Keesokan pagi (yang sudah hampir siang) ia bersisian
jalan dengan Tiaracitra, setelah melalui gerbang belakang yang langsung mempertemukan mereka dengan
sebuah kotak raksasa yang merupakan gedung perpustakaan di kampus mereka.
“Isiin dong,” ucap Hayat ketika Tiaracitra mengisi daftar pengunjung.
Tiaracitra menulis, “Rahay Samash.” Hayat mencabut pulpen dari tangan Tiaracitra, mencoret tulisan tersebut, lalu
menggantinya dengan, “Rahayy Shamash.”
Mereka duduk berhadapan di meja yang biasa. Hari ini
Hayat akan menonton film De Avonden,
sedang entah Tiaracitra akan memainkan game apa.
Sembari menunggu
laptop siap, “Kenapa lu baru TA sekarang, Cit?”
Pundak cewek itu menyempit. Jawabnya, “Gue banyak
ngulang.”
“Enggak ngulang sambil TA?” Hayat mulai membuka-buka
folder.
“Ngulangnya banyak.”
Padahal tipe cewek seperti itu tampaknya rajin dan pintar. Penampilan memang bisa menipu. Dua orang cewek
melintas di samping meja mereka, menyapa Tiaracitra, “Kak Acit…” Cewek itu
tersenyum. Hayat tersenyum, seraya menggumam. “Acit. Anjrit. Deket ya. Hehe.”
Cewek itu cemberut.
“Kata Pak Bambang kalau mau kita udah bisa mulai ngambil data, biar cepet.”
“Hm.”
Opening
film menampilkan pahatan bergambar seorang wanita yang
tengah menyusui seorang bayi, seorang manusia yang lebih kecil.
Pertengahan film, Tiaracitra beringsut mendekati
Hayat, “nonton apa
sih?”, berdiri di belakang punggungnya, tepat di adegan Frits van Egters
menarik benang wol merah yang menyusun pakaian seorang wanita, lalu seorang
pria lain memasuki ruangan tersebut, tersenyum. Tiaracitra menutup mulutnya.
“Erotika dengan bokep itu berbeda,” jelas Hayat saat jam istirahat, seperti
biasa di Kantin Barat Daya. Cewek itu tetap mendumel. “Lagian di film itu mah
adegan nude-nya
cuman bentar, enggak bakal bikin lo horny,” apalagi kalo lo udah biasa nonton yang gituan…
Tiaracitra
tidak tahu Hayat bandar bokep di jurusan. Tangan Tiaracitra meraup botol sambal di
samping piring nasi goreng Hayat, lalu menyemprotkan banyak-banyak di
samping potongan baso-tahu di piringnya. Teramati oleh Hayat, betapa cokelat
lengan itu, betapa lebat rambut
yang tumbuh di sana.
TIARACITRA
Akhir-akhir ini kota ini dingin. Di depan rumah
pohon-pohon bergemerisik dengan berisik, seakan memberitakan kalau angin
sedang kencang-kencangnya. Aku agak ketakutan. Untung aku selalu mendapat malam yang nyaman, meringkuk dalam balutan
selimut tebal. Setelah mendapat hari yang menyebalkan, dan karena itulah
melelahkan.
Hayat. Walau hampir setiap hari kami bertemu di
perpustakaan dengan niat untuk mengerjakan TA bersama-sama, tapi hasilnya tidak pernah ada. Seolah TA tidak penting buatnya.
Hawanya yang busuk menulariku!
Pernah ia kelihatannya mengetik sesuatu, yang sepertinya lebih dari sekadar
status di Facebook atau tweet. Aku
kira proposal. Setelah beberapa lama, aku tanya apa aku boleh lihat punyanya. Aku ingin mencontoh (atau
mencontek, sama sajalah!). Dia terlihat agak kaget, terus bilang, “Punya gue
belum jadi.”
Dan dia tidak bertanya balik. Walau paling-paling
jawabanku sama sih.
Untungnya aku tidak ketemu si mas-mas 4LAY, kalau tidak, aku bisa makin stres. Ogah banget
aku dekat-dekat orang seperti itu.
Memikirkan orang-orang itu aku jadi muram. Memikirkan
diri sendiri, oh, cepat-cepat aku mengenyahkan bayangan suram. Rasanya aku
butuh melampiaskan ini. Aku bangkit. Terpikir untuk mulai mengetik satu-dua kata untuk
proposal. Bukan aktivitas yang bagus untuk mengisi malam. Akupun mengambil
pulpen, menggambar tato geometris di betis, dan menyadari betapa sesungguhnya
aku memang berbakat seni.
HAYAT
Tentu saja aku bisa begini karena tersedia kos yang
nyaman, dan orangtua yang berkecukupan.
Ketika melihat para gelandangan, penghuni-gerobak,
peminta-minta, sampai anjal-korengan, aku bertanya-tanya kenapa
mereka tidak bunuh diri
saja, bukankah
hidup tidak mudah, apa yang mereka pikirkan tentang kematian…
…bagaimana rasanya menjadi mereka, apa akupun akan
bunuh diri jika berada dalam posisi mereka.
Terasa ironis karena aku memandangi mereka dari balik
kaca McD, dan sama sekali tidak ada keinginan untuk membelikan mereka seember ayam.
Mati sajalah kalian.
Aku berpaling ke TV di pojok atas seberang ruangan.
Cuman iklan. Menenggak McCoffee sedikit-sedikit. Kembali ke talkshow.
Beralih ke kaca.
Kadang aku pikir mereka sebenarnya tidak ada. Mereka jelmaan malaikat, yang menguji
kemurah-hatian manusia lainnya.
HAYAT
Petang masih mendung seperti pagi tadi. Aku belum
makan apa-apa lagi sejak pagi tadi. Aku tidak jadi menambah makan di warung
Top Gear. Sarapan di
McD sama sekali tidak mengenyangkan.
Seharian aku mencangkung di dekat jendela, meja
belajarku dekat jendela. Aku membaca buku tentang seorang muslim skeptis,
sebagaimana akupun merasa muslim skeptis. Terasa berat untuk otakku atau aku
yang makin bodoh.
Agama selalu membingungkanku.
Aku berbaring di kasur. Aku berencana untuk
mendekatkan jendela dengan kasur. Jadi aku bisa mengamati mendung dari dekat,
menghirup udara segar dari dekat. Aku benar-benar tertidur.
Aku bermimpi sedang bersama Tiaracitra. Di sebuah rumah di pinggir jalan ramai. Aku
tidak ingat persis kami sedang apa, mungkin hanya duduk-duduk di salah satu
ruangan di rumahnya. Begitu sepi, lalu seperti dipahamkan padaku kalau
keluarganya sedang bertamasya ke Karimun Jawa. Dia ditinggalkan karena TA. Orangtuanya menyimpan mobil di
dalam rumah, ia menunjukkan di ruangan ini dan ruangan itu. Aku terkesima
bagaimana mungkin mobil bisa berada dalam posisi seperti itu di ruangan
seperti ini, lewat pintu sebelah mana. Aku merokok begitu jorok, mencecerkan abu ke mana-mana, meninggalkan
puntung di mana-mana. Tiaracitra meminta sebatang. Sempat aku tidak yakin
cewek seperti dia akan merokok? Tapi dia juga mengambil lighter-ku.
Dia mengambil mangkok kecil yang permukaannya tersaput abu. Aroma rokok samar-samar. Aku mengikutinya hingga ke
sebuah ruangan di lantai dua. Ruangan persegi dengan dua jendela di pojok,
menampilkan keramaian balap motor di bawah. Di bawah jendela-jendela itu, di
sebelah dalam, ada tempat tidur. Tiaracitra merebahkan diri lalu mulai menyulut rokok, mengembuskan asap
sambil terbatuk-batuk. Aku tersenyum. Dia mengisap lagi, kali ini lebih
terampil. Tanganku terjulur mengangkat terusannya ke atas, sehingga sepasang
lengannya ikut terjulur ke atas. Ujung jemarinya yang mengepit puntung mencapai jendela yang terbuka,
menjatuhkan silinder itu. Terusan itu telah lolos dari tubuh Tiaracitra. Aku
melucuti celana dalamnya, merengkuh tubuhnya yang hangat. Udara dingin yang
melalui jendela turut merangkul kami. …euh… euh… ah… Tahu-tahu ia yang di atasku. Tidak tahu sejak kapan
aku tanpa pakaian. Ia mulai menggenjot. “Citra… Citra…” aku terengah-engah,
seakan aku belum siap menghadapi ini. Aku terbangun seiring dengan gumpalan
basah di celanaku.
Aku agak kaget. Kelamnya sore telah sampai ke seantero kamar. Aku merapatkan
selimut, merapat ke dinding, menepis sentuhan dingin. Ternyata tadi cuman
mimpi, selalu seperti itu setiap kali aku habis bermimpi. Tapi aku seperti
masih merasakan hawanya, hawa di mana sebelumnya kesadaranku berada. Seolah aku direnggut dengan paksa.
HAYAT
Desperately
seeking paradise.
Kata-kata itu terbenam di benak. Untuk malam ini aku hanya punya Oasis, aku
hanya suka tiga: “Champagne Supernova”, “The Hindu Times”, dan “Wonderwall”. Kusetel berurutan dalam volume
tertinggi. Kembali aku mencangkung di kursi, menggenjreng gitar sesuka hati.
Sama sekali tidak hapal kunci. Sikuku menggeser-geser lipatan koran di meja,
yang kubeli pagi tadi sepulang dari McD. Koran regional. Gelegar vokal Noel Gallagher. Aku telusuri lagi
kolom-kolom di mana aku mencari frasa “part-time”
dengan stabilo kuning di tangan pagi tadi. Aku berhenti begitu teringat kata
ibuku. “…
Mama masih bisa biayain kamu sampai S3 sekalian.” Laki-laki
mana
yang bernaung di ketek ibunya sampai S3. Genjrengan menguat di “The Hindu
Times”. Menggoyang-goyang kepala. And I get so high, I just can’t feel it. Koor
di latar. Menerbangkan ke angkasa. In and out my brain, running through my vein. You’re
my sunshine, you’re my rain… rain… rain... rain… Masa
patah-hati sudah berlalu, sudah lebih dari setahun berlalu. Kehidupan tidak
akan berubah. Kehidupan akan tetap sama kacaunya, sampai kapan berkubang dalam
frustasi. Nothing’s
gonna change my world, aku malah melagukan “Across the Universe” dari The
Beatles di tengah “Wonderwall”.
Obat jiwa untuk malam ini ada pada kompilasi hit tahun
2000-an, aku mengganti CD. Dilanjutkan dengan mengeksplorasi Youtube, dan,
mungkin,
merangkai alur, membuka masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar