Selasa, 23 Juli 2013

(5)

HAYAT

Lewat setengah empat aku baru bisa tidur. Terjaga sekitar tujuh seperempat, dan tidak begitu ingin tidur lagi. Ini prestasi. Sejenak aku tidur-tiduran saja di karpet. Benar-benar tidak begitu ingin tidur lagi. Sembari menimbang-nimbang apa yang ingin dilakukan hari ini, kemihku sudah tidak bisa ditahan lagi. Begitu kena air, kantukku benar-benar kandas. Untung aku sudah membeli Sari Roti dan Kraft kemarin. Blueband masih sisa sedikit. Aku melapisi roti dengan mentega, lalu dengan keju. Aku lipat dan aku masukkan ke dalam toaster. “Servis jok, servis jok,” suara seorang pria. Ampun, sepagi ini lo udah kerja aja. Kuseduh kopi dan berdiri di tepi jendela. Menanti, roti yang terpanggang dan bapak-bapak rajin. Lampu toaster padam. Aku pindahkan roti ke piring. Tukang servis jok itu lewat lagi, aku kembali mendekat ke jendela. Ia menyandang tas selempang, sebelah tangannya menggenggam semacam contoh kulit. Setelah ini bakal lewat lagi banyak penjaja keliling lain, selang beberapa menit satu sama lain.

Aku menemukan selembar tisu yang masih terlipat di meja belajar. Entah asalnya dari acara apa. Aku gunakan bagian dalam tisu untuk mengelap bagian dalam toaster, sebelum kututup. Satu hal yang baru kusadari pagi ini. Peningku hilang setelah menonton bokep semalam, eh, beberapa jam lalu. Satu lagi manfaat bokep, nih kuberitahu: obat yang lebih mujarab dari aspirin.

Aku kok mengantuk lagi.

TIARACITRA

Harusnya aku menanyakan software yang aku tidak mengerti… mencatat segala keterangan Hayat. Habis ini, klik yang itu. Drag yang ini, buka yang itu. Mumpung dia lagi baik, kemarin.

Tapi aku malah ikut berdiri di atap gedung seberang perpustakaan.

Ya barangkali saja dia mau menjelaskannya di sini. Entahlah.

Aku ikut mendongak. Hanya langit kelabu. Kuembuskan napas keras-keras.

“Kalau ini film dan kita enggak juga ngelakuin sesuatu, film kita bakal enggak laku,” katanya, berjarak sekitar dua meter dariku.

“Ya.” Memangnya aku harus respons apa lagi selain mengiyakan.

“Tapi kita di dunia nyata. Persetan dengan dunia nyata.”

Ujung bibirku bergerak-gerak tapi aku tidak bisa mengulangi ucapannya. Terserah deh dia mau meracau apa.

“Kenapa lo di sini, Njrit?”

Aku kaget dengan kernyitannya. “Aku mau nanya cara ngerjain software!” dan aku sudah mengikutimu ke sana kemari.

“Lo enggak punya temen lain apa?”

“Enggak!” balasku dengan upaya agar tidak terdengar merajuk. Aku salah pilih teman-dekat. Mereka semua satu jurusan, dan tega meninggalkanku begitu menginjak tahun kelima. Aku tidak cukup dekat dengan anak lain di jurusan, dan Hayat ternyata yang terburuk. Tapi sudah terlanjur.

Ia meletakkan kedua tangannya di pinggang. Bagian bawah kaosnya agak terangkat ke atas, memperlihatkan kulitnya yang kuning langsat. Matanya masih memicing ke atas.

“Kenapa sih kamu suka ngeliatin langit?”

“Enggak ada objek lain yang menarik buat dilihat.”

Benarkah langit seperti itu. Apanya yang menarik, dia mau saja dijajah awan. Tajuk hutan belakang kampus bergoyang-goyang. Gemerisiknya tidak kalah dengan lalu lintas kendaraan yang berseliweran di bawahnya. Agak membuatku takut. Tiupan angin yang kencang. Aku bersidekap. Adakah tempat yang lebih baik dari ini… Hah aku ingin pulang, ke rumahku sendiri, bukan ke rumah Nenek. Kenapa Hayat ke sini, apa menurut dia ini tempat yang baik.

“Lu masih depresi?”

“Apa?”

Tidak kusangka responsnya akan begitu cepat. Tatapannya menuntut jawaban.

“Lo sempet ngilang dari kampus. Waktu itu kita pikir elo lagi depresi gara-gara…” sebetulnya aku tidak enak mengucapkannya, “…Ayudh.”

“Gue kan main,” tukasnya.

“Yeah, gue tahu.” Aku juga kesal karena percakapan ini terus berulang.

“Gue lebih dari sekadar depresi.”

Oke, ia berhasil menggaet perhatianku.

“Gue udah mati.”

Ayolah… “Emang lu sama Ayudh berapa tahun sih?”

“Tiga tahun.”

Aku kira tiga abad. “Aku kira kalian udah pacaran dari kecil.”

“Dari zaman azali gue udah tahu dia jodoh gue.”

Rokok lagi. Ia menggoyang-goyangkan lighter hingga nyala di pucuknya padam dilalap angin.

Makanya cepet selesein TA lu.

“Kalo lo udah mati kenapa lo enggak dikubur? Lo zombi  ya?”

“Kan cuman mati rasa…”

Oh. Sudah tidak punya perasaan. Pantas.

“Sekarang rasa yang tertinggal di gue cuman birahi.”

“Heh?!” Refleks aku menoleh padanya, yang santai saja bilang begitu sambil tengadah, kontan aku pun berpaling ke depan.

“Lo masturbasi enggak?”

Aku menoleh lagi padanya. Leher hingga kepalaku panas. Aku tidak tahu harus bilang apa, dan aku nyatakan itu dengan ekspresiku.

Ia juga sedang menatapku, lalu dengan tampangnya yang culas itu ia berkata, “Belum pernah ya?” Ia mengacungkan jari tengahnya. “Tinggal masukin aja ke…”

“UDAH! UDAH! CUKUP!” Aku menyeret ransel. Tidak bisakah ia mengusirku dengan cara yang lebih sopan?

“Ya ampun, Cit, lo udah dewasa kan?” sayangnya aku masih bisa dengar kata-katanya itu, dan begitu sampai di pintu, “Lo mau nanya software yang mana?”

Tepat di ambang pintu menuju tangga aku berhenti. Berbalik pelan-pelan, seakan ingin memastikan bahwa yang barusan membuatku lari bukan singa jadi-jadian.

“Jangan di sini,” kataku.

“Kenapa sih, di sini aja.”

Aku melanjutkan langkahku, menuruni tangga. Sampai di dekat lift, aku malah menerobos ke toilet. Untung sedang sepi. Begitu menginjak ubinnya yang abu-abu aku langsung jongkok dan tersedu-sedu, membelakangi pintu. Ransel-plastikku berdiri miring, condong ke atas ke arahku. Seakan cuman dia satu-satunya yang prihatin. Aku peluk dia walau permukaannya yang tajam-bertonjolan menembus-nembus bajuku, sakit, tapi lebih sakit lagi kalau aku hanya merasa sendiri.

Kurasa cukup. Aku berdiri pelan-pelan, lalu kutatap wajahku di cermin di atas wastafel. Hah… Aku jelek sekali. Kubasuh muka dengan air. Semoga tidak kelihatan terlalu merah. Setidaknya mataku tidak begitu sembap. Kukeringkan wajah dengan tisu sampai tisu itu hancur, lalu kubuang ke tempat sampah di bawah wastafel. “Ayo,” kataku setengah berbisik pada ranselku, seraya mengangkat pegangannya di bagian atas. Aku tahu bodoh sekali rasanya bicara sama benda mati, tapi dalam kondisi seperti ini aku merasa agak terhibur.

Setelah itu aku menunggu lift yang merambat pelan-pelan dari lantai bawah. Pintu lift terbuka. Aku berjengit ketika mendapati Hayat. Kejutan tidak menyenangkan! Ia menatapku lekat-lekat. “Mau ngerjain di mana?” Aku ragu mau ke dalam atau tidak. Ia menjulurkan tangannya, yang ternyata hanya untuk menekan tombol agar pintu tetap terbuka. Akhirnya aku masuk. Di dalam kami sama sekali tidak bicara. Ia membiarkanku keluar lebih dulu, lalu ia mengekor. Apa ini hari kebalikan?

Begitu kami sudah di tempat biasa di perpustakaan, ia masih membuatku rikuh dengan tatapannya. Sepertinya ia tahu kalau aku habis menangis. Untunglah akhirnya ia membuka laptopnya, dan menyuruhku untuk menyalakan milikku juga, dan pindah sekalian ke sampingnya agar posisinya lebih enak untuk menerangkan. Ia bukan pengajar yang baik. Hanya berkata seperlunya, setelah itu menungguku memraktikkannya sendiri. Tidak berkomentar apapun. Ia bahkan tidak memerhatikanku, malah serius main tembak-tembakan di laptopnya. Aku tidak yakin langkahku benar atau tidak. Begitu aku selesai, baru ia melanjutkan tanpa peduli hasilku sebelumnya bagaimana.

“Aku catet aja ya?”

“Terserah.”

Responsnya yang acuh tak acuh bikin aku tambah lemas. Seharusnya aku minum obat waktu sarapan tadi.

Alih-alih mengeluarkan notes, aku malah menaruh kepala di meja. Yang jelas bukan menghadapnya. Setelah merasa agak lebih baik, aku membuka ponsel. Ingin lihat sms dari siapa yang masuk tadi.

gY aPa nen9¿

BETE!!!

Tidak bisa kutahan lagi untuk tidak membalas sms itu. Biar sekalian kulampiaskan kekesalanku padanya, pada cowok menyebalkan yang satunya juga. Emosiku semakin ingin meledak saja saat menoleh pada Hayat. Mata cowok itu tengah tertuju ke arah… apaku? Lalu dia tersadar.

“Kenapa. Enggak ada. Cowok. Yang beres. Dalam. Hidup Gue?” ungkapku, lebih seperti mendesis.

“Bapak lo juga enggak beres?”

Uugh! Aku tidak mau menatapnya lagi! Kukendalikan napasku yang mulai tidak keruan, sampai dadaku naik-turun.

“Lo punya pacar, Cit?” suaranya lagi.

“Pernah,” maksudku, aku memang sekarang tidak sedang punya pacar, tapi sebelumnya aku pernah pacaran, empat kali, dan tidak satupun dari cowok-cowok itu yang ingin kuingat. Tapi kenapa aku harus menyampaikan sedetail itu pada Hayat?! Jadi aku diam saja.

“Ternyata ada juga yang mau sama elo.” Ia tersenyum. Tidak hanya bibirnya, tapi juga matanya.

Kami keluar dari perpustakaan bersamaan. Begitu sampai di pelataran, kutubruk ia dari samping dengan ranselku. Lalu aku cepat-cepat lari ke gerbang tanpa melihat lagi ke belakang. Aku masih dapat mendengar ia mengaduh. Rasakan! Tidak kuindahkan pandangan orang-orang. Aku dan ranselku memang sejoli yang tangguh, seperti Dora dengan ranselnya.

Turun dari angkot, mendadak tangisku meluap lagi. Aku lekas mengusapnya dengan lengan kardiganku. Tapi sepertinya masih ada saja yang menggenang, mau berapa kali kuusap juga. Aku sampai lupa untuk memutar jalan. Dari kejauhan tampak rambutnya yang jabrik, tatonya, bajunya yang sobek-sobek. Ia berjongkok di teras komputer seperti biasa, kongko bareng pemuda-kampung-enggak-jelas lainnya. Aku menunduk sedalam mungkin supaya tidak terlihat wajahku yang entah bagaimana kondisinya. Masih dapat kutangkap dengan ekor mataku, ia berdiri.

“Neng! Kalau tidak ada pria yang sudi mencintaimu, biarlah aku yang mencintaimu!”

Teman-temannya bersorak. Tangisku makin meledak. Kenapa yang bisa membaca perasaanku malah orang macam dia?! Menjijikkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain