HAYAT
Lewat
setengah empat aku baru bisa tidur. Terjaga sekitar tujuh seperempat, dan tidak
begitu ingin tidur lagi. Ini prestasi. Sejenak aku tidur-tiduran saja di
karpet. Benar-benar tidak begitu ingin tidur lagi. Sembari menimbang-nimbang
apa yang ingin dilakukan hari ini, kemihku sudah tidak bisa ditahan lagi.
Begitu kena air, kantukku benar-benar kandas. Untung aku sudah membeli Sari
Roti dan Kraft kemarin. Blueband masih sisa sedikit. Aku melapisi roti dengan
mentega, lalu dengan keju. Aku lipat dan aku masukkan ke dalam toaster. “Servis jok, servis jok,” suara
seorang pria. Ampun, sepagi ini lo udah
kerja aja. Kuseduh kopi dan berdiri di tepi jendela. Menanti, roti yang
terpanggang dan bapak-bapak rajin. Lampu toaster
padam. Aku pindahkan roti ke piring. Tukang servis jok itu lewat lagi, aku
kembali mendekat ke jendela. Ia menyandang tas selempang, sebelah tangannya
menggenggam semacam contoh kulit. Setelah ini bakal lewat lagi banyak penjaja
keliling lain, selang beberapa menit satu sama lain.
Aku
menemukan selembar tisu yang masih terlipat di meja belajar. Entah asalnya dari
acara apa. Aku gunakan bagian dalam tisu untuk mengelap bagian dalam toaster, sebelum kututup. Satu hal yang
baru kusadari pagi ini. Peningku hilang setelah menonton bokep semalam, eh,
beberapa jam lalu. Satu lagi manfaat bokep, nih kuberitahu: obat yang lebih
mujarab dari aspirin.
Aku kok
mengantuk lagi.
TIARACITRA
Harusnya
aku menanyakan software yang aku
tidak mengerti… mencatat segala keterangan Hayat. Habis ini, klik yang itu. Drag
yang ini, buka yang itu. Mumpung dia lagi baik, kemarin.
Tapi aku
malah ikut berdiri di atap gedung seberang perpustakaan.
Ya
barangkali saja dia mau menjelaskannya di sini. Entahlah.
Aku ikut
mendongak. Hanya langit kelabu. Kuembuskan napas keras-keras.
“Kalau ini
film dan kita enggak juga ngelakuin sesuatu, film kita bakal enggak laku,”
katanya, berjarak sekitar dua meter dariku.
“Ya.”
Memangnya aku harus respons apa lagi selain mengiyakan.
“Tapi kita
di dunia nyata. Persetan dengan dunia nyata.”
Ujung
bibirku bergerak-gerak tapi aku tidak bisa mengulangi ucapannya. Terserah deh
dia mau meracau apa.
“Kenapa lo
di sini, Njrit?”
Aku kaget
dengan kernyitannya. “Aku mau nanya cara ngerjain software!” dan aku sudah mengikutimu ke sana kemari.
“Lo enggak
punya temen lain apa?”
“Enggak!”
balasku dengan upaya agar tidak terdengar merajuk. Aku salah pilih teman-dekat.
Mereka semua satu jurusan, dan tega meninggalkanku begitu menginjak tahun
kelima. Aku tidak cukup dekat dengan anak lain di jurusan, dan Hayat ternyata
yang terburuk. Tapi sudah terlanjur.
Ia
meletakkan kedua tangannya di pinggang. Bagian bawah kaosnya agak terangkat ke
atas, memperlihatkan kulitnya yang kuning langsat. Matanya masih memicing ke
atas.
“Kenapa sih
kamu suka ngeliatin langit?”
“Enggak ada
objek lain yang menarik buat dilihat.”
Benarkah
langit seperti itu. Apanya yang menarik, dia mau saja dijajah awan. Tajuk hutan
belakang kampus bergoyang-goyang. Gemerisiknya tidak kalah dengan lalu lintas
kendaraan yang berseliweran di bawahnya. Agak membuatku takut. Tiupan angin
yang kencang. Aku bersidekap. Adakah tempat yang lebih baik dari ini… Hah aku
ingin pulang, ke rumahku sendiri, bukan ke rumah Nenek. Kenapa Hayat ke sini,
apa menurut dia ini tempat yang baik.
“Lu masih
depresi?”
“Apa?”
Tidak
kusangka responsnya akan begitu cepat. Tatapannya menuntut jawaban.
“Lo sempet
ngilang dari kampus. Waktu itu kita pikir elo lagi depresi gara-gara…”
sebetulnya aku tidak enak mengucapkannya, “…Ayudh.”
“Gue kan
main,” tukasnya.
“Yeah, gue
tahu.” Aku juga kesal karena percakapan ini terus berulang.
“Gue lebih
dari sekadar depresi.”
Oke, ia
berhasil menggaet perhatianku.
“Gue udah
mati.”
Ayolah…
“Emang lu sama Ayudh berapa tahun sih?”
“Tiga
tahun.”
Aku kira
tiga abad. “Aku kira kalian udah pacaran dari kecil.”
“Dari zaman
azali gue udah tahu dia jodoh gue.”
Rokok lagi.
Ia menggoyang-goyangkan lighter
hingga nyala di pucuknya padam dilalap angin.
Makanya cepet selesein TA lu.
“Kalo lo
udah mati kenapa lo enggak dikubur? Lo zombi
ya?”
“Kan cuman
mati rasa…”
Oh. Sudah
tidak punya perasaan. Pantas.
“Sekarang
rasa yang tertinggal di gue cuman birahi.”
“Heh?!”
Refleks aku menoleh padanya, yang santai saja bilang begitu sambil tengadah,
kontan aku pun berpaling ke depan.
“Lo masturbasi
enggak?”
Aku menoleh
lagi padanya. Leher hingga kepalaku panas. Aku tidak tahu harus bilang apa, dan
aku nyatakan itu dengan ekspresiku.
Ia juga
sedang menatapku, lalu dengan tampangnya yang culas itu ia berkata, “Belum
pernah ya?” Ia mengacungkan jari tengahnya. “Tinggal masukin aja ke…”
“UDAH!
UDAH! CUKUP!” Aku menyeret ransel. Tidak bisakah ia mengusirku dengan cara yang
lebih sopan?
“Ya ampun,
Cit, lo udah dewasa kan?” sayangnya aku masih bisa dengar kata-katanya itu, dan
begitu sampai di pintu, “Lo mau nanya software
yang mana?”
Tepat di
ambang pintu menuju tangga aku berhenti. Berbalik pelan-pelan, seakan ingin
memastikan bahwa yang barusan membuatku lari bukan singa jadi-jadian.
“Jangan di
sini,” kataku.
“Kenapa
sih, di sini aja.”
Aku
melanjutkan langkahku, menuruni tangga. Sampai di dekat lift, aku malah
menerobos ke toilet. Untung sedang sepi. Begitu menginjak ubinnya yang abu-abu
aku langsung jongkok dan tersedu-sedu, membelakangi pintu. Ransel-plastikku
berdiri miring, condong ke atas ke arahku. Seakan cuman dia satu-satunya yang
prihatin. Aku peluk dia walau permukaannya yang tajam-bertonjolan
menembus-nembus bajuku, sakit, tapi lebih sakit lagi kalau aku hanya merasa
sendiri.
Kurasa
cukup. Aku berdiri pelan-pelan, lalu kutatap wajahku di cermin di atas
wastafel. Hah… Aku jelek sekali. Kubasuh muka dengan air. Semoga tidak
kelihatan terlalu merah. Setidaknya mataku tidak begitu sembap. Kukeringkan
wajah dengan tisu sampai tisu itu hancur, lalu kubuang ke tempat sampah di
bawah wastafel. “Ayo,” kataku setengah berbisik pada ranselku, seraya
mengangkat pegangannya di bagian atas. Aku tahu bodoh sekali rasanya bicara
sama benda mati, tapi dalam kondisi seperti ini aku merasa agak terhibur.
Setelah itu
aku menunggu lift yang merambat pelan-pelan dari lantai bawah. Pintu lift
terbuka. Aku berjengit ketika mendapati Hayat. Kejutan tidak menyenangkan! Ia
menatapku lekat-lekat. “Mau ngerjain di mana?” Aku ragu mau ke dalam atau
tidak. Ia menjulurkan tangannya, yang ternyata hanya untuk menekan tombol agar
pintu tetap terbuka. Akhirnya aku masuk. Di dalam kami sama sekali tidak
bicara. Ia membiarkanku keluar lebih dulu, lalu ia mengekor. Apa ini hari
kebalikan?
Begitu kami
sudah di tempat biasa di perpustakaan, ia masih membuatku rikuh dengan
tatapannya. Sepertinya ia tahu kalau aku habis menangis. Untunglah akhirnya ia
membuka laptopnya, dan menyuruhku untuk menyalakan milikku juga, dan pindah
sekalian ke sampingnya agar posisinya lebih enak untuk menerangkan. Ia bukan
pengajar yang baik. Hanya berkata seperlunya, setelah itu menungguku
memraktikkannya sendiri. Tidak berkomentar apapun. Ia bahkan tidak
memerhatikanku, malah serius main tembak-tembakan di laptopnya. Aku tidak yakin
langkahku benar atau tidak. Begitu aku selesai, baru ia melanjutkan tanpa peduli
hasilku sebelumnya bagaimana.
“Aku catet
aja ya?”
“Terserah.”
Responsnya
yang acuh tak acuh bikin aku tambah lemas. Seharusnya aku minum obat waktu
sarapan tadi.
Alih-alih
mengeluarkan notes, aku malah menaruh kepala di meja. Yang jelas bukan menghadapnya.
Setelah merasa agak lebih baik, aku membuka ponsel. Ingin lihat sms dari siapa
yang masuk tadi.
gY aPa
nen9¿
BETE!!!
Tidak bisa
kutahan lagi untuk tidak membalas sms itu. Biar sekalian kulampiaskan
kekesalanku padanya, pada cowok menyebalkan yang satunya juga. Emosiku semakin
ingin meledak saja saat menoleh pada Hayat. Mata cowok itu tengah tertuju ke
arah… apaku? Lalu dia tersadar.
“Kenapa.
Enggak ada. Cowok. Yang beres. Dalam. Hidup Gue?” ungkapku, lebih seperti
mendesis.
“Bapak lo
juga enggak beres?”
Uugh! Aku
tidak mau menatapnya lagi! Kukendalikan napasku yang mulai tidak keruan, sampai
dadaku naik-turun.
“Lo punya
pacar, Cit?” suaranya lagi.
“Pernah,”
maksudku, aku memang sekarang tidak sedang punya pacar, tapi sebelumnya aku
pernah pacaran, empat kali, dan tidak satupun dari cowok-cowok itu yang ingin
kuingat. Tapi kenapa aku harus menyampaikan sedetail itu pada Hayat?! Jadi aku
diam saja.
“Ternyata
ada juga yang mau sama elo.” Ia tersenyum. Tidak hanya bibirnya, tapi juga
matanya.
Kami keluar
dari perpustakaan bersamaan. Begitu sampai di pelataran, kutubruk ia dari
samping dengan ranselku. Lalu aku cepat-cepat lari ke gerbang tanpa melihat
lagi ke belakang. Aku masih dapat mendengar ia mengaduh. Rasakan! Tidak
kuindahkan pandangan orang-orang. Aku dan ranselku memang sejoli yang tangguh,
seperti Dora dengan ranselnya.
Turun dari
angkot, mendadak tangisku meluap lagi. Aku lekas mengusapnya dengan lengan
kardiganku. Tapi sepertinya masih ada saja yang menggenang, mau berapa kali
kuusap juga. Aku sampai lupa untuk memutar jalan. Dari kejauhan tampak
rambutnya yang jabrik, tatonya, bajunya yang sobek-sobek. Ia berjongkok di
teras komputer seperti biasa, kongko bareng pemuda-kampung-enggak-jelas
lainnya. Aku menunduk sedalam mungkin supaya tidak terlihat wajahku yang entah
bagaimana kondisinya. Masih dapat kutangkap dengan ekor mataku, ia berdiri.
“Neng!
Kalau tidak ada pria yang sudi mencintaimu, biarlah aku yang mencintaimu!”
Teman-temannya
bersorak. Tangisku makin meledak. Kenapa yang bisa membaca perasaanku malah
orang macam dia?! Menjijikkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar