Minggu, 28 Juli 2013

(8)

TIARACITRA

Aku baru saja memasuki lobi lantai dua ketika melihat cewek itu, beralih dari tangga dari lantai satu menuju tangga ke lantai tiga. Kepalanya merunduk. Langkahnya tersaruk. Ia seperti menjelang cahaya, yang menyorot melalui dinding kaca di peralihan tangga berikutnya. Ia masih mengenakan sweater tebal dan rok lipit… pakaian yang sama dengan yang aku lihat di pertemuan sebelumnya? Aku urung menelusuri lantai dua lebih dalam. Tadinya aku mau semacam menjelajah gitu. Mencoba ruangan demi ruangan di bangunan ini, lalu pada akhirnya menemukan mana yang ter-cozy.

“Boleh ikut duduk?” tanyaku pada cewek itu. Aku menemukannya duduk di salah satu bangku yang berderet di pinggir jendela. Tampaknya ia sengaja memilih area yang bisa menyingkirkan kesuramannya. Ah. Maafkan aku. Semoga ia tidak bisa dengar batinku. Bagaimanapun tanpa menanti jawabannya, yang aku kira tidak akan keluar, aku sudah terlanjur duduk di hadapannya dan meletakkan barang-barangku di antara kami. Tidak ada barang selain milikku di meja, tampaknya ia tidak membawa apapun.  

Ia mengangkat kepalanya sedikit. Kedua tangannya tersembunyi di bawah meja.

Aku menjulurkan tangan. “Namaku Tiaracitra.”

Sesaat tanganku menggantung saja.

Aku lanjutkan dengan menyebut jurusan dan angkatanku. Barulah ia  menyambut. Matanya seakan ingin menyiletku.

“Cecilia.” Ia dari Farmasi. Setahun di bawahku.

Dalam hati aku merunduk, menghitung-hitung berapa lagi mahasiswa seangkatanku yang tersisa di kampus ini. Memalukan…

Beberapa lama kami hanya diam. Sebetulnya aku mencari-cari topik untuk dibicarakan. Cecilia udah TA? Kira-kira menyinggung tidak ya. Tapi kan secara angkatan aku lebih tua. Seharusnya pertanyaan itu lebih sensitif buatku. Cecilia apa kabar? Cecilia sebenarnya yang kemarin itu kejadiannya gimana sih? Cecilia di Farmasi belajar apa aja? Cecilia… Seandainya aku anak persma, mungkin aku bisa memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih baik… Aku melirik saja ke jendela sementara berbagai alternatif pertanyaan berkecamuk di kepala. Oke. Sebetulnya aku menghindari tatapannya. Sekarang dengan mata-siletnya itu ia seperti ingin mengulitiku. Apa keputusan untuk menegurnya ini salah. Aduh. Aku beranikan diri membalas tatapannya. Kami seperti dalam perlombaan saling menatap. Yang bisa menatap lawannya paling lama yang menang.  Sewaktu kecil aku dan teman-temanku suka melakukan permainan ini, yang selalu berakhir dengan tawa berderai-derai. Tapi yang kali ini sangat amat tidak lucu sekali. Menakutkan.

“Kenapa?” tanyaku akhirnya dengan rada gugup. “Rambutku kurang rapi?” Jemariku berlagak membenahi sisi kepala. Padahal yang ia tatap kan mataku. Adakah skenario yang lebih baik?

“Rambut kamu bagus. Emang aslinya ikal gitu ya?”

“Ya…?” Mungkin kami bisa mulai membicarakan rambut. Apa aku boleh menanyakan merek samponya? “Rambut kamu juga, lurus, jatuh, bagus. Aku suka rambut lurus. Kayak iklan sampo.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Daripada tidak terpikir apa-apa sama sekali? Huff…

“Kamu korban iklan ya?” Suaranya kali ini terdengar begitu jernih, tidak serak memilukan seperti kemarin. Apa ini juga efek duduk di pinggir jendela? Tapi kepalanya yang agak menunduk itu, sementara matanya tetap menyorot padaku semakin bikin aku… seram, rada seram. Ia tidak bakal tiba-tiba menjulurkan kedua lengannya, mengapit leherku, lalu menggigit leherku kan? Hauh.

Aku menggeleng.

Akhirnya ia menarik kepalanya. Kedua lengannya bersidekap. Aku mulai menimbang-nimbang, lebih menakutkan mana antara ia dengan Hayat.

Kembali kami diam. Kembali tatapanku jatuh ke tepian meja.

“Mana yang satu lagi?” tanyanya mengangkat kepalaku. Tapi begitu aku dapati tatapannya yang menyelidik, rasanya aku ingin lari lagi.

“Oh. Enggak bareng,” kataku.

“Pacar kamu?”

“Oh. Bukan,” kusertai gelengan.

“Bagus. Jangan pacaran sama dia.”

Tentu saja.

“Aku benci dia.”

Hei. Apa cewek ini sudah mengenal Hayat sebelumnya?

“Kenapa?” tanyaku hati-hati.

“Dia enggak seharusnya kayak gitu sama orang yang mau bunuh diri,” Kedua sikunya menapak di meja. Hanya ujung-ujung jemarinya yang tampak, selebihnya tenggelam dalam sweater rajutannya yang gombrang. Sementara kuku-kukunya saling beradu, tatapannya masih lekat padaku.

Sejenak aku terperangah. “Jadi bener kemarin kamu mau bunuh diri?” sepelan mungkin aku mengucapkannya.

“Ya. Di jam-jam habis kuliah. Biar rame. Biar orang-orang tahu aku mati.” Kuperhatikan matanya yang membulat di bagian atas, lalu menyipit di ujung, barangkali ada kegentaran. Sepertinya ia sadar aku memandanginya dengan begitu serius. “Jangan liat aku kayak gitu.”

Aku terkesiap. Kutempelkan punggung ke sandaran namun masih dalam posisi tegak.

“Tapi cowok itu… cowok itu…” malah pandangannya yang beralih ke jendela. Kukira mengingat Hayat bikin napasnya tidak stabil. Bisa kumengerti. Kadang aku segeregetan itu juga dengannya. Ia kembali menoleh padaku. “Bukannya kalau kamu pingin mati, kamu pingin ada orang yang mencegah kamu?”

“Eh?” Aku tidak pernah terpikir untuk mati sebelumnya. Aku masih bisa membayangkan masa depan di dunia. Bekerja dengan celemek di dapur dan menjadi ibu rumah tangga yang berbahagia, hal-hal indah seperti itu…

“Tapi cowok itu…! Bedebah! Ada orang yang mendukung aku buat mati! Kamu tahu rasanya itu?!” Dia tiba-tiba berdiri. Lalu setelah teriak-teriak begitu, dia meninggalkanku. Orang-orang memandangku, memandang Cecilia. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas mereka. Semoga mereka segera mengabaikanku. Mungkin aku tenggelamkan saja kepalaku di bawah meja, lalu menghitung sampai seribu, dan begitu aku mengangkat kepalaku, orang-orang yang kulihat bukan lagi orang-orang yang sama, atau mungkin aku sudah berada di negeri lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain