TIARACITRA
Aku baru
saja memasuki lobi lantai dua ketika melihat cewek itu, beralih dari tangga
dari lantai satu menuju tangga ke lantai tiga. Kepalanya merunduk. Langkahnya
tersaruk. Ia seperti menjelang cahaya, yang menyorot melalui dinding kaca di
peralihan tangga berikutnya. Ia masih mengenakan sweater tebal dan rok lipit… pakaian yang sama dengan yang aku
lihat di pertemuan sebelumnya? Aku urung menelusuri lantai dua lebih dalam.
Tadinya aku mau semacam menjelajah gitu. Mencoba ruangan demi ruangan di
bangunan ini, lalu pada akhirnya menemukan mana yang ter-cozy.
“Boleh ikut
duduk?” tanyaku pada cewek itu. Aku menemukannya duduk di salah satu bangku
yang berderet di pinggir jendela. Tampaknya ia sengaja memilih area yang bisa
menyingkirkan kesuramannya. Ah. Maafkan aku. Semoga ia tidak bisa dengar
batinku. Bagaimanapun tanpa menanti jawabannya, yang aku kira tidak akan
keluar, aku sudah terlanjur duduk di hadapannya dan meletakkan barang-barangku
di antara kami. Tidak ada barang selain milikku di meja, tampaknya ia tidak
membawa apapun.
Ia
mengangkat kepalanya sedikit. Kedua tangannya tersembunyi di bawah meja.
Aku
menjulurkan tangan. “Namaku Tiaracitra.”
Sesaat
tanganku menggantung saja.
Aku
lanjutkan dengan menyebut jurusan dan angkatanku. Barulah ia menyambut. Matanya seakan ingin menyiletku.
“Cecilia.”
Ia dari Farmasi. Setahun di bawahku.
Dalam hati
aku merunduk, menghitung-hitung berapa lagi mahasiswa seangkatanku yang tersisa
di kampus ini. Memalukan…
Beberapa
lama kami hanya diam. Sebetulnya aku mencari-cari topik untuk dibicarakan. Cecilia udah TA? Kira-kira menyinggung
tidak ya. Tapi kan secara angkatan aku lebih tua. Seharusnya pertanyaan itu
lebih sensitif buatku. Cecilia apa kabar? Cecilia sebenarnya yang kemarin itu
kejadiannya gimana sih? Cecilia di
Farmasi belajar apa aja? Cecilia… Seandainya aku anak persma, mungkin aku
bisa memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih baik… Aku melirik saja ke
jendela sementara berbagai alternatif pertanyaan berkecamuk di kepala. Oke.
Sebetulnya aku menghindari tatapannya. Sekarang dengan mata-siletnya itu ia
seperti ingin mengulitiku. Apa keputusan untuk menegurnya ini salah. Aduh. Aku
beranikan diri membalas tatapannya. Kami seperti dalam perlombaan saling
menatap. Yang bisa menatap lawannya paling lama yang menang. Sewaktu kecil aku dan teman-temanku suka
melakukan permainan ini, yang selalu berakhir dengan tawa berderai-derai. Tapi
yang kali ini sangat amat tidak lucu sekali. Menakutkan.
“Kenapa?”
tanyaku akhirnya dengan rada gugup. “Rambutku kurang rapi?” Jemariku berlagak
membenahi sisi kepala. Padahal yang ia tatap kan mataku. Adakah skenario yang
lebih baik?
“Rambut
kamu bagus. Emang aslinya ikal gitu ya?”
“Ya…?”
Mungkin kami bisa mulai membicarakan rambut. Apa aku boleh menanyakan merek
samponya? “Rambut kamu juga, lurus, jatuh, bagus. Aku suka rambut lurus. Kayak
iklan sampo.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Daripada tidak
terpikir apa-apa sama sekali? Huff…
“Kamu
korban iklan ya?” Suaranya kali ini terdengar begitu jernih, tidak serak
memilukan seperti kemarin. Apa ini juga efek duduk di pinggir jendela? Tapi
kepalanya yang agak menunduk itu, sementara matanya tetap menyorot padaku
semakin bikin aku… seram, rada seram. Ia tidak bakal tiba-tiba menjulurkan
kedua lengannya, mengapit leherku, lalu menggigit leherku kan? Hauh.
Aku
menggeleng.
Akhirnya ia
menarik kepalanya. Kedua lengannya bersidekap. Aku mulai menimbang-nimbang,
lebih menakutkan mana antara ia dengan Hayat.
Kembali
kami diam. Kembali tatapanku jatuh ke tepian meja.
“Mana yang
satu lagi?” tanyanya mengangkat kepalaku. Tapi begitu aku dapati tatapannya
yang menyelidik, rasanya aku ingin lari lagi.
“Oh. Enggak
bareng,” kataku.
“Pacar
kamu?”
“Oh. Bukan,”
kusertai gelengan.
“Bagus.
Jangan pacaran sama dia.”
Tentu saja.
“Aku benci
dia.”
Hei. Apa
cewek ini sudah mengenal Hayat sebelumnya?
“Kenapa?”
tanyaku hati-hati.
“Dia enggak
seharusnya kayak gitu sama orang yang mau bunuh diri,” Kedua sikunya menapak di
meja. Hanya ujung-ujung jemarinya yang tampak, selebihnya tenggelam dalam sweater rajutannya yang gombrang.
Sementara kuku-kukunya saling beradu, tatapannya masih lekat padaku.
Sejenak aku
terperangah. “Jadi bener kemarin kamu mau bunuh diri?” sepelan mungkin aku
mengucapkannya.
“Ya. Di
jam-jam habis kuliah. Biar rame. Biar orang-orang tahu aku mati.” Kuperhatikan
matanya yang membulat di bagian atas, lalu menyipit di ujung, barangkali ada
kegentaran. Sepertinya ia sadar aku memandanginya dengan begitu serius. “Jangan
liat aku kayak gitu.”
Aku
terkesiap. Kutempelkan punggung ke sandaran namun masih dalam posisi tegak.
“Tapi cowok
itu… cowok itu…” malah pandangannya yang beralih ke jendela. Kukira mengingat
Hayat bikin napasnya tidak stabil. Bisa kumengerti. Kadang aku segeregetan itu
juga dengannya. Ia kembali menoleh padaku. “Bukannya kalau kamu pingin mati,
kamu pingin ada orang yang mencegah kamu?”
“Eh?” Aku
tidak pernah terpikir untuk mati sebelumnya. Aku masih bisa membayangkan masa
depan di dunia. Bekerja dengan celemek di dapur dan menjadi ibu rumah tangga
yang berbahagia, hal-hal indah seperti itu…
“Tapi cowok
itu…! Bedebah! Ada orang yang mendukung aku buat mati! Kamu tahu rasanya itu?!”
Dia tiba-tiba berdiri. Lalu setelah teriak-teriak begitu, dia meninggalkanku.
Orang-orang memandangku, memandang Cecilia. Aku tidak tahu bagaimana harus
membalas mereka. Semoga mereka segera mengabaikanku. Mungkin aku tenggelamkan
saja kepalaku di bawah meja, lalu menghitung sampai seribu, dan begitu aku
mengangkat kepalaku, orang-orang yang kulihat bukan lagi orang-orang yang sama,
atau mungkin aku sudah berada di negeri lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar